Ric Wasserman | 12:23 PM, February 04, 2016
Ric Wasserman menyusun laporan soal penyiksaan masa lalu dan kini,
setelah bertemu Tom Iljas, pria kelahiran Sumatera Barat 77 tahun silam
Tahun 1965 akan selalu dikenang sebagai tahun genosida di
Indonesia. Sebuah kejahatan yang masih bergema sampai hari ini, di mana
keluarga korban dan pelaku, masih berhadapan satu sama lain dan tak
jarang kadang dalam keseharian.
Ric Wasserman menyusun laporan soal penyiksaan masa lalu
dan kini ini, setelah bertemu Tom Iljas, pria kelahiran Sumatera Barat,
77 tahun silam. Tom dideportasi dari Indonesia pada Oktober tahun lalu
karena mencoba mengidentifikasi kuburan massal di mana ayahnya
dimakamkan.
Film dokumenter besutan Joshua Oppenheimer, The Act of Killing atau Jagal,
menceritakan pembantaian massal orang-orang yang dikaitkan dengan
komunis di Indonesia tahun 1965 — dari sudut pandang para pembunuh.
Meski mereka menjadi penyebab kematian hingga satu juta
orang, mereka tidak dihukum. Mereka yang mengaku menjadi pelaku
pembunuhan di masa lalu, kini banyak yang menjadi pahlawan. Tapi tidak
untuk Tom Iljas.
Sambil minum kopi di flatnya di pinggiran Stockholm, Tom menceritakan kisahnya.
“Saya mendapat beasiswa belajar
mekanisme pertanian ke Beijing oleh pemerintah Sukarno. Pendidikan saya
selesai pada September 1965 ketika kudeta berlangsung. Ayah saya dibunuh
militer pada November 1965. Sejak itu saya tidak bisa pulang ke rumah,”
kata Tom.
Tom sangat ingin mengunjungi makam ayahnya, tapi tidak tahu harus mencari kemana.
Oktober tahun lalu Tom, yang kini adalah warga negara
Swedia, bertemu mahasiswa dari desanya. Mahasiswa itu bercerita ada dua
saksi yang bisa menunjukkan tempat kuburan massal di mana ayahnya dan 40
orang lainnya dibuang.
Jika Tom ingin mencari makam ayahnya ia harus segera pulang – mumpung saksinya masih hidup. Tom pulang untuk pertama kalinya setelah puluhan tahun.
“Dua saksi membawa kami ke kuburan
itu, tapi sebelum kami sampai di sana, sekelompok orang menghadang
jalan kami. Saya bilang hanya ingin berdoa di atas kuburan, tapi mereka
tidak membolehkan. Kami dipaksa meninggalkan tempat itu.
Polisi
berpakaian preman kemudian menghentikan mobil kami, mengambil kunci
mobil, dan menahan kami selama 24 jam. Mereka menuduh kami membuat film
tentang genosida,” ujarnya.
Dan tidak berhenti sampai di situ. Ketika polisi melihat
paspor Swedia Tom, mereka memeriksanya selama lebih dari dua hari. Lalu
mereka mendeportasinya dan dia masuk daftar cekal.
Keselamatan penduduk lokal yang ingin membantu Tom menemukan makam ayahnya juga terancam.
Sudah 17 tahun sejak proses "reformasi" di Indonesia — tapi hantu dari masa lalu masih menghantui negara ini.
Pengalaman Tom Iljas juga nampak dalam adegan film dokumenter baru Joshua Oppenheimer berjudul Senyap atau The Look of Silence.
Dalam film itu, tokoh protagonis, seorang tukang kacamata
keliling yang kakaknya disiksa dan dibunuh milisi lokal tahun 1965,
mendengarkan percakapan dua warga desa.
Jadi seberapa jauh Indonesia sudah membangun demokrasi, akuntabilitas dan hak asasi manusia sejak era Presiden Suharto?
Jika ada orang di Swedia yang bisa menjelaskan posisi
Indonesia dalam proses reformasi, itu adalah Duta Besar Indonesia untuk
Swedia, Dewa Sastrawan.
“Ketika kami memulai reformasi,
komitmen terbesar kami sebagai bangsa adalah bagaimana mengembalikan
militer ke barak. Sebelum reformasi, ada kontrol yang sangat terpusat
dan kuat dalam pemerintahan yang dilakukan militer. Sekarang itu sudah
tidak ada,” kata Dubes Sastrawan.
Ia mengaku sudah menonton kedua film Oppenheimer dan
merasa tersentuh. Sastrawan adalah diplomat pertama Indonesia yang
membahas film ini secara terbuka dengan pembuatnya.
“Ketika saya menonton film ini dan
tentu saja berbicara dengan Joshua, secara pribadi, ini bagian dari
transparansi yang kami miliki saat di Indonesia,” ujar Sastrawan.
Tapi film Joshua menunjukkan kalau masa lalu tidak begitu
jauh seperti yang dipikirkan Sastrawan. Film-filmnya tidak diputar di TV
atau bioskop di Indonesia meski Senyap masuk menjadi nominasi Piala Oscar tahun ini.
“Kita tidak bisa berharap orang
akan membuka pikiran mereka untuk bicara tentang masa lalu atau masa
kini. Ini adalah bagian dari proses demokrasi di Indonesia,” kata
Sastrawan.
Tom Iljas melihat fotonya di makam sang ibu di desanya dan
terkenang betapa hampir dekatnya kesempatan melakukan penghormatan
terakhir kepada ayahnya. Transparansi Indonesia baru yang dikatakan
Sastrawan belum dirasakannya.
Tom setuju kalau reformasi memberikan dampak positif,
salah satunya dengan terbitnya banyak buku tentang pembantaian 65. Tapi
kata “K” kata masih berbahaya, katanya.
“Rakyat punya hak untuk berorganisasi selama itu tidak berbau komunis,” kata Tom.
Sastrawan bertemu Tom tak lama setelah Tom kembali ke Swedia.
“Kami sudah berteman sejak saya tiba di sini pada 2012.
Saya bertanya pada Tom, ‘Apa yang terjadi?’ Kata Tom itu bukan larangan
permanen, hanya sementara. Kami akan kembali. Jika Anda bertanya kepada
saya apa kejahatan yang dia lakukan? Saya tidak tahu (tertawa),” kata
Sastrawan. —Rappler.com
http://www.rappler.com/indonesia/121316-tom-iljas-deportasi-indonesia-1965
0 komentar:
Posting Komentar