Sabtu, 26 November 2011
Oleh: Bung Samdy*
Tapi dapat diduga, dalam keadaan yang begitu rancak secara
teoritis tesebut, tidak ada lagi yang namanya kebebasan individu. Hak pribadi
ditiadakan berganti “hak komunal”. Praktis, hak untuk berdemonstrasi dibatasi,
apalagi jika untuk mengkritik pemerintah. Perjuangan dianggap usai karena kaum
proletar sudah memimpin.
Itulah gambaran singkat dari perbandingan dengan negara
komunis yang pernah hidup.
Tapi sejak Bolshewik yang dipimpin Lenin berhasil
menguasai Rusia pada tahun 1917; yang kemudian diikuti keberhasilan Mao Zedong
(Cina), Kim Il Sung (Korea Utara), Castro (Kuba), Ho Ci Minh (Vietnam) dll.,
semua impian dari Doktor Karl Marx tidak pernah bisa diwujudkan di muka bumi.
Apa yang gampang diidelakan sangatlah sulit penerapannya. Buruknya kondisi
perekonomian di negara-negara tersebut memancing rakyat menoleh pada
liberalisme yang bisa membuat hidup (tampak) bahagia.
Para pemimpin negara komunis pun sadar diri. Di antaranya
pemimpin Partai Komunis Uni Sovyet ex officio (merangkap) presiden,
Mikhail Gorbachev, mereformasi negaranya pada 1980-an. Tembok Berlin runtuh
tahun 1989, dan kemudian Uni Sovyet dan rezim-rezim komunis di Eropa jatuh.
Sebaliknya, di benua Asia dan Amerika partai komunis
tetap berkuasa namun penerapan doktrin baku Marxisme telah “binasa”. Kita lihat
apa yang terjadi di Cina dan Vietnam sekarang. Kedua negara ini telah
berkembang menjadi negara kapitalis dengan membuka penanaman modal asing.
Satu-satunya ciri komunisme tinggallah “kediktatoran proletar” dan pengekangan
kebebasan individu.
Sejarah menunjukkan bahwa kegagalan bukanlah monopoli
dari ideologi tertentu. Sebagian orang beragama mengatakan dengan enteng bahwa
komunisme hancur karena anti-Tuhan sehingga tidak diperkenan-Nya. Padahal di
masa silam, negara-negara yang mentasnamakan Tuhan pun hancur pula
berkeping-keping. Apakah dapat dengan enteng kita katakan bahwa Tuhan pun
ternyata tidak suka namanya dibawa-bawa dalam politik?
Kita boleh saja mengaitkan dengan dimensi spiritual. Tapi
fakta mengatakan kegagalan-kegagalan itu terutama terjadi karena adanya
pengingkaran atas kemanusiaan. Tatkala sebuah rezim komunis meniadakan hak
individu maka sang manusia sesungguhnya bukan manusia lagi. Begitu pula manusia
yang “diorientasikan untuk akhirat” sehingga hak duniawinya dibatasi dalam
pemerintahan teokrasi yang menatasnamakan kedaulatan Tuhan.
Padahal, manusia punya kebebasan dan yang satu ini adalah
paling hakiki. Manusia boleh memilih mau jadi bodoh atau pintar; apakah mau
masuk neraka atau surga; mau miskin atau kaya; dan lain sebaginya. Bahwa agak
aneh ada orang yang mau jadi bodoh atau lebih suka masuk neraka dan lain
sebagainya; itu adalah hak dari seorang manusia di muka bumi dan tak boleh
diganggu gugat oleh siapapun.
Kelemahan rezim komunis terdahulu disebabkan keangkuhan
bahwa mereka paling tahu keinginan manusia. Seolah-olah dengan mengenyahkan
kaum kapitalis/borjuis atau orang-orang kaya, maka kebahagiaan didapat. Dan
semua itu tolak ukurnya adalah uang dan materi—atau alat produksi. Dengan
menghilangkan para penghisap seakan-akan telah sirnalah penindasan. Padahal bukan
itu.
Bukan Materi
Saya teringat sebuah film berjudul “Enemy at the Gates”
yang ditayangkanTrans TV beberapa minggu lalu. Film berlatar perang
Sovyet-Jerman di Perang Dunia II itu mengisahkan pertemanan seorang perwira
politik Tentara Merah—angkatan bersenjata Uni Sovyet—bernama Danilov dan
seorang prajurit sniper bernama Vasely Zeitsev. Danilov ditugaskan
oleh atasannya, Nikita Kurshchev (kelak jadi pemimpin Uni Sovyet yang
bersahabat dengan Bung Karno), untuk membuat pamflet propaganda yang mengumbar
kehebatan Zeitsev supaya membangkitan semangat pasukan lain menghadapi tentara
Jerman.
Dikisahkan keduanya mencintai perempuan yang sama. Namun
sayang, dalam sebuah penyerbuan, Danilov mendapati gadis yang dicintainya
tertembak dan menduga ia telah meninggal (walaupun kemudian diketahui selamat).
Danilov lalu menemui Zeitsev yang sedang mengintai musuh, seorang sniper Jerman.
Dalam keadaan putus asa, dia menyampaikan kata-kata yang menyentuh hati.
Terjemaahan Bahasa Indonesianya kira-kira begini:
Kita (Uni Sovyet) mendamba menciptakan masyarakat yang
setara supaya tidak ada lagi yang iri pada (kekayaan) tetangga. Padahal, itu
tidak mungkin. Akan selalu ada yang kaya dan miskin. Kaya memberi, miskin
menerima; kaya dalam cinta, miskin dalam cinta.
Saya tidak tahu apakah kata-kata itu rekaan dan
dramatisasi dari sutradara Holywood; atau memang nyata pernah diucapkan. Yang
pasti, setelah mengatakannya, Danilov menjadikan dirinya sebagai umpan musuh
dan mati tertembak. Dia mati bukan demi komunisme melainkan mati karena
tiadanya lagi harapan lantaran sang kekasih telah pergi. Dia mati untuk apa yang
paling sederhana dalam hidup: cinta!
Kita tentu percaya bahwa cinta—pada apapun—adalah sesuatu
yang bersifat sangat peribadi dan tidak bisa didefinisikan dan ditentukan orang
lain.
Dengan kata lain cinta bersifat otonom. Filsuf Imannuel
Kant menyebut bahwa moral bersifat otonom; tapi kita pernah mendengar “moral
kata kiai”, “moral dibilang pendeta”, dan “moral menurut pemerintah”; sehingga
tidak lagi otonom sifatnya. Tapi kita pasti percaya bahwa cinta itu mutlak
berasal dari seorang individu. Karena cinta kita bisa melawan orang tua,
mengkhianati negara, ataupun mengingkari agama.
Yang ingin saya katakan adalah sesuatu yang sifatnya
paling azasi takkan pernah bisa ditentukan oleh pihak yang paling berkuasa
sekalipun. Yang dibutuhkan manusia adalah kebebasan. Manusia tidak semata-mata
butuh materi atau mendasari kecemburuannya hanya pada materi. Dengan
terjaminnya kebebasan, manusia dapat memilih sendiri apa yang paling
diinginkannya. Mengekang kebebasan akan menjerumuskan kekuasaan tiran pada
kejatuhannya.
Karena itu, seandainya pun PKI berhasil berkuasa,
akhirnya hnya akan mengikuti jejak partai komunis lain—jatuh atau paling tidak
menjadi kapitalis. Tanpa perlu mengaitkan dengan kondisi sosio-religius
masyarakat Indonesia, saya yakin dengan sendirinya PKI akan jatuh digantikan
oleh pemerintahan yang menjamin kebebasan manusia.
Hal itu memang tidak pernah terjadi. Tapi toh sejarah
berkata bahwa sesudah PKI dilarang, rezim Soehato mengalami apa yang mungkin
bakal terjadi pada PKI seandainya berkuasa. Pemerintahan Orba, kemudian
Aljazair, Mesir, Libya adalah serupa dengan kediktatoran model komunis.
Semuanya runtuh!
Namun, di luar konteks politik, sesungguhnya kita akan
terus menemukan manusia-manusia yang menginginkan keadilan dan persamaan dalam
materi. Sebagaimana seorang Ibu Aminah dalam reportase Langkah Awal edisi
sebelumnya yang cemburu pada banyaknya orang kaya sementara dia hidup dalam
kemiskinan. Dia justru menghendaki agar sekiranya orang hidup melarat semua.
Seandainya Ibu Aminah tahu bahwa keinginannya juga salah
satu impian dari komunisme, barangkali pandangannya pada partai itu akan
berubah. Ini merupakan kecenderungan manusia-manusia Indonesia kini yang mudah
iri melihat orang lain bergelimang harta sedangkan dirinya tidak.
Tapi dari Danilov kita mendapati bahwa seandainya pun
tiada lagi miskin dan kaya, pada akhirnya materi bukanlah keinginan terdalam
dari seorang manusia. Dan PKI tidak perlu sampai berkuasa supaya kita dapat
menyadarinya!
*Samdysara Saragih-Teknik Fisika ITS
0 komentar:
Posting Komentar