Tempo, 1-7 Oktober 2007
HAMPARAN tanah berkerikil itu ditumbuhi labu siam dan ubi
jalar. Pohon mangga dan jambu biji menaunginya di kanan-kiri. Hanya itu. Tak
ada satu pun penanda yang menunjukkan bekas sumur di pekarangan belakang gedung
tua itu. Dulu, bangunan ini adalah bagian dari kompleks markas Batalion 444 TNI
Angkatan Darat di Boyolali--sebuah kota kabupaten sekitar 25 kilometer di
sebelah barat Solo, Jawa Tengah.
Meski tak berbekas, banyak orang meyakini, di sepetak
halaman itu pernah ada sebuah sumur tua tempat jenazah Dipa Nusantara Aidit,
Ketua Umum Comite Central PKI, dikuburkan pada 23 November 1965. Salah satunya
Mustasyar Nahdlatul Ulama Boyolali, Tamam Saemuri, 71 tahun.
Pada suatu malam di tahun berdarah 1965, dia bertemu
Kolonel Yasir Hadibroto dalam sebuah rapat organisasi massa di pendapa
kabupaten. Saat itu Tamam mudal adalah aktivis Gerakan Pemuda Anshor,
organisasi yang banyak terlibat dalam "operasi pembersihan."
Kepada Tempo dua pekan lalu, dia bercerita
bahwa dalam pertemuan itu Yasir mengumumkan pasukannya telah menembak mati
Aidit beberapa hari sebelumnya.
"Eksekusinya subuh-subuh," Tamam menirukan Yasir. Seakan meneguhkan ucapan kepada lawan bicaranya, Yasir menunjukkan jam tangan yang dia kenakan.
"Ini arloji Aidit," katanya.
Sewaktu didesak menceritakan bagaimana pucuk pimpinan PKI itu tewas, Yasir berujar, "Dia diberondong senapan AK sampai habis 1 magasin."
Sejumlah sumber lain membenarkan cerita Tamam. Setelah
puluhan tahun, cerita itu sampai juga ke telinga putra Aidit, Ilham. Empat
tahun lalu dia memutuskan datang sendiri ke tempat yang diduga sebagai pusara
ayahnya.
"Sejak lulus kuliah sampai 1998, saya selalu mencari kuburan ayah dengan sembunyi-sembunyi," katanya tatkala dihubungi pekan lalu.
Saat itu dia hanya berbekal sepotong informasi dari koran
bahwa Aidit tewas ditembak di Boyolali. Berbilang kawan dekat ayahnya dia
tanyai, tapi tak ada satu pun yang tahu nasib Aidit selepas meninggalkan Ibu
Kota.
Menemukan makam Aidit bukan perkara mudah, bahkan bagi
anaknya. Ada upaya sistematis untuk membuat peristirahatan terakhir Aidit
dilupakan orang. Sumur tua itu, misalnya, sampai dua kali diuruk batu setelah
November 1965. Kompleks gedung markas Batalion 444 juga dibongkar dan kini
hanya menyisakan sebuah gedung tua. Gedung itu sekarang digunakan sebagai mes
pegawai Komando Distrik Militer (Kodim) Boyolali.
Batalion 444 dikenal sebagai kesatuan tentara
pro-komunis. Salah satu komandan kompinya adalah Letnan Kolonel Untung
Syamsuri, yang kemudian memimpin operasi penculikan sejumlah jenderal pada
malam 30 September. Tahun-tahun menjelang 1965, Boyolali juga dikenal sebagai
basis PKI Jawa Tengah. Dalam Pemilu 1955 dan pemilihan kepala daerah dua tahun
sesudahnya, PKI meraih kemenangan besar di sana.
Pencarian Ilham baru berbuah ketika sebuah lembaga
swadaya masyarakat lokal di Boyolali menghubunginya dan menceritakan temuan
mereka.
"Mereka mengetahui lokasi ini dari sumber-sumber kredibel yang terlibat langsung dalam pembunuhan anggota PKI saat itu," kata Ilham.
Tempo mendatangi lokasi itu dua pekan lalu. Dan
seorang penghuni di mes Kodim membenarkan pekarangan belakang gedung itu
disebut-sebut sebagai lokasi kuburan Aidit.
Dia menambahkan, telah lama warga setempat berusaha
menghindari bekas sumur tua itu.
"Pernah ada orang yang mau membuat bak sampah tepat di atasnya, tapi cangkulnya membentur batu keras," katanya.
Saat bergeser
beberapa meter ke samping, justru muncul pecahan tulang tempurung tengkorak.
Lubang itu buru-buru ditutup lagi. Si penghuni ini menolak disebut namanya
karena khawatir keselamatannya terancam.
Tak sampai 100 meter dari sana, ada sebuah lokasi lain
yang juga disebut-sebut berhubungan dengan Aidit. Di sanalah, konon, Wakil Ketua
Majelis MPR Sementara itu ditembak mati. Pekarangan tersebut bagian dari satu
rumah berarsitektur tua yang sekarang menjadi gedung Bank Pembangunan Daerah
Jawa Tengah.
"Jadi setelah ditembak di sana, baru jenazahnya dimasukkan ke sumur di sebelahnya," kata Ilham kepada Tempo.
Pada
1965, rumah itu digunakan sebagai Sekolah Pendidikan Guru. Lokasinya tak jauh
dari Pasar Boyolali, yang berhadap-hadapan dengan markas polisi militer Kodim
Boyolali dan gedung yang dulu digunakan sebagai Sekretariat PKI.
Mbah Jungkung, seorang pensiunan pegawai negeri setempat
yang banyak mengetahui ihwal kejadian pada masa itu, membenarkan kisah Ilham.
Bahkan, menurut dia, gedung sekolah itu dahulu dijadikan semacam kamp tahanan.
Para anggota dan simpatisan PKI dikumpulkan di situ sebelum dieksekusi.
●●●
Ketika akhirnya berdiri di samping pusara ayahnya pada
2003 lalu, Ilham mengaku tak kuasa menahan getaran hatinya.
"Naluri saya mengatakan memang di sinilah tempatnya," katanya dengan suara tercekat. Putra Aidit itu juga mengaku memendam keinginan untuk memindahkan jenazah ayahnya ke tempat yang layak.
"Tapi mungkin belum bisa sekarang," katanya pelan. "Kami harus bersabar."●
0 komentar:
Posting Komentar