29 Agustus 2011 | Kras, Kediri | Km 264 | Pkl 17.05
Kanigoro adalah dalih Pelajar Islam Indonesia (PII) untuk membunuh anggota dan simpatisan PKI. Dan ini dituturkan dengan penuh kebanggaan. Dari generasi ke generasi. Kanigoro adalah saksi bagaimana PII menjadikannya sebagai mandat pembantaian di bawah komando Banser/Ansor.
Saya memasuki Kanigoro, Kras, Kediri, ketika matahari sudah rebah. Terhalang oleh bangunan Pabrik Gula Ngadirejo dengan dua tabung asap raksasa yang mengular ke langit. Artinya, saya sudah 12 jam di atas jalan raya jika ditarik dari keberangkatan dari Kotagede.
Bagi saya pribadi, Kanigoro menyimpan memori yang kelam. Ketika menyebut Kediri yang pertama kali terngiang adalah Kanigoro. Sejak 1995, Kanigoro yang saya tahu adalah Kanigoro di mana PKI harus dibasmi. Di tahun itu, di saat-saat ketika saya dipersiapkan menjadi kader militan Pelajar Islam Indonesia di kota Palu. Sebuah buku bersampul merah karya Anis Abiyoso dan Ahmadun Y Herfanda, “Teror Subuh di Kanigoro” (1995), dijadikan kunci cerita saat tutur perjuangan PII melawan kebejatan orang-orang komunis memasuki periode 1965-1966.
Yang tak pernah saya ketahui, peristiwa “penyerbuan” masjid di lingkungan pesantren Al-Jauhar, Kras, Kanigoro yang diasuh H Jauhari itu dijadikan bara pengobar dendam memperhadapkan PKI dan organisasi-organisasi Islam hingga di struktur paling bawah, yakni desa. Cerita Kanigoro dikipas sedemikian-demikian hingga mencapai titik didih yang tak terbayangkan menjadikan seorang Muslim tak ubahnya algojo-algojo yang datang dari palung gelap Kelud untuk membantai saudara sekampungnya, sekotanya untuk sebuah misi yang “direstui” Tuhan.
Di senja yang perlahan rebah itu saya mengambil air wudhu, mendirikan sembahyang dan tetirah sejenak. Tak seorang pun dalam masjid itu. Mungkin ke tegalan atau rehat menyiapkan buka puasa terakhir. Dalam kesendirian di masjid di cat warna biru pupus itu ingatan tentang Kanigoro berkelebatan keluar menggarami kelamnya masa silam yang tak ingin diingat kembali. Yang teringat jelas di masjid, PKI dan ormas-ormas pemuda-pelajarnya yang mengamuk, memasuki masjid subuh-subuh, membubarkan mental training yang diikuti sekira 127 kader PII se Jawa Timur. Training yang mestinya dihelat dari tanggal 9 hingga 17 Januari 1965 itu terpaksa dihentikan pada 13 Januari yang bertepatan dengan 10 Ramadhan.
Kanigoro jika dilihat dari segala aspek adalah isu yang paling basah dieksploitasi. Terutama sekali untuk menggerakkan dendam. Semua unsur-unsur pembakarnya jelas tersedia: agama (PII), ateis (PKI dan ormas-ormasnya), masjid (rumah suci), Al-Quran (kitab suci).
Bayangkan saja jika ada scene cerita orang-orang ateis subuh-subuh mengamuk dalam masjid tanpa melepaskan alas kaki, membubarkan barisan muslimin yang sedang menegakkan salat subuh, menganiaya imam salat dan menodongkan arit di leher kiai, dan mengobrak-abrik kitab suci di almari tua dan memasukannya dalam karung serta selanjutnya menghamburkannya di halaman masjid. Bayangkan jika cerita itu yang tersebar di seantero Kota Kediri lalu melintas menjadi isu panas di Provinsi Jawa Timur. Bayangkan bagaimana amarah mendidih melihat perilaku orang-orang komunis itu sehingga ketika mereka digorok semuanya perbuatan kotor mereka belum termaafkan.
Pembayangan-pembayangan itu kemudian didramatisasi dengan luar biasa oleh Arifin C Noer saat membuka film paling monumentalnya, “Pengkhianatan G 30 S/PKI”. Di masjid di samping Pabrik Gula Ngadirejo itu, melela kembali adegan dalam remang di masjid dengan diiringi score yang menggidikkan bulu kuduk. Segerembol massa memasuki masjid tanpa perlawanan. Menembaki jemaah yang salat. Sabit-sabit berkelebat membabat kader-kader PII yang sedang khusyuk mendengarkan lantunan imam membaca surah-surah. Dengan arit juga, gerombolan itu memporak-porandakan kitab suci dalam lemari kayu.
Drama film pembuka yang sangat kuat itu diperkenalkan tentara kepada saya sewaktu kelas 5 SD. Saat itu kami diangkut dengan sebuah truk penuh ke bioskop di desa tetangga untuk menyaksikan film horror penuh darah ini. Scene Kanigoro, sejak saat itu, tak pernah menguap dari memori. Kanigoro adalah kata kunci yang tak pernah tercerabut saat mendengar frase “PKI”. Kelamnya memori tentang frase “Kanigoro” dan “PKI” itu bertemu dengan PII yang memasaknya menjadi dendam yang membatu.
Sejak 1993 hingga 2007 saya ternakkan kekelaman itu sebelum saya menemukan cerita pembanding yang menawar racun kejam yang disebar film Arifin C Noer dan buku kesaksian Anis Abiyoso. Saat dalam proses penulisan buku “Lekra Tak Membakar Buku”, kliping Harian Rakjat bulan Januari 1965 perlahan-lahan membangunkan dan membisikkan soal lain dari ingatan selama ini yang terpacak di kerak kesadaran tentang “Kanigoro”.
Dua kliping buram dari Harian Rakjat edisi 11 dan 13 Februari 1965 milik PKI itu, narasi lain tentang “Peristiwa Kanigoro” ditampilkan. Baca kutipannya:
Team PB Front Nasional jang terdiri dari Major Said Pratalikusuma dan Hartojo dengan dibantu anggota pengurus daerah F.N. Djawa Timur ketika mengadakan penindjauan on the spot kedaerah Kanigoro, Kras, memperoleh tjukup bukti, bahwa antara BTI dan Pemuda Rakjat disatu pihak dan NU serta GP Ansor dilain pihak, tidak ada perasaan apa2 bertalian dengan terdjadinja peristiwa Kanigoro.
Dinjatakan oleh anggota team PB FN, bahwa peristiwa Kanigoro sudah dapat diatasi karena kesadaran dan kewaspadaan Rakjat untuk melawan setiap gerakan kontra-revolusi. Di Mental Training Kader PII di Kanogoro, Kras, didaerah Kediri pada waktu itu disinjalir adanja gerakan kontra-revolusi jang dilakukan anggota2 bekas partai terlarang.Major Said Pratalikusuma dalam pertemuan dengan para wartawan Surabaja mengemukakan setjara kronologis mengenai kedjadian2 sebelum dan sesudah terjadinja peristiwa Kanigoro dimana dinjatakan bahwa pada Maret 1964 jl. Partai NU Kras dalam statemennja telah melarang Samelan, bekas anggota partai terlarang [Masjumi] untuk melakukan pengadjian2. Pernjataan serupa telah dikeluarkan djuga oleh Panitia Mental Training Kader PII di Kras pada tgl. 12 Djan. jl. jaitu sehari sebelum terdjadinja penggropjokan.
Mengenai penggeropjokan jg dilakukan oleh anggota2 BTI dan Pemuda Rakjat itu ialah karena alasan2 tersebut diatas, jaitu di Mental Training PII di Kanigoro, Kras, terdapat unsur jang dapat membahajakan revolusi dan membahajakan persatuan nasional revolusioner berporoskan Nasakom….
Dalam memberikan keterangan kepada para wartawan itu Team PB FN djuga menjanggah pemberitaan sementara suratkabar jang menjatakan, bahwa dalam peristiwa Kanigoro telah di-indjak2 Kitab Sutji Al-Quran. Dengan tandas dikatakan ,,itu tidak benar”. Harian Rakjat, 11 Februari 1965* * *Ada pula kampanje jang untuk waktu tjukup lama di-sebar2kan orang: ,,anggota PKI meng-indjak2 Al Qur’an”. Tema ini sadjapun sudah menundjukkan, bahwa maksud sipembuat kampanje adalah untuk memainkan sentimen2 rendah massa jang terbelakang.Sekarang tak kurang dari team FN [Front Nasional] dibawah pimpinan Major Said sendiri jang menjangkal kampanje itu. Tidak ada sama sekali kedjadian sematjam itu, malahan, jang ada adalah kongkalingkong kaum Masjumi untuk memetjahbelah FN, chususnja antara PKI dan NU. Harian Rakjat, 13 Februari 1965
Dua hal yang langsung dibantah PKI atas “penggeropjokan” Kanigoro itu. Pertama, “penggeropjokan” itu tak dilambari oleh semangat memusuhi agama Islam, tapi semata karena soal politik; bahwa “pada Maret 1964 jl. Partai NU Kras dalam statemennja telah melarang Samelan, bekas anggota partai terlarang [Masjumi] untuk melakukan pengadjian2”. Oleh Pemuda Rakjat dan BTI, tokoh bernama Saelan itu ditengarai hadir. Sekaligus mereka saat itu meminta tanggung jawab panitia yang sebelumnya sudah berjanji tak menghadirkan Saelan.
Kedua, PKI mengeluarkan keterangan resmi bersama Front Nasional Jawa Timur di mana ada unsur NU di dalamnya bahwa tak ada “anggota PKI meng-indjak2 Al Qur’an”.
Data tambahan lain yang dihimpun Sari Emingahayu (2007) menunjukkan bahwa Kanigoro adalah basis merah. Secara statistik saja, pada pemilu 1955 di Kediri PKI memperoleh suara 31,2 % (15 kursi), disusul NU 20% (6 kursi), PNI 19,5% (6 kursi), Masyumi 11,3 (5 kursi), PSII (1 kursi), dan Parkindo (1 kursi).
Tapi mengapa PII “nekad” mengadakan training berskala besar di sini. Belum lagi sudah jadi rahasia umum bahwa PII adalah famili dekat Masjumi yang dibubarkan pemerintah karena keterlibatannya di sejumlah “pemberontakan” di Sumatera. Isu yang lain yang meresahkan juga muncul bahwa elite-elite PII, baik di Pengurus Besar (PB) maupun Pengurus Wilayah (PW), mendapat perintah dari Jenderal Nasution agar mengintensifkan kegiatan-kegiatan Mantra di daerah-daerah basis PKI.
Artinya yang bisa dibaca adalah ini bagian dari kejahilan yang memancing amarah kader-kader PKI untuk masuk dalam perangkap yang di kemudian hari bisa dipukul sampai kelenger.
Namun sayang, bantahan seperti ini menguap begitu saja dan tak pernah berguna di mahkamah sejarah di mana PKI kalah segala-galanya.
Dan di rembang senja yang rebah itu, saat saya duduk di beranda masjid di samping Pabrik Gula Ngadirejo itu, sesungguhnya adalah cara saya melakukan penyembuhan kenangan yang gelap tentang “Kanigoro”, “PKI”, “PII”.
Saya berharap, setiap melewati Kanigoro memori saya tak lagi dibekap dan dikejar hantu blawuk tentang peristiwa yang sesungguhnya “kecil” yang dijadikan dalih untuk menyembelih sesama sebagai bangsa, yakni bangsa Jawa dalam ruang besar bernama Indonesia.
* Seri catatan mudik #syawalitumerah
Muhidin M Dahlan
0 komentar:
Posting Komentar