31/07/2012 | Oleh: Hersri Setiawan
Pengantar: Di tengah mulai maraknya kembali kasus-enamlima
ke permukaan, saya orbitkan kembali artikel lama ini, untuk jadi pelengkap
pemahaman masalah. Suharto sebagai penanggung jawab pertama dan utama dari
kasus itu tentu saja di lapangan ada pelaku-pelaku lain, seperti Sarwo Edhie
Wibowo dan lain-lain.
PAGI 1 Oktober ’65 jam 07:00 saya mendengar siaran RRI
Jakarta tentang pembentukan Dewan Revolusi (selanjutnya DR) di Jakarta.
Barangkali ada sementara kawan yang, terkecoh bunyi dua patah kata nama dewan
itu, segera menganggapnya sebagai “gerakan kiri”.
Sore itu saya ke Studio V RRI Jakarta di Jalan Merdeka
Barat, untuk melihat latihan paduan suara CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa
Indonesia) di sana. Saya melihat tentara-tentara yang berjaga-jaga di Gedung
RRI, di Istana di Jalan Merdeka Utara, dan di depan Kantor Telegrap di Jalan
Merdeka Selatan. Mereka itu tentara DR, dengan tanda pengenal pita hijau-kuning
di pangkal lengan. Semua kelihatan loyo. Markas Kostrad di Jalan Merdeka Timur
tidak dijaga. Komandan Kostrad ketika itu, kita tahu, Jenderal Suharto! Tapi
dalam sidang kabinet pertama setelah “peristiwa”, jika tidak salah-ingat
tanggal 6 Oktober, tidak kurang dari Presiden Soekarno pribadi yang, dengan
suara bernada marah, menyebut gerakan yang dilakukan Dewan Revolusi sebagai
gerakan yang tidak revolusioner! Bung Karno justru menyebutnya sebagai
“putsch”! Revolusi, masih kata Bung Karno, tidak dengan cara-cara menculik dan
membunuh!
Saya lalu teringat kejadian-kejadian di Asia Timur dan Asia
Selatan – ketika itu saya masih di Kolombo sebagai wakil Indonesia di Biro
Tetap Pengarang Asia-Afrika — sepanjang paroh pertama 1965. Yaitu
kejadian-kejadian penindasan terhadap gerakan pemuda dan mahasiswa kiri di
Jepang dan Korea Selatan, dan di Sri Langka dengan ditumbangkannya “secara
konstitusional” kekuasaan PM Sirimavo Bandaranaike. Kekalahan Sirimavo ini
diramaikan dengan pemberitaan bernada insinuasi dari media massa Sri Langka
tentang dukungan sembilan negara-negara Asia-Afrika dan Blok Timur dalam kampanye
pemilu Sirimavo – dan dalam deretan sembilan negara itu termasuk disebut-sebut
Indonesia. Sejak kekalahan PM Sirimavo Bandaranaike itu pemerintah Sri Langka
lalu ‘banting setir’. Dari pemerintah yang berdiri di depan dalam gerakan
anti-imperialisme dan anti-kolonialisme, menjadi pemerintah yang represif
terhadap gerakan progresif.
Teringat pada semunya ini saya lalu bertanya-tanya dalam
hati: Apakah G30S 1965 di Jakarta bukan bagian dari grand strategy ‘nekolim’,
yang di bawah pimpinan Amerika Serikat? Jadi, apakah ini bukan provokasi kaum
kanan terhadap PKI, melalui perwira-perwira menengah binaan BC (Biro Chusus),
khususnya melalui tokoh nomor wahid BC Syam Kamaruzzaman itu sendiri? Provokasi
untuk kesekian kalinya terhadap PKI, yang kali ini berhasil gilang-gemilang?
Pada 2 Oktober 1965 editorial “HR” (Harian Rakjat, organ CC-PKI) menyatakan
dukungannya kepada DR[2], yang diikuti oleh Omar Dhani atasnama MBAU (Markas
Besar Angkatan Udara). Pada 5 Oktober 1965 Njono, tokoh pertama Komite PKI
Jakarta Raya (istilah ketika itu “CDR”, Comite Djakarta Raya) ditangkap. Pada
12 Oktober 1965 Jenderal Soeharto merebut kekuasaan militer.
Pada bulan Januari 1966 sementara pakar keindonesiaan di
Cornell University AS mempublikasikan untuk kalangan pembaca terbatas ‘Laporan
Sementara’ tentang peristiwa September-Oktober 1965 di Indonesia. Mereka sangat
menyangsikan pemberitaan, bahwa peristiwa itu adalah kup komunis – seperti yang
dinyatakan oleh penguasa militer di Indonesia dan dunia Barat. Prof. W.F.
Wertheim, dengan menggunakan “Laporan Cornell” ini sebagai bahan, menulis
sebuah karangan di mingguan Belanda De Groene Amsterdammer pada 19 Februari
1966, yang diberinya judul “Indonesia bergeser ke kanan”. Dalam karangannya ini
W.F. Wertheim mempertanyakan: Mengapa perhatian dunia Barat terhadap peristiwa
pembunuhan massal di Indonesia sangat kecil, jika dibandingkan dengan terhadap
tragedi-tragedi lainnya di dunia, walaupun terkadang tragedi-tragedi ini jauh
lebih ringan? Barangkali alasannya karena, masih menurut W.F. Wertheim,
pandangan umum melihat peristiwa itu terjadi sebagai akibat kesalahan golongan
kiri sendiri. Tapi bagi W.F. Wertheim kenyataan yang patut dipertanyakan itu
sekaligus menimbulkan pertanyaan lain. Pertanyaan lain ini ialah: Apakah
diamnya dunia Barat terhadap tragedi hebat di Indonesia sejak 1 Oktober 1965
itu justru karena mereka sendiri yang mengorganisir gerakan 30 September, dan
dalam pada itu sekaligus juga ‘meng-otak-i’ pembunuhan terhadap enam orang
perwira tinggi di Jakarta tersebut?
Selain itu cara-cara penculikan dan pembunuhan yang
dilakukan, bukanlah cara-cara yang mengisyaratkan ciri revolusioner dari
gerakan yang menamai dirinya sebagai “Gerakan 30 September”, dan yang segera
membentuk dewan yang dinamainya “Dewan Revolusi” itu. Ini gerakan sekelompok
militer yang melakukan “putsch”, atau “perebutan kekuasaan”, tepat seperti yang
dikatakan Bung Karno. Selain itu juga ganjil jika usaha perebutan kekuasaan ini
dihubungkan dengan PKI, karena partai ini tidak menunjukkan kesiapan dan persiapan
samasekali untuk berjuang melalui laras senjata. Beriringan dengan meningkatnya
suasana – meminjam istilah Bung Karno – “gontok-gontokan” sejak diundangkannya
UUPA 1962, berulangkali Ketua CC PKI D.N. Aidit menegaskan pendirian partainya:
“Kalau tergantung kami, kami lebih suka menempuh jalan damai”. Begitu juga kita
bisa merujuk pada teori “dua aspek”, yaitu “aspek pro-Rakyat” dan “aspek
anti-Rakyat” di dalam tahap “revolusi nasional demokratis”, yang sejak sekitar
tahun 1963 banyak didengung-dengungkan oleh PKI. Lebih-lebih jika kita
perhatikan kata-kata Njoto pada 1964, ketika menjawab pertanyaan W.F. Wertheim,
yang cenderung over estimate pada kekuatan sendiri, sambil under estimate
terhadap kekuatan militer Indonesia, khususnya Angkatan Darat, dan sekaligus
kaum reaksioner di dalam negeri.
Lalu, siapakah tokoh Syam Kamaruzzaman, Ketua BC CC-PKI yang
di dalam proses Letkol Untung Samsuri disebut-sebut sebagai tokoh terkemuka
komunis itu? Mengapa ia tidak segera ditangkap, dan sesudah ditangkap pun tidak
segera diadili dan/ atau langsung didor seperti yang diberlakukan terhadap
“tokoh terkemuka” komunis lainnya? Belakangan Ben Anderson pernah menyebut
dalam salah satu tulisannya, bahwa sudah sejak awal 1950-an Syam bekerja untuk
KMKB (Komando Militer Kota Besar) Jakarta Raya semasa komandan Kolonel Dachyar.
Sementara itu siaran radio Hilversum, Belanda, ketika memberitakan peristiwa
tertangkapnya Syam, menurut W.F. Wertheim di dalam artikelnya tersebut di atas,
juga dengan embel-embel keterangan bahwa Syam seorang double agent. Harian
Sinar Harapan edisi 13 Maret 1967, dalam pemberitaannya tentang kejadian itu
juga mempertanyakan melalui judul beritanya: “Apakah Syam double agent”? Tetapi
sesudah pemberitaan “SH” pada tanggal tersebut, media massa Indonesia tidak
pernah lagi menyebut-nyebut Syam sebagai double agent. Justru sebaliknya, dalam
setiap proses ketika Syam muncul sebagai saksi atau terdakwa, ia selalu
dilukiskan sebagai “komunis sejati”, yang sangat dekat hubungannya dengan Ketua
CC-PKI DN Aidit.
Banyak cerita mengatakan Soeharto anggota “Pemuda Pathuk”,
di mana Syam adalah salah seorang anggotanya. Walaupun cerita tentang
keanggotaan Soeharto ini, dalam salah satu edisi harian Nasional pernah
dibantah oleh Pak Dayino, dan dalam edisi majalah Tempo, pernah dibantah keras
oleh Ibu Dayino – istri alm. Pak Dayino, salah seorang pendirinya. Terlepas
dari benar atau tidak benar perihal keanggotaan Soeharto dalam “Pemuda Pathuk”,
namun dari kisah itu bisa disimpulkan bahwa antara kedua mereka sudah saling
kenal sejak tahun 1946 di Yogya. Bahwa Syam diduga keras double agent, agen
tentara yang disusupkan ke dalam PKI atau sebaliknya kader PKI yang disusupkan
ke dalam tubuh tentara (Angkatan Darat), saya lalu diusik pertanyaan lebih
lanjut: Mungkinkah Soeharto sendiri juga terlibat dalam permainan munafik ini?
Apapun jawabannya tapi jelas, Soeharto itulah orang yang paling pandai dan
paling berhasil dalam memanfaatkan segala peristiwa yang timbul sesudah
kejadian 1 Oktober 1965 dinihari itu. W.F. Wertheim mengatakan: “Kalau semua
itu terjadi dalam cerita detektif, segala petunjuk mengarah kepada dia. Paling
sedikit Soeharto sebagai orang yang telah mendapat informasi sebelumnya.”
Satu tahun sebelum peristiwa 1965 Soeharto hadir pada
pernikahan Letkol Untung Samsuri di Kebumen. Pada bulan Agustus 1965 Soeharto
bertemu Brigjen Soepardjo di Kalimantan. Soeharto tidak termasuk dalam daftar
perwira tinggi yang harus ditangkap oleh gerakan Untung. Markas Kostrad tidak
diduduki dan tidak dijaga pasukan DR. Sekitar jam 4 sore ransum nasi bungkus
dibagi-bagi Kostrad untuk tentara-tentara DR yang kelaparan di sekeliling
Monas. Jam enam petang hari mereka mulai mengalir menyerahkan diri ke Kostrad –
atau “menyerahkan diri” karena tugas operasi sudah selesai?
Pendeknya Soeharto
bertindak “sangat efisien” dalam “menumpas pemberontakan PKI”, seakan-akan
“Kartu As” memang sudah di genggaman tangannya! Sementara itu kelompok Untung
dkk sangat tidak beruntung. Mereka semua menjadi bingung. Termasuk DN Aidit
yang lalu berlari (lebih tepat ‘dilarikan’) Syam ke Landasan Udara Halim
Perdanakusumah. Ia, menurut hemat saya, masuk perangkap: dari provokasi ke
provokasi!
Pada tahun 1970 terbit buku Arnold Brackman, seorang
jurnalis Amerika, yang berjudul The Communist Collapse in Indonesia. Pada
halaman 100 Brackman menceritakan wawancaranya dengan Soeharto, sekitar
pertemuannya dengan Kolonel Latief, tokoh ketiga dalam pimpinan G30S. Isi
pokoknya Latief menjenguk anak Soeharto, Tommy, di RSPAD (Rumah Sakit Pusat
Angkatan Darat), yang sedang dirawat karena sakit akibat ketumpahan sup panas.
Berkata Soeharto: “Lucu juga kalau diingat kembali. Saya ingat Kolonel Latief
datang ke rumahsakit malam itu, untuk menanyakan kesehatan anak saya. Saya
terharu atas keprihatinannya.” Selanjutnya: “Saya tetap di rumahsakit sampai
menjelang tengah malam dan kemudian pulang ke rumah.”
Ya, memang lucu tuturan Soeharto itu! Kolonel Latief, tokoh
terpenting G30S di samping Letkol Untung dan Brigjen Soepardjo, bertemu dengan
seseorang hanya empat jam sebelum gerakan yang dipimpinnya dimulai, tentu saja
bukan untuk urusan sup panas! Apalagi seseorang yang ditemuinya itu Soeharto,
jenderal atasannya langsung atau tidak langsung. Saya membenarkan Prof. W.F.
Wertheim, andaikata dalam kisah detektif, peristiwa pertemuan dua orang tokoh
penting itu benar-benar sebuah missing link, sebuah matarantai yang hilang
yang, alhamdulillah!, kita temukan melalui pengakuan Soeharto sendiri.
Selain
itu juga menarik dipertanyakan, mengapa Soeharto sendiri merasa perlu
menceritakan hal itu kepada Brackman? Jawabannya berupa dugaan yang cenderung
benar. Agaknya karena Soeharto tahu, atau merasa tahu, ada orang lain yang
mengetahui kunjungan Latief ke rumahsakit, entah siapa pun dia, tapi yang
menyebabkan Soeharto merasa perlu harus memberi alasan, dan menyatakan
alasannya itu kepada publik!
Sementara itu dalam wawancaranya yang lain, yang disiarkan
mingguan (ketika itu) Jerman Barat “Der Spiegel”, 27 Juni 1970, Soeharto juga
menyebut tentang pertemuannya dengan Kolonel Latief di rumahsakit RSPAD. Tentu
saja tentang pertemuan yang sama seperti yang diceritakannya kepada Brackman.
Tapi kepada “Der Spiegel” kali ini ia bercerita dengan kebohongan yang jauh
berbeda!
“Mengapa Tuan Soeharto tidak termasuk daftar
jenderal-jenderal yang harus dibunuh?” Bertanya “Der Spiegel”.
Soeharto menjawab:
“Pada jam 11 malam Kolonel Latief, seorang dari komplotan
kup itu, datang ke rumahsakit untuk membunuh saya. Tetapi akhirnya ia tidak
melaksanakan rencananya, karena tidak berani melakukannya di tempat umum.”
Menurut hemat saya di sini bukanlah Kolonel Latief tapi
Jenderal Soeharto itulah yang pamer kebodohan! Empat jam sebelum gerakan
dimulai Latief (berencana) membunuh seseorang? Dan seseorang itu seorang
jenderal bernama Soeharto yang Pangkostrad? Ini, bila benar direncanakan dan
rencana itu dilakukan – berhasil atau gagal – pasti akan berakibat seluruh
rencana gerakan gagal sebelum dimulai! Dua masalah lalu timbul pada saya:
pertama, tentang kebohongan itu sendiri; dan kedua, tentang apa alasan
pembohongan itu? Apa yang hendak disembunyikan oleh – pinjam kata-kata R.O.
Roeder, “the smiling general” ini?
Namun senyum jenderal yang satu ini agaknya selain merupakan
ekspresi bakat, juga sebagai kiat pembohongannya. Karena di dalam
otobiografinya (Soeharto – Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, 1989) ternyata
Soeharto lagi-lagi membohong. Di sana diceritakannya ia tidak bertemu Kolonel
Latief di rumahsakit RSPAD. Ia hanya melihat (sic!) dari ruangan tempat anaknya
dirawat, dan di ruang itu ia berjaga bersama isterinya. Latief dilihatnya
berjalan di koridor melalui depan kamar rawat anaknya itu! Kolonel yang yang
empat jam lagi punya gawe besar berjalan-jalan di RS? Siapa bisa percaya?
Penuturannya yang berikut ini juga aneh sekali, seandainya
ia tidak berbohong. Menurut pengakuannya sendiri, ketika pada jam 12
tengah-malam ia keluar dari rumahsakit, bukan segera memperingatkan
jenderal-jenderal rekan-rekannya yang akan ditimpa nasib malang, melainkan
terus pulang ke rumah untuk tidur! Kiat berbohong dan ngapusi memang, seperti
diakuinya sendiri dalam biografinya tersebut di atas, sudah dilakukannya ketika
ia menolak perintah Presiden/Pangti APRI Soekarno untuk menangkap secara
langsung Mayjen Soedarsono, yang terlibat peristiwa penculikan Perdana Menteri
Sutan Sjahrir pada 27 Juni 1946. Soeharto lalu menjalankan kiat nabok nyilih
tangan – seperti kiat Ken Arok dalam menghabisi nyawa Tunggul Ametung dengan
“nyilih tangan“-nya Kebo Ijo. Mayjen Soedarsono ditangkap pasukan kawal istana
Presiden ketika ia pagi berikut hendak menghadap Presiden.
Dari data-data di atas kiranya agak pasti, bahwa Soeharto
kalaupun bukan dalang, dialah the missing link antara Sang Dalang dengan Si
Pelaku Utama.
Artinya Soeharto paling tidak terlibat berat di dalam “Peristiwa
65” itu. Menurut Keputusan Panglima Kopkamtib 18 Oktober 1968, Pasal 4, tentang
klasifikasi tapol, oknum semacam ini bisa dimasukkan dalam Golongan A, yaitu
semua orang yang terlibat secara langsung. Siapakah orang yang bisa disebut
sebagai “terlibat secara langsung”? Menurut Pasal 4 Kpts Pangkopkamtib
tersebut, di antaranya ialah semua orang yang mempunyai pengetahuan lebih dulu
tentang rencana kup, namun tidak melaporkan apa yang diketahuinya itu kepada
yang berwajib. Jadi pada malam hari itu Soeharto seharusnya melapor paling
sedikit kepada Ahmad Yani dan AH Nasution. Dengan demikian Soeharto sejatinya
jelas lebih terlibat ketimbang tapol yang Golongan B, atau saya yang Golongan
BI/PKI Malam, yang karena ‘terlibat tidak langsung’ harus diisolasi selama
13-14 tahun di penjara dan/atau di pulau pengasingan Buru. Lebih lama dari
‘hukum buang’ yang harus dilakoni Keluarga Pandawa dalam lakon “Pandhawa
Dhadhu”.
Alkisah.
Karena kalah bermain dadu, akibat dicurangi Dursasana yang
dengan sembunyi-sembunyi memutar papan dadu 360 derajat, maka Puntadewa yang
jago bermain dadu di seluruh penjuru jagad pewayangan itu harus menelan
kekalahan dari Suyudana, si sulung keluarga Kurawa. Akibatnya keluarga Pandawa,
termasuk ibunda mereka Dewi Kunti, harus menjalani hukuman pembuangan oleh
keluarga Kurawa selama 13 tahun, dan harus dengan membuang atau menghilangkan
seluruh identitas mereka. Selagi mereka di tengah hutan pembuangan tiba-tiba
datang seekor Garangan Putih yang memandu perjalanan mereka, melalui lorong di
bawah tanah, dan ketika muncul di permukaan ternyata mereka telah berada di
telatah Kerajaan Wirata. Maka, demi menyembunyikan identitas, mereka lalu
mengganti nama dan profesi masing-masing: Puntadewa bernama Darmaputra dan
menjadi guru berjudi untuk Sri Baginda Kerajaan Wirata, Bima bernama Jagal
Abilawa dan menjadi jagal atau tukang potong hewan, Arjuna bernama Kandihawa,
menjadi guru tari, si kembar Nakula-Sadewa sebagai Pinten-Tangsen dan bekerja
sebagai pustakawan kerajaan.
Para Pandawa telah dibikin mati secara perdata oleh
pemerintah Kurupati. Identitas mereka dihapus dan ditiadakan! Lakon Pandawa Dadu
sebuah lakon politik dunia pewayangan, yang memang pas untuk pasemon lakon
untung-untungan Obrus Untung Samsuri pada awal Oktober 1965 itu.
Dengan demikian Soeharto dan Syam Kamaruzzaman merupakan
orang-orang yang mempunyai pengetahuan terlebih dulu tentang “Peristiwa 65”.
Kedua mereka itu adalah provokator bersama terhadap Obrus Untung dkk dalam
peristiwa tersebut, atau yang satu (Soeharto) memprovokasi yang lain (Syam),
dan pada gilirannya Syam memprovokasi “anak-anak” yang ada di bawah binaannya.
Barangkali masih ada orang lain yang, walaupun sedikit, juga mempunyai
pengetahuan lebih dulu. Orang itu ialah Soekarno. Tapi bisa dipastikan, bahwa
ia tidak mengingini pembunuhan terhadap para jenderal yang dituduh membentuk
Dewan Jenderal (selanjutnya “DD”, sesuai dengan singkatan ejaan saat itu).
Soekarno seorang yang paling takut pertikaian (“jangan
gontok-gontokan”, pesannya berulang-ulang), apalagi pertumpahan darah (“silakan
jor-joran, berkompetisi, tapi jangan dor-doran; tembak-menembak – ia selalu
memperingatkan). Maksud Soekarno barangkali hanya sejauh untuk meminta
pertanggungjawaban mereka. Maka sesudah mendengar ada beberapa orang jenderal
yang mati di/terbunuh, ia segera memberi perintah supaya seluruh gerakan
dihentikan. Mungkin Untung, Latief dan Soepardjo juga tidak menghendaki
pembunuhan, melainkan hanya hendak menghadapkan mereka kepada Presiden untuk
diminta pertanggungjawaban mereka – seperti begitulah yag banyak terungkap di
dalam persidangan.
Pada malam 30 September Soekarno dan Aidit agaknya memang
yakin tentang adaya “DD”, dan bahwa “DD” berencana merebut kekuasaan pada 5
Oktober 1965 (Perhatikan Laporan Dubes AS Marshall Green pada 1 Oktober 1965
pts. 2 dan 4). Begitu juga Untung dkk yakin “DD” memang ada. Dalam prosesnya
tahun 1967 juga Sudisman yakin tentang adanya “DD” dan rencana mereka. Begitu
juga pendapat Politbiro CC-PKI, seperti terbaca dalam dokumen “KOK” (Kritik Oto
Kritik) mereka. Tetapi kalau “Peristiwa ‘65” memang suatu provokasi, apakah
mungkin “DD” menjadi dalangnya? Agaknya tidak!
Keterangan mantan-Mayor Rudhito
dalam proses Untung barangkali bisa membantu mengurai teka-teki ini. Ia memberi
keterangan tentang pita rekaman mengenai “DD” yang didengarnya, dan catatan
tentang isi rekaman itu yang diterimanya pada 26 September 1965 di depan gedung
Front Nasional. Ia menerima barang bukti itu dari Muchlis Bratanata dan Nawawi
Nasution, kedua mereka dari NU, dan Sumantri Singamenggala serta Agus Herman
Simatoepang, kedua-duanya dari IPKI[3]. Mereka mengajak Rudhito membantu pelaksanaan
rencana “DD”. Dari pita itu dapat didengar pembicaraan dalam suatu pertemuan
yang diadakan pada 24 September 1965 di gedung Akademi Hukum Militer di
Jakarta. Rudhito ingat, ia mendengar suara Mayjen S. Parman yang mengatakan,
juga dari catatan yang Rudhito baca, sebuah daftar tokoh-tokoh yang akan
diangkat sebagai menteri: AH Nasution, calon Perdana Menteri; Soeprapto,
Menteri Dalam Negeri; Ahmad Yani, Menteri Hankam; Haryono, Menteri Luar Negeri;
Sutoyo, Menteri Kehakiman; dan S. Parman sendiri Jaksa Agung. Nama lain yang
disebut di antaranya Jenderal Sukendro.
Perlu diperhatikan, bahwa nama Soeharto
tidak disebut-sebut.
Ternyata pita rekaman itu tidak pernah muncul sebagai barang
bukti, baik pada sidang Letkol Untung Samsuri maupun pada sidang-sidang yang
lain. Menurut Rudhito dan terdakwa Untung, tape itu diserahkan kepada Brigjen
Soepardjo yang pada 29 September 1965 baru tiba di Jakarta dari Kalimantan, dan
selanjutnya Soepardjo agaknya telah memberikan dokumen maha penting ini kepada
Presiden Soekarno. Menurut Rudhito dokumen itu juga ada pada Kejaksaan Agung
dan Kotrar (Komando Operasi Tertinggi Retuling Aparatur Negara).
Kesimpulan yang bisa ditarik ialah, kemungkinan besar tape
(yang tidak pernah muncul) dan catatan yang diterima Rudhito itu, merupakan
dokumen-dokumen palsu sebagai bagian dari operasi intelijen dalam melakukan
provokasi mereka. Maksud dan akibatnya ialah, kelompok Untung, sementara
pimpinan PKI, dan bahkan Presiden Soekarno menjadi yakin dan percaya bahwa
komplotan “DD” memang ada, dan rencana merebut kekuasaan dari Soekarno dan
kabinetnya memang benar. Tipu muslihat ini sebenarnya provokasi untuk
memancing, baik Soekarno maupun pimpinan PKI (khususnya DN Aidit dan Oloan
Hutapea), agar meneruskan usaha mereka untuk menggagalkan rencana aksi “DD”
pada 5 Oktober 1965. Maka dalam proses Subandrio muncullah, misalnya, kata-kata
“daripada didahului lebih baik mendahului”.
Pembunuhan yang sengaja itu tentu saja merupakan bagian dari
seluruh provokasi terhadap PKI, Bung Karno dan seluruh gerakan kiri di
Indonesia. Menurut Coen Holtzappel dalang peristiwa berdarah September 1965 ini
Jenderal Sukendro, yang pernah menjadi kepala intelijen militer, dan Kolonel
Supardjo, Sekretaris Kotrar, yang pernah menjadi pembantu Sukendro. Tentang
Sukendro, Gabriel Kolko memberi tahu pada kita, bahwa Jenderal ini pada tanggal
5 November 1965 minta bantuan rahasia A.S., agar mengirim persenjataan kecil
dan alat komunikasi yang akan dipakai oleh pemuda Islam dan nasionalis untuk
membasmi PKI. Kedutaan A.S. setuju, dan barang-barang itu dijanjikan akan
dikirim sebagai “obat-obatan” (Confronting The Third: U.S. Foreign Policy
1945-1980, hlm. 181) dan teks telegram dari Kedubes A.S. ke Washington tanggal
5/11, 7/11, dan 11/11-65.
Karena itu saya selalu sangat percaya kepada analisis pendek
Bung Karno, ketika ia dituntut MPRS tentang pertanggungjawabannya mengenai
“Peristiwa G30S”. Dalam pidatonya untuk “Pelengkapan Pidato Nawaksara” pada 10
Januari 1967 Bung Karno mengatakan, bahwa peristiwa G30S terjadi oleh “pertemuannya”
tiga sebab, yaitu: (1) keblingernya pimpinan PKI; (2) kelihaian subversi
nekolim; dan (3) memang ada oknum-oknum yang tidak benar. Kepanjangan istilah
“nekolim” saat itu ialah “neokolonialisme, kolonialisme dan imperialisme”, dan
dengan ini Bung Karno tentu bermaksud mengatakan, bahwa dalang yang sebenarnya
memang ada di luarnegeri.
Tentang peranan Amerika Serikat dan CIA sudah diuraikan
dengan sangat jitu dan rinci oleh Dr. Baskara T. Wardaya S.J. dalam bukunya
Bung Karno Menggugat Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massa ’65 Hingga G30S. Juga
Peter Dale Scott, mantan-diplomat yang sekarang gurubesar di Universitas
California, pernah menulis beberapa karangan penting tentang campur-tangan A.S.
pada tahun 60-an di Indonesia, antara lain The U.S and the Overthrow of
Soekarno (Pacific Affairs 1985), dan Coming to Jakarta (1988; dalam versi
Indonesia saya “Melanda Jakarta” – belum terbit). Sekarang kita juga sudah
tahu, bahwa dari sejak awal Oktober 1965 baik Kedutaan Besar AS di Indonesia
maupun CIA sangat berlumuran darah rakyat Indonesia, yaitu dengan memberi
daftar nama 5000 orang “tokoh” PKI dan ormas kiri lainnya kepada Kostrad,
supaya mereka itu ditangkap dan jika perlu harus dibunuh pun, para diplomat
A.S. dan staf CIA tidak peduli! Tapi bagaimana kiranya campur-tangan A.S. dan
CIA sebelum 1 Oktober 1965? Dr. Baskara juga sudah mengurainya dalam seluruh
Bagian II dan separoh pertama Bagian III bukunya tersebut. Selain itu kita juga
bisa membacanya dalam buku Gabriel Kolko Confronting the Third: U.S. Foreign
Policy 1945-1980 tersebut di atas.
Mengapa masih penting menyelidiki sejarah peristiwa yang
terjadi dalam tahun 1965 itu?
Pertama, karena untuk berdamai dan lebih lanjut membina
kerukunan dengan sejarah masa lalu tidak mungkin terjadi tanpa kejujuran dan
tanpa keberanian menatap kenyataan sejarah masa lalu itu. Dalam pada itu sampai
sekarang pun kita masih sering mendengar, ada sementara orang yang masih
berusaha mengelak dan mencari dalih; dan jangan kaget jika di antara “sementara
orang” itu juga ditemukan di tengah-tengah kalangan orang-orang yang giat di
lembaga-lembaga pembelaan hak-hak asasi manusia. Mereka berkata, misalnya,
lembaga KKR kita dukung tapi tidak sampai ke “masalah ‘65”! Karena menurut
mereka itu masalah ’65 bersifat “terlalu politis”. Seorang pejabat puncak di
Republik ini, sehubungan dengan soal KKR, bahkan berkata: “Saya tidak merasa di
Indonesia ada sesuatu yang betul-betul berlawanan mati-matian seperti di Afrika
Selatan. Kalau masalah-masalah Gestapu kan sudah empat puluh tahun lalu. Apakah
ada yang direkonsiliasikan setelah kita tidak tahu lagi siapa yang mesti
bertemu?” (Kompas, 11 Februari 2006, hlm. 2). Komentar-komentar tersebut selain
mengandung aroma politik yang amat kental, juga usaha untuk berkilah dengan
melalui pendekatan hukum formal. Bukan keadilan tapi pengadilan yang menjadi
‘concern’ mereka. Ini semua gejala dari kambuh dan berjangkitnya kembali
“komunisto fobia” yang sudah sejak akhir tahun belasan terus-menerus diperangi
oleh Bung Karno.
Kedua, bahwa pembunuhan massal pasca-G30S di Indonesia
terjadi atas tanggungjawab Jenderal Soeharto sesungguhnya sudah bukan rahasia
lagi. Tapi anehnya si penanggungjawab berikut para andahan dan bawahannya
justru selalu memamerkan perbuatannya dengan bangga. Soeharto tidak pernah
memperlihatkan penyesalannya atas pelanggaran hak asasi manusia luarbiasa hebat
yang terjadi pada masa kekuasaannya itu. Mereka selalu memamerkan tindakan
mereka yang keji itu sebagai kebanggaan, seperti contoh berikut ini
memperlihatkan.
Dengan adanya pengakuan pers A.S., bahwa staf Kedubes A.S.
di Jakarta telah menyerahkan daftar nama-nama 5000 orang kader PKI dan ormas
yang dekat dengannya kepada Angkatan Darat Indonesia, seperti sudah disebut di
atas, tidak satu orang pun jubir pemerintah Orde Baru yang memungkiri atau
menyatakan penyesalan mereka. Sebaliknya dengan congkak mereka bahkan
menegaskan: bahwa militer Indonesia samasekali tidak perlu menerima daftar
semacam itu dari pihak asing, karena mereka sendiri sudah cukup mengetahui
siapa-siapa saja kader-kader penting PKI itu! Juga di dalam otobiografinya
Soeharto samasekali tidak menunjukkan tanda-tanda penyesalannya terhadap
jatuhnya korban rakyat sebanyak setengah atau satu juta (Jenderal Sarwo Edhi
Wibowo bahkan mengklaim sebagai 3.000.000 atau 3.500.000 jiwa!) Terhadap
prajurit-prajurit pembunuhnya pun ia tidak mencela perbuatan mereka.
Misalnya
dalam kisah pengakuan Kolonel Jasir Hadibroto (Kompas Minggu, 5 Oktober 1980)
yang telah membunuh tanpa proses hukum Ketua CC-PKI DN Aidit, Kolonel ini
justru dihadiahi Soeharto dengan kedudukan sebagai Gubernur Lampung.
Bagaimanapun di depan Jenderal Soeharto Kolonel Jasir hanya seorang prajurit.
Maka tentu saja Soeharto itulah yang bertanggungjawab. Karena pembunuhan hanya
terjadi sesudah Jasir menerima perintah, walaupun dalam kata-kata terselubung:
“Bereskan itu semua!” Dan tentang kata “beres” ini dengan tenang Jasir berkata
kepada Kompas Minggu, “saya artikan sebagai ‘bunuh’. Nyatanya sesudah itu saya
tidak ditegor oleh Pak Harto …”
Masih cukup banyak hal yang harus dibukakan di depan mata
masyarakat.
Sejarah peristiwa 1965 dan peristiwa-peristiwa ikutannya, seperti
yang terbaca dalam tulisan resmi para pendukung Orde Baru, seluruhnya harus
ditinjau kembali dan dikoreksi. Misalnya tentang pembunuhan terhadap para
anggota PKI dan/atau BTI (Barisan Tani Indonesia) yang selalu diberi pembenaran
dengan dalih “mereka terlibat dalam Gestapu/PKI 1965”. Begitu juga tentang
halnya Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Karena itu relief di Lubang Buaya
yang melukiskan kebiadaban Gerwani harus dibongkar. Juga diorama di Monumen
Nasional!
Tentu saja benar, bahwa ada beberapa orang kader PKI yang
ikut memainkan peranan dalam peristiwa dinihari 1Oktober 1965 itu. Tapi bisakah
ratusan ribu kaum tani di Jawa (khususnya) dituduh terlibat dalam peristiwa
penyerangan terhadap tujuh orang jenderal pada pagi-pagi buta 1 Oktober 1965 di
Jakarta ketika itu? Dari berita The Washington Post, 21 Mei 1990, menjadi
jelas, bahwa sejak semula Soeharto telah berketetapan hati untuk membasmi PKI.
Ringkasan Memorandum CIA tentang G30S, 6 Oktober 1965, dan juga laporan situasi
“Indonesian Working Group” 6 Oktober 1965 menjadi bukti untuk isi pemberitaan
bulan Mei tersebut.
Dalih umum yang dimamah-biak Mahmillub (Mahkamah Militer
Luarbiasa) dan/atau pengadilan-kanguru semacamnya ialah, semua anggota atau
simpatisan PKI “terlibat dalam peristiwa G30S/PKI”. Dalih seperti inilah juga
yang digunakan pemerintah untuk membenarkan politik pembuangan tanpa
pemeriksaan pengadilan terhadap sekitar 12.000 orang ‘tapol’ ke Pulau Buru.
Mereka itu dinyatakan sebagai’terlibat secara tidak langsung’. Lalu siapakah
yang terlibat secara langsung? Yang betul-betul terlibat langsung ialah orang
yang paling memperoleh untung dari peristiwa itu. Dan orang ini tidak ada lain
selain Jenderal Soeharto sendiri!
Meninjau kembali, mengoreksi, dan menulis ulang sejarah masa
lalu sesungguhnya berarti menyelamatkan jalannya kebenaran sejarah. Untuk itu
penelitian kembali sejarah tahun 1965 dan tahun-tahun sesudahnya merupakan
sarana dan sekaligus wahana penolong satu-satunya. Penting sekali amnesia
dilawan dan kesadaran bersejarah dibangun kembali.
Sebelum peristiwa September 1965 PKI merupakan kekuatan
politik yang patut dibanggakan. Banyak hal terkait dengan pembangunan dan
pembelaan negeri dan rakyat telah berhasil dicapai oleh PKI dan gerakan partai
ini. Barangkali perlu diingat pidato Bung Karno dalam Kongres PWI bulan
Desember tahun 1965. Beliau menekankan pentingnya dibangun monumen baru di
ibukota, yaitu Monumen Digul
Dewasa ini, sejak ‘hancurnya’ Uni Soviet dan runtuhnya
Tembok Berlin, timbul kecenderungan anggapan bahwa komunisme dan bahkan
sosialisme telah gagal sebagai ideologi. Kesimpulan seperti barangkali terlalu
tergesa-gesa. Karena menurut hemat saya yang gagal adalah sejumlah pemerintah
yang dikuasai oleh berbagai partai komunis.Tapi yang sejatinya telah
benar-benar terbukti gagal ialah sistem diktatorial yang tidak memberi peranan
cukup kepada rakyat-jelata. Untuk Indonesia kegagalan semacam itu berlaku bagi
rejim Soeharto, yang pada kenyataan dan hakikatnya (pinjam istilah Moh. Yamin)
jelas-jemelas merupakan suatu sistem diktatorial, dengan berbedak-bergincu
“Demokrasi Pancasila”, yang tidak lain adalah demokrasi semu belaka! Ini
sekaligus juga peringatan bagi pemerintah siapa/apa pun yang sadar atau tidak
sadar meneruskan ‘Api Semangat Soeharto’. Waspadalah!
Tangerang, 23 Mei 2006
[1] Dikutip dari “Soeharto Sehat”, Galangpress Yogyakarta,
2006:105-127.
[2] Ada dua kemungkinan dalam hubungan ini: pertama,
editorial ditulis oleh tokoh utama dalam Politbiro CC PKI (Oloan Hutapea?);
kedua, editorial ditulis pimpinan AD/Kostrad, dan redaksi “HR” ditodong untuk
memuatnya – karena aneh juga jika mengingat bahwa pada saat itu semua koran
sudah dilarang terbit (kecuali Angkatan Bersendjata, Berita Yudha dan Api Pantjasila
– dan “HR” termasuk dalam perkecualian ini!)
[3] Partai politik Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia;
didirikan di Bogor tahun 1954; pada awal era Orde Baru cenderung dekat pada
Golkar, tapi ketika terjadi fusi parpol (1973) IPKI bergabung dengan PDI. Di
antara tokoh pemrakarsanya a.l.: Kol. AH Nasution, Kol. Gatot Subroto, dan Kol
Aziz Saleh.
0 komentar:
Posting Komentar