Prodita K. Sabarini | Feb, 15
Kebanyakan
orang Indonesia yang lahir sesudah tahun 1965 belajar di sekolah soal
pembunuhan enam jenderal dan seorang kapten oleh kelompok Gerakan 30
September (G30S). Menurut buku pelajaran sejarah, juga film Pengkhianatan G30S/PKI dan diorama di Museum Pengkhianatan PKI di Lubang Buaya, Jakarta Timur, Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah dalang G30S. Anggota PKI digambarkan kejam dan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) keji.
Buku
pelajaran sejarah juga bercerita bahwa Suharto berhasil “mengamankan”
situasi, menjadi presiden dan kemudian bapak pembangunan nasional. Kita
bergidik mendengar soal Holocaust, genosida di Rwanda dan Kamboja, tanpa
menyadari atau mengakui bahwa pembunuhan massal terjadi di Indonesia.
Berkat
reformasi yang menekan Suharto turun dari tampuk kekuasaan, sekarang
kita tahu atau setidaknya pelan-pelan sadar ada kisah lain yang tidak
diceritakan di buku sejarah dan sengaja dilupakan oleh rezim Orde Baru
Suharto. Kisah mengenai pemberantasan PKI oleh tentara dengan bantuan kelompok-kelompok jagal
yang membunuh lebih dari setengah juta orang anggota PKI dan
simpatisannya muncul ke permukaan. Ratusan ribu lainnya disiksa,
dipenjara dan dipersulit kehidupannya.
Kelompok
penyintas, aktivis, peneliti, sastrawan, pembuat film dokumenter, dan
seniman selama bertahun-tahun telah bekerja keras mengungkap apa terjadi
pada korban, penyintas dan keluarganya. Karya-karya mereka pelan namun pasti mulai menyentuh generasi pasca-65.
Sampai
saat ini, narasi versi pemerintah masih bisu soal pembunuhan massal dan
kekerasan politik tahun 1965–1966. Di bawah kepresidenan Susilo Bambang
Yudhoyono, menteri koordinator politik, hukum dan ham (menkopolhukam)
Djoko Suyanto mengatakan, kekerasan yang terjadi saat itu dibenarkan. Menkopolhukam di bawah presiden Joko Widodo, Luhut Pandjaitan mengajak untuk “menatap ke depan, jangan melihat ke belakang lagi”.
Namun
melupakan pembunuhan, penyiksaan dan penahanan lebih dari sejuta orang
di tahun 1965 melanggengkan budaya impunitas di Indonesia.
Impunitas
terjadi ketika pelaku tindak kekerasan lepas dari jerat hukum. Ketika
negara yang menikmatinya, dampaknya terhadap kehidupan masyarakat sipil
sangat buruk. Kekerasan negara, pemerintahan yang buruk, ketimpangan
ekonomi dan perusakan lingkungan adalah sebagian warisannya.
Bagi kami generasi yang mewarisi budaya impunitas dari kekerasan 1965, kami ingin mengerti dan mengingat. Apa
yang dialami oleh keluarga, orang terdekat, dan komunitas kita saat
itu? Apa yang bisa kita pelajari dari pengalaman mereka untuk kehidupan
kita saat ini? Kisah-kisah terpendam muncul ke permukaan kala kita mulai bertanya pada tetua kita mengenai apa yang terjadi.
Ingat
65 adalah ruang bagi generasi pasca-1965 berbagi kisah pencarian
jawaban dari pertanyaan tersebut dan harapan kami untuk masa depan.
https://medium.com/ingat-65/mengingat-1965-4807d71dd090#.uzpj997kt
0 komentar:
Posting Komentar