Hersri Setiawan |
Thursday, May 9, 2013 | 5:50pm
Pembuka
Dua hari yang lalu Ita Fatia Nadia, bersama Ibu
Saparinah Sadli, Rita dan Eli kembali dari Negeri Belanda. Antara lain telah
diputar “Jembatan Bacem”, film yang belum lama ini telah selesai dibuat,
oleh Elsam dan Pakorba Solo, dan diluncurkan di Jakarta.
“Jembatan Bacem” ini sedikit berbeda dari yang
dibuat oleh Elsam dan Pakorba Solo. Dengan penyuntingan seperlunya tulisan ini
dipersembahkan.
Nyadran
di Bengawan Solo
Kembang
Setaman dan Kidung bagi Korban
Pengantar
Peringatan Tragedi 1965 tahun ini jatuh di penghujung
bulan Ruwah, penjawaan untuk kata Arab “arwah”, menjelang masa puasa. Bagi
masyarakat Jawa bulan Ruwah merupakan saat keluarga mengingat leluhur mereka
yang telah meninggal dunia. Biasanya keluarga-keluarga yang masih menjalankan
tradisi kejawen mengadakan sadranan untuk
menabur bunga di makam dan mengirim doa bagi orang tua dan kerabat yang telah
tiada. Mengikuti tradisi ini, pada Minggu, 2 Oktober 2005, kelompok Paguyuban
Korban Orde Baru (Pakorba) Solo menyelenggarakan upacara nyadran bagi
anggota keluarga dan kawan-kawan mereka yang menjadi korban dalam pembantaian
di Jembatan Bacem, Desa Grogol, Kabupaten Sukaharja. Di bawah adalah catatan
Lingkar Tutur Perempuan tentang acara bersejarah tersebut.
Lila
tumekeng pralaya
Mangka
tumbal mbenjang raharjaning nagri
Tur to
kathah cacahipun
Tan
kaprah mungguhing jalma
Pinitenah
tan cetha dununging luput
Baya
karsaning jawata
Panengraning
jaman sisip
Ikhlas
menemui ajal
Jadi
tumbal kelak sejahtera neg’ri
Sungguh
besar nian jumlah mereka
Tak
semestinyalah bagi umat manusia
Difitnah
tak jelas di mana salah mereka
Adakah
itu kehendak Dewata barangkali
Dipakai
sebagai pertanda jaman kegelapan
Pangkur Dhudha Kasmaran
Matahari agak garang memancarkan sinarnya pagi itu.
Waktu baru beranjak ke pukul sembilan pagi, tapi udara sudah terasa cukup
panas. Dari Wisma Yayasan Indonesia Sejahtera di daerah Kleco -tempat acara
Tutur Perempuan berlangsung sehari sebelumnya- iringan tiga bis besar bergerak
ke arah selatan kota Solo. Bis-bis yang mengangkut ibu-ibu dan bapak-bapak
korban Tragedi 1965, beserta belasan anak muda yang mendampingi mereka ini,
menuju Jembatan Bacem (Kretek Bacem) yang melintang di atas salah satu
anak sungai Bengawan Solo, di Desa Grogol, Kabupaten Sukoharjo. Dari ingatan
sebagian masyarakat di Solo terbetik cerita bahwa 40 tahun yang lalu
diperkirakan ratusan orang dibunuh dan dibuang ke kali di bawah Jembatan Bacem
karena dituduh terlibat kudeta Gerakan 30 September (G30S). Hari itu, Minggu, 2
Oktober 2005, puluhan ibu dan bapak berusia diatas 60 tahun yang berasal dari
Solo dan kota-kota di sekitarnya berniat melakukan ziarah, sekaligus
memperingati tragedi berdarah tersebut.
Ziarah yang disebut nyadran ini
peristiwa langka. Setelah kurang lebih 40 tahun pembantaian berlalu, baru kali
ini keluarga dan kawan-kawan para korban mendapat kesempatan mengenang dan
memberi penghormatan secara terbuka bagi orang-orang terkasih yang telah
dimusnahkan tanpa penjelasan yang adil. Untuk sebagian peserta upacara, ini
kali pertama pula mereka akan melihat sebuah situs penganiayaan yang menyimpan
terlalu banyak kisah pedih. Namun, yang sejak awal sudah tampak mengesankan
adalah bagaimana bapak-bapak dan ibu-ibu dari Pakorba Solo dengan rapi dan matang
mempersiapkan hajatan ini. Di tengah ancaman dan gertak kelompok-kelompok yang
masih saja terus-menerus membangkitkan kebencian terhadap korban Tragedi
1965, ditambah lagi dengan keterbatasan dana, waktu, dan sumber daya manusia,
mereka upayakan sebuah wahana mengenang dan dengan cara yang sangat
bersahaja.
Di dalam bis tak ber-AC, udara panas lembab membuat
seluruh tubuh segera terguyur peluh. Kegerahan toh tidak menghalangi sekelompok
ibu dan bapak asyik berbincang tentang pengalaman mereka di masa revolusi
kemerdekaan dan sebelum peristiwa 1965. Suara lantang bu Salwiyah, mantan
anggota Gerwani Jawa Tengah, terdengar mengatasi tanggapan bergantian lawan
bicaranya. Berkain batik dan berkebaya merah marun dari bahan brokat, lengkap
dengan sanggul, ia berlutut di kursinya menghadap ke arah belakang, tempat
duduk beberapa bapak berkemeja batik dengan rambut yang sudah memutih semua.
Bis sempat bergerak lambat, bahkan berhenti beberapa saat karena terhalang
gelar promosi rokok merek “Menara”. Untungnya jalanan sempit menuju Desa Grogol
tak terlalu padat, sehingga bis bisa segera melaju kembali.
Setengah jam kemudian, iringan bis tiba di tempat
tujuan.
Berombongan para ibu dan bapak saling bergandeng
tangan menyeberang jalan, menuju lokasi acara sambil menenteng
keranjang-keranjang kecil berisi bunga tabur. Secara teratur rombongan berjalan
melalui gang-gang kecil perkampungan di sekitar kali. Di ujung kelokan terakhir
ada jalan setapak menurun untuk memasuki pelataran cukup luas, yang melandai ke
arah bantaran kali di kolong selatan jembatan.
Pokok-pokok rindang di awal turunan, tetumbuhan liar,
dan rumpun-rumpun pohon pisang tanpa buah di sekeliling pelataran, meredam
terik matahari dan debu jalanan. Sementara, dinding beton kusam penyangga jalan
raya di sisi timur ikut jadi peneduh, sekaligus menegaskan batas belakang ruang
hadirin. Tak ada dekorasi atau spanduk yang menandai akan berlangsungnya upacara
peringatan sebuah prahara.
Barisan pagar betis bapak-ibu panitia dengan santun
menyambut para tamu. Sang ketua, Bu Sarbinatun, dengan sanggul yang dihiasi
bunga kaca piring, berkebaya biru langit dan kain parang rusak latar putih,
terlihat anggun berdiri di tengah kerumunan orang yang melihat-lihat dan
mencari tempat. Seorang bapak membagikan pita-pita kecil hitam dengan peniti
untuk disematkan di baju para hadirin. Sementara itu Pak Mulyadi, Pak Sumidi, dan Pak
Supeno mempersilakan korban dan keluarga mereka duduk di deretan kursi
yang tertata rapi memanjang dari kolong utara jembatan.
Pelataran tanah gersang yang biasanya dipenuhi sampah
dan ilalang meranggas ini beberapa hari sebelumnya telah dibersihkan panitia
dengan bantuan masyarakat setempat. Di hadapan deretan kursi tamu dibangun
panggung sederhana di bawah lindungan atap jalinan daun nipah dengan
tiang-tiang bambu. Sekelompok penabuh gamelan -- berbaju beskap putih dengan
blangkon batik – menempati sebagian panggung, di belakang ibu-ibu pesinden (waranggana)
dan panembrama (paduan suara) yang bersimpuh sambil melantunkan tembang-tembang (lagu)
syahdu. Walaupun panitia masih mondar-mandir, dan para tamu berceloteh satu
sama lain, serta gamelan masih lirih berbunyi – atau justru karena itulah --
suasana khidmat sudah mulai terbangun.
Beberapa langkah di sebelah selatan panggung tampak
anak sungai yang sedang dangkal, berwarna abu-abu pekat, mengalir tenang di
sela-sela timbunan sampah dan hamparan bebatuan dan tanah lumpur yang menyembul
di permukaan air. Pandangan lepas ke seberang sungai sejenak terhalang dua
pilar beton yang menjulang gagah—mungkin setinggi 10-an meter—puncaknya
mencengkeram lintang kerangka besi-baja Jembatan Bacem baru. Setiap kali
kendaraan lewat, jembatan serasa terguncang dan rangka-rangka yang beradu
menimbulkan gemuruh yang bergema sampai ke bawah. Kira-kira sedepa dari
pasangan pilar jembatan baru, reruntuhan pondasi Jembatan Bacem lama, walau tak
menjulang, masih kokoh berdiri. Puncaknya tercabik-cabik cuaca dan waktu, ditumbuhi
lumut dan rumput, dan dindingnya menghitam. Tanpa jembatan, pondasi ini jadi
semacam prasasti, bersama aliran bengawan mengandung riwayat orang-orang yang
terbuang.
Menjelang pukul 10.00 pelataran telah dipadati ratusan
orang dari berbagai kalangan. Kursi hadirin terisi penuh oleh ibu-ibu berbusana
rapi—beberapa berkebaya dengan kerudung aneka warna—serta bapak-bapak
berkopiah, berkemeja batik atau hitam. Puluhan aktifis muda dari berbagai
organisasi di Solo, Boyolali, Yogyakarta dan Jakarta memilih bersimpuh di
panggung bersama ibu-ibu panembrama, berdiri di samping deretan
kursi hadirin atau di sepanjang bantaran kali. Mereka yang bertugas
mendokumentasikan acara sudah berkeliling mengambil gambar dari berbagai sudut.
Penduduk setempat—anak-anak ingusan, ibu-ibu berdaster menggendong bayi dan
sekelompok pemuda—mengamat-amati panggung dan rombongan tamu dari kejauhan.
Sebagian dari mereka pernah mendengar bahwa Bengawan Solo menjadi tempat
pembuangan mayat-mayat “orang PKI”. Tetapi tak terpikirkan oleh mereka bahwa
lingkungan hidup mereka suatu saat akan diziarahi ratusan orang.
Tak lama kemudian acara dibuka oleh MC, pembawa acara,
si Tukang Cerita Agus “PM Toh” Nuramal, dari Jakarta. Kali ini dia
tidak melawak. Ia mempersilakan salah satu saksi hidup penghilangan orang-orang
di Jembatan Bacem, Pak Dwijo, namanya. Dengan diantar Pak Sumidi, ia
menuju ke panggung dan menuturkan kisahnya, dengan bahasa Indonesia berlogat
Jawa kental yang terpatah-patah.
Ia menceritakan, ketika di dalam tahanan di Kodim ia menyaksikan
satu persatu kawan-kawannya diambil dan tak pernah kembali lagi. Menurut
hitungan kasar Pak Dwijo, tahanan yang dibawa dari Kodim tersebut, dan
kemungkinan dibunuh di Jembatan Bacem, berjumlah sekitar 144 orang. Belum
terhitung dari penjara atau tempat penahanan lainnya. Ia juga mendengar cerita,
beberapa hari setelah pembantaian terjadi, aparat keamanan memerintahkan
masyarakat setempat untuk membersihkan bekas darah yang masih menempel di
pembatas besi jembatan lama.
Sebentar saja Pak Dwijo bercerita. Tapi ujarannya yang
lugas tanpa bunga-bunga kata, langsung mengisi ruang hening hadirin dengan
alasan pentingnya tempat dan hari itu. Suasana khidmat sempat terganggu sejenak
ketika seorang bapak, wakil Pakorba dari Jakarta, menyampaikan orasi berapi-api
tentang konspirasi “agen-agen Nekolim” dan CIA dalam penggulingan Presiden
Soekarno dan kekejaman Soeharto terhadap orang-orang yang dianggap komunis. Ia
menekankan pentingnya gugatan korban Tragedi 1965 terhadap lima presiden untuk
mencapai keadilan.
Dari tengah hadirin yang berdiri tiba-tiba terdengar
teriakan “Hidup komunisme!” beberapa kali. Keresahan mulai mengusik
polisi-polisi yang menjaga keamanan, begitu juga intel-intel yang bertebaran
mengikuti jalannya upacara, barangkali diam-diam sedang memeras pikiran,
tindakan apa yang akan mereka tempuh. Karenanya keresahan juga segera menjalar
di kalangan tamu yang melihat para petugas keamanan dan para intel yang
bersiaga di pinggir-pinggir arena upacara. Seorang ibu dari panitia menggerutu
dalam bisikan, “Orang-orang ini siapa sih mbak? Kok di acara seperti ini malah
mancing masalah?”
Untunglah panitia dengan sopan segera meminta
tamu-tamu yang tak diundang tersebut ke luar meninggalkan arena upacara. Salah
satu dari mereka memakai kaus oblong putih dengan sablonan palu arit besar
hitam, dan yang lain mengenakan jaket nilon hijau daun bertuliskan “Aitarak” -nama
kelompok milisi pembunuh binaan TNI di Timor Leste- pada bagian punggungnya.
Sementara itu, MC segera meminta Romo Mardi Widayat, penasihat PMKRI
(Persatuan Mahasiswa Kristen Republik Indonesia) Solo, dan Pak Imam Azis dari
Syarikat Indonesia bergiliran menyampaikan pesan-pesan perdamaian dan doa
mereka.
Kedua rohaniwan ini menyoroti pentingnya upaya
pengungkapan kebenaran tentang apa yang sesungguhnya dialami para korban demi
mencegah keberulangan, terutama dalam kaitan dengan tindak kekerasan dan
pelanggaran hak-hak asasi manusia yang dilakukan rezim Orde Baru.
Selanjutnya, dua orang ibu diminta menuturkan
pengalaman mereka sebagai korban. Ibu pertama menceritakan pengalamannya ketika
ditangkap, ia terpaksa membawa serta dua orang anak dan satu bayi yang masih
dikandungnya ke dalam penjara. Sedangkan ibu kedua, Bu Sumini, berkisah
dengan suara tersendat menahan tangis. Namun ia menegaskan, bahwa ia tidak
bersalah dan tidak punya kaitan apa pun dengan peristiwa di Lubang Buaya,
tetapi harus mengalami penahanan bertahun-tahun, pelecehan dan kekerasan
seksual. Tim Tutur Perempuan sempat tersentak mendengarkan penuturannya, karena
sepanjang acara Tutur Perempuan dua hari sebelumnya Bu Sumini tak pernah
menceritakan kekerasan yang dialaminya. Malahan, berulangkali ia diminta
mewakili kelompoknya menyajikan hasil diskusi, karena dengan gayanya yang kocak
dan bersemangat ia selalu berhasil meramaikan suasana pertemuan. Mantan anggota
Pemuda Rakyat dari Pati ini menutup kesaksian singkatnya dengan beberapa kali
meneriakkan, “Kami tidak bersalah, kami tidak bersalah!” sambil masih terisak,
tapi mengepalkan tangan.
Kumaleyang
Lataking
katiubing angin
Aduh
biyung, paran ingkang purugipun
Jatuh
melayang
Dedaunan
kering diterpa angin
Aduh
ibu, ke mana akan dibawa
Tembang Suluk mengalun, membawa
hadirin ke acara utama. Ki Dalang Sri Joko Raharjo, yang bersila di
tengah panggung di antara dua nyiru berisi sesajen buah-buahan dan kembang
setaman merah putih, menguluk sembah dan mendengungkan mantra dalam bahasa Jawa
Kuno. Asap dupa yang terlebih dahulu dinyalakan meliuk-liuk seperti tabir
benang kapas mengikuti nafas halus ibu-ibu pesindhen danpanembrama.
Ibu-ibu dan bapak-bapak lansia beranjak dari tempat
masing-masing, mengambil keranjang-keranjang bunga tabur berselempang pita
kertas biru putih, dan berjalan menuju tangga untuk naik ke atas jembatan.
Rombongan riuh rendah untuk sementara waktu, ketika mereka mendaki anak-anak
tangga curam hampir tegak lurus. Seorang ibu tampak kepayahan dan harus
berhenti sebentar di tengah tangga untuk menarik nafas, sementara kawan-kawan
muda yang lain membimbing dua ibu tua untuk mencapai trotoar di sepanjang
jembatan.
Ana
wengi
layung-layung
angintip
wong wedi mati
gedhongana
kuncenana
wong
mati mangsa wurunga
Suatu
malam
sunyi
senyap
mengintai
orang takut mati
meski
di dalam gedung terkunci
mati
tak ‘kan terelakkan
Memasuki bait awal Ladrang Layung-Layung rombongan
mulai mencari tempat untuk berjajar di pinggir terali segitiga jembatan.
Perhatian kawan-kawan muda terpecah antara rasa pedih mendengar alunan gendhing dan tembang berlirik
pilu, terharu menyaksikan gerak lambat tapi bersemangat ibu-ibu manula, dan
khawatir ramainya jalan raya akan membahayakan keselamatan para ibu.
Kekhawatiran baru mereda saat kawan-kawan melihat sekelompok laki-laki muda
berseragam hitam-hitam sudah bersiaga memagari prosesi agar kendaraan yang
lalu-lalang tidak sampai menabrak peziarah.
Di tiang-tiang jembatan terpampang spanduk NYADRAN
KORBAN 1965 membuat beberapa pengemudi melambatkan kendaraan mereka, dan
bertanya kepada barisan pagar betis. Suara gendhing yang
seharusnya menjadi tanda saat menabur bunga hanya lamat-lamat terdengar.
Ibu-ibu pun mulai menabur bunga mengikuti keinginan hati mereka, sampai panitia
meminta taburan diperlambat sambil menunggu rakit yang akan meluncur tiba
persis di bawah jembatan. Ada seorang ibu yang tertegun menatap kali,
terus-menerus bergumam sendiri sambil menabur bunga; ada yang terisak pilu
ditenangkan kawan-kawannya; ada yang saling bercerita tentang bagaimana
Peristiwa 1965 mengoyak-ngoyak kehidupan mereka.
Salah satu ibu, Mbah Lurah—demikian ia biasa dipanggil
karena suaminya yang hilang adalah seorang lurah—datang bersama adik perempuan
yang suaminya juga hilang, anak perempuan, menantu dan cucu-cucunya.
Pada 1965 suami Mbah Lurah yang juga ketua sebuah
organisasi persatuan kepala desa dikejar-kejar untuk ditangkap. Ia sempat
menyembunyikan diri beberapa saat. Istrinya kemudian menyarankan agar dia
menyerahkan diri saja ke kecamatan. Sang suami menurut. Tetapi sejak itu ia tak
ada kabar beritanya, dan tak pernah pulang lagi. Orang mengatakan, ia telah
dibunuh di Jembatan Bacem dan dibuang ke kali.
Hari itu Mbah Lurah hadir dengan dandanan yang gandes:
berkain batik, berkebaya hitam, dengan selendang terselempang di pundaknya.
Semalam sebelumnya, anak perempuan Mbah Lurah menulis surat kepada bapaknya
untuk dilarung bersama rakit pembawa pesan:
Pak,
ini saya, anakmu datang bersama
dengan
Simbok, istrimu, dan cucu-cucumu datang
ke sini
untuk menunjukkan cinta kami
kepadamu.
Pak,
semoga arwahmu
diterima
di sisi Tuhan
Kami,
anak dan cucu-cucumu
akan
meneruskan perjuanganmu
dari
istri
anak
dan cucu-cucumu
Mereka yang tidak naik ke atas jembatan berkerumun di
bantaran kali, menunggu datangnya tujuh rakit-rakit gedebog (batang
pisang) dari arah barat, Langen Harjo. Hembusan angin menggiring lantunan
bait-bait miris Pangkur Dhudha Kasmaran ke rongga dingin,
antara air kelabu dan pilar-pilar beton penyangga jembatan. Sesekali terdengar
teriak panitia yang memberi aba-aba bagi penabur bunga. Tak berapa lama
rakit-rakit dengan tiang bambu berbendera merah putih kecil, didayung mendekat
bersama arus sungai. Dua orang bapak berdiri sambil mendayung. Di antara
kaki-kaki mereka tampak kantung-kantung plastik berisi surat-surat, dari
keluarga dan kawan-kawan para korban yang telah ditulis semalam sebelumnya.
Tepat di sebelah pondasi jembatan lama laju rakit melambat. Bunga-bunga merah
putih semakin deras bertaburan, melayang-layang di sayap-sayap angin, lalu
jatuh berguguran di riak-riak air yang mengalir. Sejurus bayangan jasad-jasad
korban seakan berkelebat melayang, lalu terhempas ditelan arus sungai Bacem,
anak-bengawan Sala.
Wus meh
tumurun pra suksma linuwih
Karsaning
Hyang Manon
Wus
samya samapta ing ngarsane
Sinung
saliring pusaka adi
Mawa
daya linuwih
Mbenjang
ing palugon
Sudah
hampir turun para arwah mulia
Demi
kehendak Hyang Mahatahu
Sudah
menghadap semua di hadiratNya
Diberilah
semua pusaka utama
Dengan
daya maha ampuh
Kelak
di medan juang
Tiba-tiba sorakan dan tepuk tangan menggema. Satu
gentong besar berisi ikan lele ditumpahkan ke tengah rakit sebagai perlambang
kelanjutan perjuangan bagi yang hidup. Dari bantaran kali lusinan Burung Alasan
(burung-burung liar) dilepaskan, sebagai lambang pembebasan arwah korban.
Ratusan surat berisi ucapan selamat jalan dan doa diluncurkan bersama
perahu-perahu kecil. Bunga-bunga tak berhenti berhamburan. Angin yang cukup
kencang membawa kembali sebagian kelopak bunga mawar ke arah jembatan dan
mendarat di besi-besi penyangga. Akhirnya, rakit direlakan melaju ke timur
tanpa kemudi, mengikuti alunan air yang sekarang berhiaskan tebaran kelopak
bunga seperti hamparan permadani pengantin. Gamelan masih berbunyi, iringi
syair penutup, Ayak-ayakan Tlutur
Enggih
sampun jengkar Sang Hyang Manon
Marepeki
pasebaning para suksma adi luwih
Peparinge
sangsangan puspita rinonce
Minongka
pratandha tentreming bawana
Para
suksma adi luwih
Syahdan,
undur sudah Sang Hyang Mahatahu
Menyambut
penghadapan arwah yang amat mulia
Anugerah
kalung untaian bunga
Sebagai
pertanda ketenteraman dunia
Para
arwah yang amat mulia
Upacara telah usai.
Rombongan peziarah beriringan meninggalkan
jembatan. Pak Bronto, eks-perwira intelijen Brigade VI Surakarta yang
Sukarnois, dan sepanjang siang lalu-lalang mengatur pengamanan upacara, duduk
terpekur di salah satu sudut kolong jembatan. Pandangan tajamnya meredup
seiring sisa alunan gendhing. Di sudut lain, seorang bapak
eks-tapol yang sekarang hidup dari menjual susu kedelai dengan tawa cerah
membagikan kantung-kantung kecil berisi susu kedelai hangat kepada setiap tamu
yang pulang. Kawan-kawan muda ada yang bergerombol di sisi panggung, ada yang
menyendiri, merokok, sambil mengamati ruang upacara yang mulai kosong dengan
lebih awas. Satu dua pasang mata tampak sembab. Tak lagi banyak suara karena
yang mereka saksikan sudah menjarah hampir seluruh perbendaharaan kata mereka
tentang pedih-ngeri sebuah tragedi, tentang keteguhan orang-orang yang terus
berusaha melampaui pedih-ngeri, dan tetap menjadi manusia bersahaja.
Ruang dan siang itu memang tak cukup luas untuk
menggelar setiap 40-tahun yang dilalui masing-masing korban. Namun, di lingkar
kebersamaan yang terbatas ini telah tumbuh sebuah kesepakatan lintas generasi:
bahwa titik-titik kebenaran yang sudah dan akan terungkap lewat cerita, tembang,
doa atau ziarah harus dirangkai menjadi sejarah baru. Bahwa sejarah baru itulah
yang akan membekali generasi selanjutnya dengan keyakinan bahwa kesejahteraan
suatu negeri tidak pernah boleh bertumpu pada penganiayaan dan pemusnahan anak
manusia dari kaum mana pun.
Jakarta, 10 November 2005
Tim Penulis ‘Lingkar Tutur Perempuan’:
Ayu Ratih
B.I. Purwantari
E. Rini Pratsnawati
Rita Dharani
Th. J. Erlijna
Sumber: Elsam.Or.Id
0 komentar:
Posting Komentar