14 MARET 2000. Di halaman Istana Merdeka pagi itu, saat Gus Dur menyampaikan permintaan maaf kepada orang-orang yang menjadi korban dalam pembantaian massal menyusul peristiwa G30S. Gus Dur juga mengatakan siap membuka kembali kasus itu.
“Dari dulu pun, saya sudah minta maaf. Bukan sekarang saja, tanyakan pada teman-teman di lembaga swadaya masyarakat (LSM). Saya sudah meminta maaf atas segala pembunuhan yang terjadi terhadap orang-orang yang dikatakan sebagai
komunis,” kata Gus Dur dalam dialog interaktif bertajuk Secangkir Kopi yang disiarkan TVRI.
***
Saya menemukan wawancara Pramoedya Ananta Toer dengan Majalah Forum Keadilan di bulan Maret 2000 itu dari link ini. Dalam wawancara itu Pram yang pernah mendekam di penjara Orde Baru Soeharto mengomentari pernyataan Gus Dur tersebut. Selamat membaca.
“Omong Kosong Saja Rekonsiliasi”
Wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer, Forum Keadilan, 26 Maret 2000
Wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer, Forum Keadilan, 26 Maret 2000
Pramoedya Ananta Toer adalah salah seorang saksi korban peristiwa G30S. Tanpa melalui proses peradilan, pada 1965, ia ditahan dan kemudian dibuang ke Pulau Buru. Laki-laki kelahiran Blora, 75 tahun silam itu, dituduh sebagai anggota PKI (Partai Komunis Indonesia), partai yang disebut mendalangi pembunuhan para jenderal TNI Angkatan Darat. Praktis, tak kurang dari 14 tahun, Pramoedya tak mengenal kehidupan lain selain Pulau Buru.
Kini, penghasil sejumlah roman masyhur itu–antara lain Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca, dan Arus Balik–telah menghirup udara bebas. Pram–demikian ia biasa disapa–ingin menghabiskan sisa umurnya dengan bertani. Ia memang memiliki sebidang tanah pertanian di daerah Bojonggede, Bogor. Kamis pekan lalu, di rumahnya, ia diwawancarai Yus Ariyanto dan Andrianto Soekarnen dari FORUM seputar pengungkapan kembali masalah G30S dan rekonsiliasi yang dilontarkan Gus Dur.
Gus Dur tak berkeberatan masalah G30S dibuka lagi. Secara pribadi ia juga sudah minta maaf kepada korban peristiwa G30S. Apa pendapat Anda?
Memang, masalah itu harus diselesaikan secara hukum. Gus Dur sendiri sowan kepada Soeharto. Itu mengecewakan. Rekonsiliasi bagaimana yang diinginkan? Kok, sepertinya gampang amat. Orang yang dipukul merasakan terus rasa sakitnya, sementara orang yang memukul sudah lupa. Omong kosong saja rekonsiliasi. Lihat saja, pelarangan buku-buku saya. Itu saja mereka tidak mampu membatalkan. Belum lagi naskah-naskah yang dirampas dari saya. Kapan dikembalikan? Naskah saya ada delapan yang dibakar Angkatan Darat. Memangnya negara bisa membuat naskah saya? Lantas, menaruh konsep rekonsiliasi dalam bentuk salaman begitu saja. Gampang amat!
Menurut Anda, langkah apa yag harus ditempuh?
Dirikan hukum! Semua mesti lewat hukum. Kita lihat buktinya saja. Soeharto tidak mau bertanggung jawab. Ia senyam-senyum saja. Padahal, orang-orang dibunuhi. Saya sudah bosan mendengar semua itu. Yang ada hanya ngomong.
Bagaimana jika pemerintah memberi ganti rugi kepada korban-korban peristiwa G30S?
Mana mungkin punya uang untuk mengganti? Minyak saja mau ditarik subsidinya. Padahal, minyak itu kan cukup menggali di tanah air sendiri. Lebih baik yang realistis sedikit saja. Mereka tidak akan mampu mengganti satu saja naskah saya yang dihancurkan.
Beberapa waktu lalu Anda bertemu Gus Dur. Apakah masalah itu sempat dibicarakan?
Ya, dibicarakan. Ia bilang tulis saja daftarnya. Berikan kepada protokol. Dalam hati, saya yang tidak percaya. Saya tidak percaya kepada semua elite politik Indonesia. Mereka semua ikut bertanggung jawab atas kejadian sekarang.
Jadi, terhadap Gus Dur sendiri Anda tidak percaya?
Tidak percaya.
Alasannya?
Mereka ikut bertanggung jawab atas keadaan seperti itu, atas pembunuhan-pembunuhan itu, dan atas berdirinya Orde Baru.
Gus Dur kan sudah minta maaf….
Gampang amat! Seumur hidupnya, orang merasakan penderitaan. Terus, yang sudah mati bagaimana? Ia kemudian malah sowan kepada Soeharto.
Belakangan ini dibentuk berbagai macam KPP HAM. Apakah Anda masih pesimistis melihat perkembangan itu?
Saya tahu itu. Tapi, kalau hanya sejauh ngomong, ya bisa saja. Yang saya inginkan adalah kenyataan, bukan omongan. Bagaimana bisa percaya kalau saya baca koran isinya menteri yang satu saling tuding dengan menteri yang lain soal siapa yang korupsi. Lalu, terdakwa kasus korupsi besar malah lolos. Itu yang saya baca. Bagaimana saya bisa percaya hukum?
Kembali ke soal pembantaian massal pada 1965-1966, siapa yang harus bertanggungjawab terhadap semua pembantaian itu?
Pertama kali adalah Soeharto. Kenapa Soeharto? Karena ia sama sekali tidak pernah bicara soal itu dan ia bisa menjadi orang nomor satu akibat pembantaian itu. Yang dibantai waktu itu adalah pendukung Soekarno. Dengan pembantaian itu Soekarno kehilangan kekuatan.
Jadi, yang dibantai itu bukan pengikut PKI?
Banyak orang PNI dan NU yang ikut dibunuhi. Yang dibunuhi itu para pendukung Soekarno. Yang lolos ya jadi tahanan.
Ada yang bilang, saat itu banyak pendukung Soekarno atau orang PKI yang membunuhi orang NU. Versi mana yang benar?
Itu omongan mereka saja. Mereka itu bisanya menuduh dulu. Yang dibunuh itu dibilang karena memberontak. Seperti yang saya alami sendiri. Saya dituduh membakar perpustakaan orang. Sebabnya apa? Sebabnya adalah perpustakaan saya yang dibakar. Cara mereka seperti itu: menuduh. Saya tahu itu lantaran pernah mengalami sendiri.
Ada yang menyebut Banser NU hanya pelaksana. Menurut Anda, mereka juga pantas dikenai tuntutan hukum?
Apa kalau melaksanakan pembunuhan tidak perlu dituntut? Kan, aneh. Perintah dari mana datangnya, itu tidak soal, tapi yang melaksanakan! Siapa yang mau ditahan selama 14 tahun seperti saya. Sewaktu dibebaskan, saya mendapat surat berdasarkan hukum tidak terbukti terlibat G30S. Itu setelah 14 tahun, ketika saya sudah dipukuli dan dirampas segala milik saya. Anak dan istri saya menanggung selama itu. Sewaktu saya ditangkap, anak saya yang termuda berumur dua bulan. Saya pulang dari Pulau Buru, ia sudah lulus SD [Pram tertawa kecut]. Mereka melalui masa itu dengan sangat berat. Mereka dihina, diejek, bahkan diludahi karena anak tapol. Bagaimana mengganti kerugiannya?
Tahun 60-an, katanya, hubungan orang-orang NU, PNI, dan PKI cukup akrab karena tergabung dalam Nasakom…
Indonesia belum bisa mengalami kehidupan yang demokratis. Orang belum bisa bersaing secara terbuka. Itu masalahnya. Kalau kalah bersaing, lalu membunuh.
Apa benar waktu itu orang-orang yang tidak setuju dengan ide revolusi disingkirkan?
Iya. Saya setuju karena kita sedang menghadapi Barat. Soekarno itu lolos dari tujuh kali usaha pembunuhan. Jangan lupa itu. Tahun 1963 saja, Inggris melanggar wilayah kita lebih dari 100 kali.
Disingkirkan itu konkretnya bagaimana?
Ya dibebaskan dari tugas-tugas. Saya membenarkan hal itu karena waktu itu Indonesia menghadapi bahaya dalam perang dingin. Harus diambil aturan-aturan yang tidak normal atau darurat.
Apa dalam penyingkiran itu tidak ada pelanggaran HAM?
Kalaupun pelanggaran HAM itu terjadi, tidak seperti sekarang. Sewaktu Mochtar Lubis ditahan, ada kebebasan bergerak. Ia mendapatkan makanan yang lebih baik dibandingkan di zaman Orde Baru. Sewaktu di Pulau Buru, untuk makan saja saya harus cari sendiri. Saya diharuskan kerja paksa. Kalau sakit, obat-obatan harus beli sendiri. Di masa Orde Lama kalau tahanan sakit, ia dirawat.
Bukankah pada zaman Soekarno banyak terjadi pelanggaran HAM oleh negara?
Bukan oleh negara. Saya sendiri diculik oleh Angkatan Darat pada 1960.
Angkatan Darat tidak bisa digolongkan dalam kelompok negara?
Angkatan Darat itu negara dalam negara. Negara kita negara maritim, tapi diduduki oleh Angkatan Darat. Itu sudah sering saya katakan.
Oh, ya, tadi Anda bilang yang pertama bertanggung jawab soal pembantaian pada 1965-1966 adalah Soeharto. Setelah itu siapa lagi?
Banyak. Seluruh [komponen] Orde Baru. Setidaknya, walaupun tahu, mereka mendiamkan saja apa yang terjadi. Waktu itu, sampai bayi-bayi dibunuh dan kepala-kepala diarak.
Jadi, yang terjadi ketika itu apa? Suasana chaos yang diciptakan Soeharto, atau apa?
Itu konspirasi internasional karena modal asing mau masuk. Soekarno kan menolak modal asing. Karena itu, ia mesti dijatuhkan. Persoalan intinya itu.
Konspirasi itu tidak mempersoalkan jatuhnya korban jutaan nyawa?
Ya. Kan banyak dokumennya, seperti yang dari CIA dan segala macam itu. Itu bisa dipelajari sendiri.
Anda punya datanya?
Ya. Tapi, itu untuk saya sendiri.
Tapi, data itu penting karena sampai sekarang masalah jumlah korban itu simpang-siur….
Saya ngomong korbannya dua juta karena Soedomo mengatakan itu. Ia kan yang berkuasa. Saya tidak ingat lagi di mana saya mendengar itu. Tapi, saya ingat bahwa ia yang mengatakan. Sarwo Edhie mengatakan tiga juta. Ia mengatakan itu kepada Permadi.
Mengapa Anda mengambil versi Sudomo dan bukan Sarwo Edhie?
Waktu itu kan ia Pangkopkamtib. Jadi, ia mestinya punya bahan tertulis. Apakah ia benar atau tidak, saya tidak tahu. Jumlahnya kan sedang diteliti oleh panitia penelitian korban 1965-1966 yang dipimpin Sulami.
Menurut Anda, setelah Soeharto, banyak lagi yang mesti dimintai pertanggungjawaban. Secara teknis, itu kan sangat merepotkan?
Kalau tidak mampu mendirikan hukum ya bubar saja kekuasannya.
Apa bukan institusinya yang mesti dikerjar?
Penerapan hukum atau rasa keadilan mesti tercipta bagi semua. Kalau pemerintahnya enggak mampu ya minggir saja. Sebeanrnya gampang saja kalau mau beres. Yang tidak mampu, minggir.
Anda pribadi akan menuntut?
Saya akan menuntut Angaktan Darat, mulai dari kopral satu sampai kolonel yang pernah menganiaya saya.
Siapa saja mereka itu?
Hanya ingat beberapa saja. Ada Pembantu Letnan Karo-Karo. Ada Koptu Sulaeman yang menghajar saya dengan pistol sampai saya hampi rtuli. Lantas, Kolonel Samsi. Di Pulau Buru, dulu saya bertemu Pangdam Pattimura. Setelah jenderalnya pergi, saya dihajar oleh kolonel itu.
Keterlibatan PKI dalam peristiwa G30S sampai sekarang masih kontroversial. Bagaimana sebenarnya?
Sampai sekarang, peristiwa itu memang masih menjadi teka-teki karena para pelakunya diam saja. Tidak ada pengadilan soal itu. Tidak ada pengadilan Orde Baru terhadap orang komunis. Semuanya salah dan dihukum mati. Orang-orang yang mestinya bisa menjawab dibunuh tanpa pengadilan. Aidit dan Nyoto dibunuh tanpa proses pengadilan.
Apakah itu bagian dari rekayasa?
Jelas, itu rekayasa. Mereka dibunuh supaya tidak membongkar kebenaran. Yang membunuh Aidit kan diangkat menjadi Gubernur Lampung, yaitu Yasir Hadibroto. Berarti, tindakannya dibenarkan.
Bagaimana sebenarnya kondisi setelah peritiwa G30S itu? Gus Dur mengaku anggota NU juga ikut membantai….
Gerakan pemudanya itu kan hanya pelaksana. Tapi, setidak-tidaknya kan semua ikut menyokong berdirinya Orde Baru. Mereka kan tidak menghalang-halangi.
Gus Dur ketika itu sedang berada di luar negeri….
Justru sebagai intelektual, ia mesti ngomong. Paling tidak, mesti ngomong. Tidak bisa ketidakadilan dibiarkan terjadi. Semua intelektual Orde Baru ikut bertanggung jawab.
Bukankah sebagian elite-elite politik sekarang adalah orang-orang yang ikut menumbangkan Orde Baru?
Yang menumbangkan Orde Baru adalah generasi muda. Para elite itu hanya mengaku-ngaku. Elite sekarang yang ikut berkuasa tidak ada yang mengucapkan terima kasih kepada generasi muda yang menjatuhkan Soeharto.
Ada model rekonsiliasi, yang di dalamnya proses pengadilan dijalani. Tapi, ketika seseorang dinyatakan bersalah, mereka langsung diampuni. Anda setuju dengan model itu?
Itu cara “mengadali” orang saja. Ia mesti menjalani hukuman. Karena itu, setiap orang wajib mendirikan hukum. Setiap orang perlu bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Setiap orang, tidak terkecuali. Jangan belajar ke luar negeri untuk bisa lolos dari tanggung jawab.
Rupanya, Anda tidak percaya sedikit pun dengan rekonsiliasi…
Saya tidak percaya. Saya yang ikut menderita, bukan ikut mengatur.
Selama lebih dari 50 tahun Indonesia merdeka, banyak terjadi pelanggaran HAM. Jika semua minta diungkap, apa itu tidak menghabiskan energi kita sebagai bangsa? Padahal, tantangan bangsa ini ke depan masih banyak….
Kalau pikirannya seperti itu, berarti membenarkan pelanggaran atas kemanusiaan. Sikap seperti itu saja sudah membenarkan pelanggaran terhadap kemanusiaan. Kekuasaan apa pun di Indonesia yang tidak bisa mendirikan hukum, ya tidak akan mendirikan hukum. Rekonsiliasi tidak akan bisa menghilangkan kesakitan. Itu hanya omongan orang berkuasa.
Apakah semua yang terlibat harus masuk penjara?
Ya, terserah bagaimana hukum mengaturnya. Bukan saya yang mengatur.
Untuk kaum intelektual yang waktu itu diam saja, apa bentuk hukumannya?
Ya hukuman intelektual.
Bentuknya apa?
Jangan bertanya kepada saya. Itu urusan angkatan muda. Merekalah yang harus memikirkan. Itu latihan untuk mereka menghadapi hari depan: bagaimana sebaiknya kalau berkuasa. Jangan tagih saya. Satu hari ini saja paling tidak 15 tagihan datang kepada saya.
Bagaimana cara meluruskan sejarah secara lebih jujur?
Persoalannya, manusianya dulu. Kalau manusianya bandit ya apapun yang dipegang, persoalan kebanditan. Indonesia itu bertumpuk masalah sejarah. Dari nama Indonesia saja sudah salah. Indonesia itu artinya Kepulauan India. La, apa hubungannya dengan India? Sampai sekarang persoalan itu tidak ada yang mengoreksi.
Apa jenis penderitaan paling menyakitkan yang Anda alami?
Terutama hancurnya naskah-naskah saya. Kenapa naskah saya bisa menumpuk sampai delapan? Waktu itu saya dituduh komunis. Saya baru pulang dari undangan ke Tiongkok pada 1956. Penerbit-penerbit itu ngeri menerbitkan buku saya. Jadi menumpuk.
Anda tidak pernah menganggap diri Anda sebagai komunis….
Tidak. Mempelajari komunisme saja tidak pernah. Saya mengikuti diri saya sendiri saja. Apa yang dimaui Pram itu yang dijalankan Pram.
Sebagai pribadi, Anda juga merasa gagal?
Ya gagal. Dari kecil, saya dididik bagaimana bagusnya Indonesia di kemudian hari: demokratis dan modern. Apa jadinya sekarang? Saya alami sendiri. Jangankan modern dan demokratis, semakin lama semakin primitif. Jadi, apa yang diajarkan dan menjadi impian kami dulu sekarang kenyataannya begini: menjadi negara pengemis. Apa ini semua? Memang tragis untuk saya. Apalagi, untuk para perintis kemerdekaan. Apabila melihat keadaan seperti ini, mereka akan menangis. Mereka tidak menyaksikan. Zaman Soekarno, orang Indonesia dihormati oleh dunia internasional. Kita negara kedua yang membebaskan diri dari imperialisme Barat setelah Vietnam. Bukan itu saja. Indonesia mendukung perjuangan antikolonial di Asia-Afrika. Soekarno menjadi mercusuar di dunia internasional. Sekarang, apa yang dikatakan? Kita minta dolar. Jauh bedanya.
Melihat kondisi seperti itu, Anda tak percaya di masa depan Indonesia bisa…
Tidak ada apa-apa. Sekarang negara ini sudah menjadi negara pengemis. Semua elite begini ke luar negeri [Pram memperagakan cara pengemis meminta-minta]. Setidaknya, itu yang saya lihat. Selebihnya, saya tidak tahu. Negara ini sudah menjadi negara pengemis. Apa sebabnya Indonesia yang begini besar bisa dijajah Belanda yang begitu kecil? Karena elitenya tidak punya watak. Akibatnya, negeri besar dengan segala kekayaan alamnya ini menjadi pengemis. Itu terjadi dari dulu. Dari zaman kolonial sampai sekarang.
Negara ini sudah terpuruk. Kalau tidak dibantu luar negeri, kan, semakin terpuruk?
Memang harus menjadi pengemis. Maka, terjadilah. Kapan luar negeri membantu Indonesia? Tidak pernah. Mereka justru mengeduk Indonesia. Karena itu, Soekarno menolak modal asing. Ia tahu, elite kita itu tidak punya karakter. Kalau modal asing masuk, elite menjadi herder penjaganya.
Apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan banyak persoalan di masa lalu itu? Mungkin ada skema penyelesaian yang sederhana….
Itu kalian [generasi muda] yang harus cuci piring semuanya. Jangan pura-pura bodoh kepada saya.
http://teguhtimur.com/2008/11/25/pramoedya-omong-kosong-saja-rekonsiliasi/
0 komentar:
Posting Komentar