20/11/2012
Oleh Yoseph Yapi Taum, Dosen Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Editor: Putu Oka
Sukanta; Tebal: 315 h.
Pengantar
KARENA judul buku ini adalah Memecah
Pembisuan, saya ingin mengawali ulasan ini dengan menjelaskan istilah
serupa, yaitu Breaking the Silence. Breaking the Silence (BtS)
adalah sebuah LSM Israel yang terletak di wilayah Barat Yerusalem, didirikan
tahun 2004 oleh veteran tentara Angkatan Bersenjata Israel.[1] Kegiatan
mereka antara lain mengumpulkan dan mempublikasikan kesaksian-kesaksian dan
pengalaman para tentara dalam tugas dan operasi mereka di wilayah pendudukan:
Tepi Barat, Jalur Gaza, dan wilayah Timur Yerusalem selama Intifada Kedua. Misi
LSM ini adalah ‘memecah pembisuan’ dalam diri tentara-tentara Angkatan
Bersenjata Israel yang sudah kembali dalam kehidupan sipil di Israel dan
‘mengungkap adanya ganjalan yang mereka rasakan dalam menghadapi realitas di
wilayah pendudukan dan pembisuan mereka di rumah.’
Sejak tahun 2004, LSM ini telah menerbitkan serial bunga
rampai berjudul Kesaksian Para Tentara. Serial ini memuat ratusan
kesaksian ‘dari para penjaga perbatasan, pasukan keamanan, dan mereka yang
bertugas di wilayah pendudukan.’ Tujuan penerbitan buku itu adalah ‘memaksa
masyarakat Israel melihat realitas yang sesungguhnya’ dan menyadari adanya
‘pelecehan, pengrusakan, dan penghancuran harta benda milik warga Palestina.’
Sebelumnya mereka dibisukan, seolah-olah perbuatan itu wajar dilakukan dan
pembicaraan mengenai tindakan tentara Israel di wilayah pendudukan adalah tabu.
Tentu saja organisasi ini dimusuhi pemerintah Israel. Tekanan pemerintah Israel
semakin kuat ketika LSM ini mengungkap kesaksian tentara Israel yang ikut dalam
pemboman Gaza tahun 2009.
Contoh kesaksian (1). ‘Saya tidak tahu apa yang dilakukan
Hamas di kota Hebron, tetapi ketika terjadi ketegangan di Hebron, saya tidak
pernah menyaksikan satu pun orang Arab yang mengancam keselamatan orang Yahudi.
Maksudku, saya tidak pernah melihat adanya kekerasan yang dilakukan dari pihak
orang Arab, atau tindakan mereka yang mengganggu orang Yahudi. Saya pikir tidak
ada alasan apapun bagi orang Israel untuk takut. Orang Yahudilah yang selalu
mengganggu dan membuat marah orang Arab. Mereka membuang sampah kotor ke
halaman rumah orang Arab. Jika ada seorang anak Arab berlari mendekati tiga
anak Yahudi, para tentara Israel akan memukul atau menghinanya. Ada begitu
banyak pelecehan yang dilakukan terhadap orang Arab’ (Breaking the Silence:
Soldiers’ Testimonies from Hebron 2008-2010. Booklet. Printed in
Jerusalem, 2011).
Contoh kesaksian (2). Dalam serangan ke Gaza, ada 54
kesaksian tentara Israel yang mengungkap tentang penggunaan gas fosfor yang
diarahkan ke pemukiman penduduk, pembunuhan korban-korban yang tidak bersalah,
penghancuran ratusan rumah dan masjid tanpa tujuan dan alasan militer. Dalam
serangan tersebut, taktik ‘Neighbor Procedure’ juga dipakai: penduduk sipil
digunakan sebagai tameng dan dipaksa memasuki gedung-gedung bersama para
tentara (Breaking the Silence: Soldiers’
Testimonies from Operation Cast Lead, Gaza 2009. Booklet. Printed in
Jerusalem, 2010).
Hal yang ingin saya sampaikan dengan cerita-cerita ini
bahwa pelaku pembantaian (perpetrators)sebenarnya juga merupakan korban (victims) dari
sebuah sistem yang dibangun. Ketika pelaku kejahatan ‘diharuskan’ menjalankan
perintah atasannya untuk melecehkan, merusak, membunuh, memperkosa, ataupun
melakukan kejahatan terhadap korban yang dipandang sebagai liyan, selalu
ada sisi kemanusiaan yang tidak bisa dibungkam. Bagi saya, ‘hukum’ ini
merupakan sebuah kebenaran abadi.[2] Dalam
sejarah pembantaian tentara Nazi terhadap orang-orang Yahudi, selalu ada orang
seperti Schindler yang berjuang dengan berbagai resiko menyelamatkan sebanyak
mungkin orang-orang Yahudi.
Perspektif semacam ini sangat jarang – untuk mengatakan
tidak pernah terungkap dalam sejarah Tragedi 1965, kecuali di dalam karya-karya
sastra Indonesia yang terbit tahun 1966-1970.[3] Yang
ada dalam sejarah Tragedi 1965 adalah ‘penyesalan’ pelaku, seperti Sarwo Edhie
Wibowo yang disampaikan Ilham Aidit. Buku Memecah Pembisuan: Tuturan
Penyintas Tragedi ’65-66, yang dieditori oleh Putu Oka Sukanta ini memuat
sebuah kisah ‘pertobatan’ itu. Bersama empat belas tulisan lainnnya yang
diungkap dari perspektif korban Tragedi 1965, buku testomini semacam ini tentu
saja sangat berharga untuk mengungkap tragedi bangsa Indonesia yang begitu
dahsyat, yang saat ini cenderung diabaikan begitu saja.
Pertobatan: Pelaku
sebagai Korban
Buku ini memberi kesempatan kepada seorang pelaku
pembunuhan (eksekutor), seorang pensiunan polisi bernama Benny, untuk
mengungkapkan pikiran, perasaan, dan pengalamannya dalam pembantaian Partai
Komunis Indonesia (PKI) di Pulau Timor, Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Dalam feature berjudul ‘Benny: Mencari Penyembuhan’ tulisan Nina
Junita (h. 25-44), ada beberapa pokok kesaksian yang layak kita cermati.
Pada awalnya Benny ‘masih sangat yakin bahwa pembunuhan
terhadap para anggota PKI adalah sesuatu yang harus dilakukan dan benar
adanya.’ Namun, ia kemudian meragukan, apakah pembunuhan itu dapat dibenarkan?
Menurut Benny, kesalahan yang jelas-jelas dilakukan oleh
aparat adalah: pertama, perintah dari Jakarta untuk membunuh semua
tahanan di penjara di SoE (pembunuhan tahap pertama: kasus pencurian,
perkelahian, pembunuhan). Tahanan ini tidak ada sangkut pautnya sama sekali
dengan PKI; kedua,pembunuhan tahap kedua dan ketiga: sekalipun ada
pemeriksaan, tetapi dasarnya tetap tidak jelas, yaitu hanya karena seseorang
menjadi anggota PKI dan berafiliasi pada ormas PKI seperti Barisan Tani
Indonesia (BTI), Pemuda Rakyat, dan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Benny
bersaksi bahwa masyarakat penerima bantuan BTI (seperti jagung, beras, gula
pasir, pakaian, cangkul, benang) terdesak oleh kelaparan di Pulau Timor akibat
gagal tanam dan gagal panen.
Mereka tidak peduli dengan ideologi di balik pemberian
bantuan itu. Bantuan seperti itu pun diberikan oleh Gereja Masehi Indonesia
Timur.
Tetapi pada saat itu, semua orang percaya bahwa PKI-lah
yang membunuh para jendral di Lubang Buaya. Tidak ada orang yang berani
mempertanyakan kebenaran keyakinan itu. Benny bersaksi bahwa pembunuhan itu
perintah Soeharto. ‘Soeharto menyuruh kami membunuh orang-orang PKI itu. Pak
Kapolres memerintahkannya pada kami. Saat itu tak ada orang yang berani
mempertanyakan keyakinan itu. Bahkan mengucapkan kata kasihan kepada korban
dianggap bersimpati pada PKI dan bisa ikut dibunuh’ (hlm. 34).
Masyarakat diyakinkan bahwa PKI adalah partai yang
berbahaya karena (1) mengkampanyekan land-reform yang melawan
tuan-tuan tanah; (2) mereka telah menggali lubang dan berencana membunuh
polisi, tentara, dan bupati; dan (3) mereka adalah kaum ateis yang tidak
mengenal Tuhan, karena ideologi mereka komunis. Benny tidak percaya pada isu
tersebut karena: pertama, bagaimana mungkin PKI akan menyerang
mereka karena mereka tidak punya senjata sama sekali; dan kedua, orang-orang
yang dibunuh itu sangat khusuk berdoa.
Dengan jelas, Benny merekonstruksi pola pembantaian
terhadap orang-orang PKI yang mereka lakukan sebagai berikut. (1) Orang-orang
yang dicurigai sebagai anggota PKI dijemput dari rumah mereka dan ditahan; (2)
Tentara (sebanyak 30 orang, kebanyakan suku Jawa, datang dari Kupang)
menentukan giliran siapa yang dibunuh terlebih dahulu; (3) Para tahanan
diperintahkan menggali lubang pemakaman mereka sendiri di siang hari; (4)
Sebelum dibawa ke tempat eksekusi, para tahanan disiksa hingga babak belur,
tangan mereka diikat dan disuruh naik truk; (5)
Sebelum tiba di tempat eksekusi, mata mereka ditutup; (6)
Tiba di lokasi eksekusi, mereka disuruh menghadap regu tembak membelakangi
lubang; (7) Orang-orang PKI diberondong peluru. Jika setelah ditembak masih
belum mati, mereka ditusuk dengan sangkur dan didorong masuk ke dalam lubang;
(8) Lubang ditutup dan regu penembak meninggalkan tempat itu (hlm. 35-36).
Selama dua tahun, 1966-1967, Benny mengaku telah membunuh
17 orang PKI. Hal itu hampir membuatnya gila (mei nawa, pusing darah).
Seorang temannya, Baltazar, dari Flores benar-benar menjadi gila dan berhenti
dari dinas kepolisian.
Kisah selanjutnya adalah menyeruaknya rasa bersalah,
pertobatan, dan pemulihan batin Benny. Tiga tahun setelah menikah, mereka tak
dikaruniai anak. Pada saat yang sama, perilaku Benny menjadi sangat
temperamental, rasa bersalah karena telah membantai manusia layaknya membantai
binatang selalu menghantuinya. Atas saran beberapa orang, Benny menjalankan
ritus penyembuhan adat dan agama. Ketika pada tahun ketiga lahir putri sulung
mereka,Maria, Benny percaya bahwa Tuhan telah mengampuni dosa-dosanya.
Sebuah fenomena lain yang muncul, yang barangkali akan
menemukan momentumnya adalah dendam dan pembalasan dari pihak korban. Dalam
kisah Benny, seorang anggota keluarga korban mendatangi rumah Benny dan
menudingnya sebagai pembunuh anggota keluarganya. Hal yang menarik dari kisah
ini adalah visi dan semangat anak-anak Benny (seluruhnya berjumlah tujuh
orang), yang berusaha untuk mengenal dan berdamai dengan keluarga korban: para
istri dan anak-anak orang PKI yang ditinggalkan. Mereka bahkan merekam
cerita-cerita keluarga korban ini tentang penderitaan dan kekuatan mereka dalam
bertahan hidup, sebagai bagian dari upaya untuk penyembuhan luka batin dan
trauma kolektif.
Beberapa Skenario
Soeharto yang Terbantahkan
Sejak berakhirnya rezim totaliter Orde Baru di tahun
1998, kisah-kisah mengerikan yang dialami korban Tragedi 1965 mulai
dipublikasikan.
Beberapa di antaranya adalah: Menembus Tirai Asap:
Kesaksian Tahanan Politik 1965 karya Haryo Sasongko (2003); Kesaksian
Tapol Orde Baru: Guru, Seniman, dan Prajurit Tjakra karya Suyatno Prayitno
(2003); Tahun yang Tak Berakhir: Memahami Pengalaman Korban 65,
Esai-esai Sejarah Lisan karya John Rossa, Ayu Ratih, dan Hilmar Farid
(2004); Memoar Pulau Buru karya Hersri Setiawan (2004); Diburu
di Pulau Buru karya Hersri Setiawan (2004); Di-PKI-kan: Tragedi 1965
dan Kaum Nasrani di Indonesia Timur karya R.A.F Webb dan Steven Farram
(2005), Dari Kalong sampai Pulau Buru karya Adrianus Gumelar
Demokrasno (2006); Kidung pada Korban: Dari Tutur Sepuluh Narasumber
Eks-Tapol karya Hersri Setiawan (2006); Menyeberangi Sungai Air Mata:
Kisah Tragis Tapol ’65 dan Upaya Rekonsiliasi karya Antonius Sumarwan
(2007); dan Memecah Pembisuan: Tuturan Penyintas Tragedi ’65-66 karya
Putu Oka Sukanta (2011). Daftar ini agaknya masih akan terus bertambah.[4]
Membaca dan mempelajari buku-buku kesaksian tersebut,
tampak jelas bahwa skenario, grand design atau big picture yang
dibuat di Jakarta oleh rezim Orde Baru mengenai G30S, seperti yang terungkap
dalam Buku Putih Sekretariat Negara RI (1994), Gerakan 30 September
Pemberontakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi, dan
Penumpasannya (Jakarta: PT Dana Bhakti Wakaf), tidak terbukti.
Disebutkan bahwa Gerakan 30 September merupakan
sebuah gerakan massal. Gerakan itu tidak hanya dilakukan di Jakarta (Lubang
Buaya), melainkan secara serempak direncanakan, diketahui, dan dilaksanakan di
berbagai daerah di Indonesia. Dalam Bab IV ‘Persiapan Perebutan
Kekuasaan/Pemberontakan Partai Komunis Indonesia Melalui Gerakan 30 September,’
dijelaskan persiapan ‘perebutan kekuasaan’ yang dilaksanakan di Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Timur, DIY, Sumatra Barat, Sumatra Utara, Riau, Bali, dan NTT.
Dalam Bab V ‘Pelaksanaan Aksi Perebutan Kekuasaan/Pemberontakan Partai Komunis
Indonesia Melalui Gerakan 30 September,’ diungkap pelaksanaan G30S di berbagai
wilayah di Indonesia (seperti disebutkan di atas, ditambah daerah Kalimantan
Selatan dan daerah-daerah lain).
Sudah banyak sekali kesaksian yang telah beredar dan
membuktikan bahwa gambaran-gambaran tersebut tidak benar serta sangat tidak
beralasan. Perhatikan beberapa kesaksian berikut ini.
(1) Tentang dokumen PKI dan senjata yang sudah
disebar ke daerah-daerah
Asman Yodjodolo (ketua Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia
Sulawesi Tengah, yang memiliki sekitar 60.000 anggota): mengaku dipaksa
menandatangani secarik pengakuan ‘buatan’ yang menyatakan bahwa ia menerima
beberapa senjata untuk dipergunakan sewaktu-waktu. Jika menolak mengakuinya,
dia akan menerima siksaan bertubi-tubi.[5]
Lambatu Bin Lanasi (Buton, Sulawesi Tenggara): selalu
ditanyakan tentang dokumen G30S PKI yang konon sudah tersebar ke Buton.
Dituduhkan juga bahwa ada sebuah Kapal TNI AL yang singgah dan menurunkan 500
pucuk senjata untuk melakukan kudeta di kawasan Buton. Lambatu dan
tahanan-tahanan lainnya membantah dengan keras bahwa dia mengetahui dokumen dan
senjata-senjata itu. Akibatnya sangat jelas: mereka mengalami siksaan di luar
peri kemanusiaan yang adil dan beradab (hlm. 71-72).
Wardik (Medan): ditahan, disiksa, dan dipaksa untuk
mengaku bahwa dia menyembunyikan senjata PKI dalam jumlah banyak. Bukan hanya
Wardik yang disiksa tetapi juga kakak perempuannya. Ayah Wardik bahkan dibunuh
tanpa alasan yang jelas (hlm. 294-296).
(2) Tentang lubang-lubang yang sudah disiapkan
di daerah
PKI di daerah-daerah disebutkan telah menggali lubang dan berencana membunuh
polisi, tentara, dan bupati. Benny, pensiunan polisi yang menjadi salah satu
algojo dalam pembantaian PKI di SoE, NTT, tidak melihat kemungkinan itu karena
dia tahu bahwa PKI tidak memiliki senjata (hlm. 33). Adapun Lambatu Bin Lanasi
(Buton, Sulawesi Tenggara) membantah tuduhan bahwa pengurus PKI telah
menyiapkan lubang-lubang untuk mengubur para korbannya (hlm. 71).
Penutup
Dalam delapan tahun, BtS Israel telah mempublikasikan
ratusan testimoni mengenai perlakuan di luar perikemanusiaan tentara Israel
terhadap warga Palestina. Dalam 47 tahun pasca-Tragedi 65, testimoni korban
Tragedi 1965 belum mencapai ratusan. Buku ini menyumbang 15 buah testimoni para
penyintas yang tinggal di Medan, Palu, Kendari, Yogyakarta, Jakarta, Bali,
Kupang, dan Pulau Sabu. Semakin banyak kesaksian yang membuktikan bahwa
pembantaian pasca-Tragedi 1965 tidak hanya terjadi di Jawa dan Bali saja,
melainkan hampir merata di seluruh pelosok tanah air, termasuk daerah pelosok
yang sangat terisolasi.
Mengingat Tragedi 1965 merupakan salah satu Tragedi
terdahsyat di dunia pada abad ke-20, kita membutuhkan lebih banyak lagi
testimoni untuk menghalau lupa yang terlalu mudah menyerang bangsa kita.
Tragedi 1965 tidak boleh dilupakan. Ia perlu terus direnungkan agar kita
senantiasa mendapat pelajaran darinya untuk tidak mengulanginya lagi di masa
depan.
Salah satu model publikasi yang belum banyak dilakukan di
Indonesia adalah menuliskan berbagai macam kesaksian tentang berbagai tragedi
yang terjadi dalam bentuk cerita anak-anak dengan ilustrasi yang menarik untuk
dikonsumsi anak-anak. Berbagai contoh penerbitan seperti ini mudah kita
temukan. Untuk tragedi Holocaust, terdapat buku anak-anak seperti: The
Underground Reporter: Kisah Nyata (Kathy Kacer), Hanna’s Suitcase (Karen
Levine). Dalam tragedi Pol Pot Khmer Merah, buku-buku seperti First They
Killed My Father: A Daughter of Cambodia Remembers (Luong Ung), When
Broken Glass Floats: Growing Up Under the Khmer Rouge (Chanrithy Him),
dan Stay Alive My Son (Pin Yathay), yang benar-benar ditujukan untuk
dikonsumsi anak-anak.
Kisah-kisah nyata yang dialami anak-anak pada zamannya
dapat dituturkan secara mengagumkan sekaligus mengharukan. Dengan demikian,
anak-anak sekarang dapat mengetahui perjuangan anak-anak dan pemuda Indonesia
dalam masa-masa gelap (dark past). Dengan memahami berbagai tragedi bangsa
yang besar, yang membawa korban ribuan nyawa dan harta benda, anak-anak
sekarang dapat tumbuh dengan sense of history dan membangun kesadaran
serta penghormatan akan hak-hak dasarnya sebagai manusia.
——————————————
Catatan Redaksi:
Review ini sebelumnya merupakan makalah yang dibacakan dalam acara Peluncuran
Buku Memecah Pembisuan: Tuturan Penyintas Tragedi ’65-66, (Putu Oka
Sukanta, Ed, 2011 Jakarta: Lembaga Kreativitas Kemanusiaan), tanggal 29 Januari
2012.
Penulis saat
ini tengah melakukan studi tentang ‘Representasi Tragedi 1965: Sebuah
Kajian New Historicism atas Teks-teks Sastra Tahun 1966-1998.’ Dapat
dihubungi di email: khmer_rouge2000@yahoo.com).
[1] Eksekutif
Direktor BtS adalah Yehuda Shaul dan Direkturnya adalah Mikhael Manekin. BtS
muncul tahun 2004, diawali dengan pameran foto tiga personel tentara (Avichai
Sharon, Yehuda Shaul, dan Noam Chayut) yang pernah bertugas di Hebron. Ketiga
personel ini berkeinginan untuk membuka mata orang Israel tentang apa yang
sesungguhnya terjadi di lapangan. Pameran ini menarik minat banyak orang untuk
bergabung dan terbentuklah LSM BtS. (lihat Breaking the Silence: Woman’s
Soldiers’ Testimonies, Booklet, Printed in Jerusalem, 2009. Breaking the
Silence: Soldiers’ Testimonies from Hebron 2008-2010. Booklet. Printed in
Jerusalem, 2011. (Breaking the Silence: Soldiers’
Testimonies from Operation Cast Lead, Gaza 2009. Booklet. Printed in
Jerusalem, 2010). Buku-buku ini tersedia secara online di: http://www.breakingthesilence.org.il.
[2] Saya
tidak percaya pepatah yang menyebut “homo homini lupus” (manusia
cenderung menjadi serigala yang memangsa manusia lainnya). Istilah itu hanya
benar pada level hasrat kekuasaan tetapi bukan pada naluri purba
insani.
[3] Lihat
cerpen Di Titik Kulminasi karya Satyagraha Hoerip, Perempuan dan
Anak-anaknya karya Gerson Poyk, Ancaman karya Ugati.
Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk oleh Ahmad Tohari juga memperlihatkan
simpati dan tindakan tokoh Rasus yang menyelamatkan Srintil. Dalam
permenungannya tentang fungsi dan peranan tentara, Rasus memutuskan untuk
‘keluar’ dari dinas ketentaraan karena tentara Indonesia di tahun 1960-an
tidaklah seperti yang diidealkan masyarakat Jawa: serupa Gatot Kaca.
[4] Selain
itu, telah hadir pula kesaksian-kesaksian dalam bentuk VCD.
[5] Asman
memberi kesaksian bahwa tahun 1965, PKI di Sulawesi Tengah sangat maju karena
pimpinannya hebat, serba bisa.
Sumber: SKP-HAM