13/10/2010 | Fathiyah Wardah
Kejaksaan Agung
beberapa waktu yang lalu melarang peredaran sejumlah buku yang dianggap
mengganggu ketertiban umum.
Ketua Mahkamah
Konstitusi Mahfud MD mengatakan UU No.4 PNPS tahun 1963 soal pelarangan buku
bertentangan dengan konstitusi Indonesia.
Mahkamah Konstitusi, Rabu mengabulkan permohonan uji
materil undang-undang Nomor 4/PNPS tahun 1963 tentang pengamanan barang-barang
cetakan yang isinya dapat mengganggu ketertiban umum yang diajukan sejumlah
penulis, penerbit dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD mengatakan
undang-undang No.4 PNPS tahun 1963 yang digunakan Kejaksaan Agung untuk
melakukan pelarangan dan penyitaan buku sangat bertentangan dengan konstitusi
Indonesia. Menurut Mahfud, ini karena setiap orang berhak untuk berkomunikasi,
menyimpan dan menyatakan fikirannya melalui pembuatan buku.
Kejaksaan Agung harus melalui proses peradilan terlebih
dahulu apabila ingin melakukan pelarangan buku yang dinilainya mengganggu
ketertiban umum.
Dan jika ingin melakukan penyitaan buku maka kepolisian
maupun Kejaksaan Agung harus meminta ijin kepada ketua Pengadilan Negeri
setempat yang kemudian dilanjutkan dengan proses penyidikan, penuntutan dan
penyidangan yang sesuai dengan undang-undang yang ada.
“Undang-undang no.4/PNPS/1963 tentang pengamanan
barang-barang cetakan yang isinya dapat mengganggu ketertiban umum tercantum
dalam lembaran negara Republik Indonesia tahun 1963 No.23 tambahan lembaran
negara Republik Indonesia No.2533 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
1945,” jelas Mahfud.
Dari sembilan hakim Mahkamah Konstitusi yang ada, hanya
satu hakim yang memiliki pendapat yang berbeda atau dissenting
opinion, yaitu Hamdan Zoelva. Menurutnya, kewenangan Kejaksaan Agung untuk
melakukan pelarangan buku yang dinilai melanggar ketertiban umum merupakan
tindakan yang tidak bertentangan dengan konstitusi.
“Apalagi dalam konteks masyarakat Indonesia yang sangat
plural, ancaman atas keamanan dan ketertiban umum yang ditimbulkan oleh suku,
ras dan agama masih menjadi persoalan yang belum dapat diatasi dengan baik,”
kata Hamdan Zoelva.
Ia menambahkan, tulisan bisa menimbulkan ganguan
keamanan, karena,”Sebuah tulisan, barang cetakan yang menyinggung perasaan
suku, agama dan ras atau kelompok tertentu, dapat menimbulkan perkelahian,
perang antar suku atau agama yang pasti mengancam keamanan dan ketertiban
umum.”
Atas putusan Mahkamah Konstitusi itu, sejumlah penulis
yang mengajukan judicial review merasa senang. Menurut Muhidin M. Dahlan,” Ini
kabar baik bagi buku. Selama sejarah Indonesia, tidak ada kabar segini baik
bagi seorang penulis. Dia ( kejaksaan) harus melewati sebuah prosedur yang agak
panjang dan tidak singkat, ringkas untuk melakukan penindakan atas sebuah
buku.”
Penulis lainnya, Darmawan mengungkapkan,” Kita mulai saat
ini berani menulis buku dan kalau ada orang tidak sependapat, kita tantang
tulis buku lagi, tidak lagi dengan kekuasaan.”
Muhidin M. Dahlan adalah penulis buku “Lekra Tidak
Membakar Buku” sedangkan Darmawan menulis buku “Enam Jalan Menuju Tuhan”. Kedua
buku ini dilarang peredarannya oleh Kejaksaan Agung karena dianggap mengganggu
ketertiban umum.
Sumber: VoA Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar