Rabu, 21 Oktober 2009
Malapetaka Sosiologis Indonesia: Pembalasan Berdarah (5)
OCTOBER 21, 2009 - SOCIOPOLITICA
“Mengingat integritas dan reputasi kejujuran Sarwo Edhie,
catatan itu pasti berisikan hal-hal yang amat berharga dan relatif tidak mengandung
unsur pemalsuan sejarah. Atau catatan itu justru ‘hilang’ karena bersih dari
pemalsuan sejarah? Selain korban jiwa dalam malapetaka sosial tersebut, yang
sebenarnya tak hanya menimpa massa pendukung PKI, sejumlah orang
juga menjadi tahanan politik bertahun-tahun lamanya di berbagai tempat
penahanan di seluruh Indonesia dan kemudian di Pulau Buru”.
SEPERTI halnya di Sulawesi Selatan, PNI Sulawesi Utara
cukup menonjol, di antaranya di kabupaten (waktu itu) Gorontalo, Bolaang
Mongondow dan sebagainya. Mirip yang terjadi di Bali, maka peranan ‘pembasmian’
terhadap PKI yang terjadi di daerah ini banyak dipelopori oleh massa PNI dan
organisasi-organisasi mantelnya, serta massa NU yang memiliki dendam antara
lain berdasarkan solidaritas atas nasib akar rumput NU di Jawa Timur yang
menjadi sasaran aksi-aksi sepihak PKI. Meskipun secara historis ada sedikit peninggalan
kebencian dan sikap anti komunis yang kuat di daerah ini sejak masa Permesta,
kebencian itu tidak sampai menyebabkan adanya kekerasan berlebih-lebihan
terhadap anggota PKI pasca Peristiwa 30 September 1965. Sebelum peristiwa di
Sulawesi Utara tak tercatat adanya aksi sepihak soal tanah, karena PKI hanya
sebatas melakukan provokasi dengan ucapan-ucapan bernada ancaman kepada para
pemilik tanah yang luas-luas, bahwa sewaktu-waktu massa akan menduduki tanah
mereka. Jadi memang tak ada kondisi objektif yang pantas untuk menjadi alasan
bagi suatu gelombang pembalasan. Bahkan terjadi suatu situasi unik, karena
sejumlah tokoh pemerintahan atau eks pejabat yang diketahui punya sejarah
melakukan korupsi, seperti yang terjadi di Bolaang Mongondow, justru diduduki
dan dikuasai rumahnya oleh massa, dan ini tak ada urusannya dengan keterlibatan
pada PKI.
Memang, tak dapat dihindari, bahwa ada juga anggota PKI
yang dibunuh, namun jumlahnya terbatas. Faktor dendam pribadi, biasanya bekerja
dalam kasus-kasus seperti ini. Pada umumnya, massa yang bergerak hanyalah
melakukan pengrebegan terhadap anggota-anggota yang dikenal sebagai tokoh PKI,
lalu digiring untuk diserahkan kepada tentara atau polisi. Isteri dan anak-anak
mereka tidak diganggu. Rumah Robby Sumolang, tokoh nasional IPPI yang secara
nasional sangat populer di Jakarta, dan dikenal sangat pro golongan kiri, hanya
kena cat dengan kotak hitam, disertai tulisan di bawah pengawasan Kodim. Yang
menjadi salah satu catatan menarik dalam rangkaian pembasmian terhadap PKI di
Sulawesi Utara ini adalah kasus 40 anggota PKI yang ditangkap oleh pihak
militer di bawah koordinasi seorang Mayor bernama Sudjarwo –yang di Sulawesi
Utara disebut sebagai anak buah Sudharmono– lalu dibawa ke pulau Jawa dengan
menggunakan sebuah kapal kayu. Nasib 40 orang ini tidak pernah jelas, apakah
tiba di Pulau Jawa atau tidak, mereka pun tak pernah kembali ke Sulawesi Utara.
“Mungkin ditenggelamkan di tengah laut”, ujar Lukman Mokoginta mengutip
anggapan masyarakat kala itu. Peristiwanya sendiri terjadi tahun 1967, sudah
cukup jauh dari akhir 1965.
Pembasmian dini di Jawa Barat. Di tengah gelombang
pembasmian PKI, khususnya di pulau Jawa, fenomena yang paling menarik mungkin
adalah yang terjadi di Jawa Barat. Ketika praktis seluruh pulau Jawa ada dalam
arus pembasmian massal yang berdarah, Jawa Barat menunjukkan kelainan. Gerakan
pembasmian PKI umumnya hanya terjadi di kota-kota, terutama di kota Bandung,
dan relatif tidak berdarah karena lebih ditujukan pada pengambilalihan
kantor-kantor milik PKI dan organisasi-organisasi sayapnya. Lagipula
penyerbuan-penyerbuan ke kantor-kantor PKI itu dilakukan oleh massa mahasiswa
dan pelajar yang tidak punya niat dan kemampuan melakukan kekerasan berdarah.
Pola pengambilan dan pembunuhan atas pengikut-pengikut PKI terjadi secara
sporadis saja di daerah tertentu, khususnya di wilayah pantai utara, dilakukan
oleh organisasi-organisasi massa.
Latar belakang bagi situasi ini berasal dari masa sepuluh
hingga limabelas tahun sebelumnya. Orang-orang komunis di Jawa Barat, telah
lebih dulu mengalami pembasmian sampai ke akar-akarnya, sejak tahun 1950 hingga
menjelang Pemilihan Umum 1955, terutama di Priangan Timur. Sejak sebelum tahun
1950, khususnya 1945-1948, pembelahan yang nyata terlihat di antara kaum santri
yang umumnya dari NU dengan kaum abangan, persis seperti dalam teori sosiologi
menurut Clifford Geertz.
Kehadiran DI-TII merubah perimbangan. Sejak 1950-1951
terjadi gelombang pembantaian terhadap pengikut-pengikut komunis seperti
anggota Pesindo dan sebagainya yang berada di pedesaan-pedesaan Priangan Timur.
Di daerah pedesaan Garut sebagai contoh, pengikut-pengikut komunis yang
menghuni desa-desa perbukitan mengalami pembantaian terutama oleh
pasukan-pasukan DI-TII. Garut saat itu berada dalam wilayah ‘kekuasaan’ salah
satu panglima perang DI-TII yang terkenal di Priangan Timur, bernama Zainal
Abidin. Tetapi selain oleh DI-TII, pembantaian juga dilakukan oleh massa santri
yang membenci orang-orang komunis itu, terutama atas dasar anggapan bahwa
mereka manusia tidak bertuhan dan merupakan musuh Islam.
Pembantaian yang berlangsung terus secara bergelombang
dalam jangka waktu yang cukup panjang, terutama berupa penyembelihan, mencapai
skala yang cukup massal secara akumulatif, juga terutama karena berlangsung dalam
jangka waktu yang cukup panjang dalam sebaran wilayah yang luas. Dalam satu
gelombang peristiwa bisa jatuh korban lebih dari seratus, dan secara sporadis
angka korban puluhan dalam setiap peristiwa adalah lazim. Pembasmian serupa,
tak hanya terjadi di wilayah Garut, tetapi merata di Priangan Timur. Hal
serupa, meskipun dalam skala lebih kecil terjadi pula di daerah-daerah di mana
pengaruh DI-TII cukup kuat, sementara sebaliknya tak tercapai dalam jangkauan
dan akses keamanan TNI. Penghitungan yang lebih akurat, misalkan berdasarkan
data yang dimiliki Kodam Siliwangi, menjadi agak sulit karena tercampur dengan
korban-korban DI-TII dari kelompok masyarakat lainya dan tercampur pula dengan
data korban di kalangan rakyat akibat pertempuran antara DI-TII dan pasukan
Siliwangi.
Pembantaian di pedalaman Jawa Barat ini, menyebabkan
terjadinya arus ‘pengungsian’ pengikut komunis ini ke kota-kota, terutama ke
Bandung. Ini menjelaskan kenapa di Jawa Barat, PKI hanya bisa berkembang cukup
baik di perkotaan terutama pada era Nasakom 1961-1965. Sementara itu, karena
akar-akarnya telah ditumpas di wilayah pedalaman, seperti dituturkan Dr
Aminullah Adiwilaga seorang pengajar di Universitas Padjadjaran dan Drs Adjan
Sudjana, maka PKI tak mampu membangun jaringan baru partai secara signifikan di
wilayah luar perkotaan Jawa Barat. Dan ketika pecah Peristiwa 30 September
1965, relatif tak ada sasaran bagi massa anti PKI di wilayah pedalaman Jawa
Barat.
Karena penangguhan ‘political solution’ yang dijanjikan
Soekarno?
Berapa korban yang jatuh dalam malapetaka sosiologis
pasca Peristiwa 30 September 1965? Perkiraan yang moderat menyebutkan angka
500.000 jiwa. Perhitungan lain, berkisar antara 1.000.000 sampai 2.000.000.
Tetapi, Sarwo Edhie yang banyak berada di lapangan, pasca peristiwa, baik di
Jawa Tengah, Jawa Timur maupun di Bali, suatu ketika menyebut angka 3.000.000.
Hingga akhir hayatnya, Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo bahkan tak pernah
meralat angka yang disebutkannya itu. Sebenarnya, Sarwo Edhie memiliki
catatan-catatan tentang pengalamannya di seputar Peristiwa 30 September 1965
dan masa-masa sesudahnya, termasuk mengenai malapetaka sosiologis tersebut.
Mungkin ada angka-angka signifikan dalam catatan tersebut. Namun sayang,
catatan Sarwo Edhie itu ‘hilang’ di tangan orang yang dititipi –dalam rangka
usaha menerbitkannya– oleh ibu Sarwo Edhie, beberapa waktu setelah sang
jenderal meninggal.
Mengingat integritas dan reputasi kejujuran Sarwo Edhie,
catatan itu pasti berisikan hal-hal yang amat berharga dan relatif tidak
mengandung unsur pemalsuan sejarah. Atau catatan itu justru ‘hilang’ karena
bersih dari pemalsuan sejarah? Selain korban jiwa dalam malapetaka sosial
tersebut, yang sebenarnya tak hanya menimpa massa pendukung PKI,
sejumlah orang juga menjadi tahanan politik bertahun-tahun lamanya di berbagai
tempat penahanan di seluruh Indonesia dan kemudian di Pulau Buru.
Professor Herbert Feith menyebutkan adanya 80.000 tahanan
politik. Suatu angka yang sebenarnya lebih rendah daripada kenyataan yang ada,
apalagi penangkapan terus berlangsung sampai bertahun-tahun sesudah peristiwa,
tak terkecuali korban salah tangkap.
Pada tahun-tahun 1966-1967 bahkan hingga beberapa tahun
berikutnya, berbagai pihak, termasuk pers Indonesia cenderung menghindari
menyentuh dan membicarakan mengenai pembasmian berdarah-darah atas PKI ini.
Hanya ada beberapa pengecualian, seperti misalnya Soe Hok-gie melalui
tulisan-tulisannya, termasuk di Mingguan Mahasiswa Indonesia, edisi pusat
maupun edisi Jawa Barat. Adalah karena tulisan-tulisannya, Soe-Hokgie
berkali-kali menjadi sasaran teror.
Di tahun 1966, melalui tulisannya di Mingguan Mahasiswa
Indonesia, cendekiawan muda dari ITB Mudaham Taufick Zen yang lebih dikenal
sebagai MT Zen pernah menyentuh substansi masalah tersebut. MT Zen menggambarkan
adanya suasana ketakutan rakyat Indonesia terhadap teror PKI selama beberapa
tahun terakhir, sebagaimana yang kemudian ‘terbukti’ di Lubang Buaya. Dalam
suasana itu, “sebagai akibat selalu ditangguhkannya political solution yang
dijanjikan Bung Karno, maka terjadilah pembunuhan besar-besaran di Jawa Tengah
dan Jawa Timur serta tempat-tempat lain di Indonesia”.
Perlu dicatat bahwa setelah terjadinya Peristiwa 30
September 1965, harian-harian milik tentara dan atau dipengaruhi tentara, seperti Berita Yudha dan Angkatan
Bersendjata, sangat berperanan dalam mengkampanyekan kekejaman PKI, terutama
mengenai kekejaman di Lubang Buaya. Brigadir Jenderal Sunardi DM mengakui
adanya kampanye seperti itu, untuk membangkitkan ‘perlawanan’ rakyat terhadap
PKI dalam suatu percakapan dengan Rum Aly (penulis catatan ini). Penggambaran
mereka terhadap kekejaman yang dilakukan terhadap enam jenderal dan seorang
perwira pertama Angkatan Darat betul-betul berhasil menyulut kemarahan massal
di seluruh Indonesia, dengan dampak yang luar biasa dahsyat.
Baru belakangan diketahui bahwa banyak berita yang
dilansir amat dilebih-lebihkan. Mingguan Mahasiswa Indonesia sendiri,
kendatipun merupakan media yang menonjol sikap anti komunisnya, tetap mampu
memisahkan masalah kejahatan kemanusian dan pelanggaran hak azasi dari dimensi
subjektivitas politik, termasuk yang menimpa anggota-anggota PKI.
Mingguan itu memberi tempat kepada berbagai berita ekses,
termasuk mengenai masalah tahanan politik seperti pengungkapan angka oleh
Herbert Feith dan kemudian bahasan-bahasan ‘ilmiah’ Pater MAW Brouwer mengenai
Marxisme dan tentang nasib orang-orang PKI. Teguran-teguran per telepon yang
disampaikan oleh pihak aparat militer, diabaikan. Pada tahun 1968-1969, Harian Sinar Harapan dan Harian Indonesia Raya,
juga pernah mendapat sedikit ‘kesulitan’ dari pihak tentara karena
pemberitaannya mengenai pembunuhan atas diri orang-orang PKI di Purwodadi yang
dilakukan oleh kesatuan teritorial TNI-AD di daerah itu.
-Diolah kembali
dari buku Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, Kata Hasta
Pustaka, 2006.
Senin, 19 Oktober 2009
Malapetaka Sosiologis Indonesia: Pembalasan Berdarah (4)
OCTOBER 19, 2009 - SOCIOPOLITICA
”Para tahanan itu harus menghadapi kekerasan massa dan
terbunuh dalam kerusuhan itu. Melebihi pemenggalan kepala yang menjadi eksekusi
standar di berbagai penjuru tanah air kala itu, dalam peristiwa di Watampone
itu terjadi pencincangan tubuh atas orang-orang PKI. Pencincangan adalah
mutilasi berat, berupa pemotongan dan penyayatan bagian-bagian tubuh sehingga
‘terpisah’ dalam potongan-potongan”.
Bernasib lebih buruk adalah beberapa tokoh pengurus
daerah PKI, yang diambil dari rumah mereka masing-masing, dibawa ke suatu
tempat dan tak diketahui lagi keberadaannya. Dapat dipastikan, mereka
dieksekusi oleh kelompok pemuda dan massa yang pada hari-hari itu menjadi
sangat agresif –sama agresifnya dengan massa PKI dalam berbagai gerakan mereka
sebelum Peristiwa 30 September 1965 sebagaimana tergambarkan di media massa
serta cerita dari mulut ke mulut. Beberapa aktivis CGMI Sulawesi Selatan,
mahasiswa Universitas Hasanuddin, juga mengalami nasib sama, diambil dan
dieksekusi entah di mana.
Keberanian massa melakukan ‘pengganyangan’ PKI masih
sejak hari-hari pertama setelah gagalnya G30S, tak terlepas dari cepatnya
Pejabat Panglima Kodam XIV Hasanuddin waktu itu, Kolonel Solichin GP,
menyatakan membubarkan PKI pada 2 Oktober 1965. Kala itu, jabatan Panglima
Hasanuddin secara resmi masih dijabat oleh Mayor Jenderal Muhammad Jusuf yang
merangkap sebagai Menteri bidang Perindustrian dalam Kabinet Dwikora.
Pada tanggal 10 bulan Nopember 1965, setelah apel dalam
rangka Hari Pahlawan di lapangan Karebosi, Makassar, terjadi gerakan-gerakan
massa yang menandai arus balik politik yang makin deras. Tokoh-tokoh PNI yang
menjadi salah satu partai paling terkemuka di Sulawesi Selatan waktu itu,
karena dianggap partainya Bung Karno, menjadi sasaran ‘pengganyangan’.
Rumah tokoh-tokoh
PNI seperti Haji Ahmad Massiara, Achmad Daeng Siala dan Salman AS –mereka
bertiga adalah pengelola Harian Marhaen di Makassar– diserbu dan
diporakporandakan oleh massa yang terutama dari ormas-ormas onderbouw partai-partai
Islam serta HMI dan PII. Sebenarnya PNI sendiri waktu itu telah terbelah
menjadi dua kubu, yakni kubu Ali Sastroamidjojo-Surachman dengan kubu yang
kemudian hari akan dikenal sebagai kelompok Osa-Usep. Tetapi dalam kasus
penyerbuan massa, hampir-hampir saja kedua kubu itu tak lagi dibedakan.
Barisan Wanita Marhaenis yang merupakan sayap bukan Ali-Surachman,
yang ikut apel di Karebosi di bulan Nopember itu dengan seragam kebaya merah
jambu ikut dikejar-kejar massa. Untung saja karena mereka adalah kaum ibu, maka
banyak anggota masyarakat yang turun tangan mencegah terjadinya perlakuan
fatal.
Pada hari yang sama, Konsulat RRT (Republik Rakjat
Tjina) juga diserbu, namun massa hanya bisa menjebol pintu pekarangan dan tak
bisa memasuki gedung konsulat karena dihalau oleh tentara yang menggunakan
tongkat rotan yang besar. Seorang pelajar yang menuntun sepedanya dan menonton
dari kejauhan, menjadi korban, terlilit dan tersengat kabel listrik jalanan
yang putus karena tembakan petugas. Yang sama malangnya, adalah etnis Cina.
Dalam rangkaian gerakan massa yang terjadi kemudian, mereka justru menjadi
korban. Rumah mereka diserbu, harta benda mereka banyak yang ditumpas habis,
tanpa ada sebab musabab politik yang jelas.
Dibanding penampilan PKI di Sulawesi Selatan, PNI masih
jauh lebih semarak tampilannya, dan menunjukkan keunggulan, termasuk dalam
posisi kemasyarakatan. Di kota Makassar ada dua suratkabar terkemuka, dan salah
satunya adalah HarianMarhaen, ‘milik’ PNI. Kehadiran media cetak ini
membuat PNI menonjol sepak terjang politiknya di Sulawesi Selatan dan menjadi
salah satu penyebab PNI menjadi ibarat satu pohon tinggi yang banyak
‘dilihat’orang. Sementara itu, PKI tidak punya media pers, sehingga tidak
menonjol. Berita mengenai PKI lebih banyak mengenai sepak terjang PKI di pulau
Jawa, sehingga citra PKI di Sulawesi Selatan terutama tercipta dari citra PKI
di pulau Jawa. Organisasi mahasiswa onderbouw PNI, GMNI, juga jauh
lebih menonjol dari CGMI. Hanya HMI yang menandingi kesemarakan GMNI, namun tak
melebihi popularitas GMNI kendati anggota HMI sebenarnya sangat jauh lebih
banyak dari GMNI. Begitu besarnya sebenarnya jumlah anggota HMI di Makassar,
sehingga salah seorang tokoh HMI, Adi Sasono, menggambarkan bahwa ‘’di
perguruan-perguruan tinggi Makassar hampir tidak ada yang bukan HMI”.
Namun, di masa sebelum Peristiwa 30 September, GMNI
tetaplah lebih semarak. Setiap kali ada pawai-pawai di kota Makassar, barisan
GMNI tampil lebih menonjol, rapih dalam baju-baju dan jaket mereka yang
mentereng mengalahkan baju kebanyakan anggota masyarakat yang kala itu sedang
krisis sandang. Kain-kain murah dan murahan hanya bisa diperoleh anggota
masyarakat dengan bersusah payah antri di kantor Kepala Kampung atau melalui
RW-RW, sedang yang dijual di toko-toko Jalan Somba Opu harganya begitu mahal
dan tak terjangkau kebanyakan orang. Bahwa anak-anak GMNI tetap bisa tampil
wah, bisa dimaklumi karena mereka umumnya berasal dari kalangan keluarga elite Sulawesi
Selatan. Apalagi merupakan ciri khas barisan GMNI waktu itu adalah bahwa pada
deretan-deretan depan ditampilkan mahasiswi dan mahasiswa yang rupawan. Salah
satu primadonanya adalah seorang mahasiswi bernama Rini Soetarjo, anak seorang
dokter terkemuka di Makassar.
Bisa dibandingkan dengan anggota-anggota HMI dan
lain-lain yang mayoritas berasal dari pedalaman Sulawesi Selatan yang praktis
hingga tahun 1965 itu situasinya masih dalam suasana pergolakan karena adanya
DI-TII, yang tampilannya jauh di bawah garis. Tapi, pemimpin HMI Sulawesi
Selatan yang kemudian menjadi Ketua KAMI Sulawesi Selatan, Muhammad Jusuf
Kalla, adalah anak seorang pengusaha yang saat itu tergolong sudah terkaya di
Sulawesi Selatan, Haji Kalla yang merintis usahanya dari bawah sebagai pemilik
toko kecil di Watampone, Kabupaten Bone. Merupakan ‘kelebihan’ Jusuf Kalla,
wajah dan penampilannya secara alamiah, meskipun anak orang kaya bagaimanapun
juga selalu menimbulkan kesan sederhana dan tidak wah.
Di antara anggota masyarakat yang banyak mengalami proses
‘pemiskinan’ pada masa itu, sebagai akibat pergolakan dan ketidakamanan daerah
saat itu, pengurus-pengurus dan anggota-anggota Partai Komunis Indonesia,
termasuk di dalamnya dan umumnya juga tak kalah miskinnya. Bahkan mungkin termiskin,
karena kaum urban yang datang dari pedesaan oleh faktor kekacauan daerah,
bagaimanapun masih punya tanah di kampung asalnya. Seorang mahasiswa yang ikut
gerakan penyerbuan ke rumah-rumah para tokoh PKI, sempat tertegun melihat gubuk
yang menjadi kediaman Sekretaris CDB PKI Sulawesi Selatan yang sangat
mengibakan hati. “Saya tak tega, jadi saya tak berbuat apa-apa di sana. Saya
hanya bisa melihat dari kejauhan”, ia menuturkan kemudian.
Apapun, massa partai PKI harus membayar mahal apa yang
terjadi di Jakarta yang melibatkan nama beberapa tokoh pusatnya. Peristiwa
lain, terjadi di Watampone, beberapa waktu kemudian, berupa penyerbuan rumah
tahanan (penjara) tempat sejumlah anggota PKI atau yang dianggap simpatisan PKI
ditahan. Para tahanan itu harus menghadapi kekerasan massa dan terbunuh dalam
kerusuhan itu. Melebihi pemenggalan kepala yang menjadi eksekusi standar di
berbagai penjuru tanah air kala itu, dalam peristiwa di Watampone itu terjadi
pencincangan tubuh atas orang-orang PKI. Pencincangan adalah mutilasi berat,
berupa pemotongan dan penyayatan bagian-bagian tubuh sehingga ‘terpisah’ dalam
potongan-potongan. Dalam sejarah yang terkait dengan Bone, peristiwa
pencincangan merupakan catatan tersendiri yang kisahnya terselip dalam
pemaparan-pemaparan berikut ini.
PNI di Sulawesi Selatan merupakan partai yang amat banyak
memperoleh dukungan kaum bangsawan di daerah itu. Inilah yang membuat untuk
sekian tahun lamanya hingga menjelang kuartal akhir tahun 1965, PNI menjadi
partai yang kuat di Sulawesi Selatan. Meskipun berbeda dengan di Pulau Jawa –di
mana kaum bangsawan memiliki ‘kekuasaan’ yang jelas dengan memiliki
Mangkunegaran ataupun Kesultanan Yogya– bangsawan Sulawesi Selatan
memiliki posisi dan peranan yang cukup besar di masyarakat. Secara umum kebangsawanan
mengundang kehormatan dan prestise di mata rakyat. Kehidupan kaum bangsawan
berada dalam zona ekonomi yang relatif mapan, baik karena kepemilikan warisan
turun temurun –terutama yang berupa tanah dan posisi adat ataukah seremoni–
maupun karena penempatan diri mereka dalam posisi-posisi pemerintahan.
Di tengah masyarakat, kaum bangsawan Sulawesi Selatan
menerjuni berbagai kegiatan mulai dari yang mulia hingga ke kutub sebaliknya
–karena bangsawan juga manusia biasa seperti yang lainnya– berupa perilaku-perilaku
yang sangat tercela yang kerap kali menyakitkan hati kalangan bawah masyarakat.
Dalam tubuh ketentaraan, para bangsawan tampil sebagai perwira-perwira
berpangkat tinggi dan beberapa di antaranya mencapai pangkat-pangkat puncak.
Para bangsawan, terutama yang memegang posisi wilayah dalam struktur
kepemerintahan feodal di masa pengawasan kolonial Belanda, mendapat prioritas
untuk menyekolahkan anak-anaknya. Meskipun tidak semua memanfaatkan dengan
baik, karena pandangan tradisional tertentu, terutama untuk anak-anak perempuan
yang dianggap tak perlu bersekolah tinggi-tinggi. Mereka yang pada dasarnya
anti Belanda, juga cenderung enggan memanfaatkan fasilitas pendidikan itu bagi
anak-anak mereka. Dalam proses perjuangan mempertahankan kemerdekaan beberapa
di antara kaum bangsawan menjalankan peran besar, dan kelak tercatat dalam
sejarah sebagai pahlawan nasional, namun sementara itu beberapa yang lainnya
menjalankan peran sebaliknya dan dianggap pengkhianat. Maka, dalam beberapa
peristiwa, ada kalangan bangsawan diculik dan dibunuh oleh rakyat, bahkan ada
di antaranya, seorang bangsawan tinggi, sampai mengalami pencincangan tubuhnya
dengan cara yang amat mengerikan.
Dalam pergolakan setelah penyerahan kedaulatan, kaum
bangsawan tercatat sebagai pemegang peran dalam berbagai peristiwa besar, di
antaranya dalam Peristiwa Andi Azis. Pada tahun-tahun pergolakan daerah,
tercatat pula Peristiwa Andi Selle, yang pada puncak peristiwanya hampir
merenggut nyawa Jenderal Muhammad Jusuf. Jenderal Jusuf ini sebenarnya seorang
bangsawan Bugis yang menyandang gelar Andi –suatu gelar Pangeran– namun
kemudian menanggalkan gelarnya tersebut. Nama lengkapnya semula adalah Andi
Muhammad Jusuf Amir. Setelah Muhammad Jusuf menanggalkan gelarnya, beberapa
kalangan bangsawan menjadi ‘gamang’ dan ’risih’ dengan gelar kebangsawanannya,
terutama di kalangan militer. Kegamangan itu tercermin dari tidak
dicantumkannya lagi gelar-gelar di depan namanya, namun tidak pernah menyatakan
menanggalkan gelar itu, dan sehari-hari tetap menerima perlakuan-perlakuan
hormat dari lingkungannya.
Kaum bangsawan Sulawesi Selatan juga memiliki kisah
perseteruan besar dalam catatan sejarah, yakni antara Kerajaan Bone dan
Kerajaan Gowa.
Untuk suatu jangka
waktu yang panjang dalam Indonesia merdeka, Aru Palakka dari Bone menyandang
penamaan sebagai pengkhianat karena membantu Belanda memerangi Kerajaan Gowa di
bawah Sultan Hasanuddin, padahal waktu itu belum ada konsep Nusantara sebagai
satu negara. Di masa lampau, Kerajaan Bone merupakan representasi etnis Bugis
sedang Kerajaan Gowa adalah representasi etnis Makassar, yang dulu kala
terlibat dalam semacam perseteruan antar etnis yang cukup tajam.
Posisi sejarah Aru Palakka, pada masa-masa terakhir ini
mengalami semacam koreksi dalam sudut pandang para sejarahwan yang telah
meninggalkan perspektif hitam-putih dalam memahami satu peristiwa sejarah. Aru
Palakka membantu Belanda kala itu dalam kedudukan suatu kerajaan berdaulat yang
merasa terancam dan pernah tertindas oleh kerajaan lain. Aru Palakka pun
memiliki motif pribadi yang kuat menurut sistim nilai masyarakat Bugis, dalam
membalaskan dendam yang dialami ayahandanya. Dalam perang antara Bone dengan
Gowa, sebelum generasi Aru Palakka dan Sultan Hasanuddin, ayahanda Aru Palakka
mengalami perlakuan kejam –dicincang dalam lesung penumbuk padi– sehingga
tewas.
Sesudah peristiwa itu, kerajaan Gowa menjalankan sejumlah
kebijakan rekonsiliasi dengan para bangsawan Bone melalui distribusi wilayah,
perkawinan-perkawinan antara bangsawan Bone dan Gowa, yang diharapkan akan
mampu menghapuskan dendam-dendam lama. Aru Palakka sendiri diangkat sebagai
anak asuh dan diserahkan pendidikannya kepada seorang bangsawan Makassar,
sebagaimana layaknya yang harus diterima seorang anak bangsawan. Tetapi segala
perlakuan itu tidak kuasa menghapuskan luka dendam yang mendalam Aru Palakka
terhadap Kerajaan Gowa. Namun sejarah juga mencatat bahwa pada akhirnya,
setelah membantu Belanda mengalahkan Gowa, Kerajaan Bone juga terlibat
peperangan melawan Belanda.
Adalah karena kepopuleran PNI dan
organisasi-organisasi onderbouwnya di Sulawesi Selatan, maka setelah
terjadi Peristiwa 30 September 1965, ia lebih mendapat ‘perhatian’. Dan karena
kebetulan di tingkat nasional PNI Ali Surachman dianggap sebarisan dengan PKI
dalam sepak terjang politiknya, maka PNI menjadi sasaran utama serangan pasca
Peristiwa 30 September 1965. Aspek persaingan menjadi faktor penting di sini,
karena selama beberapa tahun sebelum Peristiwa 30 September, peranan PNI begitu
dominan di daerah ini dan peristiwa politik yang terjadi saat itu menjadi
momentum bagi partai-partai dan kekuatan politik serta kekuatan kepentingan
lainnya untuk mengeliminasi PNI.
Berlanjut ke Bagian 5
Sabtu, 17 Oktober 2009
Malapetaka Sosiologis Indonesia: Pembalasan Berdarah (3)
OCTOBER 17, 2009
“Salah satu pelaku pemerkosaan yang paling brutal,
seperti yang digambarkan Soe Hok-gie dalam tulisannya, adalah Widagda seorang
pimpinan PNI dari Negara. Ia ini adalah adik laki-laki Wedasastra Suyasa,
seorang tokoh terkemuka PNI di Bali dan anggota DPR-GR di Jakarta. Widagda
memperkosa puluhan wanita yang dituduh dan dikait-kaitkan dengan PKI, meskipun
terbukti kemudian bahwa tidak selalu tuduhan terkait PKI itu benar”.
Faktor lain yang membuat PKI menonjol di Bali adalah
bahwa dalam Nasakomisasi yang dijalankan oleh Gubernur Suteja –seorang yang
dianggap pendukung utama Presiden Soekarno di daerah itu dan mempunyai
kedekatan dengan PKI– sesuai ‘perintah’ Soekarno, PKI mendapat keleluasaan
berlebihan. Suteja merupakan perpanjangan tangan yang baik bagi kebijaksanaan
Nasakomisasi Soekarno yang menguntungkan PKI.
Dalam suasana
Nasakomisasi itu, banyak tindakan-tindakan PKI, yang dipimpin oleh Tio Kandel
sebagai Ketua CDB, seperti aksi-aksi sepihak dalam masalah pertanahan, bisa
berlangsung bebas tanpa penindakan. Ini terutama pula terjadi setelah Brigjen
Supardi yang dikenal amat anti PKI mengikuti garis Markas Besar AD, digantikan
sebagai Panglima Kodam Udayana pada tahun 1963 oleh Brigjen Sjafiuddin yang
sangat patuh terhadap Soekarno saat itu. Dan adalah menarik, meskipun secara
horizontal di lapisan bawah massa PNI banyak berbenturan dengan massa PKI,
dalam banyak hal para elite PNI di Bali bisa berdampingan nyaman dengan tokoh-tokoh
PKI. Bahkan terjadi beberapa jalinan kepentingan bersama yang menguntungkan,
termasuk secara ekonomis. Ada beberapa pengusaha yang kebetulan keturunan Cina,
selain dekat dengan tokoh-tokoh PKI juga punya jalinan dengan tokoh-tokoh PNI,
sehingga terjadi pertalian di antara ketiganya. Meskipun, sebaliknya dalam
beberapa kasus lainnya terjadi pula persaingan kepentingan ekonomi dan politik
yang tajam di antara tokoh-tokoh PNI tertentu dengan tokoh-tokoh PKI di Bali.
PKI juga nyaman bersama Brigjen Sjafiuddin, apalagi
isteri Sjafiuddin punya kedekatan khusus dengan Gerwani dan menunjukkan sikap
mendukung PKI. Namun, setelah Peristiwa 30 September terjadi, pada pertengahan
Oktober sewaktu arah angin dan situasi menjadi lebih jelas, dengan gesit Brigjen
Sjafiuddin melancarkan operasi pembersihan terhadap mereka yang dianggap
terlibat PKI, terutama internal Kodam Udayana. Akan tetapi, sejauh yang dapat
dicatat, tidaklah terlalu jelas ‘kategori’ sebenarnya dari mereka yang
ditangkap, karena sebaliknya banyak yang menurut perkiraan umum akan ditangkap
ternyata ‘lolos’ atau diloloskan. Belum lagi, sejumlah kasus salah tangkap.
Menurut Soe Hok-gie, pemicu kekerasan yang kemudian
terjadi di Bali adalah hasutan-hasutan sejumlah tokoh. Seorang tokoh PNI
menghasut orang-orang untuk melakukan aksi kekerasan dengan mengatakan
bahwa Tuhan menyetujui pembantaian terhadap orang-orang PKI, dan bahwa hukum
tidak akan mengena orang yang melakukannya. Seorang tokoh lain mengatakan bahwa
mengambil harta benda milik orang PKI tidak melanggar hukum. “Kelompok-kelompok
yang berjaga-jaga mulai keluar dengan berpakaian serba hitam dan bersenjatakan
pedang, pisau, pentungan dan bahkan senjata api. Rumah-rumah penduduk yang
diduga sebagai anggota PKI dibakar sebagai bagian dari pemanasan bagi
dilancarkannya tindakan-tindakan yang lebih kejam”. Kemudian pembantaian pun
mulai terjadi di mana-mana. “Selama tiga bulan berikutnya, Bali menjadi sebuah
mimpi buruk pembantaian”. Dengan perkiraan yang paling konservatif, menurut Soe
Hok-gie, “paling tidak 80.000 orang terbunuh”, dari berbagai tingkat usia, pria
dan wanita. Soe Hok-gie menyimpulkan, pembantaian massa PKI di Bali tidak
berlangsung berdasarkan suatu spontaniteit –istilah bahasa Belanda
untuk spontanitas– melainkan terutama karena hasutan tokoh-tokoh PNI.
Ada beberapa sebab kenapa massa PNI menjadi pemeran utama
pembasmian PKI di Bali. Pertama, karena memang adanya faktor dendam akibat
akumulasi perlakuan massa PKI sebelumnya kepada orang-orang PNI di
pedesaan-pedesaan Bali. Namun pembalasan ini baru muncul setelah beberapa tokoh
PNI melakukan provokasi, dan mulai terjadi terutama di bulan November 1965. Hal
kedua, ada beberapa tokoh PNI yang karena ingin menutupi ‘kerjasama’nya dengan
PKI di masa lampau, kemudian memprovokasi suatu eliminasi terhadap PKI. Seorang
pengusaha Cina bernama Tjan Wie menjadi salah satu korban utama, dengan tuduhan
keterlibatan dengan PKI, aset dan hartanya disapu habis, sehingga ia menjadi
gila karena tekanan mental yang tak dapat lagi dipikulnya. Ironisnya, saingan
bisnisnya yang bernama Lie Lie Tjien yang justru adalah pengusaha yang menjadi
donatur utama PKI di Bali Utara tidak tersentuh karena ia bersekutu dengan
Wijana salah satu tokoh utama PNI di Bali.
Selain pembunuhan-pembunuhan dan pembakaran rumah-rumah,
terjadi pula tindakan-tindakan pemerkosaan terhadap sejumlah besar perempuan
yang dikaitkan dengan Gerwani. Salah satu pelaku pemerkosaan yang paling
brutal, seperti yang digambarkan Soe Hok-gie dalam tulisannya, adalah Widagda
seorang pimpinan PNI dari Negara. Ia ini adalah adik laki-laki Wedasastra
Suyasa, seorang tokoh terkemuka PNI di Bali dan anggota DPR-GR di Jakarta.
Widagda memperkosa puluhan wanita yang dituduh dan dikait-kaitkan dengan PKI,
meskipun terbukti kemudian bahwa tidak selalu tuduhan terkait PKI itu benar.
Tiga di antara wanita korbannya mengajukan kasusnya ke pengadilan, dan Widagda
akhirnya dijatuhi hukuman untuk itu, dengan amat tidak setimpal, yakni 3 tahun penjara.
Pelaku-pelaku lain selain Widagda, tak sempat tersentuh hukum. Faktanya,
pembasmian di Bali hanya mengena terhadap akar-akar rumput PKI, dan justru
banyak lapisan atasnya lolos dan bisa tinggal dengan aman di Jakarta.
Gelombang pembantaian terhadap massa PKI di Sumatera
Utara juga termasuk menonjol meskipun tidak terlalu massive seperti
di Jawa Timur maupun Jawa Tengah. Tetapi penggambaran bahwa pada masa-masa di
bulan Oktober 1965 itu Sungai Ular penuh dengan mayat, bukanlah deskripsi yang
terlalu berlebih-lebihan. PKI Sumatera Utara, termasuk agresif, tak kalah
dengan PKI di wilayah lainnya. Peristiwa Bandar Betsi yang mengambil korban
jiwa seorang anggota Angkatan Darat terjadi di propinsi ini. Aksi sepihak BTI
dan buruh perkebunan yang berafiliasi dengan PKI, termasuk intensif di daerah
ini. Dalam periode Nasakom, PKI unggul di kalangan buruh perkebunan dan kereta
api. PKI juga memiliki suratkabar yakni Harian Harapan. Gubernur Ulung
Sitepu dikenal sebagai tokoh PKI dan beberapa tokoh PKI di tingkat nasional
berasal dari daerah ini.
Organisasi anti PKI yang paling kuat dan keras di daerah
ini adalah Pemuda Pantjasila, dan mereka lah paling gencar menggempur PKI
pasca Peristiwa 30 September. Satu dan lain hal, karena organisasi kepemudaan
ini memperoleh informasi cepat dari Jakarta mengenai gambaran situasi
sebenarnya melalui jalur IPKI yang merupakan induk organisasinya. Dan peristiwa
yang menimpa Jenderal Nasution di Jakarta 1 Oktober dinihari, menjadi pemicu
‘kemarahan’ mereka, karena Jenderal Nasution adalah tokoh yang mendirikan IPKI.
Selain Pemuda Pantjasila, organisasi anti PKI yang kuat di wilayah ini,
khususnya di perkebunan-perkebunan adalah Soksi. Organisasi sayap Soksi di
dunia kemahasiswaan, Pelmasi, meskipun tak cukup banyak anggotanya akhirnya
juga cukup berperan dalam gerakan pembasmian PKI di Sumatera Utara. Salah satu
tokohnya di Sumatera Utara adalah Bomer Pasaribu yang cukup berperan dalam
kesatuan aksi dan belakangan tembus ke tingkat nasional.
PKI, PNI dan peran para bangsawan di Sulawesi
Selatan. Suatu keadaan yang agak terbalik dari Jawa Tengah terjadi di
Sulawesi Selatan. Seperti halnya di Jawa Tengah, PNI di Sulawesi Selatan amat
menonjol. Dan inilah yang kemudian menjadi awal bencana bagi PNI di Sulawesi
Selatan. PNI jauh lebih menonjol dari PKI, meski pun tokoh-tokoh PKI di wilayah
ini cukup vokal. Namun dibandingkan dengan perilaku politik PKI di pulau Jawa
yang amat agresif, PKI Sulawesi Selatan bisa dikatakan ‘moderat’. Aksi-aksi
sepihak dalam rangka landreform lebih banyak disuarakan melalui
pernyataan-pernyataan. Kalau pun pernah terjadi aksi sepihak, itu hanya terjadi
di Tanah Toraja. Anggota-anggota PKI di Sulawesi Selatan sejauh yang tercatat
tak pernah melakukan tindakan kekerasan berdarah-darah seperti yang dilakukan
misalnya di Bandar Betsi Sumatera Utara, serta tidak melakukan gerakan
perlawanan seperti di Jawa Tengah. Masih beradanya Sulawesi Selatan dalam
situasi keamanan yang kurang baik terkait dengan masih bergeraknya DI-TII di
wilayah ini menjadi salah satu penyebab terbatasnya ruang gerak PKI. Praktis
PKI tak bisa menjangkau ke wilayah pedalaman, terutama karena kehadiran DI-TII
di wilayah-wilayah luar perkotaan itu. Dengan demikian, PKI Sulawesi Selatan
sebenarnya terhindar dari melakukan tindakan-tindakan mengakumulasi dendam
seperti yang dilakukan PKI di Jawa Tengah maupun di Jawa Timur. Maka adalah
menarik bahwa bila kemudian terjadi tindakan ‘balas dendam’ yang cukup kejam di
daerah ini, seperti misalnya yang terjadi di Watampone, Kabupaten Bone, daerah kelahiran
Jenderal Muhammad Jusuf.
Selain Paiso, tak banyak tokoh PKI Sulawesi Selatan yang
menarik perhatian. Begitu pula misalnya tokoh-tokoh organisasi mantelnya,
seperti HSI, CGMI atau Pemuda Rakyat. HSI misalnya, tak banyak tokohnya yang
menarik perhatian masyarakat di Sulawesi Selatan, bahkan cenderung tak dikenal.
Ada beberapa nama, namun tidak terlalu dikenal, seperti misalnya Mochtar dan
Nurul Muhlisa. Tapi salah seorang di antaranya, amat diperhatikan mahasiswa,
yakni Prof Ie Keng Heng, yang mengajar ilmu kimia di Fakultas Teknik
Universitas Hasanuddin, karena selain menyampaikan kuliah kimia, ia sering
berbicara dalam berbagai kesempatan mengenai komunisme. Ia selalu memuji-muji
PKI sebagai kekuatan progressif revolusioner, termasuk dalam memberikan kuliah.
Maka, ketika keadaan berbalik setelah patahnya Gerakan 30 September 1965, dan
nama PKI dilibatkan, ia menjadi salah satu sasaran utama mahasiswa non komunis.
Masih pada 2 Oktober 1965, hari Sabtu, sekelompok
mahasiswa dari organisasi Islam, HMI dan kawan-kawan, menyeret paksa sang
professor saat ia sedang memberi kuliah hari itu, lalu digiring ke tempat lain.
Menurut seorang mahasiswa, Ie Keng Heng dibawa ke aparat keamanan (militer).
Setelah itu, orang tak pernah melihatnya lagi. Ada yang
mengatakan ia di bawah ke Malino, suatu daerah peristirahatan beberapa puluh
kilometer ke arah Tenggara kota Makassar, lalu dihabisi di sana. Tetapi seorang
aktivis PMKRI dari Fakultas Teknik Unhas, Bobby Tjetjep, memperkirakan bahwa
nasib Ie Keng Heng tak sedramatis itu, dan matinya adalah biasa saja, tidak
karena suatu eksekusi. Memang ada juga yang memperkirakan bahwa Ie Keng Heng
yang sehari-harinya sebenarnya tidak bersikap ‘ganas’ sebagai anggota HSI yang
partainya sedang naik daun secara nasional, tidaklah dibawa ke tempat eksekusi,
sebagaimana yang banyak beredar ceritanya waktu itu, melainkan diberi
‘kesempatan’ untuk meninggalkan Makassar.
Putera-puterinya
–hasil perkawinannya dengan seorang wanita Eropah– yang masih berstatus pelajar
dan mahasiswa ikut mendapat getahnya, padahal sehari-harinya mereka tak pernah
tertarik untuk ikut terbawa arus politik seperti ayahanda mereka, dan harus
pula ‘meninggalkan’ kota Makassar entah ke mana.
Berlanjut ke Bagian 4
Selasa, 13 Oktober 2009
Malapetaka Sosiologis Indonesia: Pembalasan Berdarah (2)
OCTOBER 13, 2009 - SOCIOPOLITICA
“Keikutsertaan sebagai pembantai bahkan kerapkali
dianggap semacam tugas suci oleh beberapa anak muda belasan tahun. ‘Seorang
teman sekolah saya di SMA, kerap bercerita, mengenai pengalamannya beroperasi
pada malam sebelumnya’, kata Sjahrul. Kelakuan para remaja yang terbawa arus
melakukan pembantaian tampak berangsur-angsur menjadi tidak wajar”.
Setelah Peristiwa 30 September terjadi, 2 Oktober
dinihari, setengah jam sebelum Halim Perdanakusumah diduduki Pasukan RPKAD,
Aidit yang ditinggalkan dalam negosiasi kekuasaan oleh Soekarno, berangkar ke
Yogya dengan C47 milik AURI. Pimpinan PKI yang tersudut dalam percaturan 1
Oktober itu, agaknya memutuskan untuk melanjutkan kegiatannya di wilayah Jawa
Tengah yang dianggap salah satu wilayah basis PKI.
Bertepatan dengan kehadiran Aidit di Jawa Tengah, 2
Oktober, Komandan Korem 72/Yogyakarta Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel
Sugijono diculik lalu dibunuh. Adanya penculikan dan pembunuhan ini menunjukkan
bahwa selain Jakarta, situasi Jawa Tengah dan Yogyakarta juga cukup krusial.
Faktanya memang, bahwa di Jawa Tengah ini PKI lebih bersikap agresif, karena memang
cukup kuat. PKI di wilayah itu yang ‘dominan’ dalam opini dan kegiatan politik
yang aktif selama periode Nasakom –dan hanya diimbangi oleh PNI– setelah
Peristiwa 30 September merasa dihadapkan kepada suatu situasi dengan pilihan
lebih dulu membantai atau dibantai. Dan karena itu, pada sisi sebaliknya pada
kelompok non-komunis juga berlaku pilihan serupa.
Dalam laporan Tim Peneliti Gajah Mada dan Arthur Dommen,
terlihat bahwa sejak awal Oktober PKI di Boyolali dan Klaten memilih untuk
mendahului bertindak. Mereka melakukan pembantaian besar-besaran dalam skala
ratusan korban, yang mengakibatkan pula ratusan tokoh PNI dan NU serta massa
mereka yang mencapai belasan ribu orang melarikan diri. Dapat dikatakan suasana
dibantai atau membantai ini berlangsung sepanjang Oktober bahkan sampai
Nopember, dengan korban cukup banyak pada kedua belah pihak. Menurut laporan
penelitian itu, massa PKI juga sempat melakukan ‘kup’ atas camat Manisrenggo
dan merebut senjata yang ada di kantor kecamatan.
Di bagian lain wilayah Jawa Tengah, ketika orang-orang
PKI menculik dan menawan banyak tokoh-tokoh PNI dan anggota organisasi
non-komunis lainnya, maka terjadi pula upaya membebaskan dengan menyerbu
desa-desa basis PKI, dengan meminta bantuan tentara. Karena adanya suasana balas
membalas itu, maka angka korban yang jatuh juga tinggi. Belum lagi bahwa di
tengah suasana saling mencurigai antar desa dan antar penduduk dalam satu desa,
kerapkali terjadi salah bantai, dan tak kurang pula ekses berupa pemanfaatan
situasi balas dendam lama di antara penduduk untuk soal lain sebelumnya yang
sama sekali tak ada kaitannya dengan masalah ideologi dan politik.
Tercatat pula keterlibatan anggota-anggota KKO-AL (Korps
Komando Angkatan Laut) sebagai perorangan dalam berbagai peristiwa di Jawa
Tengah ini. Keterlibatan ini, seperti yang pernah dituturkan seorang perwira
KKO, Letnan Kolonel J. Soejoe yang pernah menjadi Pjs Panglima Pasukan Komando
Armada I di Surabaya, adalah karena faktor emosional semata akibat jatuhnya
anggota keluarga mereka sebagai korban dalam gelombang mass murder yang
terjadi. Kebetulan bahwa keluarga mereka yang dibantai secara membabi-buta itu
adalah dengan tuduhan terlibat PKI –meskipun sebenarnya terselip pula kejadian
sebaliknya, menjadi korban pembunuhan oleh orang-orang PKI– maka keterlibatan
anggota-anggota KKO ini sempat menjelma menjadi suatu isu nasional. Sementara
itu, anggota-anggota KKO yang keluarganya belum menjadi korban, namun terancam
oleh tuduhan terkait PKI, terlibat dalam upaya-upaya membela dan melindungi
keluarga mereka itu dan kerapkali dengan bantuan teman-teman satu korps sebagai
tanda solidaritas, tanpa pertimbangan politis apapun sebenarnya. Saat melakukan
upaya perlindungan itulah para anggota KKO ini banyak terlibat bentrokan dengan
satuan-satuan Angkatan Darat, terutama dengan pasukan RPKAD yang bertugas
melakukan penyisiran terhadap PKI di Jawa Tengah. Hal serupa sebenarnya terjadi
pula di Jawa Timur.
Dan dalam suatu koinsidensi pada masa berikutnya,
Panglima KKO Mayor Jenderal (kemudian Letnan Jenderal) Hartono ‘kebetulan’ juga
banyak tampil dengan pernyataan-pernyataan yang dianggap sebagai pembelaan
terhadap Soekarno, sehingga isu berkembang menjadi lebih jauh lagi dengan
konotasi bertentangan dengan Angkatan Darat pasca 30 September. Letnan Jenderal
Hartono dikenal pula sebagai pengecam terhadap penampilan Angkatan Darat yang
dianggapnya terlalu berpolitik. Salah satu yang dicela Hartono mengenai
Angkatan Darat, adalah sikap ‘pembangkangan’ dan politik-politikan sejumlah
jenderal terhadap Presiden Soekarno. “Dulu saya memang tidak setuju Soekarno
diturunkan kalau tidak melalui cara hukum dan konstitusi. Kita adalah tentara,
dengan disiplin. Siapa pun pimpinan yang sah, kita bela”.
Sikap yang mencela terlalu berpolitiknya para perwira
Angkatan Darat ini, termasuk dalam menghadapi Soekarno, menurut Laksamana Laut
Mursalin Daeng Mamangung, cukup merata di kalangan perwira tinggi Angkatan
Laut, bukan hanya Letjen Hartono. Nasib Letnan Jenderal Hartono sendiri,
menjadi tragis di kemudian hari. Setelah Soeharto menjadi Presiden, untuk
beberapa bulan Hartono tetap ‘dibiarkan’menjadi Panglima KKO. Setelah itu, ia
diangkat menjadi Duta Besar RI di Pyongyang, Korea Utara. Suatu waktu ketika
sedang berada di Jakarta, ia kedatangan seorang tamu bersamaan dengan turunnya
hujan deras. Tamu itu diterimanya di salah satu ruangan.
Tak ada sesuatu yang bisa didengar oleh beberapa anggota
keluarganya yang ada di rumah dalam suasana hujan yang deras. Beberapa saat
kemudian ia ditemukan tewas karena luka tembakan dengan sebuah pistol di
dekatnya. Hartono kemudian disimpulkan secara resmi tewas karena bunuh diri.
Laksamana Madya Laut Mursalin Daeng Mamangung, sebagai
perwira tinggi AL waktu itu sempat datang menengok ke kediaman Hartono dan
bertemu dengan beberapa anggota keluarga. Menurut Mursalin, tak mungkin Hartono
bunuh diri, mengingat karakternya yang keras dan tegas. Apalagi, peluru yang
menewaskannya datang dari arah belakang atas kepala tembus ke leher. Suatu cara
bunuh diri yang terlalu aneh dan musykil. Jelas Hartono dibunuh dengan sengaja.
Dan ini mau tidak mau harus dikaitkan dengan sikap kerasnya pada tahun-tahun
sebelumnya kepada Angkatan Darat di bawah Jenderal Soeharto. Secara resmi,
kasus kematian Letnan Jenderal Soeharto, masuk dalam daftar X kasus-kasus yang
tak ‘terungkapkan’.
Ketika gelombang pembalasan dari kelompok non-komunis
makin meningkat dan makin banyak pula campur tangan tentara, maka pada akhirnya
jumlah korban yang jatuh di kalangan kelompok komunis juga semakin lebih
banyak, dan memasuki skala mass murder. Angka moderat korban yang
jatuh di Jawa Tengah adalah dalam skala puluhan ribu, tetapi mengingat
panjangnya masa pertikaian, ada perkiraan bahwa korban mencapai angka dua ratus
ribuan khusus untuk Jawa Tengah dan Yogyakarta saja.
Keadaan yang agak kurang imbang terjadi di Jawa Timur.
Kecuali di beberapa daerah di mana massa PKI mendahului bersikap agresif dan
melakukan pembantaian, pada umumnya mereka lah yang lebih banyak mengalami
pembantaian. Di Banyuwangi, massa PKI mendahului melakukan penculikan dan
pembunuhan, tetapi sebaliknya di sekitar Malang mereka lah yang menjadi
sasaran. Terjadi pula suatu keadaan khusus di suatu daerah yang pendukung PKI
nya lebih dominan. Sejumlah anggota Pemuda Marhaenis dan anggota Banser dipaksa
menjadi tameng luar untuk pertahanan desa mereka dengan pengawasan Pemuda
Rakyat. Suatu ketika, ada serangan pembalasan atas desa tersebut, dan dua orang
anggota Banser tertawan, lalu ‘diadili’. Seorang anggota Banser dari pihak yang
menawan, dengan sikap ‘darah dingin’ menebas leher salah satu dari tawanan itu.
Temannya yang lain dengan menangis-nangis memberitahukan bahwa mereka
sebenarnya adalah anggota Banser yang dijadikan tameng. Setelah dilakukan
pengecekan, memang ternyata kedua tawanan itu adalah anggota Banser, tetapi
bagaimana pun juga kepala yang telah terpancung itu tak dapat direkatkan lagi.
Seorang siswa SMA, putera seorang penegak hukum yang
bertugas di Malang, Sjahrul –yang kemudian menjadi aktivis mahasiswa dari ITB
di Bandung sejak tahun 1967– mengisahkan betapa di pagi hari merupakan
pemandangan biasa bila ada kepala manusia hasil pembantaian tergantung di pagar
kantor ayahandanya. Keikutsertaan sebagai pembantai bahkan kerapkali dianggap
semacam tugas suci oleh beberapa anak muda belasan tahun. “Seorang teman
sekolah saya di SMA, kerap bercerita, mengenai pengalamannya beroperasi pada
malam sebelumnya”. Kelakuan para remaja yang terbawa arus melakukan pembantaian
tampak berangsur-angsur menjadi tidak wajar. Seringkali ada pengakuan dan
dugaan bahwa pembunuhan sesama manusia itu dilakukan karena diperintah, oleh
tentara misalnya, tetapi menurut Sjahrul cukup banyak yang melakukannya
semata-mata karena terbawa arus saja dan akhirnya terbiasa melakukan tanpa
disuruh. Membunuh itu, bisa mencandu, menimbulkan ekstase. Apalagi bila para
korban tak berdaya meratap memohon, itu akan merangsang para eksekutor untuk
lebih menikmati keperkasaan kekuasaannya. Pada beberapa kalangan massa
organisasi Islam di sana, pembasmian anggota PKI yang dianggap anti Tuhan,
bahkan diyakini sebagai bagian tugas membela agama. Di Jawa Timur, seringkali
dikisahkan bahwa pada masa itu, setiap hari Kali Brantas penuh dengan tubuh
hanyut manusia yang telah diberantas. Kasat mata dan menurut perkiraan, jumlah
korban yang jatuh di Jawa Timur jumlahnya melebihi jumlah korban
peristiwa-peristiwa di Jawa Tengah.
Kisah ‘pembantaian’ di Bali dan mayat di Sungai Ular. Seperti
halnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur, di Bali orang-orang PKI juga
‘mengakumulasi’kan sejumlah tindakan yang menimbulkan keirihatian dan dendam
sejak sebelum Peristiwa 30 September 1965. Pusat Studi Pedesaan Universitas
Gadjah Mada, mencatat terjadi sejumlah aksi kekerasan yang dilakukan
anggota-anggota PKI di pedesaan-pedesaan Bali sejak Januari 1965. Di Buleleng tercatat
beberapa aksi sepihak, seperti misalnya yang dilakukan Wayan Wanci dan
kawan-kawannya dari BTI. Ia menyewa tanah dari Pan Tablen, dan suatu ketika
sewa menyewa itu dihentikan. 250 massa BTI lalu menduduki kembali tanah itu,
pada 8 Januari 1965, disertai aksi penghancuran rumah Pan Tablen. Aksi sepihak
lainnya terjadi 14 Januari, antara seorang menantu yang anggota BTI dengan
mertuanya. Ketika mertua meminta kembali tanah yang dipinjamkan, sang menantu
dan kawan-kawannya dari BTI melakukan pengrusakan atas tanaman jagung di atas
tanah tersebut, lalu menduduki dan menggarap sawah itu.
Aksi-aksi sepihak yang serupa terjadi berkali-kali, dan
biasanya BTI berhadapan dengan para pemilik yang kebetulan anggota PNI. Dalam
salah satu insiden soal tanah, 4 Maret 1965, beberapa anggota PKI menyerang
beberapa anggota PNI dengan parang dan senjata tajam lainnya. Tetapi suatu
serangan pembalasan tidak segera terjadi setelah Peristiwa 30 September,
kendati arus pembalasan yang terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur telah masuk
beritanya ke Bali. Setidaknya sepanjang bulan Oktober 1965 tak terjadi apa-apa
di Bali. Tapi pada bulan berikutnya mulai muncul ‘hasutan’, terutama dari
tokoh-tokoh PNI yang memiliki dendam, seperti dituturkan Soe Hok-gie dalam
tulisannya, ‘Pembantaian di Bali’.
Tekanan utama masalahnya saat itu memang bukanlah kepada
soal-soal ideologis, meskipun perbedaan ideologis adalah satu faktor, melainkan
kepada rivalitas pengaruh dan kepentingan manusiawi yang sudah laten antara
pengikut-pengikut PKI dan PNI seperti digambarkan AA Oka Mahendra. PNI secara
turun temurun dominan di Bali. Golongan bangsawan dan pemuka masyarakat umumnya
adalah pendukung PNI, sehingga dengan pengaruh mereka PNI memiliki massa
pengikut yang besar jumlahnya di Bali. Tetapi PKI di Bali sementara itu
berhasil memasuki celah-celah kesenjangan dalam kehidupan sosial, terutama
dalam mendekati rakyat pedesaan Bali yang menjadi petani dengan kepemilikan
tanah yang kecil atau samasekali tidak memiliki tanah. Sebenarnya selama
puluhan tahun ada harmoni antara kaum bangsawan pemilik tanah dengan para
petani, melalui semacam sistim bagi hasil yang adil. Selain itu, setiap kali
ada perselisihan, mekanisme adat dan peranan kaum agamawan senantiasa berhasil
menjadi media penyelesaian. Akan tetapi kehadiran yang lebih menonjol dan
perubahan perilaku politik PKI pada tahun-tahun terakhir menjelang Peristiwa 30
September, telah menghadirkan sejumlah perubahan. Beberapa petani menunjukkan
sikap yang lebih agresif.
Berlanjut ke Bagian 3
socio-politica.com Senin, 12 Oktober 2009
Rivai Apin Menguak Teeuw
SENIN, 12 OKTOBER 2009
oleh Asep Sambodja
Kritikus sastra A. Teeuw (1978, 1989) menghajar penyair Rivai Apin berkali-kali dalam bukunya Sastra Baru Indonesia 1 dan Sastra Indonesia Modern II. Teeuw tidak sekadar mengkritik, tapi juga terkesan “mematikan” salah satu penyair Angkatan ’45 yang telah menghasilkan buku kumpulan puisi Tiga Menguak Takdir bersama Asrul Sani dan Chairil Anwar (1950) dan Dari Dunia yang Belum Sudah (ed. Harry Aveling, 1972). Berikut saya kutip pernyataan Teeuw tersebut.
“Rivai Apin ternyata ahli esai yang tidak begitu besar bakatnya seperti Asrul Sani, dan dia tidak juga penting sebagai penyair. Dari apa yang saya ketahui tentang sajak-sajaknya, maka karya-karya itu tidak lebih dari gejala pancaroba yang menarik minat sambil lalu saja”
(Teeuw, 1978).
“Dalam sajak-sajak Rivai, emosi merupakan objek dan bukan pendorong, dan oleh karena itu, bahayanya ialah bahwa sajak-sajak itu merosot menjadi seruan. Sudah tentu seruan-seruan ini kadang-kadang menggelikan hati, dan kadang-kadang seruan itu sesungguhnya meninggalkan kesan yang menggemparkan dan dari segi lahir menimbulkan persamaan dengan puisi sebenarnya. Selain itu jangan dilupakan bahwa pada tahun-tahun permulaan sastra Indonesia modern, sajak-sajak ini sesungguhnya menggemparkan, dan sudah pasti merupakan suatu pembaruan. Tetapi menurut pandangan saya, 20 tahun kemudian jaranglah ataupun tidak ada sama sekali sajak Rivai yang masih hidup, dan sesungguhnya malah di Indonesia sajak-sajaknya mungkin telah dilupakan” (Teeuw, 1978).
“Terhadap Rivai Apin barangkali bisa dikemukakan alasan bahwa sejak semula ia memang tidak pernah tampil sebagai pengarang penting. Oleh karena itu, tidak terlalu aneh jika ia tidak pernah menghasilkan karya kreatif sebuah pun selama memainkan peranan yang penting di dalam Lekra” (Teeuw, 1989).
“Kekuasaan PKI tamat pada akhir yang berdarah dan penuh kekerasan, dan bersama dengan itu juga Lekra lenyap. Di antara ratusan ribu orang yang terbunuh atau ditahan ketika itu termasuk banyak pimpinan Lekra dan organisasi-organisasi sekutunya, misalnya Pramoedya Ananta Toer, Rivai Apin, Bakri Siregar, dan Buyung Saleh” (Teeuw, 1989).
Benarkah puisi-puisi Rivai Apin sudah dilupakan di Indonesia? Kalau kita membaca Laut Biru Langit Biru dan Puisi Indonesia Modern yang dihimpun dan ditulis oleh Ajip Rosidi (1977, 1987), karya-karya Rivai Apin memang terlupakan atau dilupakan; salah satunya karena alasan politis. Bahwa Rivai Apin adalah sastrawan Lekra. Tapi, “ramalan” Teeuw bahwa “20 tahun kemudian jaranglah ataupun tidak ada sama sekali sajak Rivai yang masih hidup” tidak benar sama sekali. Pada 2002, Taufiq Ismail dan kawan-kawan menerbitkan Horison Sastra Indonesia: Kitab Puisi dan memberi ruang pada puisi-puisi Rivai Apin untuk tetap hidup dan dibaca masyarakat Indonesia. Begitu pula pada 2008, Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan menerbitkan Gugur Merah: Sehimpunan Puisi Lekra Harian Rakjat 1950-1965 yang mau tidak mau memunculkan nama Rivai Apin kembali.
Dalam Taufiq Ismail (2002) ada tiga puisi Rivai Apin yang tidak dilupakan, yakni “Elegi”, “Dari Dunia Belum Sudah”, dan “Kebebasan”. Sementara dalam Yuliantri (2008), sebuah puisi Rivai Apin, “Sebagian Telah Didapat” masih terselamatkan. Saya katakan “masih terselamatkan” karena karya-karya sastrawan Lekra diberangus Rezim Orde Baru. Saya masih terheran-heran, kenapa Teeuw menganggap Rivai Apin sebagai penyair yang “tidak penting”? Ini mengingatkan saya pada petinggi Balai Pustaka di zaman kolonial Belanda seperti D.A. Rinkes, G.W.J. Drewes, dan K.A. Hidding yang menganggap karya Mas Marco Kartodikromo dan Semaun sebagai “bacaan liar” karena menggunakan “bahasa Melayu pasar” dan bukan “bahasa Melayu tinggi”. Persoalannya, penting untuk siapa dan tidak penting bagi siapa?
Saya ingin menginterpretasi sebuah puisi Rivai Apin yang—baik penyair maupun karyanya—saya anggap “penting”. Saya kutip puisi “Dari Dunia Belum Sudah” seutuhnya.
Dari Dunia Belum Sudah
Pagi itu aku dengar beritanya,
Aku ke jalan
Orang-orang jualan dan hendak pergi kerja menepi-nepi
Oto-oto kencang, berat dengan serdadu-serdadu dan tank-tank
tak dapat digolakkan
Ada yang meronda, berdua-dua dan bersenjata
Di antaranya ruang lapan-lapan, tapi ada isi!
Semuanya beku padu:
manusia benda dan udara, tapi memperlihatkan harga.
Aku pergi ke teman-teman berbicara, isi mengendap ke kelam
Berita: Yogya sudah jatuh, Maguwo… Karno tertangkap
Hatta, Syahrir…
Kami terus berbicara, atau ke teman, ke teman dan ke teman…
Kami berbicara, menimbang dan melihat kemungkinan
Semua dari satu kata dan untuk satu kata.
Senja itu aku pulang, sarat dengan berita dan kemungkinan,
Di rumahku aku disambut oleh keakuanku yang belum sudah:
Buku yang terbuka, yang belum dibaca dan buku yang harus
aku sudahkan.
Tapi untuk ini aku sudah tinggalkan Bapa dan Abang
Dan baru pula teringat ini hari baru satu kali makan.
—yang periuknya selalu terbuka—Dan aku sudahkan keakuanku
di dalam ruang kuburan yang digalikan oleh nyala pelita
di dalam kegelapan
Tapi malam itu menghentam, sepatu lars pada dinding
kegelapan yang tebal.
Dan ketika mereka telah pergi terdengar ratap perempuan,
bininya atau ibunya.
Padaku tak usah lagi diceritakan, bahwa ada yang dibawa
Aku hanya bisa menekankan kepala pada papan meja,
Buncah oleh itu kata yang belum punya bumi tapi telah mengejar pula
ke dalam dunia yang belum sudah.
Puisi di atas dikutip dari buku Tiga Menguak Takdir yang terbit pada 1950. Pesan yang ingin disampaikan Rivai Apin adalah adanya penangkapan-penangkapan yang dilakukan Belanda terhadap pemimpin dan orang-orang republik. Penyair merasa gelisah karena Proklamasi Kemerdekaan yang telah didengungkan pada 17 Agustus 1945 mengalami ganjalan karena Belanda melakukan agresi militernya yang kedua pada 1948. Yogyakarta yang saat itu menjadi pusat pemerintahan diduduki Belanda dan para pemimpin Republik Indonesia seperti Soekarno, Muhammad Hatta, Sjahrir, dan H. Agus Salim ditangkap. Kata “merdeka” yang menjadi impian bangsa Indonesia saat itu seperti tertutup kabut hitam. Dalam suasana yang tidak menentu itu Rivai Apin mengatakan dalam puisinya, “Buncah oleh itu kata yang belum punya bumi, tapi telah mengejar pula ke dalam dunia yang belum sudah.” Dunia yang belum sempurna.
Teeuw mungkin tidak menganggap penting puisi itu. Tapi, bagi bangsa yang setengah terjajah atau 50% merdeka—istilah Heri Latief—peristiwa yang mencekam semacam itu penting dalam sejarah perjuangan. Belanda yang ingin menguasai kembali Indonesia telah membuat perasaan bangsa Indonesia buncah, kacau, kalut, dan gelisah, sehingga untuk berbicara dengan teman-teman sekalipun harus berbisik-bisik. Kegelisahan seorang “inlander” inilah yang ditangkap Rivai Apin dan diekspresikan dalam puisinya. Teeuw tampaknya alergi dengan puisi-puisi realisme sosialis. Dan karenanya ia menganggap puisi semacam itu tidak penting. Karena sejatinya puisi itu menusuk ke ulu hati penguasa Belanda saat itu.
Tertangkapnya trio founding father kita, Soekarno-Hatta-Syahrir dalam peristiwa pendudukan Yogyakarta adalah masa-masa yang mencemaskan bagi bangsa Indonesia. Kemerdekaan yang telah didapat bagaikan bangunan istana dari pasir di tepi pantai yang sewaktu-waktu bisa hancur digerus ombak. Jadi, bagi kami, Rivai Apin adalah penyair yang penting dan patut diperhitungkan.
“Saya menilai tinggi Rivai Apin, karena ia pun mengalami revolusi batin, sehingga berhasil membebaskan diri dari liberalisme. Sebagai seorang bekas tokoh ‘Gelanggang’ dan humanisme universal, ia pun tidak akan segan-segan mengakui kekeliruan-kekeliruannya di masa lalu. Thing and rethink, shape and reshape, dan lahirlah Rivai Apin yang baru,” tulis Pramoedya Ananta Toer di Bintang Timur, 17 November 1963.
Citayam, 12 Oktober 2009
Sumber: Rumah Asep Sebodja
Kamis, 08 Oktober 2009
Malapetaka Sosiologis Indonesia: Pembalasan Berdarah (1)
OCTOBER 8, 2009 - SOCIOPOLITICA
“Peristiwa 30 September 1965 memang adalah sebuah
peristiwa yang meletus sebagai akibat tidak sehatnya tubuh bangsa Indonesia”.
Sebuah peristiwa yang merupakan “ledakan dari suatu masyarakat yang penuh
dengan tension dan friction, penuh dengan ketegangan dan
pergesekan kronis”.
LUMURAN darah tak mengenal pengecualian dalam pilihan
waktu kehadiran sepanjang perjalanan sejarah manusia di kepulauan Nusantara
ini, tak terkecuali pada masa Indonesia merdeka dalam sejarah Indonesia modern.
Tepat pada tahun keduapuluh Indonesia merdeka itu, terjadi lagi satu peristiwa
berdarah, Peristiwa 30 September 1965, dilancarkan oleh Gerakan 30 September, yang
terutama terkait dengan sejumlah tokoh Partai Komunis Indonesia dan perwira
tentara. Peristiwa ini memicu satu malapetaka sosiologis baru, dengan sisa-sisa
kebencian yang belum sepenuhnya pupus hingga kini.
Pada hakekatnya, peristiwa yang merupakan puncak dari
suatu rangkaian pertarungan politik yang panjang itu, yang bahkan memiliki akar
dari masa sebelum Indonesia merdeka, melibatkan begitu banyak kelompok kekuatan
politik sipil ideologis dan ‘kekuatan politik’ angkatan bersenjata. Melibatkan
demikian banyak tokoh dengan kepentingannya masing-masing yang tak lain
bermuara pada pemenuhan hasrat kekuasaan, sebagai petarung-petarung dalam
perebutan kekuasaan politik dan kekuasaan negara. Siapa yang benar, siapa yang
salah, menjadi masalah sejarah yang berkepanjangan. Berlaku adagium, sang
pemenang akan berkesempatan mengukir versi kebenaran sejarah lebih dulu, namun
pada saat sang pemenang surut karena waktu, maupun kalah dalam pertarungan
kekuasaan berikutnya, mereka yang kalah di masa lampau memperoleh momentum
untuk bisa menciptakan pembenaran baru berdasarkan subjektivitasnya sendiri.
Judgement dari generasi baru, pada waktunya mungkin
akan lebih bermakna, sepanjang mereka berkesempatan mendapat dan menggali
informasi jujur dan objektif tanpa prasangka apa pun. Tanpa dendam karena
pertalian darah dengan para korban. Atau, pada posisi sebaliknya, tidak
terjebak mempertahankan versi kebenaran para pemenang awal karena pertalian
darah dan pertalian kepentingan yang diwariskan.
Terlepas dari apapun penyebabnya dan siapa pelakunya,
peristiwa berdarah yang terjadi lebih dari 40 tahun silam itu, bagaimanapun
juga merupakan lembaran hitam dalam sejarah Indonesia merdeka. Melihat kualitas
peristiwanya, dikaitkan dengan tujuan peristiwa yang menjadi bagian dari pertarungan
kekuasaan –yang untuknya diperlukan pembunuhan dengan cara keji terhadap enam
jenderal, seorang perwira pertama dan seorang bintara polisi di Jakarta dan dua
perwira menengah di Jawa Tengah– bahkan mungkin dapat dinyatakan sebagai
lembaran paling hitam sejarah Indonesia hingga sejauh ini. Apalagi, setelah
pembunuhan keji itu terjadi, menyusul pula rentetan pembunuhan massal
–siapapun korbannya dan siapa pun pelaksananya atas nama apapun– terhadap
sejumlah orang yang mencapai ratusan bahkan mungkin sejuta lebih.
Menjadi pertanyaan yang mengganggu dari waktu ke waktu,
ada apa dengan bangsa ini sebenarnya? Untuk menjawabnya, mungkin bisa meminjam
suatu pikiran jernih yang dilontarkan melalui suatu media massa generasi muda
di Bandung hanya tiga tahun setelah Peristiwa 30 September 1965 terjadi.
Mewakili jalan pikiran sejumlah intelektual muda kala itu, media itu
mempertanyakan adakah kita menginsyafi bahwa peristiwa itu hanyalah salah
satu sympton yang menunjukkan tidak sehatnya tubuh bangsa ini?
Peristiwa 30 September 1965 memang adalah sebuah
peristiwa yang meletus sebagai akibat tidak sehatnya tubuh bangsa Indonesia.
Sebuah peristiwa yang meminjam uraian sebuah media generasi muda 1966 merupakan
“ledakan dari suatu masyarakat yang penuh dengan tension dan friction,
penuh dengan ketegangan dan pergesekan kronis”. Sebuah peristiwa yang merupakan
resultante dari kontradiksi-kontradiksi yang terdapat secara objektif dalam
masyarakat kala itu, yang bahkan masih berkelanjutan menembus waktu ke
masa-masa berikutnya, hingga kini. Fakta empiris menunjukkan bahwa dalam
rentang waktu yang panjang hingga masa kini, meminjam lontaran pemikiran
tersebut, kontradiksi-kontradiksi masih melekat di tulang sumsum masyarakat
Indonesia, yang berakar dari sejumlah faktor disintegrasi yang belum juga
tersembuhkan.
Setelah pembunuhan enam jenderal dan satu perwira
menengah dalam Peristiwa 30 September 1965, terjadi gelombang pembalasan. Di
mulai dengan penyerbuan kantor CC PKI dan pembakaran Universitas Res Publica
(belakangan dibuka kembali sebagai Universitas Trisakti), sepanjang Oktober
hingga beberapa waktu sesudahnya terjadi gelombang penyerbuan terhadap
kantor-kantor organisasi lainnya yang ada hubungannya dengan PKI dan organisasi
kiri lainnya. Bukan hanya di Bandung dan Jakarta, tetapi juga menjalar ke
kota-kota lainnya seperti Medan sampai Makassar. Aksi di kota-kota besar itu
umumnya, hanya menyangkut asset, terutama kantor-kantor milik organisasi kiri,
dan tidak ditujukan kepada tindakan fisik terhadap manusia. Kalau pun ada tindakan
terhadap anggota-anggota organisasi kiri, adalah sebatas ‘meringkus’ untuk
selanjutnya diserahkan kepada aparat militer, dari Angkatan Darat.
Ketika para pemuda dan mahasiswa melakukan aksi-aksi
penyerbuan itu, Angkatan Darat, berdasarkan wewenang Jenderal Soeharto sebagai
Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, menjalankan sendiri
kesibukannya, melakukan pembersihan berupa penangkapan terhadap tokoh-tokoh
organisasi kiri, hampir di seluruh wilayah tanah air. Menurut Soeripto SH, aktivis
mahasiswa tahun 1960-an, “Setahu saya, Soeharto waktu itu memberi perintah,
semua anggota politbiro PKI harus dieliminasi, agar PKI lumpuh”. Kebetulan
politbiro PKI ketika itu didominasi oleh sayap Peking, dan itulah pula sebabnya
banyak tokoh PKI yang merupakan sayap Moskow selamat. Pemberantasan tokoh-tokoh
PKI terutama dijalankan oleh RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) di
bawah komando dan berdasarkan inisiatif Kolonel Sarwo Edhie. Secara umum
Soeharto membiarkan inisiatif Sarwo Edhie itu berlangsung dan tidak pernah
menegur.
Fase berdarah
babak kedua
RPKAD yang telah merampungkan tugas di Jakarta, mendapat
tugas lanjutan untuk melakukan penyisiran untuk menangkap tokoh-tokoh PKI dan
organisasi onderbouwnya terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur, lalu
kemudian di Bali. Tetapi bersamaan dengan itu terjadi pula satu gelombang
pembalasan, yang berbeda dengan apa yang dilakukan para mahasiswa dan
organisasi pemuda di perkotaan, justru ditujukan kepada sasaran manusia dalam
rangkaian kekerasan kemanusiaan melalui cara yang berdarah-darah.
Berlangsung secara horizontal, terutama di Jawa Tengah,
Jawa Timur dan Bali, dilakukan oleh sejumlah organisasi massa dalam kadar yang
tinggi. Juga di beberapa propinsi lain, meskipun dalam kadar sedikit lebih
rendah seperti di Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan serta secara sporadis di
wilayah tertentu di Jawa Barat. Bila yang terjadi di kota-kota besar adalah
tindakan fisik terhadap kantor-kantor organisasi politik kiri, untuk
melumpuhkan kegiatan, yang dilakukan oleh pemuda,pelajar dan mahasiswa, masih
bisa dimasukkan dalam kategori insiden politik, maka yang terjadi di
daerah-daerah adalah malapetaka sosiologis.
Kisah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam malapetaka
sosiologis yang terjadi, gelombang pembalasan yang paling parah di Pulau
Jawa dialami oleh massa PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Jawa Tengah, dan
juga di Yogya, para pelakunya justru terutama dari organisasi-organisasi massa
yang terkait dengan PNI, meskipun di tingkat nasional, PKI dan PNI merupakan
partner dalam struktur politik Nasakom. Dalam aksi pembalasan terhadap kelompok
komunis di Jawa Tengah ini, yang menjadi tulang punggung utama adalah Pemuda
Marhaenis, dan mendapat bantuan dari pemuda-pemuda Islam seperti dari Barisan
Ansor Serbaguna. Sementara itu di Jawa Timur, dalam konflik massa komunis
versus kelompok non komunis, kekuatan utama non komunis adalah massa NU,
terutama dari Banser, yang di beberapa tempat seperti Banyuwangi didukung oleh
Pemuda Marhaenis.
Di Jawa Tengah, persaingan politik dan pengaruh memang
terjadi terutama antara PKI dan PNI, mulai dari posisi-posisi di badan-badan
perwakilan maupun dalam pengaruh pada pemerintahan. Menurut tokoh GMNI Siswono
Judohusodo, pada masa Nasakom hanya PNI yang berani menghadapi aksi-aksi keras
PKI, terutama di Jawa Tengah. Para pemilik tanah yang luas dan kalangan dunia
usaha di Jawa Tengah pada umumnya adalah pendukung-pendukung PNI, sementara
para buruh tani dan kalangan buruh kecil, atau setidaknya para petani yang
lebih miskin, pada umumnya adalah pengikut-pengikut PKI. Ketika BTI melakukan
aksi-aksi sepihak dalam rangka UUPA terhadap tanah-tanah yang dianggap milik
para tuan tanah dan para petani kaya, yang terkena pada umumnya adalah
pengikut-pengikut PNI. Dan sewaktu SOBSI tak henti-hentinya menjalankan
aksi-aksi kaum buruh, mereka selalu berhadapan dengan kelompok ‘majikan’ yang
umumnya adalah warga PNI.
Tokoh-tokoh PNI, seperti misalnya Hardi SH pernah mengadu
langsung tentang sikap provokatif dan agresif massa PKI terhadap PNI dan
kepentingan-kepentingannya di Jawa Tengah, tetapi Soekarno selalu balik
mengingatkan agar menjaga kekompakan sebagai satu barisan dalam Nasakom. PKI
Jawa Tengah sendiri, dalam berbagai kesempatan telah melakukan serangan-serangan
politik kepada PNI. PKI juga berkali-kali melakukan serangan-serangan politik
yang menggoyang para bupati yang kebetulan adalah dari kalangan simpatisan PNI.
Sikap tanpa tenggang rasa yang dilakukan PKI Jawa Tengah, selama beberapa tahun
telah mengakumulasi kebencian di berbagai tingkat lapisan PNI, dari akar rumput
hingga ke elit PNI di daerah tersebut. Hal lain yang menjadi fenomena menarik
di Jawa Tengah ini adalah bahwa di beberapa daerah, banyak kalangan tentara
dari Divisi Diponegoro, ada di bawah pengaruh PKI sejak lama dan dalam banyak
peristiwa, baik sebelum Peristiwa 30 September 1965, maupun sesudahnya
menunjukkan perpihakannya yang nyata kepada PKI dan organisasi-organisasi
mantelnya seperti BTI atau Pemuda Rakyat. Bahkan pada 1 Oktober 1965, sejumlah
perwira berhaluan komunis pada Divisi Diponegoro ini sempat mengambilalih
kendali komando Kodam untuk seberapa lama.
Dalam suatu peristiwa aksi sepihak di Klaten, tahun 1964,
sebagaimana dilaporkan oleh sebuah tim peneliti dari Universitas Gajah Mada,
seorang Puterpra (Perwira Urusan Teritorial dan Pertahanan Rakyat) terlibat
melakukan tugas pengawalan tatkala BTI membantu seorang petani menggarap
kembali sawahnya yang pernah dijualnya –dan bahkan sudah dikalahkan di
pengadilan. Sementara anggota BTI menggarap sawah, sang Puterpra mengeluarkan
kata-kata “Teruslah kalian mengerjakan sawah.
Kalau ada orang PNI datang biar saya tembak mereka”.
Banyak Puterpra, terutama di kabupaten-kabupaten yang Komandan Kodim-nya adalah
perwira berhaluan atau simpatisan PKI, dengan alasan untuk aksi Dwikora
melakukan pelatihan-pelatihan kemiliteran secara intensif di desa-desa yang
didominasi oleh PKI, BTI dan Pemuda Rakyat. Bahkan ada sejumlah desa yang
sampai memiliki sistim pertahanan yang kuat berlapis sehingga tak mungkin ada
yang bisa datang dan menyerbu desa itu tanpa ketahuan. Beberapa desa memiliki
persenjataan militer yang umumnya dipegang oleh Pemuda Rakyat yang sudah
menjalani latihan militer.
Berlanjut ke Bagian 2
Senin, 05 Oktober 2009
Mengenal Letkol Untung
Oktober 5, 2009
Tetangganya mengingatnya sebagai Kusmindar. Tapi teman-temannya di Pasukan Tjakrabirawa mengenalnya sebagai Kusman. Kus, begitu ia biasa dipanggil. Kelak, orang mengenalnya sebagai Letnan Kolonel Untung.Siapakah sesungguhnya Untung? Dari mana asalnya? Koran Tempo edisi Senin, 5 Oktober 2009, menurunkan laporan utama lengkap tentang Untung dan perannya dalam insiden G30S.
Karena beberapa kawan mengeluh susah mendapatkan edisi cetak Koran Tempo, saya muat kembali artikel yang ditulis oleh kawan-kawan saya: Endri Kurniawati, Aris Andrianto, dan Erwin Dariyanto itu. Siapa tahu bermanfaat sebagai penambah khasanah pengetahuan sampean.
Nah, tulisan ini merupakan sambungan dari posting sebelumnya. Kali ini tentang profil Untung yang legendaris itu. Selamat membaca.
Dusun yang tak jauh dari dekat Pantai Krakal, di bagian timur Kebumen, itu berhawa gersang. Di siang hari panas menyengat, khas kawasan pesisir. Sebagian besar penduduknya bekerja sebagai pengrajin dan pedagang peci. Dulu, daerah itu basis Angkatan Oemat Islam, organisasi yang didirikan untuk melawan pendudukan Belanda sekitar 1945-1950.
Orang-orang Kedung Bajul, Desa Bojong Sari, nama daerah itu, tergolong pemeluk Islam yang taat. Tua-muda rajin beribadah dan mendaras Al-Quran. Dusun itu merupakan tempat kelahiran Letnan Kolonel Untung. Tetangganya mengingatnya sebagai Kusmindar. Tapi teman-temannya di Pasukan Tjakrabirawa mengenalnya sebagai Kusman. Kus, begitu ia biasa dipanggil.
Untung tak punya darah militer maupun politik dari kedua orang tuanya. Slamet, kakek Kusman, cuma tukang sapu di Pasar Seruni di desa itu. Ayahnya, Abdullah Mukri, buruh peralatan batik di Solo, Jawa Tengah.
Meski cuma buruh, Mukri dikenal sebagai penakluk wanita. Ia kawin-cerai sampai tujuh kali. Untung lahir dari istri kedua Mukri. “Ibunya pemain wayang orang desa kami,” kata Sadali, 71 tahun, tetangga dekat Untung di Kedung Bajul. Sadali, yang sekarang berdagang peci, tak ingat nama perempuan yang minggat, menikah dengan lelaki lain ketika Untung masih 10 tahun, itu.
Sepeninggal ibunya, Untung hijrah ke Solo. Ia diasuh adik ayahnya, Samsuri, yang tak punya anak. Karena itu, “Dia lebih dikenal sebagai Untung bin Samsuri,” kata Sadali, yang kakaknya sekelas dengan Untung di Sekolah Rakyat Seruni, Kebumen, hingga kelas III.
Seperti kakaknya, Samsuri buruh pengrajin batik di Solo. Meski begitu, Samsuri memperhatikan pendidikan sang keponakan. Suhardi, teman kecil sekaligus junior Untung di Tjakrabirawa bercerita, dari sekolah rakyat di Kebumen, Untung dipindahkan ke Sekolah Rakyat di Jayengan, Kartopuran, Solo.
Barangkali karena Samsuri berada di lingkungan pedagang yang kuat, selepas sekolah rakyat Untung dimasukkan ke Klienhandel, sekolah dagang Belanda setingkat SMP. Toh, setamat sekolah dagang, Untung tidak jadi saudagar. Ia malah masuk Heiho pada 1943, yakni ketika Jepang masuk ke Indonesia. Sejak itu ia terus berkarier di militer.
Sejak pindah ke Solo, Untung tak pernah lagi pulang ke Kedung Bajul. Sekitar 1957-1958, menurut Sadali yang kala itu berdagang batik, dia beberapa kali bertemu dengan Untung. Temannya itu, kata Sadali, pulang ke rumah Samsuri saban bulan ketika masih berdinas di kesatuan Banteng Raiders di Gombel, Semarang.
Bagi Sadali, Untung orang yang ramah, halus tutur katanya dan rajin mengaji hingga dewasa. Jika bertemu, ia senang mengajak ngobrol Sadali, bahkan menasihati. “Sesama orang Kebumen di perantauan harus saling membantu.”
Selebihnya, orang-orang Kedung Bajul tak tahu lagi kabarnya hingga pernikahannya dengan Hartati digelar megah pada 1963, setahun setelah kepulangannya dari Irian Barat. “Pesta paling meriah waktu itu,” kata Syukur Hadi Pranoto, 71 tahun, tetangga Hartati di Kelurahan Kebumen.
Untung menikahi Hartati setelah bertemu di rumah Yudo Prayitno di Kecamatan Klirong, pesisir selatan Kebumen, pada sebuah acara keluarga. “Usia Hartati jauh lebih muda dari Untung,” kata Siti Fatonah, kerabat Hartati di Kebumen.
Hartati adalah anak kelima dari tujuh anak Sukendar, pemborong besar yang kaya dan terpandang. “Dia punya banyak kuli,” ujar Syukur. Beberapa gedung besar di Kebumen adalah hasil karyanya.
Tak aneh jika pesta pernikahan Hartati-Untung yang digelar siang hari dibikin megah. Tenda besar dibentang. Hiburannya wayang orang Grup Ngesti Pandawa dari Semarang yang sedang ngetop. Jalanan sekitar rumah Sukendar ditutup. Mobil tetamu berjajar di sepanjang jalan di sekitar rumah Sukandar.
Menikah dengan adat Jawa, Untung mengenakan beskap dan blangkon. Setelah itu ia mengenakan pakaian kebesaran militer.
Tamunya kebanyakan petinggi pemerintahan, pejabat militer dan anggota Dewan. Soeharto dan Tien Soeharto pun datang. “Soeharto datang mendadak, membuat tuan rumah sedikit kebingungan menyambut kedatangannya,” kata Syukur, yang sempat dipenjara enam tahun karena dituduh terlibat G-30-S.
Di antara para tamu, tak ada tetangga dan kerabat dari Kedung Bajul yang diundang. Dikabari pun tidak. “Mungkin karena ia sudah menjadi orang besar,” kata Mashud, tetangga dekat Untung di dusun. Padahal keluarga besar Slamet masih berada di dusun itu hingga sekarang.
Setelah menikah, Untung memboyong Hartati ke Jakarta. Siti Fatonah, kerabat Hartati yang masih tinggal di Kebumen, mengatakan, dari pernikahannya dengan Hartati, Untung mendapat seorang anak lelaki, Anto. Fatonah menyebutnya, Insinyur Anto.
Sepeninggal Untung, Hartati menikah lagi dengan seorang petinggi sebuah perusahaan tekstil di Bandung.
https://ndorokakung.com/2009/10/05/untung-pecas-ndahe/
Kamis, 01 Oktober 2009
Asvi Menggapai Kebenaran Sejarah
Kompas.com - 01/10/2009, 01:51 WIB
Oleh: ST Sularto
Hari-hari akhir bulan September menjadi istimewa bagi Asvi Warman Adam (55). Obsesinya menguak kebenaran sejarah, di antaranya tentang Peristiwa 1965, lagi-lagi memperoleh momentum.
Dia ajak pemerintah, sesama sejarawan, dan masyarakat berpikir ulang tentang narasi-narasi masa lampau, utamanya tragedi 1965. Mengenai kemungkinan pelanggaran berat HAM, sekitar Peristiwa 1965, menurut ahli peneliti utama LIPI itu, peristiwa Pulau Buru sebagai peristiwa paling jelas.
Tempatnya jelas, tahun terjadinya jelas, pelakunya jelas, serta korban dan jumlahnya jelas.
Dengan tujuan mengamankan Pemilu 1971, lebih dari 10.000 orang yang digolongkan tahanan politik 1965 golongan B dimasukkan ke kamp kerja paksa lebih dari 10 tahun.
Stigma buruk diterapkan kepada mereka, selain pembunuhan, penangkapan tanpa proses dan pengadilan. Kasus Pulau Buru merupakan mata rantai peristiwa sekitar 30 September 1965.
Selama bertahun-tahun narasi tentang peristiwa itu hanya satu versi, yakni versi Orde Baru, bagian dari upaya justifikasi kekuasaan dan pengumpulan kekuatan. Justifikasi itu diawali dengan pembunuhan besar-besaran setelah 1 Oktober, ada yang memperkirakan jumlahnya lebih dari setengah juta orang.
Penciptaan narasi tunggal disusul proyek Pulau Buru. Gugatan yang muncul dibungkam.
Seiring deru reformasi tahun 1998, masyarakat mulai kritis dengan narasi dan pencitraan versi tunggal. Film Pengkhianatan G30S/PKI yang diputar luas setiap akhir bulan September digugat. Menurut dia, tidak lagi diputarnya film itu secara luas merupakan satu keberhasilan.
Keputusan politik, katakan ketetapan MPR, adalah produk politik bagian dari justifikasi kekuasaan. Oleh karena itu, ketika data baru semakin banyak ditemukan, versi tunggal perlu ditinjau ulang, kalau perlu, ditindaklanjuti dengan rehabilitasi nama baik dan permintaan maaf dari pemerintah.
Sampel yang representatif Demi pelurusan sejarah dan hapusnya pembohongan, Asvi tidak hanya memimpikan sekitar Peristiwa 1965 atau peristiwa lain, seperti Peristiwa Mei 1998, tetapi bahkan sejak awal Indonesia merdeka.
Tidak perlu semuanya, tetapi dipilih peristiwa dan masalah sebagai sampel yang representatif. Misalnya, kurun 1945-1955, 1955-1965, dan seterusnya, sehingga diperoleh sekitar 10 kasus. Asvi setuju bahwa demi alasan politis ada bagian-bagian peristiwa yang ditutupi, tergantung dari perspektif masing-masing. Namun, kalau narasi itu adalah kebohongan, itu perlu dibongkar.
Taruhlah kisah tentang Serangan Oemoem 1 Maret dengan cara menghilangkan peran tokoh lain. Itu kebohongan sejarah. Awal ketertarikannya ke sejarah Peristiwa 1965 dimulai pada satu peristiwa pada tahun 1999.
Dia diminta ceramah oleh Yayasan Hidup Baru, sebuah yayasan yang mengurusi bekas tahanan politik 1965.
Dari tujuh buku yang sudah ditulisnya, menulis Peristiwa 1965 tidak hanya berkenaan dengan peristiwa satu malam tanggal 30 September, tetapi juga penangkapan, penahanan, perburuan massal yang memakan korban lebih dari setengah juta orang, pencabutan paspor mahasiswa Indonesia di luar negeri, serta pembuangan paksa 10.000 tapol ke Pulau Buru tahun 1969-1979.
Hal itu termasuk stigma dan diskriminasi jutaan orang keluarga korban Peristiwa 1965. Peristiwa-peristiwa itu disebutnya ”pancalogi”, sebagai rangkaian prolog, peristiwa, dan epilog G30S (Asvi Warman Adam, 1965.
Orang-orang di Balik Tragedi, Galangpress, 2009). Bagi Asvi, Peristiwa 1965 merupakan tanda atau pembatas zaman. Dari banyak peristiwa sejarah yang dialami bangsa Indonesia, Peristiwa 1965 merupakan pembatas zaman dalam berbagai bidang.
Perubahan politik yang besar terjadi dalam bergesernya kedudukan Indonesia dari pemimpin negara nonblok dan dunia ketiga menjadi ”murid yang baik” AS. Kebijakan ekonomi berdikari menjadi kebijakan ekonomi pasar yang bergantung pada modal asing.
Tidak ada kritik, tidak ada polemik, semua dalam satu versi, yakni versi pemerintah. Peralihan dari profesi wartawan (3 tahun sebagai wartawan) ke peneliti/sejarawan tidak kecil peranan yang diberikan Prof Dr AB Lapian.
Dalam status belum setahun bekerja di LIPI, setelah keluar dari majalah Sportif tahun 1983, Asvi memperoleh tawaran mengajar Bahasa Indonesia di Paris, Perancis, sekaligus beasiswa.
Dia perlu memperoleh rekomendasi pimpinan LIPI. Lapian bertanya,
Menggapai kebenaran sejarah? Yaaah..., Asvi tertawa lepas!
BIODATA • Nama: Asvi Warman Adam • Lahir: Bukittinggi, 8 Oktober 1954 • Istri: Nuzli Hayati (52) • Anak: Tessi Fathia Adam (23) • Pekerjaan: Ahli Peneliti Utama Pusat Penelitian Politik LIPI • Pendidikan: Doktor sejarah dari Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sosiales, Paris (1990) • Karier: Aktif berceramah, menulis artikel tentang rekayasa Orde Baru dan historiografi Indonesia dari perspektif korban, dan menulis setidaknya tujuh buku tentang sejarah kontemporer, terakhir (”Sarwono Prawirohardjo. Pembangun Institusi Ilmu Pengetahuan di Indonesia”, LIPI, 2009) - Mantan anggota tim Pengkaji Pelanggaran HAM Berat Soeharto yang dibentuk Komnas HAM tahun 2003
Sumber: Kompas.Com
Oleh: ST Sularto
Hari-hari akhir bulan September menjadi istimewa bagi Asvi Warman Adam (55). Obsesinya menguak kebenaran sejarah, di antaranya tentang Peristiwa 1965, lagi-lagi memperoleh momentum.
Dia ajak pemerintah, sesama sejarawan, dan masyarakat berpikir ulang tentang narasi-narasi masa lampau, utamanya tragedi 1965. Mengenai kemungkinan pelanggaran berat HAM, sekitar Peristiwa 1965, menurut ahli peneliti utama LIPI itu, peristiwa Pulau Buru sebagai peristiwa paling jelas.
Tempatnya jelas, tahun terjadinya jelas, pelakunya jelas, serta korban dan jumlahnya jelas.
Dengan tujuan mengamankan Pemilu 1971, lebih dari 10.000 orang yang digolongkan tahanan politik 1965 golongan B dimasukkan ke kamp kerja paksa lebih dari 10 tahun.
Stigma buruk diterapkan kepada mereka, selain pembunuhan, penangkapan tanpa proses dan pengadilan. Kasus Pulau Buru merupakan mata rantai peristiwa sekitar 30 September 1965.
Selama bertahun-tahun narasi tentang peristiwa itu hanya satu versi, yakni versi Orde Baru, bagian dari upaya justifikasi kekuasaan dan pengumpulan kekuatan. Justifikasi itu diawali dengan pembunuhan besar-besaran setelah 1 Oktober, ada yang memperkirakan jumlahnya lebih dari setengah juta orang.
Penciptaan narasi tunggal disusul proyek Pulau Buru. Gugatan yang muncul dibungkam.
Seiring deru reformasi tahun 1998, masyarakat mulai kritis dengan narasi dan pencitraan versi tunggal. Film Pengkhianatan G30S/PKI yang diputar luas setiap akhir bulan September digugat. Menurut dia, tidak lagi diputarnya film itu secara luas merupakan satu keberhasilan.
”Inilah pertama kali terbuka munculnya upaya meluruskan sejarah Peristiwa 1965. Disusul kemudian berbagai versi yang ditulis para korban dan analis-analis yang sebelumnya tidak terkuak ke permukaan,” kata Asvi Warman Adam.Asvi mengutip sejarawan Inggris, EH Caar, bahwa kebenaran sejarah gugur manakala ditemukan data baru. Munculnya narasi-narasi baru itu adalah bagian dari ajakan menemukan dan meluruskan.
Keputusan politik, katakan ketetapan MPR, adalah produk politik bagian dari justifikasi kekuasaan. Oleh karena itu, ketika data baru semakin banyak ditemukan, versi tunggal perlu ditinjau ulang, kalau perlu, ditindaklanjuti dengan rehabilitasi nama baik dan permintaan maaf dari pemerintah.
Sampel yang representatif Demi pelurusan sejarah dan hapusnya pembohongan, Asvi tidak hanya memimpikan sekitar Peristiwa 1965 atau peristiwa lain, seperti Peristiwa Mei 1998, tetapi bahkan sejak awal Indonesia merdeka.
Tidak perlu semuanya, tetapi dipilih peristiwa dan masalah sebagai sampel yang representatif. Misalnya, kurun 1945-1955, 1955-1965, dan seterusnya, sehingga diperoleh sekitar 10 kasus. Asvi setuju bahwa demi alasan politis ada bagian-bagian peristiwa yang ditutupi, tergantung dari perspektif masing-masing. Namun, kalau narasi itu adalah kebohongan, itu perlu dibongkar.
Taruhlah kisah tentang Serangan Oemoem 1 Maret dengan cara menghilangkan peran tokoh lain. Itu kebohongan sejarah. Awal ketertarikannya ke sejarah Peristiwa 1965 dimulai pada satu peristiwa pada tahun 1999.
Dia diminta ceramah oleh Yayasan Hidup Baru, sebuah yayasan yang mengurusi bekas tahanan politik 1965.
”Saya terharu atas semangat juang mereka. Saya terharu ketika mereka, bapak-ibu berusia sepuh itu, mengumpulkan uang recehan. Hasilnya sekitar Rp 25.000, diserahkan sebagai honorarium ceramah saya,” kenang Asvi.Dengan ketekunan, dia ikuti dan teliti segala narasi Peristiwa 1965 yang berkembang selama ini. Dia sampaikan obsesi itu dalam berbagai tulisan dan karangan pengantar buku, yang semuanya berfokus ajakan menguak kebohongan sejarah, utamanya sekitar Peristiwa 1965.
Dari tujuh buku yang sudah ditulisnya, menulis Peristiwa 1965 tidak hanya berkenaan dengan peristiwa satu malam tanggal 30 September, tetapi juga penangkapan, penahanan, perburuan massal yang memakan korban lebih dari setengah juta orang, pencabutan paspor mahasiswa Indonesia di luar negeri, serta pembuangan paksa 10.000 tapol ke Pulau Buru tahun 1969-1979.
Hal itu termasuk stigma dan diskriminasi jutaan orang keluarga korban Peristiwa 1965. Peristiwa-peristiwa itu disebutnya ”pancalogi”, sebagai rangkaian prolog, peristiwa, dan epilog G30S (Asvi Warman Adam, 1965.
Orang-orang di Balik Tragedi, Galangpress, 2009). Bagi Asvi, Peristiwa 1965 merupakan tanda atau pembatas zaman. Dari banyak peristiwa sejarah yang dialami bangsa Indonesia, Peristiwa 1965 merupakan pembatas zaman dalam berbagai bidang.
Perubahan politik yang besar terjadi dalam bergesernya kedudukan Indonesia dari pemimpin negara nonblok dan dunia ketiga menjadi ”murid yang baik” AS. Kebijakan ekonomi berdikari menjadi kebijakan ekonomi pasar yang bergantung pada modal asing.
Tidak ada kritik, tidak ada polemik, semua dalam satu versi, yakni versi pemerintah. Peralihan dari profesi wartawan (3 tahun sebagai wartawan) ke peneliti/sejarawan tidak kecil peranan yang diberikan Prof Dr AB Lapian.
Dalam status belum setahun bekerja di LIPI, setelah keluar dari majalah Sportif tahun 1983, Asvi memperoleh tawaran mengajar Bahasa Indonesia di Paris, Perancis, sekaligus beasiswa.
Dia perlu memperoleh rekomendasi pimpinan LIPI. Lapian bertanya,
”Rekomendasi saya tulis dalam bahasa Inggris, Perancis, atau Indonesia?”Akhirnya rekomendasi ditulis dalam bahasa Indonesia, menerakan bahwa Asvi boleh ke Paris mengajar sekaligus belajar.
”Nah, itulah titik balik profesi saya,” Gelar doktor ilmu sejarah pun diperolehnya dengan disertasi tentang sejarah Vietnam.Di benak Asvi, dia memimpikan narasi sejarah dibebaskan dari kebohongan-kebohongan. Biarlah peristiwa itu sendiri bicara tentang sejarahnya!
Menggapai kebenaran sejarah? Yaaah..., Asvi tertawa lepas!
BIODATA • Nama: Asvi Warman Adam • Lahir: Bukittinggi, 8 Oktober 1954 • Istri: Nuzli Hayati (52) • Anak: Tessi Fathia Adam (23) • Pekerjaan: Ahli Peneliti Utama Pusat Penelitian Politik LIPI • Pendidikan: Doktor sejarah dari Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sosiales, Paris (1990) • Karier: Aktif berceramah, menulis artikel tentang rekayasa Orde Baru dan historiografi Indonesia dari perspektif korban, dan menulis setidaknya tujuh buku tentang sejarah kontemporer, terakhir (”Sarwono Prawirohardjo. Pembangun Institusi Ilmu Pengetahuan di Indonesia”, LIPI, 2009) - Mantan anggota tim Pengkaji Pelanggaran HAM Berat Soeharto yang dibentuk Komnas HAM tahun 2003
Sumber: Kompas.Com
Langganan:
Postingan (Atom)