16 November 2008
Selalu ada yang hal hal yang ajaib tentang bagaimana sekelompok masyarakat menjadi benteng moral di negeri ini. Ini bukan berkaitan dengan UU Pornografi. Bukan itu. Ini tentang bagaimana sutradara Eros Jarot yang dilarang syuting di wilayah Solo. Bukan dilarang oleh polisi atau Pemerintah, tapi dilarang oleh sebagian kelompok masyarakat di sana.
Kelompok yang menamakan – mengaku – perwakilan sejumlah elemen masyarakat di kota Solo menolak pengambilan gambar film LASTRI , yang rencananya akan dibesut di wilayah Solo. Pasalnya, karena mereka menilai skenario film itu mengandung ajaran komunis. Demikian ujar Triyanto, Kepala Kantor Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat kabupaten Karanganyar.
Menurut Eros, tokoh Lastri ini memang diceritakan sebagai tokoh GERWANI. Namun ia mengatakan sebagai kebebasan kreasi seni, sah sah saja mengambil latar belakang karakter komunis. Walhasil film yang akan dibintangi Lukman Sardi, Slamet Rahardjo, Marcella Zalianty dan Iga Mawarni harus ditunda atau mungkin dipindahkan lokasi syutingnya. Pabrik gula Colomadu juga akhrnya menurut desakan ini dan mencabut ijin syuting disana.
Bagaimana mereka bisa mendapatkan skenario itu juga hal yang ajaib. Karena skenario merupakan bagian internal sebuah produksi yang tidak disebar kemana mana. Pada umumnya masyarakat atau warga sekitar lokasi syuting tidak pernah tahu jalan ceritanya.
Kejadian ini sangat menggelikan sekaligus miris. Pertama, mungkin para pekerja film harus membuat film yang isinya ulama, pastor, alam atau cinta memble dan horror saja. Kedua, para elemen masyarakat disana harusnya tahu bahwa sekarang komunis sudah rontok. Kalaupun masih ada tersisa sudah jadi funky, beradab – tidak suka menyilet kemaluan dan mencungkil bola mata – serta menjadi kapitalis.
Kejadian ini sangat menggelikan sekaligus miris. Pertama, mungkin para pekerja film harus membuat film yang isinya ulama, pastor, alam atau cinta memble dan horror saja. Kedua, para elemen masyarakat disana harusnya tahu bahwa sekarang komunis sudah rontok. Kalaupun masih ada tersisa sudah jadi funky, beradab – tidak suka menyilet kemaluan dan mencungkil bola mata – serta menjadi kapitalis.
Lihat saja China yang lebih memilih bagaimana menjual produk ekspornya daripada mengurusi komunisnya. Sementara para remajanya tidak ditabukan untuk memuja Michael Jackson daripada Mao Ze dong.
Bentuk bentuk kesewenangan ini menjadi bukti bahwa masyarakat kita belum dewasa, atau mudah terprovokasi. Kebebasan berkreasi semestinya dihargai. Toh mereka bukan membuat film porno. Padahal film film dengan latar belakang komunis banyak ditemukan di sini.
Kalau begitu , saya semakin miris membayangkan betapa seramnya kekuatan ‘ paksa ‘ yang dimiliki orang atau sekelompok masyarakat. Jika urusan film saja mereka bisa bertindak sebagai polisi moral. Lalu bagaimana dengan Undang Undang yang memfasilitasi mereka untuk main hakim sendiri ?
Kalau begitu , saya semakin miris membayangkan betapa seramnya kekuatan ‘ paksa ‘ yang dimiliki orang atau sekelompok masyarakat. Jika urusan film saja mereka bisa bertindak sebagai polisi moral. Lalu bagaimana dengan Undang Undang yang memfasilitasi mereka untuk main hakim sendiri ?
* foto dari buku ” Under Soeharto’s years ” tentang anggota GERWANi yang ditangkap di daerah Solo.
Sumber: Iman Brotoseno
0 komentar:
Posting Komentar