30 Nov 2012
- Launching Buku Memori-memori Terlarang
Bagi kita sekarang tidak penting lagi menelusuri siapa
dalang. Tapi yang penting adalah siapa yang menjadi korban. Tentu saja para
jendral adalah korban. Tapi harus diingat ada korban kemanusiaan setelah
Tragedi '65. Korban ini jauh lebih banyak dan sadis
Hal tersebut disampaikan Ketua PGI, Pdt. DR. A.A. Yewangoe dalam acara Launching Buku Memori-Memori Terlarang – Perempuan Korban & Penyintas Tragedi ’65 di NTT, beberapa pekan lalu di Fakultas Teologi, Universitas Kristen Artha Wacana Kupang. Menurutnya, Versi Orde Baru hanya beberapa ribu tapi versi lain hampir setengah juta. Oleh karena itu keprihatinan kita harus kepada manusia. Buka pro atau kontra tapi manusia yang utama.
Pdt. Yewangoe mengatakan, sejak PKI dilarang saat Supersemar dan ada penangkapan, maka ada penggolongan orang menjadi A/B/C (dibunuh, dibuang atau dilepas). Refleksi mengenai ini pernah ditulis oleh Pramodya Ananta Toer. Korban ini akan mengalami pembunuhan karakter, tidak hanya dia tetapi semua keluarganya. Ini dilakukan oleh Orde Baru.
Karena itu menurutnya, stigma ini yang harus dihapuskan. Ia mengaku senang bahwa presiden SBY mengatakan bahwa mau mengatakan permintaan maaf. “Saya termasuk yang diundang untuk pertimbangan presiden untuk meminta maaf. Kami sangat senang. Tapi sayang sekali ada ormas lain yang tidak setuju. Tapi marilah kita berjuang agar ia dapat meminta maaf, karena dapat menyembuhkan luka sejarah” tutur Pdt. Yewangoe.
Masih dalam kesempatan yang sama, Pdt. Yewangoe menuturkan, presiden Gus Dur pada masa jabatannya pernah berusaha menghapus Tap MPR berkaitan dengan PKI karena alasan kemanusiaan. Tetapi ditolak dan ia malah dianggap sebagai pendukung PKI. Apakah dengan demikian ia membenarkan PKI? Tidak! Ia memaafkan tetapi tidak melupakan. Ia berusaha rekonsiliasi tetapi berusaha agar ini tidak terulang lagi.
Ia mencontohkan seperti yang terjadi di Afrika selatan, di mana Nelson Mandela menunjukan bagaimana ia memberi inspirasi bagi pemulihan suatu bangsa. Kita harus melepaskan diri dari beban-beban sejarah. Kalau kita terus ada dalam beban sejarah, maka kita tidak akan maju. Tapi saya yakin, kalian mampu menganalisa sejarah dan maju ke depan.
Mengenai buku menurut Pdt. Yewangoe ini adalah tindakan melukai diri sendiri agar ada perubahan. Banyak cerita yang mengharukan. Banyak kali gereja sendiri (GMIT dan GKS) tidak memperhatikan. Situasi waktu itu membuat gereja tidak mampu menganalisa dengan baik. Kita menyayangkan ketika tragedi ’65 gereja tidak mampu menjalankan tugas pastoralnya. Ini adalah self critic. Pada saat tragedi ada pendeta di Sumba tetapi tidak dapat menjalankan tugasnya. Tapi sekarang semuanya sudah terjadi dan buku ini sudah ada. Marilah kita belajar untuk maju ke depan.
Sementara itu, Pdt. DR. Nicolas Woly dalam tanggapannya dikatakan, apa yang dihasilkan oleh JPIT ini, merupakan satu bentuk “bijaksana”. Mengapa? Karena menurutnya, melalui belajar kita akan terlebih dahulu menjadi bijaksana.
Dan juga menurutnya dengan buku ini, JPIT telah ikut serta dalam parade “masuk ke kekekalan”. Buku ini akan dibaca dalam rentang waktu lintas generasi. Buku ini akan menambah lagi deretan buku-buku yang dibutuhkan masyarakat dunia beradab yang salah satu agenda utamanya belajar membaca, karena “buku-buku adalah universitas keseharian kita”
Buku ini disusun oleh Jaringan Perempuan Indonesia Timur (JPIT) bekerjasama dengan Fakultas Teologi Universitas Kristen ARTHA WACANA, ICTIJ dan Kerk in Actie ini terdiri dari 8 Bab, yakni Memori-memori terlarang: Perempuan Korban dan Penyintas Tragedi '65 di NTT, SUMBA: * Korban Tragedi 1965 sebagai Orang Berdosa? (Sumba Barat), SABU: Penghancuran Perempuan Guru Sabu-Raijua oleh Negara, KOTA KUPANG : Peristiwa 1965 dan Aktivis Perempuan di Kota Kupang, KUPANG TIMUR : Ada Jurang di antara Kita: Kekerabatan, dan Peran Pastoral Gereja di Kupang Timur, TIMOR TENGAH SELATAN: Peristiwa 1965 dan Pergumulan Identitas Perempuan TTS, ALOR: Janda Melawan Ketidakadilan di Alor dan EPILOG: Mulai Dengan Korban: Makna Tragedi '65 untuk Teologi.
Buku yang diedit oleh Pdt. Dr. Mery Kolimon dan Lia Wetangterah ini, juga memuat gambar-gambar tempat pembantaian, kuburan massal, selain foto penjara dan rumah-rumah tempat penahanan.
0 komentar:
Posting Komentar