Peristiwa Madiun untuk Mewujudkan Republik Soviet di
Indonesia
Hendri F. Isnaeni | 10 Januari 2012
Musso mengusung “Jalan Baru” untuk mendirikan republik
Soviet di Indonesia.
Jenazah Musso, tokoh PKI dalam Peristiwa Madiun 1948.
PADA 11 Agustus 1948, Soeripno tiba di Yogyakarta untuk
menyerahkan teks perjanjian dan menjelaskan tentang perjanjian yang
dilakukannya dengan Uni Soviet seputar tukar-menukar konsul. Bersamanya seorang
sekretaris bernama Soeparto, yang tak lain adalah tokoh gaek Partai Komunis
Indonesia (PKI): Musso. Keduanya bertemu di Praha pada Maret 1948. Musso
meminta bantuan kepada Soeripno agar bisa pulang ke Indonesia karena dia
membawa misi baru dari Moskow.
Soeripno dan Musso diterima Sukarno. Pertemuan sahabat
lama yang mengharukan. Setelah cukup bersenda-gurau, Musso dan Soeripno minta
diri. Sebelum berpisah, Sukarno minta supaya Musso membantu memperkuat negara
dan melancarkan revolusi. Musso menjawab:
“Itu memang
kewajiban saya. Ik kom hier om orde te scheppen! (Saya datang di sini
untuk menciptakan ketertiban).” Menurut Harry A. Poeze dalam buku jilid keempat
dari seri Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia ini,
“kalimat terakhir itu yang diucapkan dalam bahasa Belanda mengandung sasmita
buruk.”
Dalam sidang Politbiro PKI pada 13-14 Agustus 1948, Musso
membeberkan penjelasan tentang “pekerjaan dan kesalahan partai dalam dasar
organisasi dan politik” dan menawarkan resolusi yang terkenal dengan sebutan
“Jalan Baru untuk Republik Indonesia”.
“Jalan Baru” Musso menghendaki satu partai kelas buruh
dengan memakai nama yang bersejarah, yakni PKI. Untuk itu harus dilakukan fusi
tiga partai yang bermazhab Marxsisme-Leninisme: PKI ilegal, Partai Buru
Indonesia (PBI), dan Partai Sosialis. PKI hasil fusi ini kemudian akan memimpin
revolusi proletariat untuk mendirikan sebuah pemerintahan front nasional.
Untuk unjuk kekuatan, Musso menggelar rapat raksasa di
Yogya. Di sini dia melontarkan pentingnya kabinet presidensial diganti jadi
kabinet front persatuan. Musso juga menyerukan kerjasama internasional,
terutama dengan Uni Soviet, untuk mematahkan blokade Belanda. Dan untuk
menyebarkan gagasannya, sejak awal September 1948, Musso bersama sejumlah
pemimpin PKI bersafari ke daerah-daerah di Jawa, yaitu Solo, Madiun, Kediri,
Jombang, Bojonegoro, Cepu, Purwodadi, dan Wonosobo. Di tengah safarinya itulah
meletus “peristiwa” Madiun.
Buku Madiun 1948 PKI Bergerak karya Harry A.
Poeze, menghimpun lebih banyak data baru tentang Madiun dibandingkan buku-buku
yang sudah ada. Sehingga memungkinkan untuk memberikan pernyataan mendasar
tentang latar belakang dan interpretasi atas apa yang terjadi di Madiun.
Perdana Menteri Hatta merespon pekerjaan Musso. Untuk
mencapai Indonesia merdeka seluruhnya, Hatta lebih memilih goodwill internasional
dengan membuka perundingan. Tapi, tak seperti Musso dengan PKI dan Front
Demokrasi Rakyat (FDR) di bawah Amir Sjarifuddin yang menginduk ke Rusia, Hatta
tak tertarik oleh konflik internasional antara Amerika dan Rusia. Hatta merasa
posisinya diperlemah oleh gerakan Musso.
Kebijakan Hatta mengenai rasionalisasi tentara dianggap
sebagai provokasi oleh kalangan komunis, yang pernah menikmati masa bulan madu
ketika menguasai Kementerian Pertahanan sewaktu Amir Sjarifuddin menjadi
perdana menteri merangkap menteri pertahanan. Rasionalisasi ditentang karena
menurut Amir, yang berjuang sejak 17 Agustus 1945 bukan hanya tentara tapi juga
seluruh rakyat.
Menurut PKI, Hatta pula yang memulai provokasi dengan
pembunuhan terhadap Kolonel Soetarto, komandan Divisi IV –kemudian diubah
menjadi Komando Pertempuran Panembahan Senopati (PPS)– pada 2 Juli 1948.
Tuduhan pelakunya dialamatkan pada Divisi Siliwangi, yang hijrah dari Jawa
Barat dan bermarkas di Solo.
Ketegangan memuncak di Solo. Di kota ini terdapat dua
kekuatan saling berlawanan, terutama antara pasukan Senopati dan Siliwangi.
Pasca tewasnya Soetarto, culik-menculik terjadi. Senopati menuding Siliwangi
menculik dan membunuh dua tokoh PKI Solo dan enam perwiranya. Jalan damai tak
dapat ditempuh, dan konfrontasi pun tak terelakkan lagi.
Sementara itu, permusuhan FDR dengan Gerakan Revolusi
Rakyat (GRR)-Tan Malakajuga memuncak ketika pemimpin sayap militer GRR, Barisan
Banteng, dr Muwardi dibunuh dan jenazahnya tak ditemukan. GRR menuding FDR
sebagai pelakunya.
Ketegangan di Solo menjalar ke Madiun. Soemarsono,
komandan pasukan Brigade 29 yang pro-PKI, menerima laporan bahwa Siliwangi akan
melucuti pasukan FDR di Madiun dan menangkap para pemimpinnya. Pada 18 September
1948, dengan kekuatan 1.500 orang pasukan, Soemarsono mendahului melucuti dan
menawan sekitar 350 prajurit Siliwangi dan Brigade Mobil CPM (Corps Polisi
Militer). Aksi ini diikuti dengan penjarahan, kepanikan penduduk, penangkapan
sewenang-wenang, dan tembak-menembak. Madiun sepenuhnya dikuasai FDR dan
dijadikan sebagai Pemerintahan Front Nasional.
Berita itu sampai ke Yogyakarta pada petang harinya.
Pemerintah dan militer mengambil tindakan tegas: pemberontakan harus ditumpas.
Hatta menegaskan, “Het is nu een zaak van leven of dood. Er op of er
onder” (Sekarang soalnya hidup atau mati. Menang atau kalah).
Setelah mempreteli FDR di Yogya, pasukan Siliwangi dengan
mudah menumpas kekuatan di Madiun. Pada 29 September, sehari sebelum Siliwangi
merebut Madiun, sepasukan berkekuatan tiga batalyon bersama tiga ribu orang dan
para pemimpin PKI melarikan diri dari Madiun. Musso tewas dalam baku tembak dan
sebelas pemimpin puncak PKI lainnya dieksekusi mati.
Upaya kelompok komunis di Madiun gagal total. Penyebab
utamanya: tak adanya dukungan rakyat. Pilihan Sukarno atau Musso dimenangi
Sukarno. Musso, dengan kata-katanya yang pedas, telah menjauhkan dirinya dari
kalangan Islam dan GRR. Dia tak bisa percaya pada netralitas mereka. Para
penguasa tradisional ditegurnya dengan kata-kata keras; dan tentaranya pun
“fasistis”.
Lebih lanjut Poeze menjelaskan, penguasa-penguasa komunis
melakukan balas dendam pada musuhnya, terutama di luar Madiun, dengan cara-cara
berdarah. Tamatnya pemerintahan mereka yang singkat itu dibarengi dengan
pembantaian. Para pejabat pemerintahan, polisi, dan tokoh masyarakat Islam jadi
korban. Sebagai tindakan balasan, banyak anggota komunis yang tertangkap dalam
pertempuran kemudian dieksekusi. Setimpal.
Melalui buku ini, Poeze mengambil kesimpulan bahwa
peristiwa di Madiun adalah sebuah pemberontakan, bukan peristiwa lokal seperti
versi resmi PKI. Tujuannya adalah mendirikan republik Soviet di Indonesia.
“Dengan menyebut ini peristiwa lokal, ia (PKI) bisa muncul lagi sebagai partai
normal,” ujar Poeze kepada Historia.
Poeze yakin dengan versinya. Poeze menggunakan banyak
bahan untuk memperkuat kesimpulannya. Termasuk pengakuan Soemarsono ketika
masih muda, karena pandangannya sekarang sejalan dengan versi resmi PKI.
“Juga ada hitam di atas putih dari PKI setelah meletus pemberontakan Madiun bahwa mereka ingin mendirikan republik Soviet di Indonesia,” ujarnya.
Jika tak ada lagi karya lain yang membantah versi Poeze,
kontroversi di seputar Madiun tampaknya akan berakhir.
0 komentar:
Posting Komentar