Rabu, 26 Oktober 2011
Lalu lalang kendaraan selalu menghiasi Jalan Arif Rahman
Hakim, Keputih. Mobil, motor, sepeda, seolah saling berkejaran untuk sampai ke
tujuan. Debu dan asap beterbangan ke sisi kiri-kanan tanpa pandang bulu siapa
yang disasarnya. Dalam keadaan seperti inilah, seorang kakek, Kholid (bukan
nama sebenarnya), menghabiskan hari-harinya. Ia duduk di dekat lapak dagangan
yang berada persis di tepi jalan sehingga asap-debu juga menjadi santapannya,
demi jaminan hidup di hari tua.
Pandangan matanya seperti biasa tertuju pada jalan itu,
termasuk pada Sabtu (1/10) lalu. Entah apa yang dipikirkan. Tapi pada tanggal 1
Oktober ini, mungkin ada sedikit terbersit dalam memorinya peristiwa yang
persis terjadi 46 tahun lalu.
Sebuah malapetaka yang begitu berpengaruh pada nasib
bangsa ini. Di Jakarta, dini hari 1 Oktober 1965, enam jenderal diculik oleh
kelompok Gerakan 30 September (G30S). Sejak saat itu dan beberapa tahun
sesudahnya, Indonesia tiada henti dirundung duka. Daerah-daerah pun ikut
terseret pusaran politik yang terjadi di Jakarta. Dan semua orang tua masa
kini, tak bisa tidak, pasti punya ceritanya sendiri.
Tapi dari mulut Kholid hanya keluar jawaban, “Tak tahu!”.
Pria kelahiran 1933 ini memalingkan wajah seakan
menghindar dari apa yang diketahuinya sepanjang tahun 1965-1966 tersebut. Namun
gerak-gerik tubuh dan raut wajahnya memberi pesan ada yang disembunyikan.
“Tanya sama Ibu aja!”
Kholid yang tua renta itu tidak berkerja sendiri. Si ibu
yang dimaksud tak lain istrinya, sebutlah Aminah namanya. Saban hari
mereka bergiliran menjaga tempat menggantung hidup itu. Untungnya, tak berapa
lama, sang istri datang karena sudah gilirannya berjualan. Kholid pun bergegas
kembali ke rumah yang tak seberapa jauh dari situ. Berbeda dengan sang suami,
nenek satu ini dengan senang hati menjawab semua pertanyaan. Nyaris tanpa
beban, ia seperti wanita kebanyakan, yang mau mencurahkan semua yang ada di
pikirannya.
Pembunuhan Massal
Tahun 1965 Aminah masih berumur 20 tahun. Namun, ia sudah
tahu masalah politik yang jadi “makanan” penduduk di zaman Orde Lama. Bahkan di
Jember, tempat ia tinggal, yang jauh dari Surabaya, apalagi Jakarta. Di daerah
ini, partai-partai besar yang ada saat itu juga hadir. Termasuk Partai Komunis
Indonesia (PKI).
“Tapi mereka (anggota PKI, Red) bukan orang asli Jember. Mereka pendatang dari daerah luar seperti Madiun.”
Memorinya masih cukup kuat untuk mengingat kegiatan
orang-orang PKI yang hidup tak jauh dari rumahnya.
“Di dekat rumah ada tempat penggilingan padi yang kosong. Di situlah orang-orang PKI tinggal,” ungkapnya.
Apa yang dilakukan
orang-orang PKI itu pun tidak diketahuinya dengan jelas. Ia tak punya hubungan
dengan orang PKI dan tidak mengenal mereka.
Tapi Aminah tak mungkin tidak tahu pembunuhan massal yang
terjadi pada orang-orang PKI. Dengan semangat tinggi, diceritakannya
pembantaian terhadap orang PKI.
Menurut wanita berkaca mata ini, saat itu penduduk datang
dari segenap penjuru mengumpulkan orang PKI. Mereka yang dicurigai PKI
ditangkap. Para pelaku umumnya pemuda yang tergabung dalam GP Ansor (salah satu
badan otonom Nahdlatul Ulama, Red).
Jember saat itu merupakan basis Partai NU. Aminah
terang-terangan mengakui kefanatikannya pada organisasi yang didirikan Hasyim
Asy’ari itu.
“Semua keluarga NU, dari lahir ya otomatis jadi NU. Dari dulu sampai sekarang,” katanya.
Dengan bangga ia
katakan bahwa tidak ada sama sekali anggota keluarga dan tetangganya yang
memilih partai lain.
“PDI (maksudnya Partai Nasional Indonesia—PNI, Red) paling cuma satu-dua orang saja.”
Keadaan sosial seperti itu, ditambah kader PKI yang bukan
penduduk asli, membuat massa begitu beringas. Masih diingatnya para pemuda
mengumpulkan orang-orang PKI dengan asal-asalan. Para korban yang mati lalu
dikuburkan dalam kuburan massal berkapasitas 300-500 orang, atau dibuang ke
sungai.
Saat itu hanya ABRI yang bisa mengidentifikasi mana PKI
mana yang bukan. Sesudah tentara datang, baru penangkapan bisa lebih lebih
teratur.
“Bapak (Kholid, suami, Red) waktu itu tentara!”
Aminah kemudian menuturkan apa yang dilakukan suaminya
kala itu. Sebagai anggota ABRI, perintah atasan tidak bisa dielak. Suaminya pun
tidak dapat menghindar dari tugas untuk membunuh orang-orang PKI.
“Kan takut, diancam sama atasan,” katanya.
Ia dapat cerita dari suaminya kala menangani seorang
anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia—organisasi perempuan yang berafiliasi
dengan PKI, Red).
“Waktu itu seorang anggota Gerwani membujuk Bapak agar jangan dibunuh. Bapak dirayu tapi tidak berhasil. Lalu wanita itu disuruh mengucapkan syahadat tiga kali sebelum ditembak,” tutur Aminah sambil mengarahkan telunjuknya ke mulut yang memperagakan orang menembak.
“Gerwani itu lalu jatuh!”
Ketika ditanya mengapa Kholid tidak mau bercerita
pada Langkah Awal, Aminah membela pria yang lebih tua 12 tahun itu.
“Mungkin dia lupa,” katanya. Pada 1980, pasangan suami-istri ini pindah ke
Surabaya setelah suaminya pensiun. Hingga usia rentanya ini, sudah
dirasakan hidup di tiga rezim yang berbeda. “Zaman Pak Harto lebih baik. Kalau
dulu, pencuri langsung ditembak. Tapi coba lihat sekarang ini?” tanyanya dengan
nada kesal.
Walau begitu, ia masih lebih cinta
pada Presiden Sukarno.
“Zaman Pak Karno orang melarat semua, zaman Pak Harto orang kaya semua,” keluhnya.
Bahkan Aminah menuduh Soeharto-lah yang
sebetulnya orang PKI.
“Yang menyuruh Aidit (Dipa Nusantara Aidit—ketua PKI saat itu, Red) untuk melarikan diri (ke Yogyakarta, Red) ya Pak Harto. Habis itu Aidit dibunuh dalam lemari,” katanya. Ia sedih karena sesudah peristiwa G30S, Bung Karno dituduh sebagai anggota PKI hingga akhirnya dilengserkan.
“Pak Karno ya orang PDI (maksudnya PNI), bukan PKI. Soeharto sengaja menghabisi PKI biar dia selamat.”
Pernyataan Aminah secara ilmiah belum terbukti
kebenarannya. Hingga kini dalang sesungguhnya dari G30S pun masih berselimutkan
misteri. Tapi sejarah berkata bahwa PKI kemudian dibubarkan—dengan bantuan
demonstrasi mahasiswa—dan sesudah itu Soeharto menjadi presiden. Seandainya PKI
hidup lagi pun, wanita ini tak ambil pusing,
“Itu terserah DPR, bukan saya,” ujarnya.
Yang dia takuti kalau PKI hidup, maka anak PKI akan balas
dendam. (Hal ini tampak ketika dengan nada curiga saya ditanyai:
“Sampeyan anak PKI?”
Saya menjawab: “Bukan. Saya orang Sumatra yang waktu itu basis PNI dan Masyumi.”)
Tuduhan bahwa semua orang PKI atheis tidak disetujui oleh
wanita ini. Menurutnya, hal itu tergantung pada masing-masing individu.
Sebagaimana seorang beragama, ada yang shalat ada yang tidak, begitu juga orang
PKI.
Tatkala ditanya setuju-tidaknya tentang pembunuhan
massal, barulah dikemukakan pandangannya terhadap orang PKI.
“Begini Mas, bagi orang PKI itu, istri sampeyan ya istri saya; suami sampeyan suami saya,” ujarnya dengan penuh keyakinan. Ketika ditanya adakah kenyataan seperti itu terjadi pada masanya, wanita berjilbab ini tidak tahu menahu.
Mungkin inilah stigma yang melekat pada orang PKI, saat
itu bahkan hingga kini. Dan akibatnya, membunuh kader PKI pun sah-sah saja.
Seperti kata Aminah, membunuh orang PKI bisa dibenarkan karena mereka salah.
Dari pandangan seperti ini, satu juta orang yang bersangkut-paut dengan PKI
dibunuh di seantero negeri pada masa 1965-1966 dan jutaan lainnya ditahan.
Keturunan PKI juga mengalami diskriminasi dalam hidup sehari-hari.
Entah apa yang dipikirkan Kholid malam itu. Barangkali ia
tidak bisa tidur nyenyak karena teringat wajah memohon iba seorang wanita
Gerwani yang ia antarkan ke Malaikat Maut, lebih empat puluh tahun lalu.
Sebagai seorang tentara, ia berhak menjaga rahasia dan menutup rapat
perbuatannya.
Sedang generasi muda, akan terus dihantui tanda tanya
yang tak pernah beroleh jawaban pasti. Sejarah pun akan dibawa ke kubur bersama
para pelakunya. (Samdy)
0 komentar:
Posting Komentar