Dewi Safitri, BBC Indonesia | 1 Oktober 2010
PRD hanya berhasil menangguk kurang dari satu juta suara dalam pemilu 1999
Stigma komunisme dan PKI membuat partai politik beraliran kiri sepi peminat dalam dua kali pemilu pasca reformasi.
Meski sama-sama dikenal sebagai pegiat dibawah represi rezim Suharto, pemuka partai kiri seperti Partai Rakyat Demokratik, PRD, gagal meraih dukungan mencukupi untuk bertahan dalam jajaran partai politik yang memiliki wakil di DPR.
Sejarawan Asvi Warman Adam mengatakan hasil pemilu 1999 menunjukkan bendera PRD sebagai partai berhaluan kiri tidak disukai publik.
Meski kiri PDR tidak sama dengan pengertian kiri komunisme seperti ciri PKI, Asvi mengatakan, citra politik kiri terlanjur menjadi cap yang menjadi momok bagi pemilih.
"Cuci otak rezim orde baru selama 30 tahun tidak akan bisa hilang dalam tempo singkat,"kata Asvi.
Akibatnya, baik dalam bentuk PRD maupun dalam badan partai lain bila menyatakan diri sebagai partai kiri, menurut Asvi tetap akan dijauhi publik.
Meski era sudah banyak berubah, memilih partai berhaluan kiri menurut Asvi tetap akan membuat masyarakat takut.
"PRD atau partai lain yang memakai label kiri belum diterima," tegas Asvi.
Tidak bergeser
Tetapi gagal di DPR tidak membuat aktivis PRD menyerah.
Dita Sari -salah seorang pendiri PRD- belum kehilangan semangat untuk terus mencoba mencari simpati massa lewat ideologi kiri yang dipercayainya.
Sejak berusia 20 tahun, Dita sudah benar-benar terlibat dalam pendampingan kelompok buruh dan tinggal dnegan mereka.
Sempat dijatuhi hukuman lima tahun penjara dibawah era Suharto, Dita kemudian memimpin Fron Nasional Perjuangan Buruh Indonesia.
Kendaraan PRD yang dibentuk Dita dan kawan-kawan, hanya mampu mengumpulkan kurang dari satu juta suara perolehan nasional.
"Kami kalah berarti kami memang belum mampu bergerak sendiri, jadi harus bekerjasama dengan kelompok lain," kata Dita mengevaluasi kegagalan PDR.
Dita lalu menggunakan kendaraan politik Partai Bintang reformasi PBR, dalam pemilu lalu. Gagal mendapat kursi DPR, sampai kini Dita masih tercatat aktif sebagai salah satu kedua DPP PBR.
Sementara sejumlah mantan pentolan PRD seperti Faisol Reza dan Budiman Sudjatmiko, yang keluar dari PRD dan memilih jalur politik solo, lolos ke Senayan dengan tumpangan Partai kebangkitan Bangsa PKB dan PDI Perjuangan.
Kegagalan itu, kata Dita, sama sekali tidak menggoyahkan keyakinannya terhadap sosialisme.
"Sama sekali enggak bergeser. Tidak pernah ada pemikiran bahwa sosialisme keliru atau tidak dibutuhkan. Tidak pernah,"tandas Dita.
Sekedar kuantitatif
Meski sangat sedikit, rupanya yang sepaham dengan Dita masih ada.
Beberapa organisasi, baik terang-terangan maupun tersamar, menunjukkan dirinya menganut paham kiri sebagai haluan organisasai.
Biasanya yang diangkat adalah isu nasionalisasi, merangkul kelompok buruh, tani, nelayan dan masyarakat pinggiran, serta ketidakmampuan negara mengelola kesejahteraan rakyatnya.
Tapi apakah masih ada masa depan bagi mereka dalam sistem politik praktis di Indonesia?
Tidak, kata Direktur Lembaga Survei Indonesia LSI, Dodi Ambardi.
Berakhirnya pemilu 1999 menandai habisnya sejarah partai politik kiri Indonesia, kata Dodi yang menulis disertasi tentang politik kepartaian pasca reformasi.
Ini antara lain, menurut Dodi, disebabkan oleh minimnya mobilisasi kekuatan petani dan buruh yang lazim disuarakan sebagai dasar gerakan partai kiri di Indonesia.
"(Karena) buruh sebagai sebuah kelompok sosial tidak menjadi kekuatan elektoral, saya kira politik kiri tidak akan jalan," kata Dodi.
Baik dibawah kejayaan PKI, dibawah masa orde baru, hingga saat ini, menurut Dodi, kelompok buruh sekadar menjadi sumber suara tapi tidak pernah berhasil dikelola menjadi sebuah gerakan independen dan otonom.
"Buruh cuma satuan kuantitatif saja, bukan ideologis," tambah Dodi.
Bagaimanapun Dita Sari dan kawan-kawan dari PRD jalan terus. Mereka sudah mencanangkan akan kembali ke gelanggang politik praktis dengan membidik pemilu 2019.
Jelas perjalanan masih panjang bagi PRD karena partai ini harus mengikuti kembali proses verifikasi politik agar bisa ikut sebagai peserta pemilu, dan di balik proses itu, tampaknya masih diperlukan pula upaya untuk memupus stigma untuk partai-partai beraliran kiri.
Sumber: BBC.Com
0 komentar:
Posting Komentar