23 January 2020
Ruth Indiah Rahayu
Pengantar
PERISTIWA pembunuhan tujuh orang jenderal dan seorang
perwira Angkatan Darat 54 tahun lalu (1965), yang disebut G.30.S, mengakibatkan
pengejaran, penangkapan, pembantaian dan pemenjaraan pimpinan, kader, anggota,
simpatisan Partau Komunis Indonesia (PKI) beserta keluarganya.
Organisasi yang dekat dengan PKI juga menjadi sasaran,
termasuk Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) –organisasi perempuan yang dibangun
oleh perempuan pejuang kemerdekaan Indonesia. Sulami adalah satu dari pimpinan
Gerwani yang ditangkap dan disiksa dan kemudian dijatuhi hukuman penjara selama
20 tahun potong tahanan. Rezim militer yang dipimpin Soeharto berupaya
menghancurkan PKI sampai ke akar-akarnya.
Sebelum menjadi tahanan rezim Soeharto, Sulami sangat
aktif dalam mengorganisasi perempuan dalam perang kemerdekaan Indonesia.
Perjalanannya
sebagai aktivis dimulai ketika ia mengorganisasi barisan perempuan muda di
Sektor Kota Sragen, sejak terjadi serangan militer Belanda (Agresi I) pada 1948
dan kemudian bergabung dalam perang gerilya pada masa Agresi II (1949). Sesudah
perang usai, Sulami bergabung ke dalam Gerwis (Gerakan Wanita Sedar) Cabang
Surabaya pada 1951, sampai kemudian Gerwis berubah nama menjadi Gerwani dalam
kongres kedua pada 1954. Setelah menjadi Ketua Cabang Gerwani Surabaya, pada
1957 ia diangkat sebagai Sekretaris Jenderal II Dewan Pimpinan Pusat Gerwani
yang berkedudukan di Jakarta.
Pada 1958, Sulami menjadi delegasi Gerwani mengikuti
Kongres Perempuan Sedunia di Wina, Austria dan kemudian menjadi delegasi
Gerwani ke Berlin Timur untuk mengikuti Kongres Women International
Democratic Federation (WIDF).
Sejak saat itu aktivitas internasional Sulami sangat
padat, dan kemudian pada 1964 kembali pada aktivitas Gerwani menjelang
organisasi ini akan menyelenggarakan Kongres pada 22-29 Desember 1965.
Namun, sebelum Kongres itu terjadi, Sulami dan seluluruh
anggota Gerwani di seluruh Indonesia dikejar dan ditangkap dalam operasi
militer pimpinan Panglima KOSTRAD, Soeharto, dan Panglima RPKAD (Resimen Para
Komando AD), Sarwo Edhie Wibowo. Sulami tertangkap pada 6 Oktober 1967 dan
dibebaskan secara bersyarat pada 1987.
Tulisan ini akan mengulas salah satu karya buah pena
Sulami selama di dalam penjara yang berjudul Menanti Rembulan Ndadari (A Waiting Full Moon).
Novel panjang ini terdiri dari sembilan bab, dan ia tulis
saat menjelang proses pengadilan pada dirinya sekitar 1974, sementara sidang
pengadilan pertamanya digelar pada 1 Januari 1976 di Pengadilan Negeri, Jakarta
Pusat. Sidang pengadilannya berjalan hampir lima tahun (Agustus 1979), dan
selama masa itu Sulami sangat produktif menulis. Ia menceritakan dalam tulisannya
yang lain yang berjudul Perempuan, Kebenaran dan Penjara (1999),
katanya:
Waktu kelihatan tanda-tanda saya takkan dipindahkan lagi,
saya mulai menulis. Saya menulis cerita tentang masa revolusi. Saya yakin
pembaca akan tertarik membacanya, karena tidak semua pembaca mengalami masa
revolusi dan perang gerilya. Di situ semangat saya curahkan untuk menulis
novel.
Saya berasumsi bahwa Sulami menulis novel di sekitar
proses pengadilan bagi dirinya merupakan ungkapan yang tak dapat dikatakan pada
sidang pengadilan. Semua orang tahu bahwa sidang pengadilan itu tidak pernah
ada keadilan bagi terdakwa yang sudah menderita penyiksaan lahir batin selama
tujuh tahun sebelumnya. Ia ingin menghidupkan api revolusi, hasrat cita-cita
kemerdekaan, harga diri dan martabat sebagai bangsa dan perempuan
terjajah….sebagai sikap menghadapi persidangan. Karena di dalam persidangan
Sulami hanya dipandang sebagai penjahat dan sekaligus bagai binatang yang
menjinjikkan...
Menulis Dalam
Penjara Untuk Survival Hidup
Novel Sulami ditulis di dalam penjara Bukit Duri, Jakarta
(penjara khusus untuk “Gerwani”). Pada mulanya ia menulis pada secarik kertas
secara sembunyi-sembunyi di dalam selnya. Ia mendapat kertas dari narapidana
kriminil (perempuan). Kertas itu tidak gratis, Sulami membayar dengan uang
hasil penjualan kerajinan tangannya. Ketika sipir penjara memintanya untuk
membuat naskah drama, Sulami sangat gembira karena ia boleh meminjam mesin
ketik milik penjara. Setiap hari besar nasional, seperti Natal dan Idhul Fitri,
Sulami menulis naskah drama yang dimainkan oleh tapol dan napol
Sulami mendapat tugas dari sipir penjara untuk membuat
naskah drama yang dipentaskan setiap Natal, Idhul Fitri maupun hari besar
lainnya. Untuk itu ia mendapat akses untuk menggunakan mesin ketik milik
penjara. Sulami mendapat izin mengetik pada hari kerja dan sesuai jam
kerja. Sesudah itu ia kembali ke dalam sel penjara. Akses ini sangat
menggembirakan Sulami. Sedikit demi sedikit ia memindah naskah novel dalam
tulisan tangan ke mesin ketik.
Kesempatan mengetik lebih banyak ia peroleh, ketika
pengadilan telah mengesahkan dirinya sebagai narapidana politik dan dipindahkan
ke penjara perempuan di Tangerang. Pada suatu hari, seorang professor dari
kriminologi sebuah universitas di Jakarta, membawa rombongan mahasiswa untuk
mengunjungi narapidana politik perempuan. Sulami bertemu dengan professor
tersebut yang berjanji akan menyumbangkan mesin ketik padanya. Janji itu
dipenuhi dan Sulami mendapat sebuah mesin ketik. Adanya mesin ketik semakin
membuat Sulami produktif mengetik dan menyelesaikan karya-karyanya.
Sembari menyelesaikan novelnya yang pertama itu, Sulami
telah menulis sebanyak 15 cerpen, 20 puisi, dan tiga novelet lainnya. Salah
satu noveletnya berjudul Si Bagus (diselesaikan pada 1983) mengenai
kisah pemuda Tionghoa yang ikut serta dalam Revolusi kemerdekaan. Bagus, pemuda
Tionghoa itu kemudian menikah dengan perempuan Jawa. Rupanya dalam novelet ini
Sulami ingin mengatakan bahwa gagasan kemajemukan etnis maupun ras, dan juga
agama, merupakan bagian dari proses kemerdekaan untuk menjadi sebuah bangsa
Indonesia.
Tentu saja menulis di dalam penjara tetap bukan sesuatu
yang mudah. Sipir penjara sewaktu-waktu akan mengadakan operasi pembersihan
dokumen maupun barang-barang tapol, dan tulisan-tulisan seringkali tidak
terselamatkan. Ia pun seringkali dipindah-pindah ke sel yang lebih buruk.
Menjelang diajukan ke sidang pengadilan, Sulami dipindahkan ke sel kriminal
pada 1973, kemudian dikembalikan ke sel tapol dan dikembalikan lagi ke sel
kriminal ketika sidang pengadilan digelar pada 1974.
Dalam buku Perempuan,
Kebenaran dan Penjara (1999), Sulami menuturkan:
Uh, sungguh
kehidupan melelahkan dan mencemaskan tiada tara. Bagaimana bisa menulis dalam
keadaan demikian? Hanya seorang tapol yang mengetahui caranya! Hari-hari itu
saya tidur selalu lewat dari pukul 01.00 dinihari, sementara tidur siang tak
tentu. Hanya kalau badan terasa tak enak saya tidur siang. Saya menulis dan
menulis. Saya ingin cerita tentang pengalaman saya dalam Revolusi Agustus 1945
itu selesai dalam satu tahun!…….Saya menulis seperti orang gila! [….][1]
Mengapa Sulami menulis? Baginya menulis merupakan usaha
untuk melawan penghancuran kemanusiaan bagi dirinya selama dalam penjara. Ia
bukan tahanan kriminal tetapi diperlakukan jauh lebih buruk dari tahanan
kriminal. Ia ikut berjuang dalam kemerdekaan Indonesia, bahkan membangun
Indonesia, tetapi militer Orde Baru telah menghancurkan harga diri, potensi,
waktu hidup, dan kemudian membuangnya ke tempat sampah. Ia diperlakukan seperti
binatang melata dan bahkan tak berani melihat fisik wajah dan dirinya sendiri.
Maka menulis merupakan metode untuk melawan penghancuran terhadap dirinya.
“Saya
harus hidup!”, begitu tekad Sulami.[2]
Sayang sekali karya-karya Sulami ini belum banyak dikenal
di Indonesia. Apalagi generasi baru sangat tidak mengenal siapa Sulami. Bahkan
di kalangan akademisi dan aktivis hak asasi manusia pun hanya sedikit yang
memperhatikan karya-kaya dari dalam penjara, selain karya Pramodeya Ananta Toer.
Ya, selain karya Pram, tak ada yang mengenal karya narapidana politik perempuan
yang ditulis dari dalam penjara dengan segala kesulitannya.
Kata Sulami:
Kisah perang
gerilya ini merupakan pengalaman saya sendiri. Saya merekonstruksi pelbagai
pengalaman saya dalam perang gerilya, dan menjadi Danarti yang terbakar
semangat perjuangan dan gelora api revolusi ’45…..Dengan menulis ini saya dapat
mempertahankan hidup, tidak gila atau mati dalam penjara…[….][3]
Jadi, Sulami tidak bermaksud menulis novel untuk sastra.
Dia hanya ingin menulis. Sulami menulis novel agar tetap dapat hidup dalam
penjara. Menulis adalah untuk survival. Menurut hemat saya, Sulami juga
ingin mengatakan kepada pembaca bahwa ia bukan penjahat, bukan pelacur
dan bukan pembunuh seperti yang dituduhkan rezim militer Orde baru kepadanya.
Kepada pembaca ia ingin mengatakan bahwa ia mengadu nyawa untuk mempertahankan
kemerdekaan Indonesia dari beberapa kali serangan Belanda. Dia tidak gratis
hidup di alam Indonesia ini. Namun, dengan sangat keji, rezim militer Orde Baru
berusaha melenyapkan Sulami dan “sulami-sulami” yang lain dari sejarah
Indonesia itu sendiri.
Narasi Perempuan
Muda Dalam Perang Gerilya
Novel ini mengisahkan diri Sulami sebagai Danarti, gadis
muda berusia 22-23 tahun yang bekerja di Pabrik Gula milik Belanda di Sragen
(Jawa Timur). Ia bekerja di pabrik gula sebagai mata-mata pasukan gerilya, dan
sepulang dari kerja ia menjadi kurir politik sektor gerilya di Utara dan
Selatan, di sekitar lambung Gunung Lawu. Selain itu, ia mengoordinasi
perempuan-perempuan muda untuk menjadi kurir baik untuk menyampaikan informasi maupun
pengantar obat-obatan dan logistik, serta mencarikan keperluan yang dibutuhkan
oleh Sektor Utara dan Selatan. Wilayah kerja gerilya Danarti disebut Sektor
Kota. Terpenting juga peranan Ibu Broto, ibunya Danarti, dalam menyokong
putrinya melakukan tugas politik. Dua anak Ibu Broto lainnya (laki-laki) sudah
ikut pasukan gerilya di hutan.
Keberhasilan Danarti di Sektor Kota adalah membuat
sebanyak 49 pasukan polisi dan senjatanya –orang Indonesia yang bekerja sebagai
polisi pabrik gula Belanda— bergabung dengan pasukan gerilya di hutan.
Larinya polisi dari markas Belanda ini diatur oleh
Danarti bertepatan dengan serangan Belanda ke Sragen, dan sekitarnya. Pada saat
itu juga Ibu Broto diungsikan ke sebuah desa, sedangkan Danarti bergabung
dengan pasukan gerilya di hutan bersama pasukan polisi yang desertir.
Mengenai pakaian perempuan gerilya pada waktu itu sangat
‘revolusioner’ dari pakaian kebiasaan perempuan Jawa, yaitu kebaya bagi yang
generasi ibunya Danarti dan gaun untuk generasi Danarti. Danarti dan gerilyawan
perempuan mengenakan celana panjang, hem lengan panjang warna hijau, sepatu
bata model boot dan menggendong ransel di belakang punggung. Hal itu
merupakan ‘pakaian baru’ bagi perempuan yang sangat membanggakan. Orang tua
Sri, seorang guru desa yang dididik Danarti, bangga melepas anaknya mengenakan
celana panjang, sepatu boot dan menggendong ransel, ikut bergerilya.
Pilihan bagi perempuan untuk bergerilya kemudian
berlawananan dengan para perempuan yang memilih tinggal di rumah, dan atau
mencari pacar orang Indonesia yang bekerja pada Belanda. Bahkan beberapa
perempuan memilih suami keturunan Belanda. Danarti dan kawan-kawan perempuannya
mengerti bahwa ada banyak perempuan yang memilih mencari kenyamanan dan
keamanan ekonomi daripada bersusah-sudah hidup bergerilya di hutan. Namun,
Danarti dan kawan-kawannya akan bersikap tegas terhadap perempuan yang menjual
informasi kepada Belanda. Meskipun mereka juga melakukan pilihan yang berat,
ketika Asih kenalan mereka yang cukup tahu tentang keadaan pasukan gerilya
menikah dengan Hendrik –bekas pejuang dari Minahasa yang kemudian bekerja pada
Belanda. Takut Asih akan membocorkan rahasia gerilya, Asih diculik ke hutan dan
dipisahkan dari suaminya. Danarti ikut serta dalam aksi ini, sekalipun Hendrik
banyak membocorkan informasi rencana-rencana Belanda kepada Danarti. Danarti
pun selamat dari penangkapan tantara Belanda ketika mendapat informasi dari
Hendrik agar segera meninggalkan rumahnya.
Hidup sebagai gerilyawan perempuan di dalam hutan pun
tidak mudah dihadapi oleh para perempuan, jika perempuan itu berhati lembek.
Salah seorang anggota Danarti bernama Maria, pada akhirnya terpikat asmara pada
Hadi (gerilyawan) dan meninggalkan barisan Danarti karena mengikuti suami yang
ditugaskan pada medan perang di luar Sragen. Maria masih muda dan berbakat
tetapi tidak mampu mengontrol kekuatan keperempuannya hingga terjatuh ke dalam
pelukan Hadi. Danarti sebagai pemimpin perempuan dan bekerja dengan pasukan
laki-laki telah bertekad untuk tidak menjadi seperti Maria. Memang watak
Danarti keras dan tidak mudah dirayu.
Watak dan pendirian Danarti yang keras dan berhasil
membuat 49 polisi Indonesia lari dari markas polisi Belanda itu membuat kagum
seorang komandan kompi yang bernama Kapten Baskoro. Baskoro mendengar laporan
komandan sektor mengenai Danarti sudah membayangkan tentang diri seorang
perempuan yang revolusioner. Baskoro teringat pada pacarnya yang mati dalam
perjuangan di daerah Blitar, yang serupa dengan keberanian dan kecerdasan
Danarti. Maka ketika bertemu dengan Danarti, Kapten Baskoro seketika jatuh
cinta. Cinta Baskoro akan mewarnai konflik batin Danarti selama dalam
perjalanan dari Solo menuju Ungaran.
Dalam rencana gerilya saat itu, pasukan yang diikuti
Danarti merencanakan serangan ke markas pusat militer Belanda di Semarang
(tepatnya markas militer Belanda di Ungaran). Rombongan Danarti bergerak dari
Solo berjalan ke Semarang dan singgah di sejumlah desa. Peranan Danarti sebagai
kurir semakin berbahaya di tengah-tengah serangan pasukan Belanda cukup gencar
di Ambarawa. Beberapa kali rombongan Danarti terselematkan dari serangan
militer Belanda, dan beberapa kali pasukan gerilya berhasil memorak-porandakan
pasukan Belanda. Korban berjatuhan, dan ada barisan perempuan yang
menangani pengobatan bagi pasukan gerilya yang terluka dan ada bagian lain yang
memasak dapur umum. Laki-laki gerilya juga bekerja di dapur umum. Tim dapur
umum akan dibantu oleh perempuan-perempuan dari desa dimana pasukan sedang
bermarkas untuk singgah maupun sementara waktu. Di antara pasukan lain bergerak
memanggul persenjataan, ada barisan lain bergerak memanggul kuali dan panci
serta bahan pangan.
Setiap singgah di desa-desa, Danarti dan kawan-kawan akan
memberikan penyuluhan bagi perempuan desa. Mereka menjelaskan apa yang dimaksud
dengan kemerdekaan dan lalu mengapa masih perang seperti saat itu. Selain itu
juga memberikan penyuluhan tentang pentingnya hak perempuan dalam kemerdekaan.
Metode penyuluhan kebanyakan adalah cerita-cerita berdasarkan pengalaman
Danarti dan kawan-kawannya.
Kehadiran Danarti
dan kawan-kawannya di desa membuat para perempuan itu bergembira, setidaknya
tumbuh suatu perasaan bahwa mereka ikut serta dalam perjuangan kemerdekaan
Indonesia.
Danarti dan pasukan gerilya pada akhirnya sampai di
perbatasan Salatiga dan Ungaran. Pasukan gerilya terdiri dari empat kompi yang
masing-masing dipimpin oleh komandan kompi. Keempat kompi tersebut di bawah
komandan Batalyon yang dipimpin oleh seorang Mayor. Keempat kompi ini kemudian
ditempatkan di wilayah yang berbeda. Pada suatu hari, ada regu dari pasukan
gerilya yang mencuri 18 ekor sapi milik Belanda untuk makanan pasukan gerilya
dan penduduk desa. Berkat 18 ekor sapi itu, masing-masing kompi punya
perbekalanan makanan dan sedikit uang dari penjualan daging sapi ke pasar.
Danarti ikut dalam pasukan Kapten Baskoro. Mereka
ditempatkan di sebuah desa yang berbatasan dengan Salatiga dan Ungaran. Desa
itu di sekitar Rawa Pening (danau berupa rawa) yang alamnya sangat indah. Tak
dapat dipungkiri, Kapten Baskoro jatuh cinta pada Danarti, sebenarnya Danarti
pun mulai tertarik padanya. Namun, Danarti sangat keras hati untuk tidak
terjatuh pada cinta, pada asmara, dalam situasi perang gerilya. Dalam perasaan
Danarti, mata penuh cinta dari Kapten Baskoro pertama kali diungkapkan pada saat
purnama (bulan ndadari).
Tidak ada kata, tetapi sorot mata itu telah berbicara
banyak. Danarti menyadari tumbuhnya sesuatu dari dalam dirinya dan dia berusaha
keras membunuh embrio perasaan itu. Kapten Baskoro merasa ditolak oleh Danarti
kemudian mendekati Lastri, seorang guru desa. Lastri tampaknya sangat bernafsu
menjadikan Baskoro sebagai suaminya. Di sini Danarti dalam kegalauan. Namun
tekadnya:
Tidak boleh menangis! Lawanlah kelemahan jiwa! Pejuang,
Pejuang Perempuan! Lawanlah iblis penggoda! Terjanglah semua rintangan!
Gantungkan cita-cita di cakrawala![4]
Selama dalam perang gerilya, Danarti tidak akan runtuh
dalam asmara, meski dalam hatinya mulai tumbuh rasa terhadap Baskoro. Dia
bertekad akan menerima cinta Baskoro sesudah Indonesia Merdeka. Kemerdekaan
segera tiba. Pada Desember 1949, militer Belanda meninggalkan Indonesia.
Danarti pun menerima lamaran Baskoro. Keduanya menikah. Namun, Baskoro harus
bertugas ke Maluku untuk menghadapi perlawanan pasukan RMS. Di situ Baskoro
tertembak dan kakinya harus diamputasi. Rasa frustasi menghinggapi Baskoro yang
merasa cacat raga, tetapi justru Danarti bersedia menerimanya.
Sulami dan Novel
of Memory
Narasi Menanti Rembulan Ndadari selintas adalah
narasi biasa saja tentang dinamika perang gerilya dan cinta. Terasa istimewa,
menurut saya, karena menggambarkan konflik batin seorang perempuan feminis
ketika menghadapi urusan cinta. Namun, yang menarik untuk suasana pada dekade
1940-an adalah sikap dan keputusan Danarti yang berani melakukan posisi tawar
terhadap laki-laki yang dibentuk dalam tradisi patriarki Jawa. Dalam relasi
kuasa, laki-laki itu adalah komandan kompinya, tetapi Danarti telah dapat
memisahkan antara relasi formal dan asmara, tanpa takut kehilangan kesempatan
laki-laki itu akan berpindah ke lain perempuan. Sikap seperti Danarti pada masa
itu memang sangat revolusioner dan menunjukkan power withindalam dirinya
berhasil menjadi power over. Pada masa itu jika perempuan telah
tertaklukkan oleh cinta, maka runtuhlah cita-citanya dan selanjutnya ia hanya
akan menjadi koncowingking bagi laki-laki tersebut. Hal itu membuat
Danarti menolak tunduk pada cinta, sekalipun cinta itu mulai merayap dalam
hatinya.
Sikap seperti Danarti itu adalah sikap Sulami sebagai
pejuang perempuan. Ia tidak tunduk dan menyerah dalam penyiksaaan rezim Orde
Baru sampai di ruang pengadilan. Sebaliknya, ia bangkitkan sikap revolusioner
sebagai pejuang untuk menghadapi penghinaan dan penghancuran dirinya oleh rezim
militer Orde baru.
Saya kira menjadi tidak penting untuk memperdebatkan
apakah karya Sulami ini dapat dikategorikan sebagai genre sastra 45 yang
dipelopori oleh Chairil Anwar yang menonjolkan pemberontakan dan pembaruan
pemikiran. Bagi saya, novel yang ditulis oleh Sulami seperti yang dikatakan
oleh Herzerberger (1995)[5] sebagai “novel ingatan”,
yang bentuk dan isinya mengungkapkan keadaan di masa lalu dalam dunia nyata
(sikap perempuan dan perang gerilya).
Jadi, ingatan Sulami dalam novel tersebut adalah sebagian
dari dunia nyata yang teramati (observable) oleh dirinya sebagai perempuan dan
ia mengalaminya. Kejadian dalam dunia nyata masa lalunya itu dihancurkan oleh
dunia nyata pada saat sekarang yang dihadapinya: di dalam penjara dan perangkat
penyiksaan. Mungkin dunia nyata pada masa lalunya dapat hilang sebagai realitas
sejarah oleh perangkat penyiksaan yang dihadapinya, tetapi Sulami melawan! Ia
melawan dengan memanggil kembali dunia nyata pada masa lalunya dalam perang
gerilya. Ia berhasil dan kita membacanya!
***
Kepustakaan:
Herzeberger,
David.K, Narrating The Past: Fiction and Historiography in Postwar Spain, (Durham
& London: Duke University Press, 1995)
Sulami, Menanti
Rembulan Ndadari Jilid I dan II (naskah belum diterbitkan)
——–, Perempuan,
Kebenaran dan Penjara, (Jakarta: Penerbit Cipta Lestari, 1999)
—————-
[1] Sulami, Perempuan,
Kebenaran dan Penjara, (Jakarta: Penerbit Cipta Lestasi, 1999), 76
[2] Sulami, Perempuan,
Kebenaran dan Penjara, 77
[3] Sulami, Perempuan,
Kebenaran dan Penjara, 78
[4] Sulami, Menanti
Bulan Ndadari, Jilid 2, (naskah belum diterbitkan)
[5] David,
K. Herzeber, Narrating The Past: Fiction and Historiography in Postwar Spain,
(Durham & London: Duke University Press, 1995), 11