October 04, 2007
Tulisan ini adalah karya Harsutejo, dimuat atas izin yang diberikan si penulis kepada saya, dan karenanya saya berterima kasih. Pemuatan tulisan ini untuk menyambut peringatan peristiwa G30S yang telah mengubah secara fundamental jalan sejarah negeri ini. Kalau boleh, saya ingin mendedikasikan pemuatan tulisan ini kepada semua korban di pihak manapun dan keluarga korban peristiwa keji itu dan rangkaian perisiwa keji dengan efek horor yang tak terperikan yang terjadi berikutnya.
Oleh: Harsutejo
SUDAH menjadi keterangan klasik apa yang dikisahkan oleh Kolonel Latief tentang dua kali pertemuannya dengan Jenderal Suharto. Pertemuan kedua terjadi beberapa jam sebelum penculikan dan pembunuhan sejumlah jenderal yang dilakukan oleh pasukan G30S. Sudah sangat dikenal bahwa dua batalion pasukan Brawijaya dan Diponegoro yang didatangkan ke Jakarta yang kemudian menjadi bagian pasukan G30S didatangkan atas perintah Jenderal Suharto. Pasukan itu pun sesuai dengan perintah bersiap untuk bertempur. Pasukan ini pula yang kemudian sebagian menyerah bongkokan kepada Jenderal Suharto di Kostrad karena tiadanya logistik, bahkan para prajuritnya kelaparan dan minta makan ke markas Kostrad. Inilah bagian dari skenario G30S yang dirancang untuk gagal (lihat analisis tentang Brigjen Suparjo).
Bicara tentang G30S selalu memuat tentang sang dalang. Sudah sejak dini sejarawan Prof Dr Nugroho Notosusanto menuduh Presiden Sukarno sebagai dalangnya (yang kemudian juga dianut oleh Victor M Fic). Rezim Orba dan para kerabatnya menuduh Aidit/PKI, yang lain CIA, Jenderal Suharto, atau dan berbagai kombinasi. Sejumlah ahli lebih menitikkan pada dalang peristiwa kelanjutannya berupa pembantaian 500.000 sampai 3 juta rakyat yang dituduh terlibat G30S atau PKI dalam waktu beberapa bulan tanpa ada perang. Sebagian orang menguar-uarkan tentang adanya situasi ketika itu yang digambarkan sebagai “membunuh atau dibunuh” untuk mengelakkan tanggungjawab pembantaian massal tersebut sebagai ditulis oleh Brigjen (Purn) Samsudin, Sulastomo, Fadly Zon, Salahuddin Wahid dsb, sesuatu yang sama sekali tidak ada buktinya dan tidak benar.
Sejumlah peristiwa yang menelan korban sebelum 1 Oktober 1965 serta bentrokan yang terjadi di beberapa tempat segera sesudah peristiwa G30S disebut sebagai situasi “membunuh atau dibunuh”, sesuatu yang sangat dibesar-besarkan. Justru propaganda hitam seluruh mesin rezim Orba terus-menerus (bahkan sampai tahunan) yang membuat panas situasi, mematangkan situasi untuk melakukan pembunuhan massal itu (lihat misalnya Lubang Buaya dan Gerwani). Dalam hubungan ini tidak ada kontroversi, Jenderal Suharto yang bertanggungjawab, sedang Kolonel Sarwo Edhie Wibowo dan sejumlah petinggi militer lain sebagai penanggungjawab lapangan. Tidak berlebihan jika Suharto kita sebut sebagai Sang Jagal.
Sang Jagal
Jenderal Besar (Purn) Suharto, Bapak Pembangunan, Sang Supersemar, Presiden Republik Indonesia (1968-1998), juga Ketua Dewan Pembina Golkar di sepanjang tiga dekade kekuasaannya. Selama itu Suharto dipilih sebagai Presiden RI sebanyak 7 kali dengan dukungan penuh Golkar sebagai bagian dari tiga pilar ABG: ABRI, Birokrasi, dan Golkar. Itulah yang disebut sebagai Demokrasi Pancasila. Seorang penulis menyebut ‘Suharto adalah Golkar dan Golkar adalah Suharto’. Sebenarnyalah ‘Suharto adalah ABRI dan ABRI adalah Suharto’ di samping ‘Suharto adalah Birokrasi dan Birokrasi adalah Suharto’, jadi Suharto itu identik dengan kekuasaan negara, bahkan dengan negara itu sendiri. Pendeknya Suharto ya Indonesia dan Indonesia ya Suharto.
Karena Indonesia itu juga Suharto, maka tak aneh jika hanya dia yang berhak menafsirkan UUD 1945. Dalam pasal 7 disebutkan “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Kalimat ini dianggap jelas bahwa masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden hanya lima tahun pertama dan lima tahun kedua jika dipilih. Sama sekali tidak disebutkan bahwa boleh lima tahun ketiga dst. “Siapa bilang UUD 45 membatasi jabatan presiden cumak dua kali, tidak ada nyang membatasi…” begitu Suharto bersabda sebagai tafsirnya. Dalam bahasa gaul kira-kira berbunyi “sukak-sukak aku”.
Selanjutnya tentang Pasal 33 yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Itu berarti untuk kemakmuran Suharto, anak cucu cicit, begundal alias kroninya dalam dan luar negeri. Kan Suharto itu Indonesia dan Indonesia itu Suharto, tidak ada yang salah bukan?
Rezim militer Orba dibangun oleh Suharto cs lewat lumuran darah para jenderal dan tiga juta rakyat Indonesia setelah didahului fitnah kotor dongeng horor tentang tarian harum bunga Gerwani di Lubang Buaya. Selanjutnya kedudukan Suharto mendapatkan legitimasi dengan apa yang disebutnya Supersemar, surat perintah 11 Maret 1966 dari Presiden Sukarno yang dipalsukan itu. Legitimasi selanjutnya didapat dengan menafsirkan UUD 1945 seenak udelnya sendiri. Legitimasi yang lain perlu dibangun dengan peran sejarah Letkol Suharto dalam serangan umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta terhadap pendudukan Belanda yang diklaimnya sebagai pemilik gagasan dan pelaksana di lapangan.
Senyum Suharto menggambarkan kata-kata yang tak diucapkannya, “Habis petinggi militer yang lain pada ngumpet carik slamet, sedang Hamengkubowono IX cumak nongkrong di di istananya, maka ya saya sendiri yang tampil menghadapi musuh…….” Tentu saja Suharto mendapatkan dukungan barisan kaum intelektual dan cerdik pandai di segala lini yang dapat dibelinya. Maka ditulislah sejarah dirinya dengan tinta emas, dibuatlah film kepahlawanan dirinya yang tiada tara seperti ‘Janur Kuning’ dan ‘Pengkhianatan G30S/PKI’ serta bangunan ‘Monumen Yogyakarta Kembali’ di Yogya yang megah itu.
Dunia Barat merasa berutang budi ketika Jenderal Suharto menggulung PKI dan seluruh gerakan kiri dan akhirnya berhasil menggulingkan Presiden Sukarno, simbol rakyat Indonesia dan dunia ketiga dalam menghadapi imperialisme dunia. Maka langkah selanjutnya adalah mendepolitisasi rakyat yang menjadi tujuan bersama antara dunia Barat dengan penguasa represif. Dua kekuatan itu bekerja sama menyingkirkan mayoritas penduduk Indonesia dari kehidupan ekonomi dan politik di negara mereka sendiri. Gaya rezim ini adalah tiadanya pembangunan politik elementer alias politik tanpa pembangunan politik, soalnya politik itu tabu bagi rakyat. Biarlah politik itu menjadi monopoli Suharto, ABRI, Birokrasi, dan Golkar. Sedang dua partai lain, PPP dan PDI diberi peranan politik pinggiran pupuk bawang sebagai ornamen demokrasi.
Suharto masih merasa kurang pas jika belum dilengkapi legitimasi yang lain daripada yang lain, yakni legitimasi alam gaib. Ia pun dibentengi oleh sejumlah dukun dan azimat yang diatur dari atas, barangkali oleh Ki Semar. Bukan kebetulan jika Suharto mengidentifikasikan dirinya dengan Ki Semar. Salah seorang dukun yang tersohor sekaligus asisten khusus Suharto ialah Jenderal Sudjono Humardani. Ia pernah diutus menjemput “kembang wijayakusuma” bagi kesaktian dan kemenangan Suharto.. Untuk itu Suharto melakukan apa yang dalam bahasa Jawa disebut nglakoni, menjalankan olah mental dan spiritual dengan cara berpuasa, kungkum di sungai tertentu yang dianggap istimewa atau wingit dengan air dingin menusuk, tidak sebarang orang tahan dan bisa diterima oleh tempat itu. Suharto bersemadi di pinggir sungai yang seram, di gua atau di pantai Samudera Hindia untuk menghadap Nyai Loro Kidul dalam mitos Jawa, bahkan disebut melakukan perkawinan sakral [bukan perselingkuhan?] dengan sang Nyai. Apa isterinya tidak cemburu ya?
Bapak Koruptor Teladan
Dalam hubungannya dengan harta korupsi yang pernah dijarah Suharto bersama keluarganya, maka ada gagasan Presiden Gus Dur untuk melakukan tawaran damai kepada keluarga Cendana. Hal ini merupakan langkah persuasif Presiden Gus Dur agar keluarga Cendana “sudi berkontribusi kepada negara dan rakyat”. Maka pada akhir Mei 2000 dikirimlah utusan terdiri dari Menteri Pertambangan dan Energi Susilo Bambang Yudoyono, Ketua Gerakan Pemuda Ansor Saifullah Yusuf dan Zarnuba Arifa Chafsoh alias Yenny, putri Presiden Gus Dur.
Jika keluarga Cendana setuju dengan jalan damai, maka rencananya Gus Dur akan mengeluarkan surat pengampunan kepada Suharto dengan imbalan keluarga Cendana mengembalikan harta jarahannya sebesar 70-90%. Konon harta yang diincar di luar negeri saja sebesar 45 miliar dollar AS. Ketika itu jaksa Agung Marzuki Darusman sedang melakukan pengusutan perkara korupsi Suharto. Niat baik Gus Dur tak terimbangi. Ya mereka hanya mau menjarah dan tak sudi berkontribusi untuk negara dan rakyat. Rakyat jelata mempunyai ungkapan sederhana “mana ada maling mau mengaku”. Konon polisi Indonesia punya kiat jitu, bahkan mumi Mesir Kuno pun tak dapat mengelak mengakui umurnya.
Ketetapan MPR No. X1/1998 mengamanatkan pemberantasan KKN yang dilakukan siapa pun termasuk mantan Presiden Suharto. Pada tahun 2000 Suharto hendak dituntut dalam perkara “gurem” dalam tindak korupsi sebesar Rp1,7 triliun dan 419 juta dollar AS terhadap uang yayasan yang didirikannya (Yayasan Darmais, Dakab, Supersemar, Amal Bhakti Muslim Pancasila, Dana Mandiri, Gotong Royong dan Trikora).
Yayasan yang bertujuan sosial ini memiliki aset sebesar Rp4,014 triliun. Yayasan ini telah menghimpun dana dengan berbagai macam aturan pemotongan gaji pegawai negeri, sebagian laba bank pemerintah serta BUMN serta dari para pengusaha kakap. Dalam kenyataannya dana itu dibuat bancaan untuk modal perusahaan milik Bob Hasan, Bank Yama milik Tutut, Sempati Air milik Tommy. Ini semua merupakan penyalahgunaan. Akhirnya Jaksa Agung Mei 2006 mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3). Suharto memang digdaya. Hidup Suharto!
Diberitakan pada akhir Februari 2007 bahwa tim Kejagung, instansi sama yang mengeluarkan SP3 akan melayangkan somasi dengan gugatan perdata terhadap mantan Presiden Soeharto yang harus mengembalikan uang negara sekitar Rp 1,5 triliun yang diduga hasil korupsi semasa mengetuai tujuh yayasan. Menurut pakar bidang perkorupsian Junus Aditjondro, hal ini cuma akal-akalan mencari popularitas. Kata Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, Suharto telah melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum, itu yang akan digunakan dalam gugatan perdata.
Jatuhnya Suharto pada 1998 tidak serta merta mengakhiri rezim lama, pelembagaan hal-hal menyesatkan terus berlangsung. Jenderal Besar (Purn) Suharto ditumbangkan, kuku-kukunya sebagai bagian dari rezim militer Orba masih mencengkeram berbagai aspek kehidupan bangsa dan negeri ini. Bersamanya terdapat suatu lapisan militer dan sipil yang telah mencengkeram akumulasi kekayaan amat besar negeri ini yang kemudian menjadi sah secara hukum yang akan tetap memberikan pengaruhnya dalam jangka panjang dalam bidang politik maupun ekonomi terutama melalui apa yang disebut money politics, dengan politik kekuatan uang alias politik menyogok, menekan, mengancam dan meneror yang menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya kekerasan rezim Orba.
Kekayaan mereka itu setidaknya sebesar 60 miliar dollar AS ketika Suharto jatuh, hampir setara dengan 600 triliun rupiah. Sedang realisasi APBN Perubahan 2006 untuk belanja negara sebesar Rp 528 triliun, artinya Suharto beserta kroninya mampu membeli negeri ini. Awas, kepala kita masing-masing bisa dibelinya. Situasi mutakhir Sang Jagal yang Bapak Koruptor mendapat hadiah Rp 1 triliun dari Mahkamah Agung RI dalam perkaranya dengan majalah Time, diikuti pentahbisan dirinya sebagai penjarah kekayaan negara kelas hiu nomor wahid di dunia dari StAR (State Assets Recovery) Initiative PBB. Kita ikuti seruan penyair Wiji Thukul, “Hanya ada satu kata: Lawan!” (Petikan dari naskah belum terbit)
Sumber: TeguhTimur
0 komentar:
Posting Komentar