Solichan Arif, Jurnalis · Sabtu 01 Oktober 2011, 03:38 WIB
Putmainah (Foto: Solichan Arif/Koran SINDO)
Selain bergegas menyelamatkan diri, ingatan Putmainah, 83 belum bisa melupakan bagaimana dirinya membawa semua anaknya menyingkir jauh-jauh dari rumah. Ia gendong si bungsu Komara (Komunis Marhaenis dan Agama) yang saat itu belum genap berusia setahun, sekaligus menjelaskan apa yang terjadi kepada si sulung Dinana Amin Handayani yang masih berusia 13 tahun.
Dengan keterbatasan fisik seorang perempuan, Putmainah mengungsikan 7 anaknya ke rumah orang tuanya di Desa Pakisrejo, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar. Ia mendengar kabar bahwa paska G 30 S/PKI 1965 meletus di Jakarta, sekelompok massa yang berasal dari ormas Islam telah bergerak.
Gerakan itu tidak hanya mengepung ibukota, tapi juga merembes ke daerah. Dari Jakarta, gelombang “serangan” menerjang sejumlah daerah di Jawa Tengah. Kemudian Jawa Timur, Bali dan Sumatera Utara. Dengan didampingi barisan militer angkatan darat (AD), massa menyerbu semua rumah yang diidentifikasi sebagai pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sejumlah litetarur sejarah menyebut sekitar 1 juta nyawa melayang dan sekitar 1,6 juta orang lagi di tahan tanpa proses pengadilan.
“Sementara saya sendiri adalah Ketua Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) Kabupaten Blitar yang juga anggota Fraksi PKI. Tentunya saya juga menjadi sasaran kemarahan berikutnya, “tutur Putmainah mengenang masa suram itu. Tidak ada tarikan nafas dalam.
Begitupun tidak terlihat secuilpun paras kesedihan. Perempuan dengan rambut yang seluruhnya memutih, kulit yang mengeriput, serta bola mata yang tidak jernih lagi karena usia itu, terlihat begitu tegar. Bahkan suaranya masih terdengar bersemangat. Lantang dan berapi-api.
“Memang inilah sejarah perjalanan hidup saya, “katanya tegas tanpa ada nada menyesal. Putmainah duduk di salah satu kursi ruang tamunya. Sejak bebas dari kurungan penjara orde baru, ia hidup sendiri di tanah kelahiranya Desa Pakisrejo, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar. Di belakang kursi yang didudukinya, tampak ilustrasi Bung Karno yang terbingkai rapi di tembok.
Sebuah sketsa strimin yang tersusun dari rajutan benang bol warna warni. Sementara lurus di hadapannya, tampak foto KH Abdurahman Wahid (Gus Dur). Foto cucu pendiri ormas Islam Nahdatul Ulama KH Hasyim Asy’ari itu dibuat pada saat Gus Dur masih menjabat sebagai Presiden RI yang keempat. Sedangkan di tembok sebelah kiri, tepat diatas pesawat televisi 21 inchi, terpajang lukisan berukuran besar. Seorang lelaki tua dengan kumis tebal melintang serta udeng (ikat kepala) di kepalanya. Dialah KH Abdurrahman, kakek Putmainah.
Kisah yang ia ketahui, Abdurahman merupakan laskar Pangeran Diponegoro. Ia lari ke arah timur (Jawa Timur) setelah Belanda berhasil mengalahkan pasukanya. “Kakek saya adalah seorang Haji yang juga pejuang dari Mataraman, “cetusnya dengan nada bangga. Ayah Putmainah adalah Haji Mansyur, putra KH Abdurahman. Mansyur seorang tokoh (Ketua) Sarikat Islam Merah Kabupaten Blitar yang juga seorang hafal Al Qur’an (Hafidz).
SI Merah merupakan pecahan Sarikat Islam pimpinan HOS Cokroaminoto (Juni 1916) yang pada akhirnya berganti nama menjadi Sarikat Rakyat (SR). Dari ayahnya yang terbunuh dalam pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948 itulah, Putmainah yang aktif di organisasi Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) mengenal dasar-dasar ajaran komunis.
Bagaimana berbagi dengan sesama dan bagaimana bertindak ketika dalam kondisi terjepit. Bahwa tidak ada malam tanpa pagi. Seingat Putmainah, paska G30 S/PKI 1965, selain sepotong kebaya dan jarik yang melekat di badan, tak ada secuilpun harta benda yang dibawanya.
“Karena suasana sudah demikian gentingnya. Saya harus pergi dengan segera, “terangnya. Saat itu (1965), Subandi suaminya masih berada di Jakarta. Ketua PKI Kota Blitar yang juga Ketua Front Nasional Blitar serta Ketua DPRGR (Sekarang DPRD) Kota Blitar itu tengah menghadiri Kongres PKI.
Kabupaten dan Kota Blitar merupakan basis massa PKI. Dari sebanyak 45 kursi di DPRGR, 25 diantaranya milik PKI. Sedangkan sisanya dibagi rata partai Islam (NU dan Masyumi), PNI serta partai lainya. Informasi yang diterima Putmainah dari para “kamerad” yang selamat, Subandi dalam perjalanan pulang ke Blitar.
Kendati demikian sejak itu (1965), ia tidak pernah lagi berkomunikasi dengan pria yang pertama kali dijumpainya di organisasi Pesindo tersebut. “Secara pasti saya tidak tahu nasib suami saya. Namun kalau masih hidup tentunya sekarang ini kami sudah bertemu lagi, “terangnya secara tidak langsung lebih meyakini Subandi telah meninggal dunia.
Dorongan ingin selamat membuatnya tidak berfikir panjang. Rumah beserta isinya ia tinggalkan begitu saja. Tempat tinggal pribadi itu berada di Jalan Sultan Agung, Kota Blitar, bersebelahan dengan Istana Gebang -nama lain rumah mendiang Ny Soekarmini Wardojo (Kakak Kandung Bung Karno).
“Saya tidak takut mati. Karena saya yakin apa yang saya lakukan untuk rakyat adalah sesuatu benar. Saya hanya ingin selamat untuk meneruskan perjuangan selanjutnya, “paparnya. Setelah para petinggi PKI dieksekusi, seperti Njoto ditembak pada 6 November, kemudian Dipa Nusantara Aidit pada 22 November serta Wakil Ketua PKI M.H Lukman sesudahnya, giliran para petinggi PKI di daerah diserbu. Siapapun yang teridentifikasi dalam barisan wanita (Gerwani), buruh (SOBSI), Pemuda (Pemuda Rakyat), petani (BTI) dan kebudayaan (Lekra) “dibersihkan”. Penghuni rumah dibawa paksa untuk dieksekusi.
Jika tidak ditemukan, isi rumah dijarah, bahkan tidak jarang langsung diobrak-abrik. “Tempat tinggal saya juga dirusak, “terang Putmainah yang sampai hari ini tidak mampu mendapatkan kembali haknya atas rumah di lingkungan Istana Gebang tersebut.
Selama tiga tahun, tokoh komunis Blitar ini hidup di hutan belantara sebagai pelarian politik. Harta satu-satunya hanya pakaian yang melekat di raga. Untuk menghindari kejaran tentara angkatan darat (AD) dan massa ormas Islam, Putmainah memilih bersembunyi di dalam Gua Gayas, gua yang menghadap pantai selatan di wilayah perbukitan kapur Blitar Selatan.
Lubang dalam tanah itu begitu sempit dan pengap. Ditambah banyaknya orang yang bersembunyi membuat persediaan oksigen di dalamnya semakin terbatas. “Berdiri saja harus berhimpitan.
Saya keluar pada malam hari, untuk mencari makan. Kalau siang bertahan di dalam gua, “kenangnya. Untuk mengusir rasa lapar, Putmainah memilih bergantung dari “lezatnya” dedaunan hutan. Ia selalu memulai dengan menggigit kecil pada bagian pinggir daun. Cara itu untuk menguji apakah daun tersebut layak makan atau tidak. “Kalau gatal tidak saya teruskan. Berarti beracun. Karenanya saya cari yang lain, “paparnya.
Untuk menghilangkan dahaga, para pelarian politik ini bergantung pada tetesan air di dalam gua. Kondisinya yang serba tandus itu justru menjadikan Blitar selatan sebagai wilayah pertahanan paling aman bagi pengikut PKI paska gestapu meletus.
Sebab sebagian besar warga yang bertempat tinggal di perbukitan kapur tersebut memiliki tradisi Gerakan Tutup Mulut (GTM) yang kuat. Warga memilih menggelengkan kepala sebagai ungkapan tidak tahu ketika para serdadu bertanya tentang ada tidaknya tokoh komunis yang bersembunyi di daerah mereka. “Bahkan anak kecil pun bisa menjadi kurir pengantar surat dalam gerakan kami, “terangnya.
Namun, bagaimanapun hebatnya pertahanan orang-orang PKI, jumlah tentara lebih banyak. Apalagi mereka mendapat sokongan penuh dari ormas Islam. Satu persatu pengikut komunis mulai tidak tahan. Tekanan fisik dan mental serta rasa lapar dan dahaga yang tak terhingga mendorong mereka untuk keluar dari lobang-lobang persembunyian. Sebab selain gua gayas, masih banyak gua lain di Blitar selatan yang menjadi lokasi “tiarap” para gerilyawan PKI.
Putmainah sendiri mengaku tidak bersedia keluar, ketika “kawanya” yang bernama Murjani, tokoh PKI asal Tulungagung mengajaknya keluar, istri Subandi itu memutuskan bertahan di dalam gua.
“Karena saat itu kondisi saya sudah sangat lemah. Saya lapar dan tidak bisa berjalan lagi, “papar Putmainah. Ia berhasil ditangkap setelah salah seorang pengikut PKI memberitahu tentara bahwa masih ada seorang perempuan yang bertahan di dalam gua.
“Ini orangnya yang memberitahukan saya ada di dalam gua, “terang Putmainah yang menunjuk seorang laki-laki dalam sebuah foto hitam putih. Kedua tangan laki-laki yang berperawakan kurus itu tampak terikat. Putmainah duduk jongkok di sebelahnya dengan kedua tangan terikat. Sementara sejumlah tentara angkatan darat yang berdiri di belakang dan di sampingnya tampak bahagia. Semuanya memperlihatkan senyum kemenangan.
“Mungkin mereka semua itu (tentara) merasa bangga telah berhasil menangkap saya. Sebab saya dianggap tokoh PKI di Blitar, “pungkasnya.
Dari Plantungan, Korea dan Mahasiswa
Hari pertama penangkapan, Putmainah langsung di tahan di koramil daerah Lodoyo, Kabupaten Blitar. Seperti biasa, interogasi tentang sejauh mana keterlibatan dalam G30 S/PKI menjadi sarapan sehari-harinya. “Soal itu (G 30 S PKI) saya tidak tahu apa-apa. Kami tidak pernah memberontak.
Jika memberontak tentu persiapan itu sudah ada di daerah. Namun kenyataanya semua itu (persiapan pemberontakan) tidak ada, “ujar Putmainah. Dari tahanan militer Lodoyo, Putmainah dilayar (dipindah) ke Kediri. Tidak lama dari sana, ia dipindah lagi ke penjara militer Madiun dan akhirnya dibuang ke penjara Plantungan, Kabupaten Kendal, sebelah selatan Kota Semarang. Penjara plantungan merupakan bekas rumah sakit penderita kusta. Bagi orang-orang eks tapol (PKI), Plantungan merupakan pulau burunya Gerwani. “Sebab semua penghuninya adalah perempuan, “terangnya.
Selama 10 tahun lamanya Putmaniah hidup di sana. Selain bercocok tanam, aktivitas sehari-harinya adalah membuat kerajinan tangan termasuk bermain kesenian. Selama di Plantungan, ia juga mendapat kunjungan anak sulungnya yang diantar eyangnya. “Penjaga disana baik-baik.
Meskipun ada interogasi tetapi tidak ada penyiksaan, “kenangnya. Keluar dari “pengasingan”, Putmainah langsung pulang ke kampung halamanya di Desa Pakisrejo, Kecamatan Srengat. Bermodalkan dari menjual harta warisan mendiang suaminya, ia berdagang sayuran dan sembako.
Ia besarkan anak-anaknya seorang diri. Kecuali si sulung, seluruh anak Putmainah mengenyam bangku perguruan tinggi. Bahkan beberapa diantaranya lulusan universitas negeri terkemuka di Surabaya. Putmainah sendiri hanya lulusan sekolah Taman Siswa di Tulungagung (setingkat SMP) “Hanya anak sulung saya yang hanya lulusan sekolah dasar. Sejarah hitam yang membuatnya kehilangan masa depan pendidikanya, “tuturnya.
Selain merawat rumah yang ditempatinya seorang diri, kegiatan hidup Putmainah sehari-hari adalah membaca buku dan melihat berita di televisi. Baru pada tahun 2003 lalu, setempel eks tapol terhapus dari identitasnya (KTP) dan dia tidak lagi melakukan absen rutin di Koramil Srengat. Di luar semua kegiatan itu, sejumlah aktivis lembaga swadaya masyarakat kerap mengundangnya sebagai pelaku sekaligus korban sejarah 1965. Sekitar tahun 2009 lalu, Putmainah dibawa ke Korea Selatan untuk menceritakan kisah, seperti apakah sesungguhnya peristiwa 1965 yang terjadi di Indonesia. Apakah memang PKI menyiapkan pemberontakan? Atau itu semua merupakan skenario Amerika untuk menggulingkan Bung Karno?. Di luar itu, Putmainah sering menghadiri undangan di acara seminar atau dialog yang menyangkut persitiwa 1965.
Sejumlah mahasiswa tidak sedikit yang datang ke rumahnya hanya untuk menyelesaikan tugas akhir (skripsi) yang terkait dengan peristiwa 1965. “Saya di negerinya kapitalis (Korea Selatan) selama 10 hari. Terakhir pada tahun 2011 ini saya juga diajak ke Blitar selatan untuk menunjukkan langsung gua yang dulu menjadi tempat persembunyian. Saya suka dengan anak muda yang tertarik dengan sejarah, “paparnya.
Dendamkah dengan negara yang telah menorehkan sejarah pahit ini? Putmainah mengatakan tidak merasa dendam. Kendati demikian ia tidak bisa melupakan hal itu.
Menurutnya, mereka yang menghabisi orang-orang PKI juga sebagai korban yang tidak mengetahui politik. “Yang saya harapkan saat ini adalah kepada anak muda, khususnya mahasiswa untuk bisa mengambil peran yang baik untuk perubahan negara yang lebih baik, “pungkasnya.
(fer)
Sumber: Okezone.Com
0 komentar:
Posting Komentar