Mengenang peristiwa 30 September 1965
Pada
tanggal 2-3 Oktober 2010, bertempat di Diemen Amsterdam telah
dilangsungkan peringatan 45 tahun peristiwa 30 September 1965. Peringatan
ini diadakan oleh sebuah Panitia yang didukung berbagai organisasi
masyarakat Indonesia di Negeri Belanda. Di samping dari negeri Belanda,
dalam pertemuan ini juga hadir perwakilan berbagai komunitas orang
Indonesia dari Jerman, Perancis dan Swedia. Beberapa
sambutan disampaikan dalam pertemuan penting yang meliputi beberapa
negeri di Eropa ini. Juga telah diputar film-film dokumenter yang
berkaitan dengan masalah HAM di sekitar peristiwa tersebut.
Di
bawah ini adalah sambutan Sdr. A. Umar Said, yang dibacakan oleh Sdr
Sujoso, yang datang dari Paris untuk menghadiri pertemuan yang mendapat
sukses besar tersebut.
Teks lengkap sambutan tersebut adalah sebagai berikut :
Ketetapan MPRS no 25/1966 tentang larangan PKI
harus dicabut
Demi persatuan bangsa dan kebaikan anak-cucu kita
« Saya
merasa senang dapat ikut berpatisipasi dalam Peringatan 45 tahun
Tragedi Nasional 1965 yang diadakan di negeri Belanda sekarang ini,
walaupun saya tidak dapat hadir secara fisik dalam pertemuan yang amat
penting ini., berhubung dengan masalah kesehatan.
Pertemuan
di Holland ini sangat penting, karena memperingati peristiwa 30
September 1965 merupakan kewajiban yang perlu dilakukan, dengan berbagai
cara dan bentuk, oleh semua orang yang menjadi korban diktatur militer
Suharto.
Sebab, sebagai akibat atau kelanjutan peristiwa 30 September 1965,
negara dan bangsa Indonesia telah dijerumuskan oleh pimpinan Angkatan
Darat ke dalam kegelapan selama 32 tahun, kegelapan yang penuh
penderitaan, yang belum pernah terjadi dalam sejarah bangsa Indonesia.
Perlu
diingat bersama oleh kita semua bahwa korban rejim Orde Baru sebenarnya
adalah besar sekali, bahkan boleh dikatakan sebagian terbesar dari
rakyat Indonesia telah menjadi korban, dalam bentuk dan kadar yang
berbeda-beda, dan dalam berbagai situasi yang berlain-lainan pula.
Sebab,
rejim militer Suharto telah menjalankan diktatur yang menyeluruh di
segala bidang dan dalam jangka waktu yang lama sekali,
yang meliputi seluruh Indonesia, dan juga di luar negeri. Diktatur
militer Suharto ini telah melakukan banyak sekali kejahatan terhadap
kemanusiaan, dan telah merusak sendi-sendi negara kita, yaitu Pancasila
dan Bhinneka Tunggal Ika.
Dengan
dalih menumpas Gerakan 30 September, dimana 6 jenderal Angkatan Darat
terbunuh dalam pertentangan intern sesama tentara, Suharto bersama
konco-konconya -- di dalam negeri maupun di luarnegeri, terutama di
kalangan imperialis AS -- telah melakukan serentetan panjang tindakan
yang penuh dengan pelanggaran kemanusiaan dan pengkhianatan terhadap
presiden Sukarno, dan seluruh kekuatan revolusioner pendukung Bung Karno
dan PKI.
Kejahatan
atau dosa-dosa Suharto bersama jenderal-jenderalnya terhadap Bung Karno
dan terhadap seluruh kekuatan revolusioner di Indonesia ini sudah mulai
terbongkar sedikit demi sedikit, setelah selama kurang lebih 32 tahun
digelapkan atau disembunyikan dengan berbagai cara.
Selama puluhan tahun itu telah diadakan larangan terhadap tersiarnya
berita-berita yang tidak menguntungkan rejim Suharto dibarengi dengan
berbagai intimidasi, terror, persekusi, ancaman « bahaya laten PKI »,
yang semuanya dilakukan sistematis, menyeluruh, intensif, terus-menerus
dan dalam jangka lama sekali.
Itu
semua perlu diketahui oleh sebanyak mungkin rakyat kita, dan usaha ke
arah ini, dengan mengadakan pertemuan di Holland ini adalah langkah
penting untuk selalu ingat kepada kejahatan Suharto yang banyak sekali
serta dosa-dosa Orde Barunya yang sangat berat.
Kegiatan semacam ini sangat penting sebagai sumbangan untuk pendidikan
politik dan pendidikan moral bagi bangsa kita, termasuk terutama sekali
untuk anak-cucu kita di kemudian hari.
Berbagai
generasi kita di kemudian hari perlu tahu bahwa negara dan bangsa kita
pernah mengalami pengkhianatan besar-besaran oleh seorang yang bernama
Suharto, dan yang telah melakukan bermacam-macam kerusakan dan pembusukan yang parah sekali di hampir segala bidang kehidupan.
Pertemuan-pertemuan
seperti yang diadakan di Holland ini perlu sesering mungkin diadakan
selanjutnya di kemudian hari, juga di tempat-tempat lainnya, terutama di
Indonesia.
Sebab, melalui pertemuan semacam ini kita tidak saja dapat mengenang
segala kejahatan Suharto melalui Orde Barunya, melainkan juga melawan
segala kejahatan dan kebusukan yang diteruskan oleh pemerintahan di
bawah SBY sekarang ini.
Sebab,
banyak sekali kebobrokan, kebusukan, kerusakan yang kita sama-sama
saksikan dewasa ini adalah produk dari sistem pemerintahan diktatur
militer Orde Baru beserta sisa-sisanya yang masih bercokol kuat di
banyak bidang ekskutif, legislatif, dan judikatif sekarang ini.
Jadi,
membongkar kejahatan Orde Baru bukanlah perbuatan yang sudah
kedaluwarsa untuk mengutik-utik persoalan lama dan membuka luka-luka
lama saja. Sebab, luka lama bangsa kita adalah besar sekali dan parah
sekali. Sisa-sisanya sampai sekarang masih terdapat banyak sekali di
seluruh Indonesia.
Di antara luka-luka lama ini adalah masalah korban rejim Orde Baru yang
jumlahnya puluhan juta orang, berikut keluarga mereka, yang sampai
sekarang masih mengalami berbagai macam penderitaan. Dalam hal ini
termasuk penderitaan para eks-tapol beserta keluarga mereka.
Membongkar
terus kejahatan Suharto beserta Orde Barunya justru adalah penting
untuk menghadapi masa kini, dan juga masa depan. Masa kini erat
hubungannya dengan masa lampau yang telah dirusak oleh Suharto beserta
para konconya, baik yang di dalam negeri maupun di luar negeri.
Di
antara dosa besar Suharto yang banyak menimbulkan kerusakan itu adalah
Ketetapan MPRS no 25/1966, yang telah diputuskan oleh MPRS gadungan,
dengan penuh rekayasa yang dibarengi dengan paksaan oleh penguasa
militer di bawah Suharto. Ketetapan MPRS no 25/1966 ini melarang
kegiatan PKI beserta ormas-ormasnya serta melarang disebarkannya
Marxisme Leninisme.
Dengan dalih melaksanakan Ketetapan MPRS 25/1966 yang melarang kegiatan PKI
itu maka rejim militer Suharto telah melakukan berbagai pelanggaran HAM
yang sangat berat, tidak hanya terhadap golongan PKI melainkan juga
golongan revolusioner lainnya, termasuk para pendukung Bung Karno.
Bung Karno telah di-kudeta oleh Suharto beserta pimpinan Angkatan Darat
lainnya, karena dianggap terlibat dengan PKI dan tidak mau membubarkan
PKI walaupun didesak keras oleh pimpinan Angkatan Darat.
Ketetapan
MPRS no 25/1966 ini adalah undang-undang yang telah dipakai (dan
disalahgunakan) oleh rejim militer Orde Baru untuk melakukan terror
fisik dan mental secara besar-besaran, membungkem mulut rakyat banyak,
dan menginjak-injak kehidupan demokratis, sambil sekaligus melakukan
korupsi serta berbagai kebijakan yang merugikan orang banyak dan hanya
menguntungkan segolongan orang yang mendukung Suharto beserta Orde
Barunya.
Karenanya,
bisalah dikatakan bahwa ketetapan MPRS 25/1966 telah merupakan alat
terror yang telah mengekang kebebasan banyak orang, tidak saja bagi
golongan PKI serta simpatisan-simpatisannya, melainkan juga bagi
golongan non-PKI yang tidak menyetujui Orde Baru. Slogan « Awas bahaya
laten PKI » atau « Cegah come-backnya PKI » dipakai untuk
meng-intimidasi atau menakut-nakuti semua orang yang berani mempunyai
sikap kritis terhadap rejim militer Suharto.
Ketetapan
MPRS no 25/1966, resminya saja hanya ditujukan kepada golongan PKI
beserta simpatisan-simpatisannya, namun dalam prakteknya mempunyai
dampak negatif yang luas juga bagi kebebasan berbagai golongan yang
non-PKI. Undang-undang yang merugikan kebebasan demokratis atau
menginjak-injak HAM ini berlangsung selama 32 tahun Orde Baru, dan
diteruskan sampai sekarang, artinya sudah berlangsung selama 44 tahun.
Kalau
selama Orde Baru Ketetapan MPRS 25/1966 ini bisa merupakan senjata
ampuh sekali dalam terror untuk menjaga keselamatan kekuasaan Suharto,
maka sejak runtuhnya Orde Baru dan meningggalnya Suharto perannya sudah
mulai berubah atau berkurang. Meskipun sisa-sisa Orde Baru dalam
berbagai kalangan terkadang-kadang masih juga bisa menggunakannya untuk
menghalang-halangi kebebasan demokratis (ingat, antara lain peristiwa
Banyuwangi mengenai gangguan pertemuan Dr Tjiptaning oleh FPI, dan
larangan Kejaksaan Agung terhadap buku « Lekra tak membakar» karya
pengarang dan sejarawan muda Rhoma Juliantri).
Ketetapan
MPRS no 25/1966 adalah salah satu di antara banyak monumen buruk yang
merupakan simbul kejahatan dan pelanggaran HAM rejim Suharto, yang
masih diteruskan sampai sekarang oleh pemerintahan SBY.
Karenanya, setelah Suharto dijatuhkan oleh gerakan generasi muda dalam
tahun 1998, dan dijalankannya reformasi di berbagai bidang, maka masih
terus dipertahankannya sampai sekarang undang-undang yang menyengsarakan
begitu banyak orang itu adalah sesuatu yang harus dipersoalkan dan
harus dilawan oleh sebanyak mungkin kalangan dan golongan dalam
masyarakat.
Bagi sebagian terbesar dari rakyat Indonesia adanya Ketetapan MPRS 25/1966 tidak ada manfaatnya atau gunanya, atau tidak membawa kebaikan sama sekali.
Situasi negara dan bangsa sekarang ini sudah berlainan sekali dengan
situasi di era Orde Baru, ketika Suharto memerlukan adanya undang-undang
yang bisa digunakan (atau disalahgunakan) untuk melakukan terror demi
kestabilan atau keselamatan rejim militernya
.
Ketetapan MPRS 25/1966, meskipun masih belum dicabut atau dinyatakan tidak berlaku lagi, namun dalam prakteknya sekarang sudah makin tidak ditakuti, bahkan di-« cuweki » saja oleh berbagai kalangan. Memang, pertemuan atau kegiatan-kegiatan tidak ada (atau belum ada) yang diselenggarakan secara resmi dengan menggunakan nama PKI atau simpatisan-simpatisannya. Tetapi, siapakah bisa melarang orang mempunyai pandangan atau fikiran yang berhaluan komunis, marxis atau sosialis ? Dan lagi, orang-orang semacam ini bisa saja melakukan berbagai macam kegiatan, tanpa menggunakan nama organisasi PKI.
.
Ketetapan MPRS 25/1966, meskipun masih belum dicabut atau dinyatakan tidak berlaku lagi, namun dalam prakteknya sekarang sudah makin tidak ditakuti, bahkan di-« cuweki » saja oleh berbagai kalangan. Memang, pertemuan atau kegiatan-kegiatan tidak ada (atau belum ada) yang diselenggarakan secara resmi dengan menggunakan nama PKI atau simpatisan-simpatisannya. Tetapi, siapakah bisa melarang orang mempunyai pandangan atau fikiran yang berhaluan komunis, marxis atau sosialis ? Dan lagi, orang-orang semacam ini bisa saja melakukan berbagai macam kegiatan, tanpa menggunakan nama organisasi PKI.
Banyak
penerbit yang sejak beberapa tahun yang lalu sudah mengedarkan bahan
bacaan yang isinya bisa diartikan mengandung Marxisme atau berbau
Leninisme, termasuk buku Das Kapitalnya Karl Marx. Sudah banyak juga
tulisan-tulisan dalam majalah atau suratkabar yang menyajikan segi-segi
positif PKI dalam perjuangan untuk bangsa di masa-masa yang lalu.
Larangan penyebaran Marxisme atau Leninisme masih berlaku, namun dalam
prakteknya sudah banyak dilanggar oleh banyak orang. Ini menunjukkan
bahwa undang-undang yang melanggar HAM ini sudah kedaluwarsa dan sudah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi di Indonesia dan kemajuan
jaman.
Larangan
yang dicantumkan dalam Ketetapan MPRS no 25/1966 itu kelihatan makin
tidak berfungsi dengan adanya kemungkinan untuk menggunakan Internet
secara bebas bagi siapa saja yang mau menulis tentang PKI atau
menyiarkan Marxime dan Leninisme. Bahkan,
bahan bacaan tentang Partai-partai komunis sedunia pun bisa diperoleh
dengan mudah melalui Internet, termasuk berbagai ajaran-ajarannya.
Ketetapan
MPRS tersebut, yang dalam masa-masa Orde Baru bisa digunakan sebagai
senjata ampuh, sekarang ini sudah tidak bisa lagi mencegah tersebarnya
bahan bacaan yang bisa dianggap mengandung propaganda PKI dan Marxime
Leninisme.
Dan
lagi, semboyan-semboyan anti-PKI yang pernah terdengar gegap gempita
di seluruh negeri dan dipakai sebagai alat mujarab oleh rejim militer
Suharto selama puluhan tahun, antara lain « Awas bahaya laten PKI »,
sudah tidak banyak terdengar lagi sejak runtuhnya Orde Baru dan
meninggalnya Suharto. Perkembangan situasi di Indonesia sejak pembunuhan
massal di seluruh negeri dan secara besar-besaran terhadap golongan PKI
beserta simpatisan-simpatisannya menunjukkan dengan jelas sekali bahwa
« Bahaya laten PKI », sebenarnya tidak ada pada waktu itu.
Slogan itu terutama dipakai untuk melakukan terror dalam usaha penyelamatan diktatur militer Suharto.
Perkembangan
situasi di Indonesia sekarang ini, makin menunjukkan dengan jelas
sekali bahwa bahaya yang sesungguhnya bagi negara dan rakyat Indonesia
bukanlah PKI atau datang dari kalangan PKI. Bahaya yang besar dan laten
bagi negara dan bangsa Indonesia justru terutama datang dari kalangan
atau golongan Islam fundamentalis, dan dari kalangan teroris , yang s u d a h, s e d a n g dan juga a k a n t e r u s melakukan berbagai kegiatan yang merusak negara Republik Indonesia.
Golongan
PKI dan simpatisan-simpatisannya pada umumnya adalah pendukung politik
atau ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno. Dan ajaran-ajaran
revolusioner Bung Karno yang anti-kapitalisme, anti-kolonialisme,
anti-imperialisme dan pro-sosialisme adalah sikap yang cocok dengan
perjuangan rakyat menentang neo-liberalisme yang mencengkam negara dan
bangsa kita dewasa ini.
Jadi
jelaslah bahwa Ketetapan MPRS no 25/1966 itu sudah kedaluwarsa dan
merupakan duri besar yang menyakitkan sekali dalam tubuh bangsa. Selama
undang-undang ini belum dicabut maka akan tetap menyakitkan hati banyak
orang, terutama kalangan kiri pendukung ajaran-ajaran revolusioner Bung
Karno. Karenanya, undang-undang yang sudah kedaluwarsa dan tidak ada
gunanya ini juga hanya merupakan sumber dendam banyak golongan,
terutama golongan kiri.
Ketetapan
MPRS no 25/1966 yang tidak ada gunanya lagi ini hanya merupakan
sisa-sisa yang buruk dari rejim militer Suharto, yang merusak jiwa
bangsa menjadi terpecah belah dan saling membenci, sehingga
menggoyahkan persatuan dan kesatuan rakyat yang didasarkan kepada
Päncasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
Jadi,
jelaslah bahwa Ketetapan MPRS no 25/1966 tidak mendatangkan kebaikan
apa pun bagi bangsa dan negara, melainkan hanya menguntungkan
kepentingan musuh-musuh negara dan rakyat yang sebenarnya, yaitu kaum
reaksioner pendukung setia Suharto, atau kekuatan pro neo-liberalisme
baik yang di dalam negeri maupun yang datang dari luar negeri.
Oleh
karena itu, adalah jelas sekali bahwa undang-undang yang merupakan noda
besar dan sumber penyakit jiwa bangsa ini perlu sekali segera dicabut
oleh MPR sendiri bersama pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya
yang berkepentingan. Penghapusan Ketetapan MPRS N0 25/1966 adalah
penting tidak hanya bagi golongan PKI atau eks-PKI, melainkan juga untuk
kepentingan seluruh bangsa, termasuk anak-cucu bangsa kita di kemudian
hari.
Kalau
undang-undang yang selama 44 tahun telah menjadi sumber penyakit bagi
persatuan rakyat ini toh tetap terus dipertahankan, maka akan
menimbulkan kerusakan-kerusakan yang lebih besar lagi bagi jiwa bangsa.
Juga bisa dipertanyakan oleh generasi-generasi yang akan datang, mengapa
generasi pendahulu mereka bisa melakukan kesalahan yang begitu besar
dan dalam jangka waktu yang begitu lama.
Sudah
waktunya bagi MPR dan DPR atau berbagai lembaga perwakilan rakyat
lainnya untuk bersama-sama seluruh kekuatan rakyat menghilangkan
undang-undang yang dipakai oleh Suharto bersama pimpinan Angkatan Darat
lainnya untuk mengangkangi negara dan bangsa dengan diktaturnya.
Mencabut
atau menghapus Ketetapan MPRS 25/1966 adalah tindakan yang berdasarkan
nalar yang waras, rasa keadilan, keluhuran jiwa bangsa, dan demi
persatuan berbagai golongan rakyat. Sedangkan tetap meneruskannya
adalah sikap politik yang keliru, sikap moral yang tidak sehat, dan juga
sikap iman yang sesat !!!
- Umar Said
Paris, 1 Oktober 2010
0 komentar:
Posting Komentar