21.05.2013 | Penulis:
Andy Budiman
Rahman Tolleng adalah legenda di kalangan aktivis politik
Indonesia. Kepada Deutsche Welle ia menyampaikan pandangan tentang tugas
Sosialisme, problem oligarki dan Sri Mulyani.
Rahman Tolleng adalah kisah tentang cinta yang keras
kepala. Tentang apa yang diinginkan dan tidak selalu tercapai. Ia terlibat
dalam banyak momen penting Republik. Ia selalu bergerak karena ia punya cita-cita
tentang Indonesia.
Sosoknya paradoks, ia adalah orang yang aktif sekaligus
“tidak terlihat“. Rahman Tolleng tidak begitu suka tampil, ia sangat jarang
bersedia diwawancara, meski pintunya selalu terbuka untuk diskusi politik.
Ya, politik adalah passion-nya, meski lebih banyak
berakhir dengan kekecewaan.
Setelah ikut menjatuhkan Soekarno dan membidani orde
baru, Rahman Tolleng berusaha mengubah dari dalam: ia bercita-cita membentuk
Golkar menjadi partai modern.
“Tapi saya gagal, saya kalah...“ kata Rahman Tolleng
menceritakan pergulatan politiknya di awal pembentukan orde baru kepada Deutsche
Welle.
Deutsche Welle : Sebagai orang yang membidani orde
baru apakah anda menyesal?
Rahman Tolleng : Saya tidak bisa dikatakan pendukung
orde baru, ya saya ikut menegakkan tetapi dengan konsep yang berbeda. Konsep
saya ingin membentuk organisasi politik menjadi partai modern, ideologis dan
disiplin. Tapi yang berjalan kan konsepnya Soeharto. Saya gagal, saya kalah
dalam banyak hal: misalnya dulu saya juga mengidamkan terjadinya dwi partai,
sebuah partai pemerintah yang dipimpin oleh Soeharto dan partai-partai lama
dibiarkan menjadi sebuah partai oposisi. Ide ini saya lemparkan melalui Ali
Moertopo (Asisten Pribadi Presiden Soeharto-red), tapi Soeharto menolak.
DW : Ketika melontarkan ide ini, apakah anda dan
kawan-kawan yang ingin memperbaharui Golkar mendapat cukup dukungan dari dalam?
Rahman Tolleng : Pada awalnya kami mendapat
dukungan. Konsep itu saya lempar saat mewakili Golkar dalam pertemuan yang
dihadiri Bakin, Golkar, ABRI. Saat itu saya uraikan bahwa Golkar ibarat satelit
yang butuh bantuan agar bisa meluncur. Apa boleh buat bantuan ini berupa ABRI
dan Birokrasi sebagai alat peluncur. Tapi kan seharusnya alat peluncur tidak
ikut terus menerus. Saat satelit sudah berada di orbit, alat bantu itu harus
dilepaskan: ABRI lepas, birokrasi juga lepas, agar Golkar menjadi partai
politik modern. Tapi Jenderal Maraden Panggabean (Wakil Panglima AD-red) dalam
sebuah kesempatan lain menanggapi ide itu dengan mengatakan: di sini ada
orang-orang yang ingin memisahkan markas Golkar dari markas ABRI, dan ingin
membuat markas sendiri. Karena itu kita harus berhati-hati. Saat itu, semua
orang yang mengerti langsung melihat ke arah kami. Wah, kita sudah hancur lagi
di situ…
DW : Siapa yang paling keras menghantam ide
pembaharuan anda ketika itu?
Rahman Tolleng : Ini juga diwarnai persaingan antar
para Jenderal. Jadi itu konflik mereka, tapi konflik itu menggunakan atau
menjadikan sasaran orang-orang seperti saya. Waktu itu ada Forum Jenderal, yang
sebenarnya lebih banyak dipakai untuk menghantam Ali Moertopo dan Sudjono
Humardani (Keduanya adalah Aspri Soeharto-red). Pada suatu ketika sehabis
pertemuan Forum Jenderal, Ali Moertopo minta kami ngumpul, ia bilang ada
sesuatu yang penting. Ali Moertopo menerangkan bahwa dia baru diserang
habis-habisan karena dituduh menampung PSI (Partai Sosialis Indonesia-red). Ali
Moertopo bilang bahwa ia dalam forum itu mengaku memang menampung PSI, tapi PSI
yang baik. Bahkan dia balik menyerang para Jenderal lainnya yang juga menampung
PSI yang justru beroposisi kepada pemerintah.
DW : Lalu apa yang terjadi?
Rahman Tolleng : Dalam pertemuan dengan kami itu,
Ali Moertopo membuat lima kategori: PSI terbaik adalah PSI Rahman Tolleng.
Nomor dua, PSI yang masih bisa kerjasama tapi tidak sepenuh hati yaitu PSI
Widjodjo Nitisastro dan Emil Salim -- ketika itu saya pikir dia PSI kan saja
semua orang hehe…PSI ketiga yaitu Soemitro Djojohadikoesoemo. PSI keempat yang
sudah agak jauh yaitu Soedjatmoko dan Soebadio Sastrosatomo. Kemudian PSI
kelima yang benar-benar sudah musuh yakni new left seperti Arief
Budiman…
Rahman Tolleng adalah tokoh bawah tanah GMSOS, organisasi
mahasiswa yang berafiliasi kepada partai terlarang PSI pada era `60-an. Setelah
itu ia memimpin Mahasiswa Indonesia, mingguan yang ditopang jaringan
intelektual, aktivis dan penulis yang mendukung ide Negara sekuler modern.
Profesor Robert W. Hefner, dalam buku Civil Islam:
Muslims and Democratization in Indonesiamencatat bahwa Rahman Tolleng adalah
satu diantara pemikir paling brilian dari generasi `66. Dalam sebuah pleno
DPR-GR tahun 1969, Rahman Tolleng mengusulkan agar Indonesia menerapkan sistem
pemilu distrik. Gagasan itu kandas.
Pada puncak kekuasaan orde baru awal `90-an, Rahman
Tolleng bersama Gus Dur, Marsillam Simanjuntak dan sejumlah tokoh lain
mendirikan Forum Demokrasi yang mengambil sikap oposisi terhadap rejim. Ia ikut
memberi saham pada perjuangan reformasi `98. Kini, Indonesia berubah. Tapi
lagi-lagi tidak seperti yang ia bayangkan.
“Kita seolah berada dalam situasi statelessness atau
tanpa Negara,” kata Rahman Tolleng.
DW : Bagaimana anda mendefiniskan politik anda hari
ini, apakah anda masih Sosialis?
Rahman Tolleng : Dalam arti longgar, saya masih
Sosialis. Longgar artinya tidak dogmatis lagi pada Marxisme, karena sudah
banyak perubahan. Tetapi jurang antara kaya dan miskin sekarang kan tidak
berubah, bahkan semakin dalam. Saya kira memperbaiki kehidupan rakyat miskin
itu apakah bukan cita-cita Sosialisme? itu memang longgar. Tapi saya tidak akan
memakai teori pertentangan kelas.
DW : Jadi tugas Sosialisme bagi anda kini adalah
menyelesaikan masalah kemiskinan?
Rahman Tolleng : Ya antara lain itu. Tentu juga
bagaimana supaya Kapitalisme dan Globalisasi lebih dijinakkan. Saya tidak
menolak globalisasi, tidak menolak kapitalis. Kalau mau saya rumuskan,
Sosialisme saya sekarang mungkin tergolong Liberal Sosialis: dekat dengan gagasan
Carlos Roselli di Italia, yang mencoba memadukan gagasan Liberalisme dengan
Sosialisme.
Wartawan senior Goenawan Mohamad lewat Catatan Pinggir
merekam sosok Rahman Tolleng dalam "Mikropolitik": militansi dari
aksi yang terbatas. Ia bukan rencana mengubah alam semesta berdasarkan wajah
sendiri. Tapi ia tak takut kepada yang mustahil.
Keberanian pada yang mustahil dan cinta yang keras kepala
pula yang membuat Rahman Tolleng tidak berhenti bergerak. Sistem politik
Indonesia kini, kata dia adalah perkawinan antara demokrasi dengan oligarki,
dan tugas dia sebagai seorang Sosialis adalah menghabisi oligarki.
Atas alasan itulah ia ikut mendirikan partai Serikat
Rakyat Independen SRI. Ia menyebut ini gerakan revolusi dari atas yang ditempuh
dengan cara mencari calon presiden yang jujur, tegas, menentang oligarki dan
bukan bagian dari para oligark. Figur itu ia lihat ada pada sosok Sri Mulyani
yang dianggap bisa membersihkan oligarki.
Sosialisme, bagi Rahman Tolleng bukan sekedar etik, tapi
tindakan: sebuah operasi.
DW : Banyak kalangan kiri yang mengkritik anda:
kenapa seorang Rahman Tolleng yang Sosialis, mau mendukung Sri Mulyani yang
dicap sebagai Neolib?
Rahman Tolleng : Saya tidak membantah itu. Tapi yang
saya bantah adalah: apakah benar Sri Mulyani Neolib? Di mana Neolibnya? Sebagai
contoh, di Departemen Keuangan Sri Mulyani mengalokasikan dana untuk pendidikan
perempuan, apakah itu faham Neolib? itu kan faham affirmative action.
Kedua, ekonom dari tradisi universitas pada umumnya memang Neolib, tapi Sri
Mulyani berubah. Apalagi sesudah di Bank Dunia, dia sangat memperhatikan
kemiskinan. Jadi nggak benar itu! Harus dibedakan juga kalau mereka mengatakan
ekonomi kerakyatan, ekonomi kerakyatan apa? Coba mereka sebutkan secara
konseptual! Saya sebut ekonomi mereka itu semua populis saja… ini gratis, itu
gratis…itu bukan ekonomi rakyat, yang ada malah bisa hancur ekonomi kita.
Populisme bukan Sosialisme, jangan salah!
DW : Jadi Sri Mulyani menurut anda berada dalam
koridor doktrin sosialisme yang anda yakini?
Rahman Tolleng : Saya rasa begitu…
DW : Apa kritik anda terhadap kelompok kiri
Indonesia?
Rahman Tolleng : Mereka selalu ingin kembali kepada
ortodoksi. Padahal situasi dunia sudah jauh berubah…
DW : Anda mengakui gagal: membidani Golkar tapi
partai itu berkembang jauh dari bayangan anda. Ikut mendorong reformasi,
tapi hasilnya adalah anarki seperti yang anda sebutkan. Apakah anda pernah
kehilangan harapan?
Rahman Tolleng : Tidak, saya tetap memelihara politics
of hope. Saya optimis bisa diperbaiki, pada dasarnya menusia memang serakah,
tapi dalam diri manusia ada sifat-sifat baik yang masih mungkin digali.
Rahman Tolleng adalah pemimpin redaksi mingguan Mahasiswa
Indonesia `66. Pendiri Golkar dan menjadi anggota DPR-GR, Pendiri Fordem
awal `90. Mendirikan SRI 2011.
Sumber: DW.Com
0 komentar:
Posting Komentar