Bonnie Triyana | Jum'at 08 Oktober 2010 WIB
Historia
Ini bukan kali pertama presiden Indonesia batal ke Belanda. Kalau sekarang karena RMS, dulu karena Purwodadi.
PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono membatalkan kunjungannya ke Negeri Belanda pada menit-menit terakhir. Tersiar kabar aktivis Republik Maluku Selatan (RMS) di Belanda mengajukan gugatan ke pengadilan lokal di Den Haag atas pelanggaran HAM berat yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap aktivis RMS di Indonesia. Mereka pun menuntut agar Presiden Yudhoyono ditahan demi kepentingan peradilan. Walhasil Yudhoyono membatalkan kunjungannya kendati berbagai pihak mengatakan kalau pembatalan itu malah makin membesarkan RMS saja.
Itu bukan cerita baru. Presiden Soeharto pun pernah menunda kunjungannya ke Belanda. Seharusnya Soeharto terbang ke Belanda April 1969 dan mengundurkan jadwal kunjungannya sampai dengan tahun 1970. Ia menunda kunjungan bukan saja karena RMS yang saat itu sedang marak-maraknya menuntut kemerdekaan melainkan pula karena skandal pembunuhan massal anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam kurun tahun 1965-1969 yang tercium oleh media massa asing.
Mulanya adalah Romo Wignyosumarto, pastor gereja Katolik di Purwodadi, Grobogan yang mendengar pengakuan dosa Mamik, anggota Pertahanan Rakyat (Hanra) yang mengaku terlibat dalam pembunuhan 50 lebih anggota dan simpatisan PKI di Purwodadi. Kabar itu kemudian diteruskan kepada Poncke Princen yang berkunjung ke Purwodadi bersama dua wartawan Belanda, Henk Colb dan E. van Caspel.
Berdasarkan informasi awal dari Romo Sumarto, mereka bertiga mengunjungi berbagai kamp penahanan yang ada di Purwodadi, termasuk di Kuwu, di mana mereka menemukan bukti-bukti pembantaian terhadap 860 tahanan. Poncke dan dua wartawan Belanda itu pun mengumpulkan keterangan dari warga sekitar yang memperkuat informasi tentang adanya pembunuhan massal di Purwodadi. Di antara mereka ada yang bercerita bahwa pelaku membunuh orang-orang PKI dengan cara memukul tengkuk korban dengan tongkat besi.
Kabar itu pun segera tersiar. Poncke mengadakan jumpa pers di Jakarta pada 26 Februari 1969. Berdasarkan pengakuan Poncke dalam memoarnya Kemerdekaan Memilih ia tak berencana membeberkan persoalan Purwodadi itu di hadapan wartawan nasional. Kepada Henk Colb ia berjanji untuk membiarkan berita ekslusif itu jadi milik koran De Haagsche, tempat Colb bekerja. Namun batin Poncke bergejolak. Ia memutuskan untuk membuka saja kasus itu di Jakarta betapapun sangat berbahayanya.
“Kemanusiaan jauh lebih penting,” kata dia dalam bukunya. Colb pun sempat kecewa pada Poncke yang membocorkan berita ekslusifnya itu. Sementara itu Mamik, anggota Hanra yang mengaku pada Romo Sumarto, ditangkap oleh tentara dan tak jelas bagaimana nasibnya.
Sehari setelah jumpa pers media nasional memberitakan tentang peristiwa di Purwodadi. harian KAMI yang dikelola oleh para aktivis mahasiswa angkatan 1966 menurunkan headline “Purwodadi dalam Ketakutan”. Berbagai media massa yang terbit di ibukota pun segera berlomba-lomba menyiarkan kabar ihwal skandal pembunuhan massal yang dibongkar oleh Poncke.
Wartawan Sinar Harapan Yopie Lasut dan wartawan Indonesia Raya Maskun Iskandar menuliskan serial laporan langsung dari Purwodadi.
Seperti disiram bensin, berita panas skandal Purwodadi pun menjalar kemana-mana. Henk Colb menurunkan tulisannya di koran De Haagsche. Ia menyoroti soal tahanan politik di kamp Purwodadi yang memprihatinkan: berdesak-desakkan dalam kamp dan diperlakukan tidak manusiawi. Laporan Colb membuat sejumlah kelompok di Belanda geram. Mereka pun turut menyampaikan protesnya terhadap pemerintahan Soeharto yang dianggap menjadi dalang pembantaian massal jutaan kaum kiri.
Suratkabar Trouw, 19 April 1969 menyiarkan “surat terbuka” dari Het Comite Indonesie (Komite Indonesia) yang dipimpin oleh sosiolog terkemuka W.F. Wertheim menyebutkan bahwa kalangan rakyat Belanda merasa resah atas niat beberapa pengusaha Belanda dan pemerintahnya yang bermaksud mengadakan hubungan kerjasama ekonomi dengan Indonesia. Menurut komite tersebut, menjalin kerjasama berarti melegalkan pembunuhan massal yang telah dilakukan Indonesia.
W.F. Wertheim dalam sebuah wawancara dengan majalah Vrije Nederland juga menyatakan ketidaksetujuannya atas bantuan finansial pemerintah Belanda bagi pemerintah Soeharto. Dalam wawancara lain dengan sebuah stasiun TV di Belanda, dia kembali menegaskan, “Tidak ada kerjasama dengan rezim yang membiarkan pembunuhan massal terhadap 80.000 hingga 100.000 orang tahanan politik.” Pemerintah Orde Baru yang dibuat berang oleh pernyataan Wertheim melarangnya mengunjungi Indonesia.
Tulisan tentang skandal Purwodadi di De Haagsche itu juga mengundang reaksi keras sekelompok mahasiswa Belanda. Kemarahan mereka tumpahkan kepada Menteri Keuangan RI Drs. Frans Seda saat datang memberi ceramah dalam rangka lustrum pada tanggal 17 April 1969 di Universitas Katolik Nijmegen. Begitu Frans Seda naik ke panggung untuk berceramah, seorang mahasiswa, Y. van Herte menyela dan bertanya perihal peristiwa pembunuhan massal anggota PKI. Frans menyanggupi untuk menjawab pertanyaan itu setelah ia diberi kesempatan untuk memberikan ceramah terlebih dahulu. Ternyata Herte menolak dan meminta pertanggungjawaban Frans atas pembunuhan massal di Indonesia. Suasana jadi kacau, bahkan mahasiswa meneriaki Frans Seda sebagai moordenaar (pembunuh) dan lafaard (pengecut). Ceramah pun dibatalkan dan Frans Seda keluar meninggalkan aula universitas lewat pintu belakang .
Melihat perkembangan situasi di Belanda dan pemberitaan yang semakin kritis kepada pemerintah Orde Baru, Soeharto memutuskan untuk membatalkan lawatannya ke Belanda dan negara Eropa lainnya yang sejatinya akan dilakukan pada medio April 1969. Kunjungan ke Belanda baru dilakukan Soeharto pada awal September 1970 dan itu pun bukan berarti sepi dari demonstrasi. Sejumlah demonstran RMS berunjukrasa setelah beberapa hari sebelumnya sempat menduduki gedung Kedutaan Besar RI di Wassenaar dan menyandera keluarga duta besar.
Dalam kunjungannya ke parlemen Belanda, Soeharto yang didampingi Menteri Luar Negeri Adam Malik pun tak lepas dari pertanyaan para anggota parlemen soal tahanan politik. Tentu saja pertanyaan itu dilontarkan setelah koran-koran Belanda ramai memberitakan temuan Poncke Princen dan dua wartawan Belanda di Purwodadi. Video kunjungan Soeharto itu masih bisa disaksikan di situs Youtube berjudul "Bezoek van President Soeharto (1970)."
Persoalannya sekarang apakah penundaan kunjungan Presiden Yudhoyono ke Belanda akan menyurutkan langkah para aktivis RMS untuk menuntut keadilan atas kematian saudara-saudaranya di Maluku? Kita lihat saja nanti.
Sumber: Historia.Id
0 komentar:
Posting Komentar