Jumat, 01 April 2016

Menanti rehabilitasi sebelum mati

Ari Susanto | 5:38 PM, April 01, 2016
Penyintas tragedi 1965 menanti rekonsiliasi, tapi entah sampai kapan  

Supomo, mantan guru yang mengalami siksaan keji dan menjadi tenaga kerja paksa. Foto oleh Ari Susanto/Rappler 

Pagi belum beranjak siang di ujung timur Boyolali, Jawa Tengah. Di sebuah rumah, puluhan laki-laki berusia senja sedang berkumpul dan berbincang tentang nasib mereka yang terlupakan oleh negara sejak setengah abad lalu.
Tak seperti biasa, tak ada intelijen dari kepolisian dan militer yang datang mengawasi pertemuan itu. Tak ada pula ormas dan pentungannya yang gemar memberangus kebebasan berbicara dan berekspresi di negara yang konon menganut demokrasi ini.

Pak Supomo (71 tahun) lalu berbicara membuka pertemuan. Ia mengumumkan tentang hasil Pengadilan Rakyat Internasional (International People Tribunal) di Den Haag, Belanda, November tahun lalu.

“Pengadilan rakyat itu belum berdampak langsung bagi kita, tetapi setidaknya akan membuka mata dunia tentang pelanggaran hak asasi manusia berat 1965-66 yang dilakukan negara, dan juga melibatkan Amerika Serikat dan Australia itu,” kata Supomo kepada kawan-kawannya.

Pagi itu adalah hari pertemuan para korban peristiwa ‘65 dari seluruh kecamatan di Boyolali yang tergabung dalam Sekretariat Bersama Korban (SBK) ’65. Paguyuban ini dibentuk atas inisiatif LPH Yaphi, sebuah lembaga advokasi hukum di Solo yang membela orang-orang lemah dan terpinggir.

Boyolali adalah salah satu daerah yang menjadi perhatian Yaphi, di antara beberapa lainnya di Jawa Tengah. Selain Klaten, kabupaten ini dulunya merupakan “garis merah” dengan jumlah pendukung partai berlogo palu-arit terbesar pada pemilu pertama 1955.

Paguyuban yang mewadahi korban dan penyintas pembunuhan massal, penghilangan paksa, penyiksaan, dan penahanan selama periode ’65-66 itu juga disokong oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). 

Lebih dari 200 orang penyintas yang masih hidup di Boyolali bergabung dalam SBK ‘65. Mereka ingin menyuarakan hak-hak mereka sebagai warga negara.
Kebanyakan mereka adalah guru dan petani yang ditangkap, disiksa, dan ditahan. Ada yang mendekam di kamp kota, ada yang hampir mati di Nusakambangan, dan ada pula yang dibuang ke Pulau Buru menjadi budak kerja paksa.

Mereka tidak tahu menahu tentang pergolakan politik 30 September ’65, tetapi terpaksa menjadi korban kebrutalan massa dan tentara dalam operasi pembersihan PKI dan para simpatisannya di Jawa dan menyandang stigma eks-tahanan politik (tapol) seumur hidup.


Tak paham ajaran komunisme

Pertemuan para kakek itu bukan rapat gelap yang sedang merencanakan pemberontakan untuk menuntaskan dendam mereka karena luka masa lalu.
Alih-alih menyebarkan ajaran Partai Komunis Indonesia (PKI) gaya baru seperti tuduhan para kaum paranoid sejarah kiri, para penyintas tragedi ‘65 ini malah tak tahu persis tentang ajaran komunisme.

Mereka kebanyakan adalah orang-orang yang waktu itu ditangkap karena mendukung Presiden Soekarno, serta korban salah tangkap dan fitnah.

Para penyintas tragedi 1965 di Boyolali. Foto oleh Ari Susanto/Rappler






Para penyintas tragedi 1965 di Boyolali. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Banyak cerita yang mengonfirmasi bahwa peristiwa ’65 menjadi kesempatan bagi manusia-manusia serakah dan culas untuk menyingkirkan orang lain karena menginginkan jabatannya, hartanya, atau istrinya. Bahkan, ini juga dilakukan oleh oknum tentara.

Akibat tidak adanya pengadilan yang membedakan salah dan benar, semua laporan dan tuduhan menjadi benar. Kata “komunis” atau “PKI” menjadi sangat ampuh untuk mengirim orang yang dibenci ke penjara atau kuburan massal.

“Obong omahe, taboki ndase, pek bojone” (bakar rumahnya, pukuli kepalanya, ambil istrinya) adalah istilah yang populer bagi massa dan tentara pemburu “kelompok merah” di Jawa Tengah pada periode ‘65-66.
Di sebuah dusun di Kecamatan Teras, Boyolali, misalnya, semua rumah habis terbakar oleh massa anti-PKI.


Kesaksian para penyintas

Mereka bercerita bahwa tidak pernah ada kerusuhan bersenjata di desa-desa selama September-Oktober ‘65. Menurut kesaksian mereka, yang ada adalah perburuan, penangkapan, dan penyiksaan rakyat yang tidak bersenjata oleh gabungan tentara dan massa yang berafiliasi ke partai-partai pesaing utama PKI.

Supomo bercerita betapa dirinya beruntung masih bertahan hidup setelah mengalami penyiksaan dan penahanan yang keji. Guru sebuah SD di Kecamatan Ampel, Boyolali itu, nyaris mati.

Di tengah perjalanan dari Ampel, ia ditangkap oleh massa yang dikawal tentara, lalu kepalanya beberapa kali ditebas dengan katana – pedang panjang senjata para Samurai yang juga dipakai tentara Jepang pada masa pendudukan di Indonesia.

“Kedua daun telinga saya ini sudah kewer-kewer (menggantung hampir lepas, red), leher saya bagian belakang luka cukup dalam. Bagian bibir atas, dan betis juga robek tersayat pedang,” kata Supomo sambil menunjukkan bekas luka penyiksaan 50 tahun lalu itu.

“Telinga saya ditempelkan kembali oleh petugas PMI keliling waktu itu.”
Meskipun sudah mandi darah, Supomo masih harus menerima hukuman lain yang tak kalah sadis. Badannya diikat dan digelindingkan dari atas jurang, lalu dijatuhi batu kali berukuran besar. Ia jatuh terkapar di dasar jurang, tetapi beruntung tidak tertimpa batu.

Dengan kedua tangannya terikat tali pengikat sapi, ia digiring ke lapangan dan dijemur seharian, sebelum akhirnya dibawa ke kantor polisi di Kecamatan Mojosongo, Boyolali.

“Di kantor polisi, saya disuruh membuka mulut menganga, lalu disumpal pakai sepatu polisi,” kata Supomo.

Ia kemudian dipindahkan ke kamp dan mendekam di sebuah ruangan berukuran 48 meter persegi yang disesaki dengan 140 tahanan. Dengan kondisi luka-luka yang terus mengucurkan darah, ia tak bisa membaringkan badannya.

“Karena penuh sesak, tak ada tahanan yang bisa berbaring. Yang di pinggir tidur sambil berdiri bersandar pada dinding, dan yang di tengah tidur sambil duduk,” ungkap Supomo.

Ia dipindah lagi ke kamp bekas gedung bioskop Candra yang menampung lebih dari 2.200 tahanan, yang dibagi 18 kelompok dan masing-masing terdiri 123 orang.

Setiap menjelang dini hari, teror “bon malam” – pengambilan tahanan untuk dihilangkan paksa – selalu menghantui para tahanan, termasuk dirinya. Beruntungnya, Supomo lolos dari maut.

Polisi penjaga kamp yang kebetulan mengenal Supomo mencoret namanya dari daftar, dan mengatakan kepada tentara yang akan membawa tahanan bahwa nama itu tidak ada di kamp.

Ia pun tak dibuang ke Nusakambangan bersama ratusan tahanan lainnya, tetapi dijadikan tenaga kerja paksa oleh pemerintah Orde Baru untuk mengerjakan proyek saluran air bersih dari Musuk ke Boyolali. Sebelum dibebaskan pada 1969, ia telah menjalani kerja paksa untuk pembangunan enam jembatan, pasar, pengaspalan jalan, hingga pembuatan Waduk Bade di Boyolali.

Supomo tidak benar-benar bebas. Pada pemilu 1971, ia dan mantan tapol lainnya dikumpulkan kembali di kecamatan untuk mendukung Golongan Karya (Golkar). Mereka tidak punya hak pilih, tetapi suara mereka, termasuk keluarga, dihitung untuk partai yang menjadi mesin politik mantan Presiden Soeharto untuk melanggengkan kekuasaannya.

Obong omahe, taboki ndase, pek bojone” (bakar rumahnya, pukuli kepalanya, ambil istrinya) adalah istilah yang populer bagi massa dan tentara pemburu “kelompok merah” di Jawa Tengah pada periode ‘65-66.

Begitu pula yang terjadi pada pemilu 1977, mereka dimobilisasi untuk pemenangan partai berlambang beringin itu lewat pembentukan peleton khusus. Supomo baru mendapatkan hak pilih pada pemilu 1982, tetapi selalu diarahkan untuk mencoblos partai kuning tersebut.

Pengalaman yang miris juga dialami Mardi Wiyono (85), yang menjalani hidup 14 tahun sebagai tahanan. Ia adalah mantan wakil komandan Pertahanan Rakyat (Hanra) yang menjaga daerahnya dari kerusuhan. Tetapi, ia malah dianggap menghalangi massa dan tentara yang ingin menyikat habis para simpatisan komunis.

Mardi ditangkap dan dipukuli. Kepalanya berkali-kali dihantam dengan linggis hingga berurai darah. Tetapi, ia masih selamat dan bertahan hidup meskipun harus menjalani siksaan fisik dan mental di tahanan.

“Saya mengeluarkan banyak darah dan menahan rasa sakit sampai pingsan sebelum dibawa ke kamp,” kata Mardi mengenang.

Ia lolos dari bon malam di kamp Candra, tetapi harus menjalani kerja paksa selama enam bulan, sebelum dikirim ke penjara Nusakambangan awal Maret ’66. Di sana, ia menjalani kerja paksa setiap hari di perkebunan.

“Hanya dijatah makan butir jagung dengan wadah kaleng kecil bekas semir sepatu, dua kali sehari siang dan sore. Kerja dari pagi sampai jam 8 malam,” katanya.

Pada 1971, ia dibuang ke Pulau Buru dan menjadi budak kerja paksa membuka hutan untuk dijadikan sawah dan ladang. Selama empat bulan, ia diberi jatah makan nasi empat ons sehari, selepas itu disuruh mencari makan sendiri.

Kengerian juga dialami Suyono (79), mantan anggota Pemuda Rakyat yang ditangkap dan ditahan di Nusakambangan. Ia sudah merasakan hampir semua penjara di pulau itu, dari LP Batu, Permisan, hingga Limusbuntu – sekarang sudah ditutup.

Ia menyaksikan banyak tahanan yang mati kelaparan. Sedangkan yang mampu bertahan hidup, termasuk dirinya, hanya tinggal tulang dan kulit. Persis mayat hidup, katanya.

“Siksaan kelaparan paling mengerikan di Nusakambangan, banyak yang mati,” kata Suyono.

Ia bisa selamat setelah dipindah mengurus ternak dan memerah sapi untuk menyediakan susu bagi sipir penjara dan polisi. Suyono bisa mencuri dan meminum susu setiap hari untuk memulihkan badannya yang kering kerempeng.

Di antara para korban ’65, ada pula yang paling beruntung dan tidak mengalami penahanan atau siksaan. Ia adalah Pak Supoyo, yang paling senior di antara yang lain. 

Mantan guru di salah satu SD tertua di Solo itu hanya dipecat dari sekolah. Alasannya, ia dianggap terlibat dalam organisasi terlarang.

Apa yang mereka inginkan?

Mardi Wiyono, mantan tapol yang 14 tahun menjalani kerja paksa di Nusakambangan dan Pulau Buru. Foto oleh Ari Susanto/Rappler






Mardi Wiyono, mantan tapol yang 14 tahun menjalani kerja paksa di Nusakambangan dan Pulau Buru. Foto oleh Ari Susanto/Rappler 

Dari data yang dikumpulkan SBK ’65 di Boyolali, tercatat sekitar 1.850 orang meninggal dan dihilangkan paksa, 4.750 orang ditahan, dan 11.500 orang menjalani wajib lapor dalam peristiwa ‘65. 

Semuanya tidak pernah menjalani proses peradilan untuk membuktikan apakah mereka bersalah dan terlibat dalam Gerakan 30 September.

Para korban yang masih hidup hanya ingin berjuang melepas kekang stigma “bekas PKI”, menghabiskan sisa umurnya sebagai warga negara biasa, dan menutup masa tuanya dengan damai. Karenanya, mereka ingin kebenaran diungkap dan sejarah diluruskan.

“Kami ingin nama kami dan keluarga direhabilitasi, dibersihkan, sebelum kami mati,” kata Supomo.

“Kalau tak ada kompensasi, setidaknya hak-hak korban dikembalikan. Misalnya bagi guru, diberikan hak pensiun, yang tua-tua diberi jaminan kesehatan, dan anak-anaknya tidak lagi mengalami diskriminasi dalam memperoleh pekerjaan.”

Sampai saat ini, hak untuk hidup sehat saja belum sepenuhnya mereka dapatkan. Para korban ’65 yang rata-rata dari golongan ekonomi lemah ini kebanyakan tidak masuk dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh Badan Pengelola Jaminan Sosial.

Beruntungnya, LPSK saat ini membantu mereka dengan memberikan kartu layanan JKN, meski baru untuk sebagian kecil saja – 40 dari 200 orang korban di Boyolali yang mengajukan.

Belenggu “dosa warisan” juga membuat keturunan mereka terus mengalami diskriminasi. Supomo mencontohkan, seorang anak muda yang berprestasi mengagumkan dan lolos seleksi sebagai calon anggota polisi dibatalkan kelulusannya hanya karena ia adalah cicit dari eks-tapol.

Supomo dan kawan-kawan mengerti bahwa rekonsiliasi tidak mudah dan masih seperti mimpi. Apalagi, permintaan maaf presiden sebagai kepala negara kepada korban tragedi ’65, yang seharusnya menjadi titik awal rekonsiliasi, tidak pernah terjadi.

Tanpa rekonsiliasi, tak akan ada rehabilitasi, apalagi kompensasi. Entah sampai kapan mereka akan terus menanti.—Rappler.com
 
http://www.rappler.com/indonesia/127901-menanti-rehabilitasi-sebelum-mati

0 komentar:

Posting Komentar