Asvi Warman Adam, Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
WeBlog Dokumentatif Terkait Genosida 1965-66 Indonesia
“Ada yang salah saat itu, sekitar 2500 nyawa melayang begitu saja dibantai karena dituduh sebagai anggota PKI (Partai Komunis Indonesia-red), padahal mereka belum tentu bersalah sehingga mesti dibunuh”, kata Mustawalad, Rabu 2 Oktober 2013.
“Dari beberapa saksi hidup, kala itu suasana di dataran tinggi Gayo betul-betul mencekam melebihi peristiwa-peristiwa menakutkan lainnya yang pernah ada dalam sejarah Gayo”, kata dia.
“Saat ini kuburan massal tersebut sudah tidak ada lagi karena kerangka-kerangka manusia tersebut sudah dipindahkan kuburannya oleh keluarga korban,” ujar Mustawalad.
“Ada 118 kuburan di tempat itu”, kata Mustawalad.
“Penulisan sejarah ini penting agar sejarah kelam ini menjadi saksi bahwa pernah terjadi kasus seperti ini dan jangan lagi terulang sampai kapanpun”, ujar Mustawalad.
“Ditinjau dari agama dan politik, Gerakan PKI di Gayo lebih ke aliran Tan Malaka. Sosialis, dekat ke agama Islam dan tetap melakukan shalat. Mereka tidak layak dibunuh,” tegas Mustawalad.
“Dilapangan, perintah ini salah ditafsirkan. Dan parahnya, analisa saya, oleh pihak-pihak tertentu kondisi ini dimanfaatkan untuk menghabisi nyawa orang lain yang antara lain bermotif dendam pribadi”, kata Mustawalad. (WA)
Saat kos itu, Musso menjadi salah seorang sumber ilmu Bung Karno dalam setiap percakapan. Seperti misalnya saat Musso menyoal penjajahan Belanda, "Penjajahan ini membuat kita menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa."Merdeka.com menemui KH Mohammad Hamdan Ibiq, pengasuh Ponpes Kapurejo, Pagu Kediri untuk bertanya tentang siapa Musso.
"Saya hanya mengetahui Musso memang keluarga besar Ponpes Kapurejo, namun yang paham itu adalah KH Muqtafa, paman kami. Yang saya pahami Musso itu anak gawan (bawaan), jadi saat KH Hasan Muhyi menikahi Nyai Juru, Nyai Juru sudah memiliki putra salah satunya Musso. Makam keduanya berada di komplek Pondok Pesantren Kapurejo," kata Gus Ibiq paggilan akrab KH Hamdan Ibiq, akhir bulan lalu.Penelusuran dilanjutkan ke rumah KH Muqtafa di Desa Mukuh, Kecamatan Kayen Kidul, Kabupaten Kediri. Tiba di rumah KH Muqtafa, si empunya rumah tampak sedang asyik mutholaah kitab kuning (membaca dan memahami kitab kuning) tepat di depan pintu rumahnya.
"Mau bagaimana lagi memang harus seperti itu," kata Kiai Tafa membuka perbincangan.Setelah mengutarakan maksud dan tujuan untuk mengetahui sejarah Ponpes Kapurejo, kemudian penuh semangat, Kiai Tafa menjelaskan secara gamblang dengan suara yang sangat berwibawa.
"KH Hasan Muhyi itu orang Mataram, sebenarnya namanya adalah Rono Wijoyo. Beliaulah pendiri Pondok Pesantren Kapurejo. Beliau menikah sebanyak tiga kali, istri pertamanya adalah Nyai Juru. Dari pernikahannya yang pertama itu KH Hasan Muhyi diberikan 12 putra. Dan maaf salah satunya mungkin orang mengenal dengan nama Musso", ujar Kiai Tafa yang sedikit canggung ketika menyebut nama Musso.
Meski canggung, Kiai Tafa kembali menegaskan itulah fakta sejarah. "Mau bagaimana lagi itulah fakta sejarah," tukasnya. [tts]