Kapal dari Singapura berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Dua penumpangnya turun. Mereka berusaha keluar pelabuhan secara ilegal. Dua orang itu Aidit dan Lukman.
“Beberapa hari yang lalu Aidit dan Lukman, dua anggota dari agitprop (agitasi dan propaganda) PKI, telah tiba di Jakarta dari Vietnam,” tulis Sinpo, 25 Juli 1950. Sinpo mengabarkan Aidit dan Lukman pernah menjadi gerilyawan di Vietnam.
Jacques Leclerc, seorang pakar sejarah kiri Indonesia, berpandangan kemunculan Aidit dan Lukman penuh perhitungan dan skenario. Mereka muncul saat pemerintah mengurangi tekanan terhadap PKI dengan sebuah cerita heroik rekaan. Dari perjuangan di Tiongkok dan Vietnam sampai upaya mereka masuk ke Indonesia secara ilegal sehingga menarik perhatian suratkabar.
“Mereka mau memberikan prestise diri mereka sebagai pimpinan yang sebelumnya berkedudukan di Yogya kembali ke Jakarta justru pada saat perjuangan dan konfrontasi di dalam tubuh partai antara berbagai garis strategi telah memasuki tahap menentukan,” tulis Jacques Lecrerc dalam
“Aidit dan Partai Pada Tahun 1950”, termuat di Prisma, 7 Juli 1982.
Di Jakarta, Aidit dan Lukman mulai bergerak. Sebagai anggota CC PKI, mereka melihat kelompok komunis tua bakal membawa jalannya partai melenceng dari prinsip Jalan Baru Musso. Mereka mengajak Njoto dan Peris Pardede menerbitkan kembali Bintang Merah (BM), terbitan berkala, untuk menegaskan garis perjuangan partai dan menghimpun pendukung. Mereka juga menerjemahkan karya-karya klasik mengenai teori Marxis.
Memperoleh kepercayaan kader muda partai melalui penerbitan BM, kelompok Aidit mengalihkan perhatian ke struktur partai. Mereka menjalin kontak dengan Seksi Comite (SC) pendukung Jalan Baru untuk merombak struktur partai dari dalam.
Menyingkirkan Kelompok Tua
Pada 7 Januari 1951, CC PKI menggelar Sidang Pleno. Dalam sidang kelompok Aidit mendebat gagasan Tan Ling Djie mengenai Irian Barat dan Partai Sosialis sebagai partai penampung. Tan kalah dukungan. Sidang memutuskan mencabut keterangan tertulis Tan mengenai Irian Barat dan membubarkan Partai Sosialis.
Sidang juga menetapkan Aidit, Lukman, Njoto, Sudisman, dan Alimin sebagai anggota Politbiro. Sementara Tan Ling Djie turun pangkat, tapi masih masuk dalam keanggotaan CC. Salah satu pertimbangannya, Tan menerima keputusan CC dan berjanji memperbaiki diri.
Tan mulai terisolasi. Terlebih sebelumnya pendukung setianya, Ngadiman Hardjosubroto dicabut kedudukannya sebagai wakil PKI di parlemen sementara karena mengeluarkan siaran tentang Irian.
Namun ini baru langkah awal. Pada Agustus 1952, CC membentuk Komisi Kontrol untuk menyelidiki aktivitas Tan yang bertentangan dengan kebijakan partai. Berdasarkan laporan Komisi Kontrol itulah, dalam Sidang Pleno CC PKI pada Oktober 1953, kelompok Aidit menyingkirkan Tan Ling Djie dari keanggotaan CC. Sementara Alimin, atas permintaan sendiri dengan alasan kesehatan, digantikan Sakirman sebagai anggota Politbiro. Untuk membenarkan tindakannya, Aidit menulis artikel panjang berjudul “Tentang Tan Ling Djie-isme” di Bintang Merah, Februari-Maret 1954.
Kepemimpinan partai dalam genggaman. Kongres V PKI pada 16-20 Maret 1954 mengabsahkannya. Dalam Kongres ini pula Alimin dan Wikana tersingkir sebagai anggota CC; gagal terpilih kendati dicalonkan.
Kendati tak menempati posisi strategis, Alimin tetap jadi duri dalam daging. Ketika Aidit berada di Moskow untuk menghadiri Kongres ke-20 Partai Komunis Uni Soviet, Alimin menyerang kepemimpinan Aidit dan politik front persatuan. Tidak secara langsung tapi melalui sebuah tulisan yang dibagikan ke kawan-kawan dekatnya.
Sadar keutuhan partai terancam, Sekretariat CC PKI mengajak Alimin berdiskusi. Alimin bersedia mencabut tulisannya. Ternyata persoalan belum selesai. Beberapa kutipan dari tulisan Alimin tersiar di media. CC PKI segera membuat keterangan pers. Selain menegaskan sikapnya mengenai front persatuan nasional, CC menelanjangi cara kerja Alimin di dalam partai.
“Sikap pimpinan PKI sekarang banyak tergantung pada sikap Kawan Alimin sendiri mengenai kesalahannya,” tulis keterangan Sekretariat CC PKI, 3 Juli 1956.
Alimin terdesak. Pada 8 Agustus 1956, dia menyatakan keluar dari PKI dengan alasan kesehatan.
Kelompok komunis tua sudah disingkirkan. Namun, secara bertahap mereka “direhabilitasi”. Tan Ling Djie dan Wikana diplih sebagai wakil ketua II dan sekretaris grup partai di Konstituante. Ngadiman, pada 1959, jadi ketua Komisi Pemilihan Pusat PKI. Pada Kongres tahun 1959, Wikana kembali masuk sebagai anggota CC, Tan dan Ngadiman dipilih sebagai anggota Komisi Verifikasi, dan Alimin diberi kehormatan untuk duduk di presidium kongres.
“Aidit cukup yakin kontrolnya terhadap partai untuk memanfaatkan kemampuan Wikana, Tan Ling Djie, dan Ngadiman dalam posisi fungsional tapi, dalam hal kekuasaan, tidak penting,” tulis Donald Hindley dalam The Communist Party of Indonesia, 1951-1963.
Menjadi Partai Raksasa
Sejak Aidit mengambil-alih kepemimpinan partai, PKI berkembang pesat. Salah satu langkah signifikan adalah penerapan strategi front persatuan nasional yang merupakan modifikasi dari konsep Jalan Baru Musso. Kerjasama terutama dijalin dengan Partai Nasional Indonesia (PNI). Dengan strategi ini, tulis Hindley, PKI mendapat toleransi dari pemerintah untuk mengembangkan partai dan organisasi massanya serta mengisolasi kekuatan politik antikomunis.
Pembangunan partai menemukan bentuknya sejak 1956 melalui Plan 3 Tahun Mengenai Organisasi dan Pendidikan. Sekolah-sekolah dan kursus partai digelar. Perluasan anggota dan organisasi digalakkan. Setelah mencapai kemajuan pesat dan dapat mengkonsolidasi diri, pada 1963 PKI menerapkan Plan 4 Tahun Mengenai Kebudayaan, Ideologi, dan Organisasi.
Hasilnya, jumlah anggota PKI naik pesat, kader-kadernya disiplin dan militan, berhasil menaungi berbagai elemen massa, meraup suara signifikan dalam pemilu, dan mampu mempengaruhi arah perpolitikan nasional.
PKI menjadi raksasa dalam waktu singkat. Hingga datanglah prahara 1965 itu menjatuhkan raksasa ini tanpa ampun.