Minggu, 10 April 2016

Keluar dari Ketakutan Komunisme


April 10. 2016 | Wildan Sena

Ancaman dan pelarangan terhadap penyelenggaraan diskusi yang menggunakan perspektif kiri lagi-lagi terjadi.

Beberapa ormas dan organisasi mahasiswa mengecam penyelenggaraan festival diskusi Belok Kiri Fest yang rencananya diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki, 27 Februari kemarin. Alasannya, festival diskusi yang menggunakan judul “kiri” tersebut diduga akan menjadi ajang penyebaran gagasan komunisme kepada masyarakat umum.

Ancaman dan pelarangan diskusi yang menggunakan kata kiri dan mendiskusikan peristiwa 1965 bukanlah yang pertama kali terjadi beberapa tahun belakangan ini. Sebelumnya, di tahun 2014, bedah buku biografi Tan Malaka karya sejarawan Harry Poeze mendapatkan ancaman dari berbagai ormas di Semarang dan Surabaya.

Di akhir tahun 2014 dan sepanjang tahun 2015, diskusi film Senyap karya Joshua Oppenheimer di berbagai kota (Yogyakarta, Malang, Jember, Solo) terpaksa dibatalkan karena mendapatkan ancaman dan tidak diberikan izin. Selain itu, sesi diskusi panel mengenai peristiwa 1965 di Ubud Writers and Readers Festival (28 November- 1 Oktober 2015) juga dibatalkan.

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) mencatat sepanjang tahun 2015 sedikitnya terdapat 20 kasus pelarangan terhadap kegiatan yang berusaha mendiskusikan peristiwa 1965. Dari 20 kasus itu, pelarangan diskusi paling banyak terjadi sebanyak 7 kasus dan pembatalan diskusi sebanyak 6 kasus.

Pertanyaan besarnya, apakah benar ada upaya yang serius dari kelompok kiri di Indonesia untuk mendirikan kembali PKI dan menyebarkan gagasan komunisme di Indonesia? Ataukah itu hanya semacam ketakutan yang mengada-ada atau berlebihan? Artikel ini ingin mendiskusikan mengenai masalah tersebut dengan pikiran yang lebih terbuka.
Ketakutan yang Dikonstruksi

Pertama-tama, yang harus dibahas adalah mengenai kesalahpahaman dari banyak kalangan mengenai pemikiran kiri itu sendiri. Anggapan pukul rata bahwa kiri itu berarti komunis atau kiri berarti simpatisan PKI adalah salah kaprah yang mesti diluruskan. Sama seperti pemikiran kanan yang variatif, pemikiran kiri pun bervariasi coraknya: mulai dari sosial-demokrat, sosial-liberal, eco-sosialis, anarkis sampai komunis.

Di kalangan pemikir kiri sendiri, pendirian negara komunis menjadi perdebatan hebat. Di Indonesia contohnya, para bapak bangsa yang  meskipun berhaluan kiri, seperti Sukarno, Hatta, Sjahrir, Ali Sastroamidjojo, ternyata tidak setuju apabila Indonesia didirikan sebagai negara komunis.

Asumsi yang memukul rata bahwa semua pemikiran kiri identik dengan komunis merupakan warisan cara berpikir Orde Baru. Di masa Orba setiap pemikiran kiri, progresif, bahkan kritis terhadap kebijakan pemerintah semuanya dipukul rata sebagai komunis yang menginginkan terciptanya destabilisasi politik.

Orba memanfaatkan stigma masyarakat yang buruk terhadap komunis sebagai pengkhianat negara. Tuduhan sebagai komunis atau pendukung komunis dipakai sebagai senjata politik Orba untuk memukul balik lawan-lawan politiknya.

Kedua, argumentasi tentang adanya keinginan dari kelompok kiri saat ini untuk mendirikan lagi PKI atau negara komunis perlu dibuktikan. Pasalnya, pertama Orde Baru telah membabat habis gagasan dan pendukung komunisme sampai ke akar-akarnya.

Setelah berakhirnya Perang Dingin dengan kemenangan demokrasi liberal dan kapitalisme, ideologi komunis dianggap sudah kolaps dan tidak relevan lagi. Meskipun saat ini China masih menganut ideologi komunis, namun setelah Deng Xiaoping berkuasa China mengubah haluan kebijakan luar negerinya dari “mengglobalkan” komunisme di Asia menjadi berfokus pada ekspansi dan perluasan kerjasama ekonomi.
Oleh sebab itu, menurut hemat saya agak berlebihan untuk berasumsi bahwa kekuatan neo-komunisme di Indonesia patut diwaspadai.

Sebabnya, setelah melalui masa traumatis dan kelam, ditambah tidak adanya lagi basis massa dan situasi internasional yang mendukung, adalah sebuah tindakan yang sangat gegabah apabila memang benar ada orang-orang yang masih ingin mendirikan lagi PKI di Indonesia.
Kalaupun memang ada, apakah akan ada orang yang bersimpati atau mendukung ideologi yang mempunyai konotasi sangat buruk di masyarakat Indonesia dan internasional? Mustahil!

Ketiga, sepanjang fakta yang ada di lapangan, tidak ada keinginan dari kelompok diskusi yang menggunakan perspektif kiri atau membicarakan masalah 1965 untuk menyebarkan propaganda komunisme.
Kenyataannya, diskusi-diskusi berperspektif kiri diselenggarakan untuk memberikan pandangan alternatif atas suatu permasalahan atau mengkritisi kebijakan-kebijakan elit yang tidak berpihak kepada masyarakat.

Disamping itu, mengenai diskusi seputar 1965 – melalui film Senyap, keinginan dari banyak penyelenggara diskusi sebenarnya cukup simpel yaitu ingin mendiskusikan secara terbuka apa yang sebenarnya terjadi pada tahun 1965-66. Tujuannya adalah selain mengungkap fakta-fakta yang selama ini disembunyikan oleh Orde Baru di sekitar peristiwa tersebut, ada keinginan untuk belajar dari sejarah agar bangsa ini tidak mengulangi pertumpahan darah di masa lalu.

Melampaui Ketakutan

Sudah saatnya publik bisa melihat persoalan ini dengan pikiran terbuka dengan menggunakan data-data dan fakta-fakta di lapangan. Jangan dengan mudah tergelincir menuduh dengan asumsi yang tidak berdasar dan bahkan menggunakan kekerasan menghadapi perbedaan pemikiran.

Memang pertama-tama yang harus diupayakan adalah medekonstruksi warisan cara berpikir Orba tentang pemikiran kiri, yang salah kaprah namun secara kolektif dipercayai oleh masyarakat. Untuk itu upaya yang patut diapreasiasi adalah universitas tidak perlu takut untuk mendiskusikan khazanah pemikiran kiri seperti yang dilakukan oleh universitas-universitas Barat.

Dengan cara itu, generasi muda bisa mempelajari, mengerti dan tahu apakah pemikiran itu relevan atau tidak sebelum memberikan justifikasi secara serampangan.

Kedua, untuk melampaui ketakutan yang tidak berdasar terhadap ancaman komunis, negara harus berani berinisiatif mengupayakan rekonsiliasi nasional dengan melampaui kepentingan banyak pihak.
Memang sepertinya diperlukan kesediaan berkorban dari berbagai pihak untuk keluar dari perspektif konflik kepada nilai-nilai baru yang berorientasi ke masa depan untuk membuat lembaran membangun masyarakat baru melalui pemulihan harkat dan martabat manusia (Widjojo, 2015).

Belum adanya penyelesaian yang komprehensif terhadap peristiwa 1965, menyulitkan terciptanya reintegrasi sosial di masyarakat. Sehingga upaya-upaya diluar negara, yang peduli terhadap permasalahan kelam di masa lalu, akan terus terjadi.

Sumber: WildanSena 

0 komentar:

Posting Komentar