Oleh: M. Aji Surya | JUM'AT, 14 SEPTEMBER 2012 , 10:52:00 WIB
“Kutanya pada siapa, tak ada yang menjawab. Sebab semua
peristiwa, hanya di rongga dada. Pergulatan yang panjang dalam kesunyian.”
Ebiet. G Ade.
SEMUA digantungkan pada sikap kita sendiri. Menerima atau
melawan. Kalau menolakpun tak pernah bisa, mungkin baiknya ya menerima saja.
Sebuah kenyataan kadang menyakitkan, namun kalau diterima
bisa jadi membawa kebahagiaan tersendiri. Hidup kadang bisa memilih, tapi
adakalanya hanya bisa menerima. Sungguh ada saatnya hidup ini mengalir saja.
Seperti yang dilakoni Mbah Kakung Kuslan Budiman.
Kriiiiing. Ketika telepon itu selesai saya putar, di
ujung sana terdengar suara seorang yang sudah dimakan usia. Tapi dari cara
bicaranya sangat jelas: dia tak punya beban. Mengagetkan dan luar biasa memang,
karena setahu saya, simbah ini hidupnya penuh penderitaan. Terombang-ambing
oleh gelombang arus dunia yang tak mungkin dilawannya.
Tanpa prasangka apapun, meski baru sekali menelepon,
terasa langsung bisa akrab. Jiwa periangnya terasa meski terpaut jarak lebih
dari 2500 km. Saya di Moskow, simbah kakung ini di Netherland!
“Apa yang harus keluhkan? Saya ikuti saja bagaimana maunya zaman. Saya hanya bagaikan air yang mengalir. Tak perlu membantah apalagi melawan. Sebagai orang Jawa, saya terima, tidak ada rasa marah apalagi dendam,” ujarnya datar.
Orang memanggilnya Kuslan. Atau kakek Kuslan sang penyair
dan pelukis. Dalam kamus orang umum ia benar-benar apes, sekaligus orang tabah.
Saya sendiri tidak tahu apakah ada orang seapes dirinya.
Bayangkan saja, hanya beberapa saat sebelum meletusnya
G30S PKI tahun 1965, ia mendapat tugas untuk mempelajari sistem layar dan
panggung di Opera Beijing (Peking). Alih-alih ilmunya diterapkan di tanah air,
ia malah kemudian terbang melayang bagaikan kapas yang tertiup angin dan sampai
sekarang nyangkut di negeri orang.
Sebelum sampai daratan China, sang kakek ini memang
seorang yang mencintai seni, atau bahkan mungkin seorang seniman. Setelah lulus
dari ASRI Jogjakarta, ia bergelut dengan seni ketoprak dan mengelola sanggar
Bumi Tarung. Sebagai salah satu pengurus LEKRA, pada tahun 1964 ia berprestasi
menghelat sebuah kegiatan konferensi ketoprak nasional di Taman Sri Wedari
Solo. Tidak main-main, acara itu dilakukan selama tujuh hari tujuh malam.
Sesuatu yang sangat luar biasa.
Salah satu topik yang menjadi pembahasan adalah
penggunaan layar pada sebuah pagelaran. Saat itu di tanah air hanya dikenal
layar yang ditarik tangan, sementara di Jepang sudah mulai pakai slide. Yang
lebih maju lagi, kabarnya ada di China, yang sedang dikerjakan di Opera
Beijing. Disana, semua perangkatnya bisa dilipat sedemikian rupa sehingga
mempermudah untuk pagelaran di berbagai daerah. Inilah yang ingin ditiru untuk
pengembangan budaya di berbagai pelosok tanah air.
Tiba di Beijing bukan berarti langsung bisa belajar seni,
namun harus menekuni Bahasa China dengan hurufnya yang sangat rumit itu.
Beberapa saat ia ngebut belajar bahasa dan kemudian melanjutkan seni dekorasi
dan lighting di Akademi Seni dan Drama. Di tengah-tengah pemuda Kuslan studi,
tiba-tiba saja terjadi dua “revolusi” yang hampir bersamaan: G30SPKI di tanah
air dan juga Revolusi Kebudayaan di China.
Kenyataan di tanah air menyebabkan ia kehilangan
identitas senagai anak bangsa sedangkan revolusi di China membuat semua
universitas disana ditutup. Ia tidak bisa pulang karena sebagai pengurus LEKRA
yang memang berafiliasi ke PKI, dan tidak bisa melanjutkan studi karena keadaan
di China sedang sangat berat. Siapa pernah menyangka ia berada dalam keadaan
semacam ini. Selama beberapa waktu ia hanya bisa mondar mandir seperti
setelika. Maju dan mundur tanpa arah yang jelas. Makan susah apalagi hidup yang
berkualitas. Tapi sekali lagi, semua dianggap sebagai aliran air saja, tanpa
harus melawan.
Atas bantuan seorang teman, ia akhirnya ingin
“melanjutkan perjalanan” hidupnya di tempat lain, yakni kota Frankfurt di
Jerman. Aliran air dirasakan menuju kesana. Karenanya ia menghanyutkan dirinya
ke arah tersebut.
Pada bulan Juni 1971 ia meninggalkan Beijing menuju
Frankfurt. Bukan naik pesawat, tetapi naik kereta via kota Moskow.
Sayang, lagi-lagi Kuslan bagaikan sampah yang tersangkut
akar pohon di tengah derasnya air. Karena perjalanan musim panas yang
melelahkan, ia jatuh sakit di kota Moskow. Apa boleh buat, disini ia ditampung
oleh sebuah keluarga Indonesia yang bernama (almarhum) Prof. Intoyo.
Rupanya keluarga ini memang banyak membantu masyarakat
Indonesia yang sedang mengalami masalah sampai kemudian mendapatkan jalan
hidupnya dengan baik.
Tertambat di Rusia, Kuslan kemudian belajar bahasa
setempat. Tapi lama kelamaan dia tidak tahan juga hidup tanpa uang di kantong.
Hidupnya menjadi benalu orang lain. Karenanya ia mencoba peruntungan bekerja di
Akademi Grafis. Ujian masuknya cukup unik. Kuslan diminta untuk menyerahkan
karya lukisannya dan begitu dilihat sang professor ternyata dianggap sudah
terlalu mahir. Apesnya, ia diminta menjadi pelukis mandiri saja namun dengan
syarat harus memiliki warga negara. Sesuatu yang ia tidak miliki karena ia
seorang yang stateless. Pupuslah harapannya.
Dengan segala kesulitannya, ia akhirnya diterima sebagai
mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Industri dan Terapan di Sokol dengan uang saku
yang lumayan. Disini bisa dipelajari aneka macam desain, mulai barang rumah
tangga hingga keperluan untuk penerbangan angkasa luar. Kuslan sendiri lebih
memilih jurusan tekstil, dan setelah 5 tahun berhasil mempertahankan
disertasinya tentang batik. Ia menyelesaikan studi pada umur 37 tahun lalu
mencari uang dengan mengajar Bahasa Indonesia di Institut Ketimuran ISAA
Moskow.
Selama di Moskow ia mendapat “berkah” bertemu dengan
seorang sastrawan berhaluan kiri jaman 1945, Utuy Tatang Sontani. Ketika berada
di tanah air, Kuslan memang cukup terpikat oleh kehebatan karya utuy dan
mementaskan beberapa diantaranya. Dus, pertemuan kali ini seolah mengasah lebih
tajam ilmu kesusasteraannya sekaligus menjadi semacam obat dalam kesakitannya.
Tahun 1991 ketika terjadi gelombang Perestroika dan
Glasnost, seorang warga Belanda bertandang ke Uni Soviet dan menawarkan jasa
untuk pergi ke Belanda. Dengan undangan sebuah penerbit di negeri kincir angin
maka Kuslan yang stateless alias tanpa paspor itu bisa meninggalkan Rusia.
Setelah beberapa hari tiba di bandara internasional Schipol, ia mengajukan
suaka politik dan diterima. Setahun kemudian ia bahkan bisa menjadi pemegang
izin menetap.
Kali ini banyak kemujuran yang berpihak kepadanya.
Melalui sebuah proses yang tidak terlalu berbelit, atas bantuan seorang advokat
setempat ia mengajukan diri menjadi warga Belanda di pengadilan dan diterima.
Sejak itulah ia menjadi warga Belanda sampai sekarang.
“Saya pernah pulang sekali pada zamannya Gus Dur. Sempat pergi ke Semarang, Malang dan Surabaya. Di Jakarta bertemu dengan teman-teman lama. Tidak ada kekhawatiran apapun. Yang justru berat bagi saya hanyalah faktor udara panas. Mungkin karena sudah cukup lama di negeri dingin, ketika berada di udara yang panas saya lekas sakit,” ujarnya.
Akibat dari perjalanan hidupnya yang sangat berliku itu,
maka pria yang lahir tahun 1934 tersebut tidak sempat berkeluarga. Baik ketika
di China dan Rusia dirasakan semua serba sulit karena banyaknya keterbatasan
dan kekurangan dalam hidupnya. Ia menyadari di China terlalu banyak perceraian,
sedangkan kalau mengambil gadis Moskow, kasihan karena nanti pasti akan
ditinggalkan. Akhirnya membujang menjadi pilihan hidupnya.
Tapi bukan Kuslan kalau tidak dapat mencari jalan keluar.
Untuk menciptakan hidup yang lebih sempurna ia telah mengambil anak angkat dari
seorang asal Manado yang kawin dengan warga Belanda. Dari anak tersebut kini
sang kakek sudah bisa menimang dua orang cucu yang sangat lucu. Ia merasa
sangat bahagia dan bangga.
Please, jangan mengira bahwa Kuslan hidup mewah di
Belanda. Ketika badannya masih tegap, ia hidup dari usahanya menjual lukisan
yang serba mepet. Kekuranganya ditambahi oleh Pemerintah melalui bantuan
sosial. Nah, sejak umur 65 tahun ia menerima pensiun sebanyak 300 euro
plus sokongan Pemerintah setempat. Hidupnya di Rembrant Laant 77, 3443 EC
Woerden, Holland boleh dibilang cukup, dalam arti pas pasan saja. Tidak lebih
dan tidak kurang.
“Atas perjalanan hidup itu, saya hanya bisa menerima kenyataan. Hidup ini kan hanya menjalani takdir saja. Kalau prinsipnya seperti itu maka semua menjadi mudah. Mati juga tidak susah,” ujarnya.
“Meski sudah terbang bagai kapas, kalau soal cinta tanah air jangan tanyakan kepada saya. Perasaan itu tidak kalah dengan punya mereka yang tidak pernah terlempar dari tanah air. Saya pergi dari Indonesia bukan untuk cari makan. Otak saya masih tetap ada di Indonesia. Bahkan dengan Anda pun saya kira cinta saya masih lebih hebat,” tambahnya sambil tertawa.
Prinsip nrimo itu dijalanai karena sejak kecil ia memang
melakoni jaman susah. Pada masa Revolusi tahun 1945, Kuslan sudah masuk dalam
barisan berani mati melawan Belanda. Ia juga sempat menjadi penulis cerita
anak-anak dan bahkan menjadi guru di kampung Pacitan. Jadi, kepahitan demi
kepahitan hidup terus dialami. Dan karena jarang menikmati rasa manis maka ia
sangat mudah untuk menikmati kehidupan. Barangkali itulah falsafah seorang
seniman.
Kini, Kuslan Budiman dikenal sebagai sastrawan Indonesia dari
Woerden. Dalam catatan, selain melakukan berbagai pementasan ketoprak dan aneka
drama, ia juga pernah menerbitkan beberapa karyanya seperti Si Didi Anak Petani
(Djakarta, Jajasan Kebudayaan Sadar, 1964), Di Negeri Orang: Puisi Penyair
Indonesia Eksil (Jakarta, Lontar Foundation, Amanah , 2002) dan Bendera Itu
Masih Berkibar (Jakarta, Suara Bebas 2005).
Iseng-iseng, untuk membuktikan dirinya masih piawai
sebagai seorang seniman, di ujung telepon saya sempat menggoda sang kakek untuk
membaca salah satu puisi ciptaannya. Tanpa pernah terbayang, rupanya tantangan
saya disambut dengan gegap gempita. Rupanya ia ingin menceritakan kehidupan
seorang karibnya, Suryono, yang punya nasib mirip dengannya. Sekaligus
menegaskan tentang sikap hidupnya. Sambil menarik napas panjang, Kuslan meminta
saya untuk menyimak baik-baik.
“Dengarkan ya dik.”
“Dalam Ketenangan”
Memori buat Mas Suryono (alm)
Prambanan, 28 Pebruari 1928
Amsterdam, 26 September 2000
Ibarat tumbuhnya bunga
Kuncup, mekar, berguguran…
Itulah dialektika
Mawar indah selalu berduri
Itulah kenyataan
Yang perlu dipahami
Setiap lembar daun
Ditandai dua sisinya
Demikian pula manusia
Meski hidup tiada lama
Kau saksikan lima zaman
Terakhir runtuhnya sebuah tirani…
Ada kawan ada lawan
Tak perlu dirisaukan
Karena itu pasangannya
Sahabat tak perlu dipuji
Musuhpun tidak perlu dibenci
Yang lebih penting dimengerti…
Seperti yang pernah kita bincangkan
Revolusi telah makan anak-anaknya sendiri
Si tiran mematikan kemerdekaan
Darah menggenang di cakrawala…
Demi cita-cita dan keyakinan
Tiga puluh lima tahun terpaksa berkeliaran
Dan tutup usia di perantauan
Mas Sur,
Bila laut terus bergelombang
Kali ini kau sudah dalam ketenangan…
Prambanan, 28 Pebruari 1928
Amsterdam, 26 September 2000
Ibarat tumbuhnya bunga
Kuncup, mekar, berguguran…
Itulah dialektika
Mawar indah selalu berduri
Itulah kenyataan
Yang perlu dipahami
Setiap lembar daun
Ditandai dua sisinya
Demikian pula manusia
Meski hidup tiada lama
Kau saksikan lima zaman
Terakhir runtuhnya sebuah tirani…
Ada kawan ada lawan
Tak perlu dirisaukan
Karena itu pasangannya
Sahabat tak perlu dipuji
Musuhpun tidak perlu dibenci
Yang lebih penting dimengerti…
Seperti yang pernah kita bincangkan
Revolusi telah makan anak-anaknya sendiri
Si tiran mematikan kemerdekaan
Darah menggenang di cakrawala…
Demi cita-cita dan keyakinan
Tiga puluh lima tahun terpaksa berkeliaran
Dan tutup usia di perantauan
Mas Sur,
Bila laut terus bergelombang
Kali ini kau sudah dalam ketenangan…
***
Padepokan Kincir Angin
30 September 2000.
Padepokan Kincir Angin
30 September 2000.
M. Aji Surya, Penulis adalah WNI yang
tinggal di Rusia, ajimoscovic@gmail.com
Sumber: RMOL.Co
0 komentar:
Posting Komentar