17/10/2010
| Wella Sherlita
Demonstrasi mahasiswa di
kampus Trisakti, 8 Maret 1998. Tragedi Semangi dan Mei 1998 termasuk kasus
pelanggaran HAM yang sampai sekarang belum dituntaskan pemerintah.
Aksi damai ini memrotes penanganan pemerintahan SBY atas
hak dan tuntutan para korban dan keluarganya. Aksi digelar dalam rangka setahun
Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II.
Di depan Istana Negara, Minggu siang, mereka menggelar
lapak-lapak lazimnya di pasar tradisional, lengkap dengan payung hitam untuk
peneduh, serta gambar-gambar, poster, dan potongan artikel majalah dan surat
kabar, yang memberitakan sejumlah peristiwa pelanggaran HAM berat. Alunan musik
dangdut sesekali ikut meramaikan suasana.
Pasar itu mereka namakan “Pasar Lupa”, ditujukan kepada
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dianggap “lupa dan
mengabaikan” hak dan tuntutan para korban pelanggaran HAM berat, beserta
keluarganya.
Koordinator aksi “Pasar Lupa," Yati Andriyani, dari
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS) mengatakan
kepada VOA, transaksi politik hari ini jelas telah meminggirkan kepentingan
rakyat yang jadi korban.
“Transaksi politik inilah yang menyebabkan arti politik
terpinggirkan. Jangan-jangan memang ada transaksi politik antara pemerintahan
SBY dan parlemen, untuk mengamankan kekuasaan. Kita curiga karena ini
(kasus-kasus pelanggaran HAM berat) didiamkan saja.” ungkap Yati.
Setiap payung peneduh lapak masing-masing diberi nama
dengan cat putih. Maka berderet peristiwa terbaca; mulai dari kejadian tahun
1965, peristiwa Tanjung Priok, Penembakan Misterius (Petrus), kasus Talangsari,
hingga Tragedi Mei dan Semanggi, tahun 1998.
Aksi
"Pasar Lupa" di gelar dalam rangka setahun pemerintahan SBY tahap II.
Kontras yang telah mendampingi korban dan keluarganya
lebih dari 10 tahun, semakin kehilangan rasa optimis, karena para mantan
Jenderal, yang terlibat langsung dalam berbagai operasi di lapangan, sekarang
memiliki fraksi di DPR. Kondisi ini sangat disesalkan oleh Yati Andriyani.
“Mereka masih punya kekuatan yang cukup kuat, bahkan mereka
punya fraksi di parlemen. Mengapa ini bisa terjadi? Karena memang politik kita
memberikan ruang untuk itu, dan tidak pernah ada upaya untuk membongkar
peristiwa di masa lalu,” kata Yati.
Berbeda dengan pesimisme para aktivis, keluarga korban
masih terus berdoa dan berharap kepada Presiden Yudhoyono.
Ruyati, ibunda dari Eten Karyana, yang tewas dalam
kerusuhan Mei 1998, di Jogja Plasa, Klender, Jakarta Timur, menuturkan kepada
VOA,“Sampai sekarang, saya sebagai orangtuanya, ibunya, saya kuat menunggu
sampai 12 tahun, Tapi kami tetap menuntut kepada Pak SBY, 'lihatlah kami-kami
ini, ibu-ibu yang sudah tua ini masih berjuang di tengah panas dan hujan, demi
diselesaikannya kasus ini'”
Sementara itu, salah satu korban peristiwa 65, Saunar
Ahmad, berharap pemerintah bersedia merehabilitasi mereka. Saunar dan Mansur,
abangnya, sempat menjadi kader PKI, tetapi keburu ditangkap meskipun belum
sempat aktif di partai. Mansur tewas dalam kejaran aparat, dan Saunar bersyukur
ia masih hidup.
“Supaya kami ini direhabilitasi, diberikan jaminan sosial.
Lalu itu dihapuslah Tap MPRS No. 25 (Tahun 1966) dan No. 33 (Tahun 1967), itu
kan tidak sah (karena PKI secara politik sudah dibubarkan pemerintah
Indonesia). Seharusnya kami menghadap MK lagi untuk menguji materi UU itu,”
kata Saunar.
Saunar Ahmad sekeluarga dipaksa pindah dari Padang. Mereka
sempat tinggal di Pekanbaru dan Bandung puluhan tahun, hingga akhirnya kembali
ke kota Padang tahun 1990-an. Namun, cap sebagai bekas anggota PKI diakuinya
sulit dihilangkan.
http://www.voaindonesia.com/a/aktivis-dan-korban-pelanggaran-ham-gelar-pasar-lupa/84969.html
0 komentar:
Posting Komentar