16/02/2013
Gerakan 30 September 1965 merupakan tragedi dalam sejarah
Indonesia. PKI yang merupakan salah satu kekuatan politik terbesar sebelum
meletusnya G30S, mengalami nasib yang naas setelah meletusnya gerakan tersebut.
PKI diduga kuat oleh Angkatan Darat sebagai dalang dari
G30S. Stigma sadis dan keji disematkan oleh Angkatan Darat kepada PKI atas
penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan yang dilakukan terhadap tujuh perwira
tinggi Angkatan Darat. Stigma tersebut segera memancing amarah masyarakat yang
kemudian serentak di berbagai daerah memberangus aktivis dan simpatisan PKI
beserta segenap organisasi underbouwnya. Mereka yang terlibat dan diduga
terlibat, ditangkap dan dipenjarakan tanpa melalui proses hukum terlebih
dahulu.
Penangkapan dan penahanan terhadap aktivis dan simpatisan
PKI berlangsung sampai tahun 1973. Dalam rentang waktu antara tahun 1965-1967,
telah terjadi pula pembunuhan secara besar-besaran terhadap aktivis dan
simpatisan PKI di berbagai daerah. Robert Cribb dalam buku Palu Arit di Ladang
Tebu menyebutkan bahwa jumlah keseluruhan korban antara tahun 1965-1966
mencapai angka 500.000 jiwa. Selain temuan Robert Cribb, masih banyak temuan
ahli lainnya mengenai jumlah korban pembunuhan massal tersebut.
G30S dilatarbelakangi oleh pertentangan antara dua kutub
politik saat itu yaitu PKI dan Angkatan Darat (AD). Kedekatan PKI dengan
Presiden Soekarno jelas membahayakan posisi Angkatan Darat dalam peta
persaingan politik pada saat itu. PKI melancarkan isu Dewan Jenderal sebagai
sarana propaganda kepada Bung Karno bahwa ada beberapa perwira tinggi AD yang
ingin merebut kekuasaan. Di dalam tubuh AD sendiri telah terjadi perpecahan
dengan banyaknya perwira menengahnya yang menjadi anggota PKI. Seiring dengan beredarnya
isu bahwa Bung Karno sakit keras, muncul spekulasi tentang siapa pengganti
beliau.
Tak ingin didahului oleh AD, Aidit, Politbiro PKI, dan
beberapa perwira menengah AD yang telah diinfiltrasi oleh PKI merencanakan
suatu gerakan untuk mengamankan posisi mereka jika kelak Bung Karno wafat.
Gerakan tersebut dinamakan Gerakan Tiga Puluh September
(G30S) dan dipimpin oleh Letkol Untung yang merupakan Komandan Resimen
Cakrabirawa.
Tragedi 1965 menyisakan penderitaan dan trauma
berkepanjangan bagi orang-orang yang menjadi korban dari tragedi tersebut.
Orang-orang yang secara sengaja maupun tidak sengaja terlibat dan dilibatkan
dalam G30S mendapat perlakuan yang tidak adil dari pemerintah, masyarakat,
bahkan lingkungan sekitarnya. Mereka mau tidak mau harus menerima stigma buruk
yang disematkan oleh pemerintah dan masyarakat pada dirinya. Stigma buruk
tersebut melekat pada diri mereka sebagai akibat dari keterlibatan mereka baik
secara sengaja maupun tidak dengan PKI yang oleh pemerintah dianggap sebagai
dalang dibalik G30S.
Kerterlibatan mereka dengan organisasi tersebut
seharusnya tidak serta-merta mengaitkan mereka dengan G30S. Bahkan di sebagian
besar daerah di luar Jawa, para aktivis dan simpatisan partai tidak mengetahui
tentang rencana kudeta tersebut. Wajar apabila kemudian Soekarno tidak mau
membubarkan PKI karena menurut anggapannya bukan PKI secara kolektif yang
melakukan coup d’etat tetapi beberapa pemimpin PKI yang keblinger.
46 tahun setelah tragedi tersebut, masyarakat Indonesia
masih saja phobia terhadap komunisme. Hal tersebut adalah akibat dari
stigmatisasi buruk terhadap PKI dan komunisme yang dilakukan oleh pemerintah
Orde Baru. Stigmatisasi tersebut juga mengakibatkan para eks tahanan politik
(tapol), mendapatkan perlakuan yang tidak adil baik dari pemerintah,
masyarakat, maupun lingkungan sekitar.
Mereka yang terlibat dan dituduh terlibat harus menjalani
hari-hari yang penuh penderitaan bahkan setelah Orde Baru runtuh. Upaya
rekonsiliasi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap para eks tapol terkesan
“setengah hati”.
Gus Dur sebagai warga Nahdatul Ulama dan Presiden
Republik Indonesia sempat meminta maaf kepada para korban Tragedi 65
sebagai bentuk rekonsiliasi tetapi setelah Gus Dur, tidak ada pihak yang secara
serius meneruskan itikad baik tersebut. Stigma yang telah disematkan pemerintah
Orde Baru kepada korban Tragedi 65 membatasi hak-hak hidup mereka sebagai warga
negara. Walaupun telah bebas dari bui, mereka tetap diwajibkan melapor, di KTP
mereka dibubuhi tanda ET (Eks Tapol), keluarga mereka tidak dapat menjadi
pegawai negeri sipil, wawasan mereka dipersempit dengan dibatasinya akses
pendidikan dan yang lebih menyakitkan adalah mereka dikucilkan dalam pergaulan
di masyarakat.
Saat ini yang perlu dilakukan oleh masyarakat khususnya
generasi muda terkait upaya rekonsiliasi korban kekerasan dan eks tapol Tragedi
65 adalah dengan “meluruskan” kembali pemahaman kita tentang sejarah Tragedi
65. Banyaknya versi sejarah yang beredar mengenai G30S setelah runtuhnya Orde
Baru memberikan kesempatan kepada khalayak untuk kembali memaknai dan memahami
apa yang sebenarnya terjadi dibalik tragedi tersebut. Pemahaman yang bijak
tentang sejarah Tragedi 65 setidaknya dapat menghapus stigma buruk yang telah
mereka sandang sejak 46 tahun yang lalu.
Jelas hal tersebut bukan hanya tugas sejarawan tetapi
tugas semua pihak termasuk generasi muda yang merupakan agent of
intelectual. Generasi muda hendaknya menjadi generasi yang sadar sejarah
sehingga tidak selalu menjadi korban politisasi sejarah oleh penguasa dan elite
politik.
Jefry Gie adalah Mahasiswa Pendidikan
Sejarah Universitas Tadulako.
Aktif di Kelompok Diskusi Komunitas Batu Karang.
Aktif di Kelompok Diskusi Komunitas Batu Karang.
Sumber: skp-ham
0 komentar:
Posting Komentar