Oleh : Ibrahim Isa
Alias Bramijn | 04-Okt-2007, 12:39:40 WIB
TRIKOYO, DN AIDIT dan IMPUNITAS
Tulisan berikut ini mungkin berkepanjangan, dimaksudkan
sebagai pengantar atas CERPEN sahabatku TRIKOYO, putranya Mbah Ramidjo,
digulis, pejuang kemerdekaan. Trikoyo menyoroti betapa ketiadaan hukum,
IMPUNITAS, di negara RI yang dinyatakan sebagai suatu 'rechtsstaat', NEGARA
HUKUM.
Sekitar 30 September, boleh dikatakan setiap tahun, hampir semua media memuat tulisan yang bersangkutan dengan 'Peristiwa G30S'. Ada yang berupa studi, penulisan sejarah, atau, tidak jarang, hanya reka-rekaan atau pemilintiran fakta sejarah semata. Ditulislah mengenai apa, dan sampai dimana peran DN Aidit ketua PKI dalam peristiwa tersebut. Bersama 'Biro Chususnya', DN Aidit dituduh, bahkan Orba sudah memastikannya sebagai dalang dari G30S dan pembunuhan enam jendral plus seorang perwira menengah TNI-AD. Tetapi sebegitu jauh semua tulisan tsb tidak jauh dari tulisan-tulisan yang merupakan berbagai varian analisis dan cerita mengenai apa sebenarnya G30S, yang oleh Bung Karno dinamakan GESTOK dan oleh Orba dan para pengikut dan pendukungnya disebut dan ditulis G30S/PKI.
***
Salah satu segi positif gerakan Reformasi yang telah berhasil menjatuhkan Jendral Suharto (tetapi tidak menghapuskan struktur politik dan kekuasaan dan pengaruh plitik Orba), -- Adalah munculnya pelbagai tulisan dan komentar, studi dan 'oral-history' menyangkut pelbagai analisis dan kesimpulan mengenai G30S termasuk siapa dalangnya. Ini memberikan kesempatan bagi yang memang mau berfikir dan menganalisisnya sendiri, untuk menarik kesimpulannya masing-masing. Barangkali para akhli hukum Orba bisa memberikan jawaban atas pertanyaan berikut ini: Mengapa justru yang dituduh paling bertanggung jawab dan menjadi dalang dari G30S, seperti, sebut saja: ketua PKI DN Aidit atau Presiden Republik Indonesia Sukarno, --- Mengapa justru mereka itu, tidak diajukan ke pengadilan? Untuk diadili dan dijatuhi hukuman yang setimpal bila terdapat bukti-bukti mengenai kesalahan mereka,. Yang itu harus dilakuka oleh suatu lembaga pengadilan yang independen dan transparan. Kalau itu dilakukan: Bukankah akan lebih sesuai dengan ketentuan hukum dan akan lebih meyakinkan jika 'tertuduh utama' Sukarno dan DN Aidit dimintai pertanggungan jawabnya di muka pengadilan? Supaya menjadi jelas bagi seluruh rakyat Indonesia dan dunia, duduk perkara sebenarnya mengenai G30S. Tidak, mereka tidak diajukan ke pengadilan. DN Aidit ditembak mati secara ekstra-judisial. Sedangkan Presiden Sukarno dikenakan tahanan rumah. Ditutup secara hermetis dari dunia luar, dibiarkan menderita sakit tanpa obat dan perawatan yang pantas dan sudah seharusnya bagi seorang kepala negara yang menderita sakit, sampai beliau meninggal dunia. Dalam suatu kasus yang menyangkut pembunuhan, apalagi jika itu suatu komplotan perebutan kekuasaan negara, seperti yang dalam hal ini dituduhkan pada DN Aidit, dimana jatuh korban tidak kurang dari 6 jendraal dan seorang perwira menengah TNI-AD, diajukan pertanyaan sbb: Siapa yang menarik keuntungan dari kasus ini? Sejarah telah membuktikan bahwa yang menarik keuntungan paling besar dari peristiwa G30S, yang dinyatakan sebagai komplotan itu, ---- adalah Jendral Suharto dan klik militernya. Adalah kekuatan kolonialisme dan imperialisme di dunia ini yang berpesta ria dengan jatuhnya Presiden Sukarno dan naiknya Jendral Suharto sebagai presiden RI. Juga menjadi jelas kemudian bahwa yang dilikwidasi dalam peristiwa tsb adalah saingan-saingan Jendral Suharto. Aku ingat apa yang dikatakan oleh seorang diplomat ulung perempuan Indonesia, Ibu Supeni, anggota Komisi LN DPR RI, bahwa (ini kata-katanya sendiri, yang kebetulan untung masih bisa kujumpai dalam kunjunganku ke Indonesia sebelum beliau meninggal dunia). Ibu Supeni tanpa tedeng aling-aling mengatakan sbb: 'BILA TAK ADA G30S SUHARTO TAK AKAN MENJADI PERSIDEN'. Suatu pernyataan yang penuh mengandung arti dan kebenaran! * * * CERPEN 100307 D.N. AIDIT, SIAPA PEMBUNUHNYA? Renungan : Tri Ramidjo. Di mass media sering disebut-sebut yang menangkap dan menginterogasi Aidit adalah Kolonel Yasir Hadibroto pada tanggal 22 Nopember 1965 di desa Sambeng belakang stasiun Balapan, Solo (Surakarta) dan pagi esoknya dibawa ke Boyolali 25 km dari Solo kemudian di tembak dengan AK satu magasin (satu magasin setahuku isinya 25 butir peluru tajam.). AK adalah sejenis senapan mesin ringan buatan Rusia. Apa singkatan AK aku tak tahu. Menurut mass media Aidit ditembak membelakangi sumur tua dan langsung terjungkel di sumur tua itu. Negeri ini adalah negara hukum. Orang yang dihukum mati pun jenazahnya diserahkan kepada keluarganya dan dimakamkan secara baik-baik menurut agama yang dianutnya. Tapi Aidit ditembak tanpa proses hukum, terikat dan tidak berdaya. Tawanan perang pun yang tertangkap tidak diperlakukan semena-mena. Aku bisa berkata demikian karena aku mengalami bertempur dalam perang dunia ke II. Ketika itu aku adalah komandan kompi dalam angkatan darat Jepang. Pasukanku pernah menangkap spion atau mata-mata tentara sekutu, lengkap dengan tanda anggotanya dan sepucuk pistol Vickers. Mata-mata itu tidak langsung ditembak mati tapi melalui proses pemeriksaan, pengadilan militer dan baru dijatuhi hukuman 15 tahun penjara. Itu dalam keadaan perang di tahun 1944 dan yang berkuasa adalah tentara fasis Jepang. Bayangkan, kita semua tahu betapa kejamnya tentara fasis Jepang waktu itu. Sedang Aidit, beliau adalah seorang menteri dari pemerintahan yang syah di bawah Presiden yang juga syah Sukarno. Suharto yang merebut kedudukan tertinggi militer angkatan darat dan melawan perintah Panglima Tertinggi, bertindak atas kewenangannya sendiri dan Yasir Hadibroto apakah bertindak atas perintah Suharto atau bertindak sendiri masih kurang jelas disebut dalam mass media. Tapi bagaimana pun juga tindakan kolonel Yasir pada waktu itu terang melanggar hukum. Yasir adalah pembunuh dan harus diadili. Harus ditindak menurut hukum. Kalau menurut cerita-cerita silat Tiongkok, hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa dan anak-anak yang berbakti kepada orang tuanya pasti membalaskan dendam. Itu cerita silat. Tapi Aidit yang ditembak mati semena-mena oleh Yasir tanpa proses hukum, sudah sepatutnya penegak hukum di negeri ini harus bertindak. Apakah harus menunggu laporan pengaduan dari anak-anak, kerabat atau familinya yang menuntut hukum? Apakah penegak hukum di negeri ini sudah banci, impoten seperti diriku ini? Aku menderita impoten bertahun-tahun juga karena siksaan interrogator orba dan bahkan sekarang ini menderita stroke sehingga tangan kananku tidak berfungsi. Aku juga ditahan bertahun-tahun diasingkan ke pulau Buru akibat fitnah dan tidak pernah melalui proses hukum pengadilan apa pun apakah itu yang dinamakan hukum perdata atau pun hukum pidana. Apakah aku yang sudah 81 tahun ini harus tertatih-tatih masuk keluar kantor menghadap petinggi-petinggi negeri ini untuk mengadukan nasib derita akibatvfitnah? Masyaallah, sungguh keterlaluyan hukum di negeri ini. Benar-benar negeri ini bukan negara hukum lagi lebih baik disebut negeri di luar hukum dan yang memegag bedil sama klasnya seperti cowboy-cowboy di Amerika. Apakah rakyat negeri ini dianggap sapi yang digiring oleh cowboy-cowboy? Cerita-cerita cowboy masih jauh labih baik sebab dalam cerita cowboy yang benar selalu menang. Sudah 42 tahun berlalu negeri ini menjadi negeri yang amburadul. Sudah saatnya para petinggi negeri ini mawas diri dan mengambil tindakan yang sesuai dengan norma-norma hukum, Ahli-ahli hukum di negeri ini sudah cukup banyak tapi yang benar-benar mengerti hukum dan melaksanakan hukum masih sangat langka. Astagfirullah. Sudah saatnya kita bisa menyanyikan lagu komponis terkenal Cornel Simandjuntak : Maju tak gentar, membela yang benar, dan bukan maju tak gentar, membela yang......bayar. Hahaha. Maaf, sudah 21 hari ini aku puasa. Aku tak boleh marah-marah sebab puasa seperti diperinthkan Allah adalah agar kita bertaqwa. Ayahku sering mengatakan bertaqwa artinya mentaati dan melaksanakan perintah-perintah Allah serta menjauhi larangan-larangan Allah. Hal ini tentu saja tak perlu kutulis, sebab setiap umat Islam pasti sudah mengerti. Apalagi mereka yang rajin shalat lima waktu. Setiap shalat pasti didahului dengan wudhu dan tentu saja mengerti betul artinya wudhu. Kemudian berdiri dan takbir Allahu Akbar dan membaca do'a iftitah ...........Innashalati .....dst. Jelas di dalam do'a iftitah itu setiap muslim tahu betul untuk apa hidup ini sebenarnya. Tangerang hari ke 21 puasa, Rabu Pon 03 Oktober 2007.
Dari: Kabar Indonesia
|
0 komentar:
Posting Komentar