Andreas Nugroho, BBC Indonesia | 1 Oktober 2010
Film Lastri gagal diproduksi karena bersinggungan dengan peristiwa yang terjadi pada 30 September 1965.
Menyajikan cerita atau pandangan lain tentang peristiwa 1965 ternyata bukan hal mudah, walau peristiwa itu sudah berlangsung empat puluh tahun dan penguasa sudah silih berganti.
Memang sejumlah buku atau film yang berkisah soal ini mulai banyak bermunculan, namun tidak sedikit pula yang mengalami tekanan atau bahkan dilarang sama sekali.
Banyak orang yang masih mengenang bahwa tanggal 30 September -di jaman Presiden Suharto dulu- merupakan hari pemutaran film Pengkhianatan G30S/PKI.
Film yang diproduksi pemerintah Indonesia itu bisa dikatakan merupakan satu-satunya pencatatan resmi tentang yang disebut G30S itu, dan tentu saja merupakan pencatatan sepihak, versi Suharto yang saat peristiwa berlangsung menjabat Pangkostrad.
Dengan berjalannya waktu, ada keinginan untuk mengangkat peristiwa berdarah itu dengan versi lain dan juga dari sisi yang berbeda, seperti dilakukan sutradara dan politisi nasionalis, Eros Djarot.
Film berjudul Lastri yang direncanakan Eros Djarot itu tidak pernah selesai.
Bercerita tentang percintaan sepasang anak muda dengan latar Gerakan 30 september, film ini merupakan adaptasi buku Suara Perempuan Tragedi '65 karya Ita F. Nadia.
"Sebetulnya film Lastri ini lebih cenderung mengungkap sisi kemanusiaan percintaan yang punya latar belakang politik masa lalu. Satunya underbouw PKI dan satunya GMNI," kata Eros Djarot.
Saat pembuatan tahun 2008, sejumlah tekanan diterima Eros untuk menghentikannya, antara lain dari Front Pembela Islam, FPI saat pengambilan gambar di Solo.
Eros mengaku memang tidak pernah ada surat formal untuk memintanya berhenti, namun tekanan yang dialaminya membuat dia akhirnya menghentikan produksi film yang baru berjalan sepuluh persen itu.
"Semuanya sudah beres, yang punya pabrik senang malah. Tiba-tiba dua hari atau satu hari mau shooting kok nangis yang punya pabrik itu dan minta maaf. Kenapa? Nggak boleh sama pihak keamanan," katanya.
"Kalau cerita ini diperbolehkan, sebenarnya lebih pada himbauan bahwa sebagai bangsa kita harus bisa melupakan masa lalu dan menuju ke depan."
Menggugat
Hambatan untuk menyajikan sejarah peristiwa 1965, juga dialami oleh Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra yang menerbitkan karya John Roosa berjudul: Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto.
Buku ini merupakan hasil riset Roosa -seorang profesor sejarah di Universitas British Columbia, Kanada- selama enam tahun.
Diterbitkan di Indonesia tahun 2008 sebanyak 5.000 eksemplar, peredarannya dihentikan Kejaksaan Agung setahun kemudian.
Salah seorang editor buku itu, Hilmar Farid, kemudian melakukan gugatan terhadap kewenagan kejaksaan Agung ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara dan Mahkamah Konstitusi.
"Di Mahkamah Konstitusi belum selesai, jadi masih berlangsung," kata Hilmar Farid.
"Kami merasa punya tanggung jawab politik dan moral untuk menyingkirkan regulasi, undang-undang yang mencengkram kebebasan berpikir, Itu misinya bagi kami."
Hilmar menilai acuan Kejaksaan dalam melarang peredaran buku soal sejarah 1965 ini tidak pernah jelas.
Selain buku John Roosa, pada akhir tahun lalu Kejaksaan Agung juga melarang peredaran buku bertema peristiwa 1965 berjudul: Lekra Tak Membakar Buku, Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965, yang ditulis oleh Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan.
Melanggar Ham
Kejaksaan Agung mengatakan dasar pelarangan adalah Undang-undang nomor 4/PNPS/1963 tentang pengamanan terhadap barang-barang betakan yang isinya dapat mengganggu ketertiban umum dan Undang-undang kejaksaan tentang pengawasan barang cetakan.
Selain itu juga ada alasan kepentingan nasional, kata Darmono yang kini menjabat sebagai Pelaksana tugas Jaksa Agung.
Kita pikir sama sekali dia tidak punya dasar wewenang apapun untuk melarang kami menulis
"Secara umum pelarangan itu selalu berlatar belakang pada aspek kepentingan nasional yang lebih luas. Dan itu tentu tidak hanya atas dasar pendapat kejaksaaan sendiri karena itu ada semcam clearance dari beberapa instansi seperti dari Departemen Diknas," jelas Darmono.
Namun alasan Kejaksaan Agung dikritisi oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang menilai aturan itu sudah tidak relevan untuk kondisi sekarang.
Anggota Tim Kajian Pelarangan Buku Komnas HAM, Stanley Adi Prasetyo, mengatakan aturan ini harusnya dicabut.
"Kami menemukan bahwa pelarangan buku itu sebenarnya bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia," katanya.
Tidak jera
Stanley mengatakan tekanan terhadap pengungkapan di seputar peristiwa 1965 tidak akan berubah selama pemerintah tidak punyak itikad untuk mengungkap kebenaran peristiwa itu.
Tapi apakah tekanan itu akan membuat penulis atau seniman jera dalam mengekspresikan peristiwa kelam 45 tahun itu?
"Nggak usah takut, santai-santai saja. Saya bikin ya bikin. Nanti kan malu sendiri, ternyata tidak ada pa-apanya, ya karena menang tidak ada apa-apa. Jadi mereka itu takut pada bayang-bayangnya sendiri," kata Eros.
Hal serupa disampaikan oleh Hilmar Farid
"Kalau jalur non hukum kita akan tetap terbitkan, apa pun yang dikatakan Jaksa Agung, kita pikir sama sekali dia tidak punya dasar wewenang apapun untuk melarang kami menulis," kata Hilmar.
Usaha Hilmar Farid dan Eros Djarot memang tidak akan langsung berbuah nyata, tapi jelas berperan dalam sebuah upaya panjang tentang Gerakan 30 September 1965, salah satu sejarah penting Republik Indonesia.
Sumber: BBC.Com
0 komentar:
Posting Komentar