S. Riany | 1 Oktober 2011
Makassar yang di
kenal sebagai kota pelabuhan berpuluh-puluh pedagang singgah, berdagang, hingga
bertempat tinggal di Makassar menyebabkan arus pergerakan nasional juga
menampakkan wajahnya.
Menurut catatan Taufik, pada tahun 1916 organisasi
syarikat Islam adalah organisasi yang pertama kali menapakkan jejaknya di
“Butta Daeng” ini, yang pemimpinnya kala itu adalah Ince Abdurrahman, Ince
Tajuddin, Ince Taswin dan Burhanuddin. Kemudian di susul oleh Muhammadiyah
membuka cabangnya di Makassar pada tahun 1926 lewat seorang pedagang batik asal
Surabaya, yakni KH. Abdullah dan Mansyur al-Yamami. Kemudian PKI juga mulai
membuka cabangnya di Makassar
Pada tahun 1922, PKI telah menanamkan pengaruhnya dan
melakukan propaganda dan menyebarluaskan program-programnya dengan memakai
corong “Pemberita Makassar”.
Dengan surat kabar ini, PKI dengan langkah pasti
menggemakan ajaran-ajarannya yang melawan penindasan atas kolonial Belanda.
Melakukan pendidikan politik kepada rakyat Sul-Sel untuk bersama-sama,
bergerak-berbareng dalam melawan dan mengusir penjajah. Dan PKI cabang Makassar
ini diakui dan menjadi utusan di antara empat cabang dari luar pulau Jawa dalam
kongres kesembilan partai ini.
Dengan gagalnya pemberontakan Prambanan yang dilancarkan
segelintir elit PKI, berimbas pada pelarangan PKI di nasional maupun daerah.
Perlawanan sosial terhadap colonial Belanda menjadi “berhenti dan tiarap”. Dan
banyak para akitivisnya yang di tangkap, bahkan ada yang di buang keluar
negeri. Dengan tiarapnya pergerakan sosial, maka di pusat maupun di
daerah-daerah “tidak terdengar” lagi pergerakan dan perlawanan sosial yang
besar, kecuali letupan-letupan amarah yang dengan sekejap dan mudah dapat
dipatahkah.
Pada tahun 1953, PKI cabang Makassar belum dapat
memberikan pengaruh besar terhadap warga masyarakat Sul-Sel pada umumnya, dan
warga Makassar pada khususnya. Hal ini didasari oleh kuatnya control aparat
pemerintah dan berkembangnya DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar yang merupakan
“anti-tesa” dari PKI tersebut. Tergerusnya ruang publik bagi PKI di Sul-sel
menjadikan partai ini “melunakkan” propagandanya dengan menjelaskan lebih awal
bahwa lambing palu, arit dan kembang bunga di bendera PKI dapat diartikan buruh
(palu), petani (arit) dan kemakmuran (kembang bunga).
Walaupun giat melakukan propaganda turun ke grass-root,
tetapi pada pemilu pertama 1955, PKI hanya mendapatkan urutan 10 dengan jumlah
suara 17. 831 atau 1, 6 persen, tak mendapatkan kursi di dewan legislative.
Sedangkan pada tahun 1961, susunan DPR-GR menempatkan utusan PKI, satu orang
yang diwakili oleh Aminuddin Muchlis. Awalnya, pada tahun 1960 telah disahkan
UU PA dan UU PBH yang mana di daerah-daerah telah terjadi aksi sepihak PKI
dalam melakukan pembagian tanah Negara kepada para petani penggarap. Aksi
sepihak ini memicu konflik keras antara tuan tanah dengan para petani, sehingga
pimpinan pesantren Darul Da’wah Wa Al-Irsyad (DDI) KH. Ambo Dalle dalam
muktamarnya di Makassar menyatakan kepada pemerintah untuk membubarkan PKI dan
ormas-ormasnya karena telah memicu pertentangan di tengah-tengah masyarakat.
Camp Pengasingan Moncongloe
Kebencian Ulama terhadap PKI tambah menjadi-jadi akibat
terdengar kabar bahwa telah terjadi kerusuhan di Jakarta yang didalangi oleh
PKI, maka kekerasan fisik terhadap PKI pun tidak dapat dihindarkan. Pelbagai
organisasi non-PKI bergabung untuk melakukan “perlawanan-balik” terhadap PKI
yang telah meresahkan masyarakat akibat aksi land reformnya.
Berita-berita yang menyudutkan PKI beserta ormas-ormasnya
sebagai pelaku penyiksa, pembantai dan pembunuh para Jenderal terpublikasikan
di media-media pada bulan Oktober, November dan Desember 1965. Akibat
pemberitaan ini, maka bermunculanlah kelompok dan gerakan anti komunisme dan
anti-PKI yang semuanya tergabung dalam Front Pancasila.
Di Makassar, pada bulan Oktober gerakan yang tergabung
dalam anti PKI pun mulai melakukan penggeroyokan massa, pengrusakan perabot
rumah tangga, dan sebagainya terhadap orang-orang yang teridentifikasi
mempunyai hubungan dengan PKI (lihat 112-116) Razia, pengejaran dan penangkapan
terhadap aktivis dan simpatisan PKI terus terjadi, tidak hanya di kota
Makassar, akan tetapi di daerah-daerah pun terjadi, seperti Bone, Pare-pare,
Jeneponto, Bantaeng, dll. Penjara merupakan tempat persinggahan terakhir dari
aktivis dan simpatisan PKI, hingga akhirnya “dijebloskan” ke kamp pengasingan di
Moncongloe. Sebelum ke Moncongloe, para tapol tersebut di tempatkan di
penjara-penjara militer di kodim-kodim di daerahnya masing-masing. Sejak
Oktober 1965 sampai Maret 1966, jumlah tapol mencapai 9. 765 orang. Di penjara,
para tapol di tindak secara keras, di siksa hingga terdengar jeritan-jeritan
yang suaranya didengar seluruh penghuni penjara hampir tiap malam.
Mendengar kata Moncongloe, mungkin terasa asing di ruang
dengar kita sekalian, tak hanya di luar kota Sulawesi Selatan, bahkan di dalam
kota pun banyak masyarakat yang belum dengar tempat dan berkunjung ke sana.
Sebagaimana diteliti oleh penulis buku ini, bahwa Moncongloe berada di daerah
perbatasan Maros dan Gowa, sekitar 20 Km dari ibukota Kabupaten Gowa dan 15 Km
dari ibukota Kabupaten Maros, ketinggian sekitar 250 meter dari permukaan laut
dengan struktur tanah yang tidak rata. Daerah ini dikenal pula dengan sebutan
“Tanah Merah”.
Sesuai dengan surat keputusan Pepelrada Sulselra No. KEP.
024/ 10/ 1965/ PDD/ 1965 tanggal 18 Oktober 1965 tentang perintah
membebastugaskan untuk sementara para anggota PKI dan ormas-ormasnya. Kodam XIV
Hasanuddin yang dikomandani oleh Brigjend Solihin mengeluarkan kebijakan
pembubaran PKI di Sul-Sel dan instruksi kepada semua instansi pemerintah agar
melakukan pengawasan ke setiap pegawai yang mempunyai hubungan dekat dengan
PKI.
Pengamanan dan penangkapan aktivis dan simpatisan PKI di
tangkap dan dipekerjakan secara paksa, sebagaimana yang terjadi di kampong
Tabaringan, Kabupaten Takalar, sekitar 600 orang dijadikan tahanan politik
(tapol) dan wajib lapor dan dikenakan sanksi bekerja membuat jalanan dari kota
Takalar hingga perbatasan kabupaten Jeneponto. Begitupula di tempat lain,
kabupaten Pare-pare, Barru, Selayar, sekitar 1.470 petani di tangkap karena mempunyai
hubungan dengan ormas petaninya PKI, Barisan Tani Nasional (BTI). Hal ini
sesuai dengan petunjuk pelaksanaan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban No. PELAK-002/KOPKAM/10/68.
Dalam wawancara peneliti kepada tapol (Cak Gun, namanya)
berkata: “Saya selalu bertanya-tanya dalam hati, apa salah saya, atau mungkin
leluhur saya pernah membuat kesalahan sehingga sayalah yang harus menanggung
akibatnya. Saya ditahan pada usia 15 tahun ketika itu saya duduk di bangku SMP
kelas II, mana mungkin saya terlibat dalam Gerakan 30 September, sejak di
penjara sampai pengasingan, saya tidak mengerti mengapa saya di tahan. Ada apa
dengan nasib saya.”. Ini hanya sekedar salah satu contoh bahwa dalam
penangkapan G 30 S/PKI, banyak dari tapol adalah salah tangkap. Dan ini bukan
hanya terjadi di Sul-Sel, akan tetapi (mungkin) dapat terjadi di tempat lain di
luar Sul-Sel.
Sebagai penutup, buku ini sangat penting untuk melengkapi
“serpihan” sejarah Indonesia yang tercecer dan belum dikuak-publikasikan kepada
khalayak ramai. Semoga buku ini menjadi bermanfaat bagi generasi masa kini dan
generasi masa depan.[mloe]
Sumber: Moncongloe.Blogspot.Com
0 komentar:
Posting Komentar