Hari
Selasa, pengujung tahun 1966. Penjara Militer Cimahi, Bandung, Jawa
Barat. Dua pria berhadapan. Yang satu bertubuh gempal, potongan cepak
berusia 39 tahun. Satunya bertubuh kurus, usia 52 tahun. Mereka adalah
Letnan Kolonel Untung Samsuri dan Soebandrio, Menteri Luar Negeri
kabinet Soekarno. Suara Untung bergetar. “Pak Ban, selamat tinggal.
Jangan sedih,” kata Untung kepada Soebandrio.
Itulah
perkataan Untung sesaat sebelum dijemput petugas seperti ditulis
Soebandrio dalam buku Kesaksianku tentang G30S. Dalam bukunya,
Soebandrio menceritakan, selama di penjara, Untung yakin dirinya tidak
bakal dieksekusi. Untung mengaku G-30-S atas setahu Panglima Komando
Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayor Jenderal Soeharto.Keyakinan
Untung bahwa ia bakal diselamatkan Soeharto adalah salah satu “misteri”
tragedi September-Oktober. Kisah pembunuhan para jenderal pada 1965
adalah peristiwa yang tak habis-habisnya dikupas. Salah satu yang jarang
diulas adalah spekulasi kedekatan Untung dengan Soeharto.
Memperingati
tragedi September kali ini, Koran Tempo bermaksud menurunkan edisi
khusus yang menguak kehidupan Letkol Untung. Tak banyak informasi
tentang tokoh ini, bahkan dari sejarawan “Data tentang Untung sangat
minim, bahkan riwayat hidupnya,” kata sejarawan Asvi Warman Adam.
Potongannya seperti preman
Tempo
berhasil menemui saksi hidup yang mengenal Letkol Untung. Salah satu
saksi adalah Letkol CPM (Purnawirawan) Suhardi. Umurnya sudah 83 tahun.
Ia adalah sahabat masa kecil Untung di Solo dan bekas anggota
Tjakrabirawa.
Untung tinggal di Solo sejak umur 10 tahun. Sebelumnya, ia
tinggal di Kebumen. Di Solo, ia hidup di rumah pamannya, Samsuri.
Samsuri dan istrinya bekerja di pabrik batik Sawo, namun tiap hari
membantu kerja di rumah Ibu Wergoe Prajoko, seorang priayi keturunan
trah Kasunan, yang tinggal di daerah Keparen, Solo. Wergoe adalah orang
tua Suhardi.“Dia
memanggil ibu saya bude dan memanggil saya Gus Hardi,” ujar Suhardi.
Suhardi, yang setahun lebih muda dari Untung, memanggil Untung: si Kus.
Nama asli Untung adalah Kusman. Suhardi ingat, Untung kecil sering
menginap di rumahnya. Tinggi Untung kurang dari 165 sentimeter, tapi
badannya gempal.“Potongannya
seperti preman. Orang-orang Cina yang membuka praktek-praktek perawatan
gigi di daerah saya takut semua kepadanya,” kata Suhardi tertawa.
Menurut Suhardi, Untung sejak kecil selalu serius, tak pernah tersenyum. Suhardi ingat, pada 1943, saat berumur 18 tahun, Untung masuk Heiho.
“Saya yang mengantarkan Untung ke kantor Heiho di perempatan Nonongan
yang ke arah Sriwedari.
”Setelah
Jepang kalah, menurut Suhardi, Untung masuk Batalion Sudigdo, yang
markasnya berada di Wonogiri. “Batalion ini sangat terkenal di daerah
Boyolali. Ini satu-satunya batalion yang ikut PKI (Partai Komunis
Indonesia),” kata Suhardi. Menurut Suhardi, batalion ini lalu terlibat
gerakan Madiun sehingga dicari-cari oleh Gatot Subroto.Clash
yang terjadi pada 1948 antara Republik dan Belanda membuat pengejaran
terhadap batalion-batalion kiri terhenti. Banyak anggota batalion kiri
bisa bebas. Suhardi tahu Untung kemudian balik ke Solo. “Untung kemudian
masuk Korem Surakarta,” katanya.
Saat itu, menurut Suhardi, Komandan
Korem Surakarta adalah Soeharto. Soeharto sebelumnya adalah Komandan
Resimen Infanteri 14 di Semarang.
“Mungkin perkenalan awal Untung dan
Soeharto di situ,” kata Suhardi.
Keterangan
Suhardi menguatkan banyak tinjauan para analisis. Seperti kita ketahui,
Soeharto kemudian naik menggantikan Gatot Subroto menjadi Panglima
Divisi Diponegoro. Untung lalu pindah ke Divisi Diponegoro, Semarang.
Banyak pengamat melihat, kedekatan Soeharto dengan Untung bermula di
Divisi Diponegoro ini. Keterangan Suhardi menambahkan kemungkinan
perkenalan mereka sejak di Solo.
Hubungan
Soeharto-Untung terjalin lagi saat Soeharto menjabat Panglima Kostrad
mengepalai operasi pembebasan Irian Barat, 14 Agustus 1962. Untung
terlibat dalam operasi yang diberi nama Operasi Mandala itu.
Saat itu
Untung adalah anggota Batalion 454 Kodam Diponegoro, yang lebih dikenal
dengan Banteng Raiders.Di
Irian, Untung memimpin kelompok kecil pasukan yang bertempur di hutan
belantara Kaimana.
Sebelum Operasi Mandala, Untung telah berpengalaman
di bawah pimpinan Jenderal Ahmad Yani. Ia terlibat operasi penumpasan
pemberontakan PRRI atau Permesta di Bukit Gombak, Batusangkar, Sumatera
Barat, pada 1958.
Di Irian, Untung menunjukkan kelasnya. Bersama Benny
Moerdani, ia mendapatkan penghargaan Bintang Sakti dari Presiden
Soekarno.“Kedua
prestasi inilah yang menyebabkan Untung menjadi anak kesayangan Yani
dan Soeharto,” kata Kolonel Purnawirawan Maulwi Saelan, mantan Wakil
Komandan Tjakrabirawa, atasan Untung di Tjakrabirawa, kepada Tempo.Untung
masuk menjadi anggota Tjakrabirawa pada pertengahan 1964. Dua kompi
Banteng Raiders saat itu dipilih menjadi anggota Tjakrabirawa.
Jabatannya sudah letnan kolonel saat itu.Anggota
Tjakrabirawa dipilih melalui seleksi ketat. Pangkostrad, yang kala itu
dijabat Soeharto, yang merekomendasikan batalion mana saja yang diambil
menjadi Tjakrabirawa.Sebab,
menurut Suhardi, siapa pun yang bertugas di Jawa Tengah mengetahui
banyak anggota Raiders saat itu yang eks gerakan Madiun 1948.
“Pasti
Soeharto tahu itu eks PKI Madiun.”
Di
Tjakrabirawa, Untung menjabat Komandan Batalion I Kawal Kehormatan
Resimen Tjakrabirawa. Batalion ini berada di ring III pengamanan
presiden dan tidak langsung berhubungan dengan presiden. Maulwi, atasan
Untung, mengaku tidak banyak mengenal sosok Untung.
Suhardi
masuk Tjakrabirawa sebagai anggota Detasemen Pengawal Khusus.
Pangkatnya lebih rendah dibanding Untung. Ia letnan dua. Pernah sekali
waktu mereka bertemu, ia harus menghormat kepada Untung. Suhardi ingat
Untung menatapnya. Untung lalu mengucap, “Gus, kamu ada di sini….”
“Mengapa
perhatian Soeharto terhadap Untung begitu besar?” Menurut Maulwi, tidak
ada satu pun anggota Tjakra yang datang ke Kebumen. “Kami, dari Tjakra,
tidak ada yang hadir,” kata Maulwi.
Dalam
bukunya, Soebandrio melihat kedatangan seorang komandan dalam pesta
pernikahan mantan anak buahnya adalah wajar. Namun, kehadiran
Pangkostrad di desa terpencil yang saat itu transportasinya sulit adalah
pertanyaan besar. “Jika tak benar-benar sangat penting, tidak mungkin
Soeharto bersama istrinya menghadiri pernikahan Untung,” tulis
Soebandrio. Hal itu diiyakan oleh Suhardi. “Pasti ada hubungan intim
antara Soeharto dan Untung,” katanya.
Soeharto: Sikat saja, jangan ragu
Dari
mana Letkol Untung percaya adanya Dewan Jenderal? Dalam bukunya,
Soebandrio menyebut, di penjara, Untung pernah bercerita kepadanya bahwa
ia pada 15 September 1965 mendatangi Soeharto untuk melaporkan adanya
Dewan Jenderal yang bakal melakukan kup. Untung menyampaikan rencananya
menangkap mereka.Bila
kita baca transkrip sidang pengadilan Untung di Mahkamah Militer Luar
Biasa pada awal 1966, Untung menjelaskan bahwa ia percaya adanya Dewan
Jenderal karena mendengar kabar beredarnya rekaman rapat Dewan Jenderal
di gedung Akademi Hukum Militer Jakarta, yang membicarakan susunan
kabinet versi Dewan Jenderal.Maulwi
melihat adalah hal aneh bila Untung begitu percaya adanya informasi
kudeta terhadap presiden ini. Sebab, selama menjadi anggota pasukan
Tjakrabirawa, Untung jarang masuk ring I atau ring II pengamanan
presiden. Dalam catatan Maulwi, hanya dua kali Untung bertemu dengan
Soekarno. Pertama kali saat melapor sebagai Komandan Kawal Kehormatan
dan kedua saat Idul Fitri 1964.
“Jadi, ya, sangat aneh kalau dia justru
yang paling serius menanggapi isu Dewan Jenderal,” kata Maulwi.Menurut
Soebandrio, Soeharto memberikan dukungan kepada Untung untuk menangkap
Dewan Jenderal dengan mengirim bantuan pasukan.
Soeharto memberi
perintah per telegram Nomor T.220/9 pada 15 September 1965 dan
mengulanginya dengan radiogram Nomor T.239/9 pada 21 September 1965
kepada Yon 530 Brawijaya, Jawa Timur, dan Yon 454 Banteng Raiders
Diponegoro, Jawa Tengah. Mereka diperintahkan datang ke Jakarta untuk
defile Hari Angkatan Bersenjata pada 5 Oktober.
Pasukan
itu bertahap tiba di Jakarta sejak 26 September 1965. Yang aneh,
pasukan itu membawa peralatan siap tempur. “Memang mencurigakan, seluruh
pasukan itu membawa peluru tajam,” kata Suhardi. Padahal, menurut
Suhardi, ada aturan tegas di semua angkatan bila defile tidak
menggunakan peluru tajam. “Itu ada petunjuk teknisnya,” ujarnya.Pasukan
dengan perlengkapan siaga I itu kemudian bergabung dengan Pasukan Kawal
Kehormatan Tjakrabirawa pimpinan Untung. Mereka berkumpul di dekat
Monumen Nasional.
Soeharto melewati pasukan yang hendak membunuh 7 jenderal Dinihari,
1 Oktober 1965, seperti kita ketahui, pasukan Untung bergerak menculik
tujuh jenderal Angkatan Darat. Malam itu Soeharto , menunggui anaknya,
Tommy, yang dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto.
Di rumah sakit itu Kolonel Latief, seperti pernah dikatakannya sendiri
dalam sebuah wawancara berusaha menemui Soeharto.Adapun
Untung, menurut Maulwi, hingga tengah malam pada 30 September 1965
masih memimpin pengamanan acara Presiden Soekarno di Senayan. Maulwi
masih bisa mengingat pertemuan mereka terakhir terjadi pada pukul 20.00.
Waktu itu Maulwi menegur Untung karena ada satu pintu yang luput dari
penjagaan pasukan Tjakra. Seusai acara, Maulwi mengaku tidak mengetahui
aktivitas Untung selanjutnya.
Ketegangan
hari-hari itu bisa dirasakan dari pengalaman Suhardi sendiri. Pada 29
September, Suhardi menjadi perwira piket di pintu gerbang Istana.
Tiba-tiba ada anggota Tjakra anak buah Dul Arief, peleton di bawah
Untung, yang bernama Djahurup hendak masuk Istana. Menurut Suhardi,
tindakan Djahurup itu tidak diperbolehkan karena tugasnya adalah di ring
luar sehingga tidak boleh masuk. “Saya tegur dia.”
Pada
1 Oktober pukul 07.00, Suhardi sudah tiba di depan Istana. “Saya heran,
dari sekitar daerah Bank Indonesia, saat itu banyak tentara.” Ia
langsung mengendarai jip menuju markas Batalion 1 Tjakrabirawa di Tanah
Abang. “Saya
ingat yang jaga saat itu adalah Kopral Teguh dari Banteng Raiders,”
kata Suhardi. Begitu masuk markas, ia melihat saat itu di Tanah Abang
semua anggota kompi Banteng Raiders tidak ada.
Begitu
tahu hari itu ada kudeta dan Untung menyiarkan susunan Dewan Revolusi,
Suhardi langsung ingat wajah sahabat masa kecilnya dan sahabat yang
sudah dianggap anak oleh ibunya sendiri tersebut. Teman yang bahkan saat
sudah menjabat komandan Tjakrabirawa bila ke Solo selalu pulang
menjumpai ibunya.
“Saya tak heran kalau Untung terlibat karena saya tahu
sejak tahun 1948 Untung dekat dengan PKI,” katanya. Kepada
Oditur Militer pada 1966, Untung mengaku hanya memerintahkan menangkap
para jenderal guna dihadapkan pada Presiden Soekarno. “Semuanya terserah
kepada Bapak Presiden, apa tindakan yang akan dijatuhkan kepada
mereka,” jawab Untung.
Heru
Atmodjo, Mantan Wakil Asisten Direktur Intelijen Angkatan Udara, yang
namanya dimasukkan Untung dalam susunan Dewan Revolusi, mengakui Sjam
Kamaruzzaman- lah yang paling berperan dalam gerakan tersebut.
Keyakinan
itu muncul ketika pada Jumat, 1 Oktober 1965, Heru secara tidak sengaja
bertemu dengan para pimpinan Gerakan 30 September: Letkol Untung,
Kolonel Latief, Mayor Sujono, Sjam Kamaruzzaman, dan Pono. Heru melihat
justru Pono dan Sjam-lah yang paling banyak bicara dalam pertemuan itu,
sementara Untung lebih banyak diam.
“Saya tidak melihat peran Untung dalam memimpin rangkaian gerakan atau operasi ini (G-30-S),” kata Heru saat ditemui Tempo.
Soeharto: Letkol Untung murid pimpinan PKI
Soeharto,
kepada Retnowati Abdulgani Knapp, penulis biografi Soeharto: The Life
and Legacy of Indonesia’s Second President, pernah mengatakan memang
kenal dekat dengan Kolonel Latif maupun Untung. Tapi ia membantah isu
bahwa persahabatannya dengan mereka ada kaitannya dengan rencana kudeta.“Itu
tak masuk akal,” kata Soeharto. ”Saya mengenal Untung sejak 1945 dan
dia merupakan murid pimpinan PKI, Alimin. Saya yakin PKI berada di
belakang gerakan Letkol Untung,” katanya kepada Retnowati. Demikianlah
Untung. Kudeta itu bisa dilumpuhkan. Tapi perwira penerima Bintang
Sakti itu sampai menjelang ditembak pun masih percaya bakal
diselamatkan.
Peristiwa G 30 S PKI
Terilhami
dari tulisan Jarar Siahaan di BatakNews yang berjudul “Pantaskah
Soeharto Diampuni”, dan dari peringatan 9 tahun turunnya Rezim Soeharto,
berdasarkan fakta dari kejadian yang terjadi 42 tahun silam di Jakarta,
tepatnya tentang peristiwa pemberontakan G 30 S/PKI. Ada
seorang ahli sejarah yang sempat meneliti tentang kejadian yang menimpa
bangsa kita di tahun 1965, mengatakan bahwa di tahun 1965, di Indonesia
hanya ada satu Jendral dan dia adalah Mayjen TNI Soeharto. Menurut ahli
sejarah itu juga termakan image yang sengaja dibuat Soeharto bahwa dia
adalah orang yang paling berjasa atas dibubarkannya Partai yang kini
dianggap sebagai partai terlarang di negeri kita.
Soeharto
adalah seorang prajurit TNI berpangkat cukup tinggi dan juga memegang
salah satu jabatan penting dalam jajaran TNI sebagai Panglima Komando
Strategi Angkatan Darat (Kostrad). Pada masa kepemimpinan Ir. Soekarno,
Soeharto adalah seorang perwira tinggi yang tidak terlalu
diperhitungkan. Itu juga menjadi penyebab tidak terteranya nama Soeharto
dalam daftar 7 jendral yang menjadi target pembunuhan dalam
pemberontakan PKI. 7
Jendral yang menjadi target operasi PKI (Baris pertama kiri-kanan)
Jendral TNI Anumerta Ahmad Yani, Letjen TNI Anumerta MT Haryono, Letjen
TNI Anumerta S Parman, Letjen TNI Anumerta Suprapto. (Baris kedua
Kiri-kanan) Mayjen TNI Anumerta Sutoyo Siswomiharjo, Mayjen TNI Anumerta
DI Panjaitan, Kapten Czi Anumerta Pierre Tendean.
Apa
mungkin Soekarno lupa pada jasa Soeharto yang menjadi arsitek Serangan
Umum 1 Maret atas Kota Yogya yang berhasil menguasai Kota Yogya selama 6
jam yang kala itu dikuasai oleh Belanda? Ataukah Soekarno mengetahui
fakta yang sebenarnya terjadi. Pada
tahun 1965 tepatnya pada tanggal 30 September 1965, sebuah
pemberontakan terjadi atas keutuhan Pancasila (itu kata rezim Orde Baru)
namun berhasil ditumpas sampai ke akar-akarnya oleh seorang perwira
tinggi bernama Soeharto. “Resolusi
Dewan Jendral” yang sempat beberapa kali disebutkan dalam film
tersebut, hal itu benar adanya. Resolusi Dewan Jendral memang ada.
Beberapa orang Jendral pada saat itu sedang merencanakan untuk
menggulingkan kekuasaan Soekarno dan mengambil alih kekuasaan. Para
pemimpin PKI kala itu cukup resah dengan adanya isu tentang resolusi
Dewan Jendral. Mereka khawatir jika para jendral berhasil, maka posisi
mereka berada di ujung tanduk.
Untuk itu mereka harus bergerak cepat,
berpacu dengan waktu untuk menumpas para jendral yang terlibat dalam
Resolusi Dewan Jendral, sebelum para jedral mendahuluinya. Rakyat
yang kala itu masih bodoh dicekoki dengan pernyataan-pernyataan pedas
tentang seberapa menyeramkan dan menyakitkannya sebuah pemberontakan.
PKI terus menyebarkan doktrin bahwa pemberontakan itu identik dengan
kekejaman. Rakyat akan semakin terkepung dalam kesengsaraan. Doktrin
yang dilontarkan PKI itu terhadap rakyat itu pada akhirnya berhasil
membakar darah rakyat yang kala itu tengah dirundung duka yang mendalam
dan berkepanjangan akibat dari ketidak stabilan perekonomian di sebuah
negara yang masih muda ini.
Akhirnya PKI mendapat restu dari rakyat yang
telah didoktrinnya untuk menumpas para jendral yang terlibat dalam
Resolusi Dewan Jendral. PKI
sendiri mempunyai kepentingan dalam penumpasan ini. PKI adalah
pendukung terkuat Soekarno, dan Soekarno adalah pendukung terkuat PKI
demi sebuah image bagi dunia internasional bahwa Indonesia tidak mudah
dimasuki pengaruh Amerika Serikat. Memang Sokarno lebih menyukai politik
sosialis demokratik seperti yang diajarkan Uni Soviet kepada dunia kala
itu yaitu pemerataan.
Karena
PKI takut kehilangan dukungan dari presiden, maka PKI harus secepatnya
menumpas Dewan Jendral sebelum Dewan Jendral menggulingkan Soekarno.
Maka direncanakanlah sebuah aksi untuk menumpas Dewan Jendral. Akhirnya
para pemimpin PKI sepakat tanggal yang tepat untuk melakukan aksi adalah
pada tanggal 30 September.
Para
pimimpin PKI melakukan rapat tentang aksi yang bakal mereka lakukan.
Sedikitpun mereka tidak menyinggung nama Soeharto karena memang Soeharto
kala itu bukan siapa-siapa.
Dia tidak lain hanyalah seorang prajurit
TNI berpangkat tinggi yang tidak diperhitungkan dan tidak penting sama
sekali. Disisi
lain, Soeharto sendiri juga mengetahui tentang adanya resolusi Dewan
Jendral dan mengetahui bahwa PKI akan melancarkan aksi untuk
menumpasnya. Namun dia hanya diam. Soeharto juga memiliki kepentingan
jika PKI berhasil.
Kepentingan Soeharto sebenarnya adalah agar dia mulai
dianggap penting dan kembali diperhitungkan di kancah percaturan negeri
ini sehingga dia bisa mendapat jabatan yang lebih penting dari jabatan
yang dia pegang saat itu. Dia biarkan PKI melakukan aksinya dengan
membunuh para perwira tinggi TNI yang memang memegang jabatan penting di
negara.
Dengan demikian akan semakin berkurang saingan bagi Soeharto
untuk meraih jabatan yang lebih tinggi dan lebih penting dari sekedar
panglima Kostrad.
Tanggal
30 September pukul 4 pagi, diculiklah 7 jendral yang menjadi target
operasi PKI. Mereka dibawa ke lubang buaya dan diserahkan kepada masa
pendukung PKI yang telah berkumpul di sana sejak sore hari tanggal 29
September untuk diadili dengan cara mereka.
Massa dibebaskan melakukan
apa saja sesuka hati mereka kepada para jendral yang akan menambah
kesengsaraan bagi rakyat tersebut. Massa yang berkumpul di lubang buaya
berpesta pora sebelum akhirnya menyiksa hingga mati para jendral
tersebut.
Fakta Di Balik Peristiwa G 30 S PKI
Pagi
harinya, Soeharto yang telah mengetahui hal ini mendapat laporan dari
beberapa ajudan jendral yang telah diculik. Soeharto hanya tersenyum
dalam hati karena telah mengetahui bahwa semua ini akan terjadi.
Ambisinya untuk menguasai negeri dengan pangkat dan jabatan yang dia
miliki hanya tinggal selangkah lagi.
Tahukah
anda apa sebenarnya yang telah direncanakan Soeharto sebelumnya yang
disimpannya baik-baik dalam benaknya? Dia biarkan PKI membunuh ketujuh
Jendral tersebut, lalu memfitnah PKI telah melakukan kudeta terhadap
Soekarno sehingga orang-orang PKI yang mengetahui fakta sejarah dapat
dengan mudah disingkirkan dengan cara difitnah. Doktrin yang dilontarkan
Soeharto adalah bahwa PKI akan melakukan pemberontakan terhadap
kekuasaan Soekarno.
Mungkinkah PKI akan menggulingkan pendukung
terkuatnya? Tidak masuk akal. Ingat PKI dan Soekarno saling mendukung,
apa mungkin PKI melakukan hal itu? Pagi
harinya Soeharto bergerak cepat dan melangkahi tugas beberapa orang
jendral atasannya dengan memegang tampuk pimpinan TNI untuk sementara
tanpa meminta restu dari Presiden. Di buku sejarahku waktu SD ditulis,
“Mayjen TNI Soeharto dengan tangkas memegang tampuk pimpinan TNI yang
lowong sepeninggal A Yani.”
Kalau bisa dan boleh aku ingin mengedit
tulisan di buku sejarahku dengan kata-kata, “dengan lancang Soeharto
memegang tampuk pimpinan TNI.” Masih banyak orang yang harusnya dimintai
restu oleh Soeharto atas inisiatifnya memegang tampuk pimpinan TNI.
Lalu
dengan mudah Soeharto yang telah mengetahui semua seluk beluk aksi PKI
ini menumpas PKI. Hanya dalam waktu beberapa jam saja, para pelaku
pemberontakan PKI ditangkap dan sebagian lagi kabarnya melarikan diri ke
luar negeri.
Lalu Soeharto menyebarkan doktrin bahwa PKI telah
melakukan kudeta terhadap kepemimpinan Soekarno. Padahal PKI bermaksud
menggagalkan kudeta yang akan dilancarkan oleh para jendral tersebut.
PKI dijadikan kambing hitam oleh Soeharto atas apa yang memang
diinginkannya. Satu langkah Soeharto untuk menguasai negeri ini
berhasil.
Penguasaan Kembali Gedung RRI Pusat
Dini
hari tanggal 1 Oktober 1965 Gerakan Tiga Puluh September (G30S) PKI
menculik dan membunuh 6 orang perwira tinggi Angkatan Darat yang yang
dinilai sebagai penghalang utama rencana mereka untuk merebut kekuasaan
Negara. Pagi itu pula mereka berhasil menguasai Gedung RRI dan Gedung
Pusata Telekomunikasi.
Di bawah todongan pistol, seorang penyiar RRI
dipaksa menyiarkan pengumuman yang menyatakan bahwa G-30-S telah
menyelamatkan Negara dari usaha kudeta “Dewan Jendral”.
Tengah hari
mereka mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi dalam negara dan
pendemisioneran cabinet. Untuk menghentikan pengumuman-pengumuman yang
menyesatkan rakyat itu, Panglima Komando Tindakan Strategi Angkatan
Darat (Kostrad) Mayjen Soeharto yang telah mengambil alih sementara
pimpinan Angkatan Darat memerintahkan pasukan Resimen Para Komando
Angkatan Darat (RPKAD) untuk membebaskan Gedung RRI Pusata dan Gedung
Telekomunikasi dari penguasaan G-30-S PKI.
Operasi yang dimulai pukul
18.30, dengan mengerahkan kekuatan satu kompi dalam waktu hanya 20
menit, RPKAD berhasil menguasai kembali gedung vital itu. Pukul 20.00
tanggal 1 Oktober 1965 RRI Pusat sudah dapat menyiarkan pidato radio
Mayjen Soeharto yang menjelaskan adanya usaha kudeta yang dilakukan oleh
PKI melalui G-30-S.
Penangkapan D.N. Aidit ( 22 November 1965 )
Setelah
G 30 S PKI mengalami kegagalan di Jakarta, pada tanggal 1 Oktober 1965
tengah malam ketua CC PKI D.N. Aidit melarikan diri ke Jawa Tengah yang
merupakan basis utama PKI. Tanggal 2 Oktober 1965 ia berada di
Yogyakarta, kemudian berpindah-pindah tempat dari Yogyakarta ke
Semarang. Selanjutnya ia ke Solo untuk menghindari operasi pengejaran
yang dilakukan oleh RPKAD. Tempat persembunyiannya yang terakhir di
sebuah rumah di kampung Sambeng Gede. Daerah ini merupakan basis Serikat
Buruh Kereta Api (SBKA), organisasi massa yang bernaung dibawah PKI.
Melalui operasi intelijen, tempat persembunyian D.N. Aidit dapat
diketahui oleh ABRI. Tengah malam tanggal 22 November 1965 pukul 01.30
rumah tersebut digrebek dan digledah oleh anggota Komando Pelaksanaan
Kuasa Perang (Pekuper) Surakarta. Penangkapan hamper gagal ketika
pemilik rumah mengatakan bahwa D.N. Aidit telah meninggalkan rumahnya.
Kecurigaan timbul setelah anggota Pekuper menemukan sandal yang masih
baru, koper dan radio yang menandakan hadirnya seseorang yang lain di
dalam rumah itu. Penggeledahan dilanjutkan. Dua orang Pekuper menemukan
D.N. Aidit yang bersembunyi di balik lemari. Ia langsung ditangkap dan
kemudian dibawa ke Markas Pekuper Surakarta di Loji Gandrung, Solo.
Supersemar
Suasana
negara saat itu benar-benar memburuk. Negara yang masih muda ini serasa
berasa di titik paling bawah dari keterpurukannya. Perekonomian anjlok,
harga bahan pangan menjulang, bahan pangan susah didapat dimana-mana,
kerusuhan pecah di seluruh wilayah negeri ini. Beberapa elemen
masyarakat melakukan aksi yang berbuntut dengan dicetuskannya Tritura
(Tri Tuntutan Rakyat). Isi Tritura adalah:
1. Bubarkan PKI
2. Turunkan Harga
3. Bersihkan kabinet dari unsur-unsur G 30 S PKI
Aksi
beberapa elemen masyarakat ini di awali dengan aksi yang digelar oleh
mahasiswa yang menamakan dirinya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia
(KAMI). Gerakan mahasiswa ini juga diikuti oleh elemen masyarakat lain
seperti Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI), Kesatuan Aksi Pemuda
Pelajar Indonesia (KAPPI), dan lain-lain.Aksi-aksi inilah yang kemudian
memicu pecahnya revolusi di negara ini. Semakin lama situasi negara
semakin memburuk. Situasi
ini akhirnya yang memaksa tiga orang Jendral yaitu Letjen (yang baru
naik pangkatnya) Soeharto, Brigjen Amir Machmud dan Brigjen M Yusuf
untuk menemui presiden dan memaksa presiden agar segera memenuhi
tuntutan rakyat. Tritura harus dipenuhi jika presiden ingin
mengembalikan situasi negara ke arah yang kondusif. Soekarno
menolak memenuhi tuntutan rakyat. Soekarno tahu bahwa ini semua hanya
kerjaan Soeharto yang memfitnah PKI sebagai pemberontak.
Soekarno tahu
betul, tidak mungkin PKI berkeinginan untuk menggulingkannya namun
Soekarno tidak memiliki bukti yang otentik atas pernyataannya tersebut.
Soekarno tahu bahwa aksi yang dilakukan oleh PKI dengan nama G 30 S PKI
hanya bertujuan untuk menumpas rencana kudeta militer yang akan
dilakukan oleh sekelompok perwira tinggi yang menamakan dirinya Dewan
Jendral. Setelah
gagal untuk memaksa presiden memenuhi tuntutan rakyat, ketiga jendral
tersebut berinisiatif membuat sebuah surat perintah atas nama presiden.
Isi surat perintah yang diberi nama Surat Perintah Sebelas Maret
(Supersemar) hingga kini hanya diketahui oleh hanya 4 orang, ketiga
jendral tersebut dan Soekarno, namun karena tiga diantaranya kini telah
meninggal dunia, maka kini hanya tertinggal satu lagi saksi sejarah
yaitu Soeharto.
Sayang, Soeharto pun tidak ingin rakyat Indonesia tahu
apa isinya, maka dia lenyapkan supersemar yang asli dan buat sebuah
surat perintah yang palsu seperti yang kita tahu belakangan ini. Teks Supersemar yang palsu, sedangkan yang asli, hingga kini tidak ditemukan bangkainya Supersemar
yang telah rampung dibuat diserahkan kepada Soekarno untuk
ditandatangani, namun Soekarno menolak untuk menandatanganinya. Soekarno
tidak mau membubarkan PKI namun juga tidak mempunyai alasan yang kuat
atas kehendaknya tidak ingin membubarkan PKI.
Sementara rakyat telah
didoktrin oleh Soeharto bahwa PKI telah melakukan pengkhiatan terhadap
negara dan ingin menguasai negara ini dan menjadikannya negara berfaham
Komunis. Menurut
pengakuan dari seorang kakek tua tak lama setelah Soeharto lengser,
bahwa dulu ia bekerja di Istana Merdeka.
Tugasnya adalah mengantarkan
minuman buat presiden. Pada saat ketiga jenderal itu sedang berada di
ruang kerja presiden, sang kakek memasuki ruangan dengan maksud ingin
mengantarkan minuman bagi presiden dan ketiga tamunya.
Terkejutlah ia
saat melihat presiden sedang menandatangani sebuah surat yang
diyakininya sebagai supersemar di bawah todongan Pistol. Pada
saat sang kakek mengungkapkan kisah ini, Jendral M Yusuf masih hidup,
maka ia diwawancarai oleh kru TV sehubungan dengan pernyataan sang
kakek. Karena M Yusuf berada pada posisi netral maka ia yang
diwawancarai. Tapi sayang, saya sangat yakin bahwa fakta yang
diungkapkan sang kekek benar adanya, tapi demi menyelamatkan sejarah
yang sudah terputar balik dan tak mungkin diubah lagi, maka Jenderal M
Yusuf membantah bahwa presiden menandatangani supersemar di bawah
todongan pistol. Tapi saya yakin dan sangat percaya, Jendral M Yusuf
yang kala itu sudah pensiun membantah hal itu karena ia sadar, jika ia
bongkar rahasia ini, maka terbongkarlah semua fakta sejarah dan
Indonesia kembali terombang ambing dalam keraguan. Mana yang benar?
Sejarah versi Soeharto atau M Yusuf.
Akhirnya
supersemar ditandatangani oleh Soekarno, namun supersemar tidak
ditujukan kepada Soeharto. Hal ini membuat Soeharto panas, entah dengan
cara apa, Soeharto berhasil melenyapkan surat itu dan membuat pernyataan
palsu dengan mengatakan bahwa supersemar ditujukan kepadanya untuk
memegang tampuk pimpinan TNI untuk sementara dan mengembalikan
stabilitas nasional. Dua
langkah Soeharto berhasil. Maka berpedoman pada surat perintah palsu
yang dibuat oleh Soeharto sendiri, ia mulai bergerak dan membubarkan PKI
serta antek-anteknya. Sebagian besar masa pendukung PKI, Gerwani dan
berbagai organisasi massa lain bentukan PKI dibantai secara masal,
sebagian lagi dipenjara.
Ini dilakukan untuk menghilangkan jejak sejarah
agar semua kebusukan yang dilakukan oleh Soeharto tidak terungkap. PKI
dijadikan kambing hitam karena memang PKI pernah melakukan percobaan
kudeta di tahun 1948. Ini dijadikan alasan bagi Soeharto untuk semakin
menjatuhkan PKI. Setelah
PKI dibubarkan, dengan wewenang palsunya Soeharto menyatakan bahwa PKI
adalah Partai terlarang di Indonesia karena bertentangan dengan
Pancasila yang merupakan ideologi bangsa Indonesia.
Pidato
pertanggungjawaban Soekarno dalam Sidang Umum MPRS tahun 1968 ditolak
oleh MPRS. Semua dipicu dari lambatnya Soekarno membubarkan PKI dan
menjawab Tritura. Setelah itu dipilihlah seorang penjabat presiden
hingga masa kepemimpinan Soekarno berakhir. Pada saat itu memang tak ada
pilihan lain, Soeharto menjadi satu-satunya orang yang paling pantas
memegang jabatan itu.
Soekarno (mungkin dengan berat hati) menyerahkan
kekuasaan pemerintahan kepada Soeharto.
Sejak saat itu Soeharto resmi
memegang jabatan sebagai Presiden RI melaui TAP MPRS No XLIV/MPRS/ 1968
dan berkuasa selama 32 tahun hingga akhirnya digulingkan juga dengan
cara yang sama seperti ia berusaha menggulingkan Soekarno pada tahun
1968.
http://s-kisah.blogspot.co.id/2011/10/fakta-terselubung-dibalik-kisah-g30s.html
0 komentar:
Posting Komentar