Citayam, 30 November 2008
Wawancara Asep Sambodja dengan penyusun buku Lekra Tak Membakar Buku, Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan.
Apa yang melatarbelakangi Muhidin dan Rhoma melakukan penelitian dan kemudian menyusun buku Lekra Tak Membakar Buku?
“Lekra tak Membakar Buku” kami susun setelah melalui riset panjang tentang pers-pers yang hadir di Indonesia dari tahun 1908-2007. Dari riset ini kami temukan banyak hal yang unik dan menarik dari koran-koran Indonesia itu. Salah satunya kami bertemu dengan begitu banyak koran-koran kiri yang tumbuh dan tumbang dari masa ke masa. Salah satu koran yang kemudian cukup akrab dengan kami adalah Harian Rakjat. Koran milik Partai Komunis Indonesia ini cukup menarik dan unik dengan menyuguhkan banyak hal tentang budaya dan sastra, puisi/cerpen setiap terbitannya, film, senirakyat dan kegiatan yang dilakukan oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) difasilitasi dengan sangat mewah oleh Harian Rakyat. Keunikan inilah yang kemudian menarik-narik kami untuk meriset lembar budaya yang dimiliki Harian Rakjat.
Berapa lama Anda melakukan penelitian dan menyusun buku itu?
Ini sebetulnya buku sampingan. Karena secara bersamaan kami mengerjakan banyak sekali program penulisan/riset sejarah secara kolektif. Jadi selama 1 tahun kami melakukan riset Seabad Pers Kebangsaan 1907-2007, Tanah Air Bahasa: Seratus Tokoh Pers Indonesia, Kronik Seabad Kebangkitan Indonesia 1908-2008 (berisi catatan tentang peristiwa hari ke hari yang tebalnya 1,7 meter), Almanak Abad Partai Indonesia, DIA.RI Partai Politik: Seratus Jalan Parlementer, dan Seabad Pers Perempuan 1908-2008. Selingan dari semua riset itu adalah trilogi Lekra Tak Membakar Buku, Gugur Merah, dan Laporan dari Bawah. Kalau dikalkulasi dalam hitungan matematis dari proses pencarian data, penulisan, edit dan cetak kira-kira memakan waktu 3,5 bulan (April-Agustus 2008).
Bisa diceritakan suka dukanya?
Proses penulisannya barangkali cukup unik. Muhidin awalnya sejak 3 tahun lalu berangan-angan ingin menulis tentang pembakaran buku Lekra yang ia ragukan bagaimana Lekra dan terutama sekali Pram yang berpikir sangat didaktik ihwal buku bisa melakukan pembakaran buku secara terbuka dan penuh sorak. Salah satu esainya DIBALIK BUKU Jawa Pos (“Lekra Membakar Buku?”) untuk memperingati 58 Tahun Lekra, ditanggapi dengan serius Taufiq Ismail yang menegaskan bahwa kabar Lekra membakari buku bukan soal remang-remang lagi, tapi terang-benderang, walau tak pernah bisa membuktikan seperti apa posisi Lekra dalam kobaran api itu. Tiga tahun berselang, bertemulah Muhidin dengan Rhoma Aria dalam tim Seabad Pers Indonesia yang memang Rhoma Aria bertugas mereview biografi koran-koran kiri/komunis yang terpilih dalam tabulasi riset. Termasuk Harian Rakjat. Nah dari diskusi yang ndak serius entah siapa yang mengawali keduanya kemudian bersepakat menulis tentang lembar kebudayaan Harian Rakjat dan Pembakaran Buku. Tahap pengumpulan data inilah tahap yang paling berat, tidak mudah dan gampang untuk meriset koran-koran kiri. Kami mesti izin sana sini dan waktu yang diberikan cukup sempit, korannya pun dalam kondisi tak tertata dan dimakan rayap, bahkan dihiasi kotoran tikus yang aduhai baunya. Dalam waktu 3 hari (kira-kira waktu yang diberikan sebelum koran itu diangkut dan dipindah entah ke mana) kami bisa mengakses Harian Rakjat. Tiga hari tiga malam bekerja tanpa henti. Pada hari ke-2 Muhidin tumbang di bawah kutukan cacar air. Karena korannya ndak lengkap kami harus mengumpulkan dari berbagai tempat dan lokasi. Setelah diverikasi barulah kami menulis. Proses inilah yang memakan energi cukup besar kurang lebih 18 jam setiap hari kami harus menulis, maklum karena buku ini ditulis oleh dua otak maka wajarlah ada sedikit-sedikit bumbu beda pendapat. Karena buku ini adalah proyek pribadi, maka tahap-tahap berikutnya kami lakukan sendiri. Karena anggaran yang kami kumpulkan dari gaji kecil-kecilan itu hanya cukup untuk biaya layouter kami edit buku ini sendiri dan alhasil masih banyak salah sana sini. Untuk membuat sampul pun kami akhirnya meminta tolong pada salah satu teman kami dengan sebungkus rokok.
Kenapa Anda tertarik meneliti Harian Rakjat?
Sebetulnya kami tertarik dengan banyak media bukan hanya Harian Rakjat saja. Alasan utama sebetulnya pada posisi Harian Rakjat. Ia adalah koran politik terbesar untuk masanya, tapi juga sangat getol menyiarkan nyaris seluruh ekspresi budaya rakyat sehingga koran ini hampir saja “dikutuk” menjadi koran budaya. Setelah menyigi dan membandingkan dengan koran Bintang Timur milik Partai Rakjat Nasional, Harian Rakjat lebih menonjol dalam soal pemberian ruang isu-isu kebudayaan. Terutama sekali para pekerja budaya yang bernaung di bawah Lekra.
Bagaimana dengan surat kabar atau majalah yang berafiliasi dengan PKI lainnya?
Banyak kok SK yang berbau kiri Selompret Masjarakat, Bintang Timur, Nyala, Mowo dsb. Bintang Timur sendiri, misalnya, sewaktu Kongres Lekra I, tak banyak tuh berita Lekra. Baru intensif kemudian pada Oktober 1962 sewaktu Pram masuk dalam barisan dan memunculkan lembar budaya Lentera.
Kenapa Anda memberi judul buku Lekra Tak Membakar Buku?
Mungkin ini soal minat. Kami berdua aktif di Indonesia Buku yang ideologinya adalah memang buku. Hahahaahahaha. Lagipula bab Pembakaran Buku inilah yang ditulis pertama kali. Bagian ini semacam lokomotif yang menarik bab-bab lainnya yang berturut-turut ditulis: seni musik, film, seni rupa, sastra, seni pertunjukan, mukadimah, seni tari, dan khotimah. Kalau bukan karena bab ini, barangkali tak ada buku ini. Jadi untuk memberi “penghormatan”, maka majulah bab ini menjadi judul buku yang diikuti judul kecilnya: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat.
Apakah itu tidak terlalu provokatif?
Masalah judul buku yang dipikirkan waktu itu adalah buat semenarik mungkin, dan buat orang ingin tahu isinya. Ndak ada niatan provokasi sama sekali.
Kenapa tidak menggunakan judul lain? Misalnya, Lekra dan Warga Sastra Dunia yang kesannya lebih netral?
Subbab “Warga Sastra Dunia” pun ditulis paling belakangan sebagai tambahan ketika melihat peran serta Lekra dalam Konferensi Sastrwan Asia-Afrika dalam dua kali event. Dan kali ketiga sebagai tamu pertemuan eksekutif KSAA di Bali. Dan soal netral, Lekra tak mengenal kata netral. Yang dia kenal adalah Politik adalah Panglima.
Apa reaksi Anda setelah mengetahui Gramedia tidak bersedia mendistribusikan atau menjual buku Anda?
Kaget saja sih. Tapi sudah terlatih ditolak (buku Muhidin M Dahlan Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur selama 2 tahun ditolak oleh Gramedia setelah muncul reaksi negatif dari sebagian kalangan organ Muslim. Tapi setelah reda mereka baru terima lagi). Ya, anggap saja, Gramedia kan juragan buku. Di mana-mana saudagar buku tak mau usahanya digropyok oleh masayarakat lantaran benturan ideologi. Dari dulu.
Alasan apa yang membuat Gramedia melakukan hal itu?
Menurut distributor kami, Gramedia menolak karena ada “logo palu arit” dan alasan kedua SARA seperti yang tertera dalam surat perjanjian baku Gramedia dan suplier. Di mana ada unsur SARA-nya kami juga nggak tahu.
Kenapa Anda tidak bersedia mengganti gambar palu arit?
Kami sudah menutupi “palu-arit”nya dengan kertas yang dilakban. Jadi inilah edisi “Palu Arit yang Diperban”. Jelek sekali cover itu sekarang. Tapi paling tidak sebagai dokumentasi sejarah (buku), bahwa ada sebuah buku yang sampulnya babak-belur dipukuli saudagar buku….. hahahahah.
Pelajaran apa yang Anda dapati dari peristiwa ini?
Di mana-mana bahwa saudagar tetaplah saudagar. Walau pun itu saudagar buku. Jangan harap ada pemihakan ideologis. Ia akan membela sebuah kaum jika kaum itu bisa membikinnya kaya raya. Jika tidak, ya memang begitu watak saudagar.
Apa yang bisa dibanggakan dari sastrawan-sastrawan Lekra?
Orang-orang Lekra ini mewariskan kepada kita bagaimana harus berorganisasi yang kukuh. Semuanya dijalankan dengan mesin organisasi. Acuannya tentu saja bahwa dengan bersekutu dalam organisasi kita lebih kuat. Apalagi ancaman untuk situasi masa itu memang terang-benderang. Amerika menginvasi di mana-mana, termasuk Vietnam. Beberapa petinggi negara Asia-Afrika terbunuh di depan mata PBB seperti yang dialami Patricia Lumumba (Konggo). Hal lain adalah, jalan yang ditempuh oleh Lekra bukan jalan para pemabuk, orang-orang salon yang berjalan dan berkeliaran dalam masyarakat dengan langkah gontai nggak keruan. Garis kerja mereka ketat dan diputuskan lewat sebuah aturan main yang juga sangat ketat: konggres, konferensi nasional, pleno. Seluruh perkembangan kerja kolektif dievaluasi dalam pertemuan-pertemuan itu. Garis strategi ideologi kebudayaannya pun dirumuskan dengan jelas yang kemudian terangkum dalam kode: 1-5-1. Termasuk metode kerja seluruh bidang budaya yang digeluti yang kemudian menginsipirasi banyak insitusi sesudahnya untuk menirunya: Turba (turun ke bawah). Ada program Kuliah Kerja Njata, ABRI Masuk Desa…. Dan sebagainya. Bahkan di organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) ada istilah Turba untuk menggambarkan pengurus besarnya mengunjungi pengurus-pengurus wilayah.
Barangkali orang-orang Lekra inilah potret nyata cendekiawan organik yang dihilangkan paksa dalam raut gerakan intelektual Indonesia.
Begitu saja dulu. Terimakasih.
Citayam, 30 November 2008
0 komentar:
Posting Komentar