Bonnie Triyana | Senin 10 Oktober 2011 WIB
SEPEKAN setelah Joesoef Isak wafat 15 Agustus 2008 lampau, Umar Said selalu menelpon saya. Tiga kali seminggu! Dalam setiap pembicaraan, dia selalu menekankan pentingnya merawat warisan intelektual Joesoef Isak. Ketika terlontar gagasan Joesoef Isak Award, Umar langsung menyambut gembira rencana itu.
“Kalau Mochtar Lubis saja ada award-nya, mosok wartawan sekaliber Joesoef Isak ndak ada,” kata dia dari seberang nun di Paris sana. Tak henti-henti Umar selalu mengingatkan jasa penting sahabatnya itu dalam menjebol tembok kekuasaan yang mengekang kebebasan menyatakan pendapat di negeri ini.
Persahabatan Umar Said dengan Joesoef Isak terjalin sejak lama, sejak mereka sama-sama wartawan muda yang penuh elan bahu membahu dalam kepengurusan Persatuan Wartawan Asia-Afrika (PWAA). Umar bekerja untuk koran Ekonomi Nasional, Joesoef untuk Merdeka. Kerjasama terakhir mereka terjadi pada 2008, saat Joesoef meminta tolong Umar untuk menemui Han Suyin, penulis biografi Zhou Enlai yang akan diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Hasta Mitra.
Joesoef tahu, permintaannya itu akan sangat merepotkan Umar. Tapi Umar tak menampik tugas itu. Sebagai orang yang ditunjuk mewakili keperluan Hasta Mitra di Eropa, Umar, disertai Ninon istrinya, bergegas menuju Lausanne, Swiss menemui Han Suyin yang telah renta berusia 90 tahun. Buah dari pertemuan itu adalah restu buat Hasta Mitra untuk menerbitkan biografi Zhou Enlai dalam bahasa Indonesia. Umar berhasil meyakinkan Suyin bahwa karyanya perlu dibaca orang, bukan saja di Tiongkok, tapi juga di Indonesia.
Umar memang tak pernah berhenti. Pada usia senjanya, dia tetap bergerak kendati pelan. Bagi mereka yang akrab berjejaring di dunia maya, khususnya di berbagai mailing list jurnalisme, nama Umar tak asing lagi. Paling tidak sepekan sekali, dia selalu menyiarkan artikel yang mengulas situasi di Indonesia, bahkan perkembangan politik Internasional. Gaya bahasanya pun tak pernah luntur: ala wartawan perjuangan. Menggebu, menghentak-hentak dan seringkali: menggugat.
Dia memang pantas menggugat. Umar terpaksa hidup di “pengasingan” setelah Soeharto mengambilalih kekuasaan dari tangan Sukarno. Dua minggu sebelum peristiwa G.30.S 1965 terjadi, Umar bertolak ke Santiago, Chili untuk menghadiri konferensi International Organisation of Journalists (IOJ). Usai konferensi itu Umar pergi ke Aljazair untuk merundingkan persiapan penyelenggaraan Konferensi Wartawan Asia-Afrika ke-II di Alger. Di ibukota negeri jajahan Prancis itulah Umar mendengar adanya peristiwa penculikan dan pembunuhan perwira Angkatan Darat di Jakarta. Sejak saat itu Umar Said – meminjam istilah Gus Dur – hidup klayaban di luar negeri terpisah 13 tahun dari istri dan dua anak lelakinya yang masih tinggal di Jakarta.
Dalam masa-masa tak menentu itu Umar memutuskan untuk pergi ke Tiongkok, menggabungkan diri dengan delegasi wartawan Indonesia yang bermaksud menghadiri perayaan hari nasional Tiongkok 1 Oktober. Sejak 1974 Umar mengajukan diri untuk memperoleh suaka politik dari pemerintah Prancis yang baru dikabulkan pada 1986 atas nama Andre Aumars, nama baru Umar Said. Pada 1977, berkat bantuan Joesoef Isak, Umar berhasil mengontak istrinya melalui sambungan telepon. Setahun kemudian, Ninon pergi mengunjungi Paris dan mereka mulai menyusun kembali serpihan kehidupan keluarga yang berserak pascaperistiwa G.30.S. Dua anak mereka kemudian menyusul ke Prancis dan melanjutkan sekolahnya di sana.
Perjalanan hidup Umar memang berliku. Dalam memoarnya, Perjalanan Hidup Saya Umar mengisahkan secara kronologis fragmen-fragmen dalam kehidupannya: lahir di Pakis, Jawa Timur pada 26 Oktober 1928. Bersekolah HIS di Blitar. Melalui masa remaja di Kediri dan turut bertempur dalam pertempuran heroik di Surabaya bersama Bung Tomo dan Sumarsono. Usai perang Umar merantau ke Jakarta. Sempat bekerja jadi pelayan losmen dan kemudian bekerja sebagai penterjemah di kantor penghubung Angkatan Laut Amerika Serikat di Jakarta.
Karier kewartawanannya bermula ketika ia diterima bekerja sebagai korektor di koran Indonesia Raya. Mochtar Lubis-lah, sang pemimpin redaksi, yang mewawancarainya. Tak lama bekerja sebagai korektor, Umar ditunjuk jadi reporter. Dan sejak saat itu dia banyak melakukan perjalanan jurnalistik, salah satunya meliput operasi penumpasan RMS di Maluku. Karier dia di Indonesia Raya tak lama. Pada 1953 dia mengundurkan diri setelah bossnya, Mochtar Lubis, tak mengijinkan Umar pergi mengikuti konferensi pemuda di Wina, Austria.
“Alasannya ialah bahwa konferensi itu adalah konferensi komunis,” kata Umar dalam memoarnya, menirukan Mochtar.
Selama hidup sebagai eksil di Prancis, Umar pernah tujuh tahun bekerja di Kementerian Pertanian. Di luar itu dia tetap menjalankan kegiatan politiknya untuk mempropagandakan berbagai pelanggaran kemanusiaan yang dilakukan pemerintahan Orde Baru. Sesekali umar menulis untuk Le Monde Diplomatique, dan untuk tema-tema tulisan tertentu dia menggunakan pseudonim, sebagaimana yang dilakukannya untuk majalah T moinage Chr tien di mana Umar memakai nama samaran Pierre Eaubonne.
Tak hanya menulis untuk media lain, pada Juni 1979 Umar menerbitkan buletin Indonesie, terbitan berkala yang menyuarakan pembebasan tahanan politik di Indonesia. Umar juga pernah menjalankan sendiri majalah Chine Express yang ditujukan kepada perusahaan-perusahaan Prancis yang ingin berhubungan dengan pasar Tiongkok.
Setelah mengundurkan diri sukarela dari kantor Kementerian Pertanian Prancis pada Mei 1982, Umar mulai mencari jalan mendirikan restoran Indonesia. Mulai Desember 1982 koperasi restoran Indonesia berdiri. Sejak berdiri, restoran Indonesia ini banyak mempromosikan kebudayaan Indonesia. Namun ironisnya ketika masa Orde Baru pejabat di Kedutaan Besar RI di Paris selalu mewanti-wanti setiap orang Indonesia yang berkunjung ke Paris agar tidak mampir di restoran itu.
Namun ada saja yang nekat mampir, salah satunya adalah Arief Budiman. Dia bahkan menuliskan hasil kunjungannya itu di koran Kompas pada Desember 1983 dan menyebut restoran Indonesia sebagai kedutaan yang sesungguhnya. Kontan saja pemerintah makin berang pada sepak terjang Umar Said cum suis. Mitos restoran Indonesia sebagai sarang komunis yang berbahaya bagi orang Indonesia terpecahkan saat mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berkunjung kesana pada 5 Mei 2003.
Segala daya upaya Umar rupanya mendapat perhatian dari pemerintah kota Paris. Maka pada 24 Januari 2011, Umar dianugerahi pemerintah kota Paris sebagai warga kehormatan (citoyen d’honneur). Medali ini diberikan kepada mereka-mereka yang dianggap sebagai orang yang menonjol dalam bidang-bidang tertentu (ekonomi, sosial, kebudayaan, sastra, dan lain-lain ) dan dianggap berjasa untuk memperkaya kehidupan kota Paris sebagai keseluruhan.
Pada 8 Oktober kemarin, dua pekan sebelum ulangtahunnya yang ke-85, warga kehormatan kota Paris itu wafat. Seminggu sebelum wafat, dia masih sempat menulis sebuah ulasan mengenai peringatan tragedi 1 Oktober 1965. Kini dia telah pergi namun tulisannya yang tersebar di mana-mana tak lantas membuatnya hilang. Adieu monsieur Aumars!
Sumber: Historia
0 komentar:
Posting Komentar