January 27, 2012
(Dulu ada orang menjerit-jerit di ladang ini. Ada juga yang melihat sepeda berjalan sendiri. Tempat ini memang angker, ceritanya dulu sumur ini tempat ditanamnya anggota PKI saat Gestok. Makanya sekarang ada tempat pemujaan di sini.)
Dia sebut saja Pak Kadek mengantar saya menerobos ranting-ranting bambu menuju ke sebuah tegalan. Saya menerawang, menatap ke langit mendengar desiran angin mengembus menggerakkan ranting bambu. Menginjakkan kaki di sebuah ladang penuh semak dan tumbuhan liar adalah kali pertama bagi saya. Sejauh mata memandang hanya ladang, yang kini lebih tepat disebut hutan bambu yang lebat. Samar-samar saya melihat pelinggih, pura kecil tempat pemujaan, beratap kayu bercat hijau yang sudah lapuk.
Saya sadar telah memasuki apa yang oleh masyarakat Melaya disebut daerah Lubang Buaya. Bukan monumen megah tujuh jenderal Pahlawan Revolusi, lengkap dengan diorama kekejaman Gerwani di ibu kota Republik ini, tetapi Lubang Buaya di Desa Melaya, Kabupaten Jembrana, daerah paling barat Pulau Bali. Tidak ada diorama, tanpa monumen yang menegaskan di tempat ini adalah saksi kekejaman. Hanya ada deretan lebatnya pohon bambu dan tanaman liar mengelilingi pelinggih.
Kadek yang mengantar saya berujar dingin sambil menunjuk tanah di sekitar kami berdiri, yang dalam bahasa Indonesia berarti, Di sini dulu kata orang-orang tua mayat-mayat ditanam. Kurang lebih ada 50 mayat. Hanya itu perkataan Kadek. Belum bisa saya memercayai, di bawah tanah yang kami injak 50 mayat manusia merah Bali, yang tertuduh menjadi anggota dan simpatisan PKI tertanam. Inilah, dari penuturan saksi sejarah pembantaian massal di Jembrana, salah satu sumur yang dipakai menanam mayat. Karena jumlah mayat yang banyak, truk-truk pengangkut menggunakan sumur penduduk di sekitar Desa Melaya. Selebihnya dibuang di Pantai Candikusuma, dekat dengan desa itu.
Lalu di mana tepatnya sumur Lubang Buaya itu? Pertanyaan yang menggugah saya membayangkan bagaimana jika tanah itu dibongkar dan mencari bukti di bawahnya apakah benar ada kuburan massal. Keinginan saya mungkin berlebihan. Saya hentikan keinginan bertanya pada Kadek. Membongkar sumur dan menemukan tulang-belulang manusia adalah sumber masalah lain bagi saya. Mungkin nanti saya akan ditangkap pecalang, milisi adat, bersaksi di muka adat karena membuat leteh [kotor] daerahnya dengan menemukan tulang manusia yang belum diaben [dibakar]. Dalam kepercayaan Hindu Bali, haram hukumnya membongkar kuburan, yang hanya boleh untuk ritus ngaben, sementara seluruh korban pembantaian PKI telah diaben secara simbolis karena jasadnya tak ditemukan.
Saya mendengar cerita bahwa di samping pelinggih itu dulu sumurnya. Kemudian digali lubang mengelilingi pelinggih yang kini dipagari kayu bersemen. Saya beranikan diri menjongkok. Saya raba tanah itu dan mengambilnya. Saya menciumnya sebagai rasa hormat dan sujud saya kepada arwah dan jenazah yang bersemayam di tanah ini. Desah saya adalah kepedihan, keharuan bercampur ketidakpercayaan. Mengapa bisa terjadi pembunuhan sesama saudara tahun 1965 hingga 1969 di Bali. Bagi saya tidak cukup alasan aeb jagad bumi hancur dengan pertanda meletusnya Gunung Agung 1963 yang sering diceritakan para penua tetua di desa. Ada yang salah dengan rasa kemanusiaan manusia Bali ketika itu, sangat biadab dan membenarkan membunuh manusia dengan alasan menyupat mengantarkan kepergiannya dengan membunuh.
Saya menuju ke sebuah rumah besar di depan ladang Lubang Buaya itu. Berdiri bangunan dengan atap yang mulai bolong. Cat rumah dan perlengkapan di dalamnya berserakan. Kelihatan rumah tersebut tidak berpenghuni. Di dalam rumah terdapat alat-alat pembuat es terbengkalai. Kadek yang dari tadi membisu perlahan bercerita. Rumah ini dulunya adalah pabrik es kakaknya. Usaha yang mulai berjalan sukses itu terhenti setelah kakaknya takut sering mendengar suara-suara jeritan di situ. Kakaknya memutuskan meninggalkan rumah tersebut dan memulai usaha baru di Denpasar.
Bersebelahan dengan rumah itu adalah rumah Kadek, yang kini tinggal dengan kedua orangtuanya. Rumah sederhana beratap gedek dengan rangka yang masih dari bambu. Kedua orangtuanya telah menunggu kami. Saya bersila dan menemani ayah Kadek bercerita. Sontak setelah ditanya Lubang Buaya, ayah Kadek bercerita dengan berbisik-bisik, penuh hati-hati. Iya, dulu di sana sumur keluarga. Petang harinya ada truk membuang mayat di sumur itu, tapi saya disuruh diam saja.
Lalu dari mana datang mayat itu, di mana pembantaiannya? Saya mengikuti jejak cerita pembantaian di Bumi Makepung—nama lain Kabupaten Jembrana. Dari cerita saksi sejarah sampailah saya pada cerita tentang Desa Tegalbadeng. Tegalbadeng, jika dibahasaindonesiaka n lebih kurang berarti “ladang hitam” dari kata bahasa Bali, tegal dan badeng.
Desa Tegalbadeng letaknya masuk ke pelosok dari pusat kota Negara, Kabupaten Jembrana. Letaknya yang masuk ke dalam membuat desa itu memang terlokalisasi. Sampai di rumah itu, saya disapa oleh seorang lelaki renta. Sapaannya sangat ramah mempersilakan saya duduk di pelataran rumahnya. Lelaki renta itu, Pak Mangku, bertanya, Ada yang mau ditanyakan ya pada saya?
Saya mulai melanjutkan pembicaraan tentang situasi desa dan aktivitas Pak Mangku sehari-hari. Dari sinilah pembicaraan mulai akrab dan perlahan, tetapi pasti saya mengetahui siapa Pak Mangku sebenarnya dan bagaimana ingatannya tentang peristiwa 1965 di desanya. Pak Mangku sesuai dengan namanya adalah seorang Mangku (pendeta menurut Hindu-Bali) di Pura Dalem Tegalbadeng. Selain menjadi pendeta, Pak Mangku juga seorang Balian dukun di desanya. Pantas saja di depan saya ada kamar suci dengan pintu coklat berukir yang setengah terbuka. Saya melirik. Di dalam kamar suci berdiri altar pemujaan dan patung dewa dalam kepercayaan Hindu.
Dari penuturan Pak Mangku saya mulai mengais cerita “rahasia” masyarakat Jembrana tentang Tegalbadeng yang selalu disebut saat membicarakan Gestok dan pembunuhan PKI di Jembrana. Desa ini disebut-sebut tempat awal terjadinya pembantaian massal yang didahului dengan bentrokan antara massa PKI dan PNI yang bergabung dengan tentara, Pemuda Anshor NU bernama Gerakan Front Pancasila Menumpas Komunis. Dari bentrokan itu seorang tentara dari massa Front Pancasila dan dua orang anggota Pemuda Anshor NU tewas.
Pak Mangku ingat terjadi bentrokan di desanya. Setelah itu seluruh massa keluar berhamburan membakar rumah orang yang dituduh anggota dan simpatisan PKI. Berikutnya adalah malam-malam mencekam saat orang diculik dari rumahnya dan tak kembali lagi. Beberapa orang yang melawan dibunuh langsung di rumahnya. Mayatnya diseret dan dibuang di sumur penduduk di sekitar Tegalbadeng.
Pak Mangku adalah bagian dari cerita itu. Saat tahun 1965 usianya menginjak 18. Hari-harinya dihabiskan bersekolah dan membantu ayahnya bekerja di sawah. Sampai ia mendengar kabar PNI dan massa Front Pancasila membutuhkan relawan untuk nguopin membantu membasmi komunis di Tegalbadeng. Tanpa ragu ia ikut-ikutan mendaftar bersama beberapa kawan sebayanya. Pak Mangku mulai mengingat yang kene garis termasuk daftar akan dibunuh dibawa dengan truk dari seluruh desa di Tegalbadeng pukul 8 malam. Pukul 9 sampai 10 malam tali yang mengikat tangan mereka dan kain yang menutup mata dilepas. Mulailah pembantaian sampai pukul 5 pagi oleh tentara dibantu tameng milisi sipil dengan memakai topi hitam, celana panjang hitam bersenjatakan kelewang.
Deskripsi yang lebih terperinci tentang peristiwa Tegalbadeng saya dapatkan dari sebuah dokumen catatan sejarawan I Wayan Reken almarhum. Dokumen ini menyebutkan pada pukul 9 malam 30 November 1965 diterimalah laporan seorang penduduk bangsa Bali Islam dari Desa Tegalbadeng kepada markas Anshor di Loloan Barat yang menerangkan ada suatu rapat gelap gerombolan PKI di Desa Tegalbadeng. Rapat gelap PKI itu berlangsung di rumah seorang anggota polisi bernama Pan Santun, tepat di sebelah barat Pura Pande Tegalbadeng. Laporan ini dilanjutkan kepada Intel Kompi D.471 di Negara. Untuk mengecek kebenaran berita itu, dua tentara intel dikirim bersama puluhan Pemuda Anshor dari Loloan Barat.
Rombongan pemuda Anshor yang mengantar dua personel intel ke tempat rapat gelap PKI di Desa Tegalbadeng dicegat oleh pengawal PKI sewaktu akan masuk mengadakan pemeriksaan. Tanpa diduga, sewaktu tentara intel dan Pemuda Anshor bersitegang memasuki halaman, mereka dihujani batu berbarengan dengan tembakan dari dalam. Berpuluh lampu senter PKI menerangi halaman tempat Pemuda Anshor berada. Terjadilah perkelahian sengit.
Tegalbadeng yang terkenal sebagai basis PKI memukul kentungan dengan kode-kode sehingga massa PKI yang siaga bersembunyi di sekitarnya menyerbu. Karena jumlah musuh yang lebih besar, rombongan Pemuda Anshor mundur meninggalkan jenazah tentara intel bernama Regar dan dua jenazah pemuda Anshor. Tentara intel tewas tertembak dan dua Pemuda Anshor tewas terpenggal senjata tajam. Insiden ini kemudian dilaporkan kepada Kopkamtib di Kompi D Negara. Secepatnya malam itu juga dikirim pasukan untuk menggempur pertahanan massa PKI di Tegalbadeng. Di belakang pasukan Kompi D berduyun massa Islam menghancurkan sarang gelap PKI itu. Terjadilah pertempuran sangat hebat dengan massa PKI. Ribuan massa PKI lari berpencar mundur. Orang PKI yang terluka dan mati secepatnya disembunyikan oleh kawan mereka kemudian menghilang.
Dari sinilah kemarahan massa Front Pancasila mulai memuncak. PNI Front Marhaenis mengorganisasikan massa rakyatnya menumpas habis PKI sampai ke akar-akarnya. Tentara melalui Kopkamtib di belakang mereka. Ditambah lagi dengan Pemuda Anshor dan Djamiatul Muslimin Indonesia NU yang dengan tewasnya dua Pemuda Anshor mengatakan djihad terhadap PKI.
Kontroversi mengenai peristiwa Tegalbadeng mulai terkuak ketika saya bertemu dengan seorang yang telah lama memendam kebisuan untuk bersuara. Wayan Dumun, nama bapak ini, sopir dari polisi yang mondar- mandir mengantar tahanan dari anggota dan simpatisan PKI. Penuturan yang menarik dari Pak Dumun adalah versinya tentang peristiwa Tegalbadeng yang disebutkan menjadi cikal bakal amarah massa Front Pancasila dan amuk massa pembantaian terhadap anggota dan simpatisan PKI. Ini sekaligus versi lain bahkan gugatan akan versi sejarah Wayan Reken almarhum.
Ingatan Wayan Dumun menuturkan bahwa isu rapat gelap yang mendasari penyerbuan adalah awal malapetakanya. Saya ingat pas menjelang kejadian penyerbuan itu ada piodalan (upacara ritus Red) di Pura Pande Tegalbadeng, tutur Wayan Dumun.
Tampak jelas ia menunjukkan kesan tak setuju dengan opini umum terhadap peristiwa Tegalbadeng yang menyatakan PKI melakukan rapat gelap, apalagi mempersiapkan penyerangan terhadap massa Front Pancasila dan barisan Anshor yang melakukan pemeriksaan ke desa tersebut. Penduduk yang merasa simpatisan dan anggota PKI minta perlindungan terhadap anggota polisi itu. Mereka takut nanti jika suatu saat rumah mereka akan dibakar atau anggota keluarga mereka akan diculik dan dibunuh. Maka, ungkapan yang menyebutkan Jembrana Kaon Ulian Orti (Jembrana hancur karena isu) ada benarnya.
Peristiwa Tegalbadeng jelas menunjukkan itu semua: hanya berawal dari sebuah isu yang menyebutkan PKI melakukan rapat gelap persiapan penyerangan pada kamp tahanan anggota PKI yang dijaga tentara bersama massa Front Pancasila. Versi rapat gelap juga harus diperiksa hasil dari rekayasa dan tuduhan siapa? Ada baiknya memerhatikan ingatan Pak Dumun yang menyebutkan itu hanyalah akal-akalan tentara dan massa Front Pancasila dalam mencari- cari kesalahan PKI. Tentu ini untuk alasan menumpas sampai ke akar-akarnya simpatisan dan anggota partai palu arit ini.
Konstruksi sejarah akhirnya berhadapan dengan dokumen (Pak Reken) dan ingatan (Pak Dumun) yang kontradiktif. Catatan historis yang disampaikan Pak Reken melekat kuat dalam ingatan masyarakat tanpa gugatan. Sejarah hanya berkutat dalam persoalan fakta yang terbentuk dalam dokumen resmi, yang dianggap faktual dan valid untuk kajian sejarah arus atas, elite. Sementara posisi ingatan Pak Dumun adalah narasi dari ekspresi penggugatan ingatan sosial masyarakat yang telah beku tanpa versi lain. Pak Dumun menyatakan narasinya sebagai sebuah ingatan psikologis dengan penuturan-penuturan sejarah dari arus bawah, korban.
Narasi Pak Dumun adalah harta berharga bagi studi sejarah yang telah lama berkutat pada pakem sejarah positivistik, No Document, No History, tanpa sekalipun mendengar dan mengapresiasi penuturan korban dan versi sejarah lainnya. Posisi penuturannya bukan pada faktualitas, tetapi lebih kepada empati dan penafsiran penuturan para korban untuk menciptakan kebenaran naratif. Maka, History is Rememoration. Meletakkan fondasi sejarah bukan pada fakta historis dari peristiwa sejarah itu seperti perdebatan siapa dalang G30S tetapi pada latar dan jejak kekerasan yang menyertainya: pembantaian massal anggota dan simpatisan PKI, pengiriman tahanan politik ke Pulau Buru, dan diskriminasi politik.
(cerita lama dari pulau dewata)
Sumber: Now-Im-Fine
0 komentar:
Posting Komentar