JANUARY 15, 2012
MENJEBOL PAGAR DPR 12 JANUARI 2012. “Biasanya pintu yang dirobohkan, kali ini pagar samping. Tetapi cukup menarik, bahwa setelah pagar bobol, massa tidak terus menerobos jauh ke dalam, karena dicegah oleh sejumlah pengatur gerakan, bukan karena halauan aparat keamanan”. (Foto download kompas.com)
AKSI unjuk rasa sebagai bagian gerakan ekstra
parlementer, adalah cara yang sah dalam demokrasi. Dulu kala, di tahun 1966 dan
1973-1974 aksi menyampaikan aspirasi itu lebih dikenal dalam terminologi
“demonstrasi” atau gerakan parlemen jalanan. Kehadiran parlemen jalanan
mengandung konotasi bahwa parlemen resmi di Gedung DPR tak lagi cukup dipercaya
atau tak lagi dianggap mampu mewakili aspirasi rakyat. Bahkan, kemungkinan
besar untuk sebagian besar DPR memang tak lagi mewakili kepentingan rakyat,
karena dalam kenyataan anggota-anggotanya lebih mewakili kepentingan pribadi
dan partainya.
Dalam situasi DPR makin tak dipercaya mewakili
kepentingan rakyat, khususnya seperti yang menjadi pengalaman pada tahun-tahun
terakhir ini, mekanisme unjuk rasa melalui cara ekstra parlementer menjadi
pantas sebagai pilihan utama masyarakat untuk menyampaikan kritik dan
keresahannya. Namun, pilihan utama itu bukannya tanpa risiko, karena dengan
sedikit salah langkah –apalagi dibarengi salah persepsi– aksi unjuk rasa yang
sebenarnya sah menurut demokrasi dengan mudah berubah menjadi anarki.
Unjuk rasa yang anarkis, akan menciptakan antipati,
padahal tujuan utama suatu unjuk rasa sebenarnya adalah untuk mencari
perhatian, simpati dan dukungan. Kecuali bila suatu gerakan memang didisain
untuk menciptakan chaos dengan suatu tujuan politik tertentu –misalnya niat
menjatuhkan suatu rezim– melalui kamuflase unjuk rasa demokratis. Pun bisa
suatu gerakan ekstra parlementer bertujuan ideal dan digunakan karena tak ada
jalan lain, namun berhasil dibelokkan secara cerdik oleh pihak tertentu untuk
kepentingan khas. Bisa pula, suatu unjuk rasa berubah anarkis karena terpancing
dan terpicu oleh sikap arogan maupun cara-cara kekerasan yang digunakan aparat
negara ketika menghadapi aksi unjuk rasa tersebut.
Sebagaimana juga mungkinnya aksi kekerasan pihak aparat
terjadi justru karena terpancing oleh perilaku sejumlah pelaku unjuk rasa yang
sengaja dilakukan untuk menimbulkan amarah petugas keamanan. Keadaan kini sudah
cenderung serba campur aduk, karena tatkala aksi unjuk rasa sudah menjadi pula
bagian dari taktik politik, maka sudah sulit untuk memilah mana unjuk rasa yang
murni memperjuangkan kebenaran dan mana unjuk rasa yang bertendensi politik
praktis. Dalam situasi seperti sekarang ini, seringkali mayoritas masyarakat
bingung untuk menentukan dukungan.
HANYA sehari setelah terjadinya Peristiwa Gerakan 30
September 1965, masih pada 1 Oktober, sejumlah tokoh mahasiswa Bandung dengan
cepat menyatakan penolakan terhadap Dewan Revolusi yang dipimpin Letnan Kolonel
Untung. Pada 5 Oktober, saat di Jakarta berlangsung upacara pemakaman 6
jenderal dan 1 perwira pertama korban pembunuhan Gerakan 30 September 1965,
mahasiswa Bandung atas prakarsa tokoh-tokoh mahasiswa seperti Alex Rumondor,
Rahman Tolleng, Sugeng Sarjadi dan beberapa mahasiswa lainnya melakukan apel
berkabung. Pada siang hari, apel dilanjutkan unjuk rasa keliling kota, yang
berakhir dengan aksi pendudukan sebuah kantor suratkabar pro PKI dan
kantor-kantor milik PKI dan ormas onderbouwnya. Dalam aksi-aksi itu tak terjadi
kekerasan berdarah. Dua hari kemudian, 7 Oktober, KAP Gestapu (Kesatuan Aksi
Pengganyangan Gerakan September Tigapuluh) melakukan aksi serupa di Jakarta,
juga tanpa kekerasan fisik yang berdarah. KAP Gestapu dipelopori pembentukannya
oleh dua tokoh dengan kombinasi latar belakang yang unik, yakni Harry Tjan
Silalahi eks tokoh PMKRI yang sudah menjadi fungsionaris Partai Katolik, dan
Subchan ZE tokoh muda Nahdlatul Ulama.
Tetapi setelah itu, dalam waktu yang hampir bersamaan, seperti
yang bisa dibaca dalam buku “Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966” (Rum Aly,
Penerbit Kata Hasta Pustaka, 2006) terjadi gelombang pembalasan terhadap PKI.
Pembalasan itu, “berbeda dengan apa yang dilakukan para mahasiswa dan
organisasi pemuda di perkotaan, justru ditujukan kepada sasaran manusia dalam
rangkaian kekerasan kemanusiaan melalui cara yang berdarah-darah”. “Berlangsung
secara horizontal, terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali, dilakukan oleh
sejumlah organisasi massa dalam kadar yang tinggi. Juga di beberapa propinsi
lain, meskipun dalam kadar sedikit lebih rendah seperti di Sumatera Utara dan
Sulawesi Selatan serta secara sporadis di wilayah tertentu di Jawa Barat. Bila
yang terjadi di kota-kota besar adalah tindakan fisik terhadap kantor-kantor
organisasi politik kiri, untuk melumpuhkan kegiatan, yang dilakukan oleh
pemuda, pelajar dan mahasiswa, masih bisa dimasukkan dalam kategori insiden
politik, maka yang terjadi di daerah-daerah adalah malapetaka sosiologis”.
Aksi-aksi mahasiswa, pemuda, pelajar dan kaum cendekiawan
dalam gerakan 1966 –khususnya sejak pencetusan Tritura 10 Januari 1966 sampai
10 Maret 1966– selalu dijaga sendiri oleh para peserta aksi parlemen jalanan,
untuk menarik simpati dan dukungan masyarakat, melalui cara dan argumentasi
menggunakan akal sehat. Apalagi ketika korban di kalangan mahasiswa jatuh
bertumbangan oleh peluru dan bayonet aparat kekuasaan.
Begitu pula
gerakan-gerakan mahasiswa 1973 sampai awal 1974. Gerakan-gerakan itu berhasil
mendapat simpati dan dukungan masyarakat. Menjadi pemandangan yang lazim,
setiap kali demonstran turun berbaris ke jalan menyampaikan tuntutan-tuntutan,
kaum ibu juga turun ke jalan dengan sukarela membagi-bagikan nasi bungkus dan
minuman kepada peserta demonstran. Dalam berbagai demonstrasi pada beberapa
tahun terakhir, ada juga pembagian nasi bungkus, yang kemudian ditambah dengan
pemberian amplop langsung atau melalui koordinator pengerah massa, sehingga
nuansa dan konotasinya menjadi samasekali berbeda. Gejala yang disebut terakhir
ini, terutama terkait dengan aksi unjuk rasa yang merupakan kontra demo yang
disponsori pendukung kelompok kekuasaan, atau demo-mendemo dalam hubungan
pilkada.
PARA senior pergerakan mahasiswa, seringkali memberi
saran, lebih gunakan otak daripada otot. Memang sedikit mengherankan kenapa,
para pengunjuk rasa pada sepuluh terakhir ini, termasuk mahasiswa, lebih sering
memilih cara penggunaan otot yang suka atau tidak suka pada akhirnya memberi
nuansa kekerasan. Beberapa aktivis mahasiswa mencoba menjelaskan, bahwa
seringkali kekerasan, atau cara-cara fors lainnya, termasuk memblokkir jalan
dan atau memacetkan lalu lintas, terpaksa dilakukan untuk menarik perhatian,
karena cara-cara yang santun dan tertib ala mahasiswa zaman dulu sudah tidak
diperhatikan. Maka diciptakanlah berbagai cara baru untuk menarik perhatian.
Selain itu, pers atau media, juga ikut membentuk cara dan bentuk aksi unjuk
rasa, dengan hanya memberi porsi pemberitaan kepada aksi-aksi yang
‘spektakuler’ dan menghebohkan. Di mata pers masa kini, pernyataan-pernyataan
keras dan ‘vulgar’ mengalahkan pernyataan-pernyataan yang betapa pun tajam dan
nalarnya tapi tidak heboh.
Aksi kaum pekerja dari Bekasi baru-baru ini yang
memblokkir jalan tol, mendapat tempat dalam pemberitaan, sekalipun juga
mendapat sumpah serapah dari publik pengguna jalan. Begitu pula, aksi kaum tani
dalam unjuk rasa mengenai keagrariaan 12 Januari baru lalu di depan gedung DPR,
mendapat rating karena membobol pagar gedung perwakilan rakyat. Biasanya pintu
yang dirobohkan, kali ini pagar samping. Tetapi cukup menarik, bahwa setelah
pagar bobol, massa tidak terus menerobos jauh ke dalam, karena dicegah oleh
sejumlah pengatur gerakan, bukan karena halauan aparat keamanan.
PENGAMANAN internal suatu gerakan juga suatu persoalan
tersendiri. Apa yang dialami mahasiswa Jakarta pada awal 1974, perlu dijadikan
pelajaran. Pada 15 Januari 1974, mahasiswa tak cukup siap dalam pengamanan
internal gerakan. Ketika mahasiswa berbaris dari kampus Trisakti kembali ke
kampus UI, orang-orang yang bekerja untuk Ali Moertopo –salah seorang jenderal
yang terlibat persaingan internal di lingkungan ‘pendukung’ Soeharto– berhasil
mengoorganisir peletupan aksi perusakan anarkis di Jalan Pecenongan dan Senen
Raya. Dengan mudah kemudian, mahasiswa dikambinghitamkan telah melakukan makar
melalui Peristiwa 15 Januari 1974 yang diberi penamaan Malari (Malapetaka
Limabelas Januari) dengan mengobarkan kerusuhan. Jenderal Soemitro yang
dituding berada di belakang gerakan mahasiswa, dengan gampang disapu, terlebih
karena sang jenderal justru menunjukkan sikap ragu membela mahasiswa di saat
terakhir.
Para mahasiswa yang kini bergerak masih dengan tujuan
ideal dalam mengkritisi ketidakadilan, perlu mengkaji ulang ‘keamanan’
gerakan-gerakan mereka. Mereka masih perlu menjaga agar gerakan-gerakan mereka
mendapat simpati dan dukungan masyarakat, dengan menghindari sikap-sikap kontra
produktif, seperti merusak fasilitas umum, sengaja menimbulkan kekacauan lalu
lintas dan sebagainya, sehingga menimbulkan antipati. Apa memang mau berjuang
sendirian, yang bukan untuk kepentingan rakyat?
Aspek pengamanan internal lainnya, yang tak kalah
pentingnya, baik itu gerakan mahasiswa maupun gerakan pekerja atau petani,
adalah mengenai terdapatnya peran ‘event organizer’ di balik gerakan. Tak
selalu massa peserta gerakan mengetahui adanya pemain belakang layar ini, yang
memanfaatkan aspirasi murni suatu gerakan. Para pelaksana atau ‘event organizer’
ini akan memprovokasi dan membiayai gerakan, lalu di belakang layar menguangkan
peristiwa aksi dengan menegosiasi calon sasaran dan atau siapapun yang
berkepentingan dengan “ada” atau “tidak”nya gerakan.
Itu sebabnya, suatu aksi bisa maju-mundur, seperti
layaknya bidak-bidak dalam permainan catur saja, karena disesuaikan dengan
negosiasi ‘komersial’. Tentu saja masih ada gerakan-gerakan murni dan spontan
dengan latar belakang idealisme, tetapi tak bisa disangkal adanya permainan
kotor di balik ini semua. Itu sebabnya, banyak kalangan kekuasaan yang tak
terlalu peduli dan tak terlalu memandang aksi unjuk rasa sebagai sesuatu yang
luar biasa. Penguasa juga merasa, sewaktu-waktu toh mereka bisa melakukan
gerakan kontra yang tak kalah kotornya. Paling tidak, merasa bahwa
tuntutan-tuntutan yang diajukan pengunjuk rasa tak mewakili keinginan rakyat
yang sesungguhnya.
PARA aktivis idealis, harus bersikap lebih serius
menghadapi fenomena belakang layar ini, karena bila dibiarkan berlanjut pada
akhirnya membuat semua gerakan unjuk rasa takkan ada harganya lagi samasekali
sebagai jalan demokrasi….. Dan bila semua unjuk rasa tak berharga lagi, tak ada
lagi kanal menyampaikan kritik dan keresahan, maka pada akhirnya suatu saat
mendadak tanpa terkendali lagi, bisa terjadi gerakan yang tiba-tiba
revolusioner. Dan kemungkinan besar, akan bersifat anarkis.
0 komentar:
Posting Komentar