May 05, 2013
Saya menamainya ruang lengang. Dengan tanah merahnya,
serta aroma rumput basah sehabis hujan yang membelai penciuman ketika kita
memasuki daerah ini. Rumah warga Nampak berjejer disisi kiri dan
kanan jalan, teratur dan berjarak, Kian kedalam kian jarang. Daerah
ini adalah daerah dataran tinggi dengan ketinggian 250 meter di atas permukaan
laut. Letaknya diantara perbatasan maros dan gowa, merupakan daerah yang
masuk kedalam wilayah administrasi Kabupaten Maros tapi justru sangat sangat
dekat dari Kota Makassar. Moncongloe, ya, menuju situlah kami hari ini minggu
26 mei 2013.
Menilik sejarah, Moncongloe adalah sebuah kamp
pengasingan bagi mereka yang dicurigai terlibat atau punya hubungan dengan PKI
pada tahun 1965 hingga awal 1966. Mereka berasal dari beberapa daerah,
yang dijebloskan kedalam penjara lalu diasingkan kekamp pengasingan
moncongloe. Mereka diisolasi disana. Turun temurun, hingga sampai kini masih
terasa. Dapat kita lihat dengan tak tersentuhnya daerah ini oleh pembangunan
padahal jaraknya sangat dekat dengan kota Makassar. Mendengar namanyapun
mungkin akan terasa asing ditelinga sebagian kita. Tak mengapa, kami bersyukur,
dengan demikian hutan disana tak akan terganggu oleh pembangunan
liar yang mengatasnamakan kesejahteraan.
Berbekal bebeberapa perlengkapan kebutuhan kami selama
disana. Di temani oleh jasmudin dan seorang teman lagi, adam. Tepat pukul 17.00
WITA kami meluncur, menuju daerah tersebut setelah melewati banyak hal
menjengkelkan, bagaimana tidak, beberapa keperluan kami susah didapat, ada yang
tertinggal dan baru kami sadari ketika perjalanan kami hampir separuh.kami
memilih jalur lewat BTP sebab lebih dekat. Gerimis mengiringi perjalanan kami
sore itu.
Setelah menempuh perjalanan menggunakan sepeda motor
hampir 20 menit, akhirnya kami sampai dikaki bukit moncongloe, tempat yang kami
tuju dan telah kami rencanakan untuk menginap satu malam. Ini adalah
jalan-jalan kami yang pertama menuju tempat dengan alam terbuka. Keluar sejenak
dari himpitan Kota yang menyesakkan. Meski tak hanya berdua.
Dengan sisa lelah sehabis kesibukan kami beberapa hari
yang lalu serta kebiasaan telat tidur yang membuat kami selalu kurang tidur,
kami tetap bersemangat. Ini adalah jalan-jalan yang kami lakukan tiba-tiba.
Tanpa rencana dan pematangan rencana. Hanya dari mengobrol ringan yang entah
kenapa tiba pada pembicaraan tentang bukit Moncongloe yang disebut-sebut
kekasihku sangat indah. Saya penasaran, demikian juga jasmudin dan adam yang
terlibat dalam perbincangan saat itu. Dan tanpa bertele-tele kami sepakat untuk
kesana hari ini. Kadang-kadang kita harus bergegas meski belum siap. Seperti
matahari yang terbit setiap paginya.
Stelah berbincang sejenak dengan warga yang menghuni
rumah dikaki bukit, kami berpamitan., memulai perjalanan, mendaki keatas bukit.
Pepohonan yang sejuk, dengan rumput basah sehabis hujan, menyambut kami, dan,
lihat! Kami terperangah meyaksikan rainbow yang disisakan hujan sore ini. Kami
terus berjalan keatas. Disana ada batu besar. Tempat kita bisa menyaksikan
matahari terbenam dengan sempurna, juga bisa menyaksikan seluruh Kota
Makassar.
Beberapa kali saya hampir menyerah. Ini bukan medan yang
sulit. Tapi karena tak ada persiapan sebelumnya, maka saya tersengal, beberapa
kali saya meminta untuk singgah. Hari hampir gelap, kekasihku mulai khawatir
kami tak bisa mengenali jalan kalau gelap memergoki kami nanti. Dia terus
mennyemangati. Dibawah gerimis yang kian besar, kudengar teriakannya melihatku
kembali terduduk dibawah pohon hampir menyerah. Setelah dibujuk, akhirnya saya
kembali mengumpulkan semangat dan bangkit, menyusuri jalan yang menanjak. Yang
katanya kami terlalu jauh melintas kesebelah kanan hingga perjalanan sedikit
panjang.
Jasmudin dan adam telah tiba duluan diatas batu bukit.
Kami menyusul di belakang. Kudengar mereka berteriak histeris sambil mengahadap
kebawah. Akhirnya kami tiba di atas. Dan, hei, lihat! Ini bukan hadiah boneka
yang meniru bentuk binatang kesukaan, bukan pula plastic yang menyerupai bunga.
Tak palsu, ini asli hadiah dari kekasih, sebuah pemandangan alam yang tak perlu
uang untuknya.
Masih dibawah gerimis, kusaksikan kota dari atas bukit,
takjub pada perpaduan harmoni cahaya lampunya yang seperti menari dan berubah
menjadi buih ketika ditatap dalam dan lama. Merugilah mereka didalamnya yang
merasa normal ketika larut dalam derasnya arus kesibukan rutinitas dan selalu
terburu-buru dikesehariannya. Ah, kita harus sering-sering kesini Nol, sekedar
menikmati secangkir teh lalu pulang. Merasakan dinginnya sentuhan angin dikulit
kita, bukan duduk dikamar melulu dengan kepalsuan angin ciptaan kipas dari
pabrik kapitalis. Disini lengang, sangat tenang. Tak ada papan iklan, tak ada
petunjuk keharusan ketika menggunakan badan jalan, tak ada papan nama penunjuk
tempat yang jika di teliti lebih lanjut, kesemuanya hanyalah petunjuk yang
mengarahkan kita pada beli, beli dan konsumsi.
Tak ada tanda hujan akan berhenti, maka kami memutuskan
untuk berteduh dahulu dirumah kebun sambil menunggu hujan reda, langit bersih
dan kami akan keluar menyaksikan gerombolan bintang dan pasi rembulan.
Berbincang sejenak dirumah kebun, menyusun rencana. Setelah hujan sedikit
mereda, kami memutuskan untuk keluar, kembali keatas batu dan mempersiapkan
makan malam, saya dan jasmudin bertugas mengumpulkan kayu untuk pembakaran
ikan, nol dan adam menuju tempat pengambilan air, kami melakukan semua hal
bersama-sama disini. Berbagi pengalaman, berbagi kepunyaan dan semua itu tak
harus dengan uang.
Hidangan Makan malam siap, dengan beralas daun pisang,
kami mulai makan dibawah pohon yang kembali diikuti oleh gerimis. Disini
makanan apa saja enaknya jadi berlipat ganda. Kami menghabiskan makanan
lekas-lekas karena hujan kian besar lalu berpindah kebawah kolom rumah kebun.
Membuat api unggun, kembali bercerita lalu menyusun rencana lagi, dan tentu,
masih tetap berharap hujan akan reda malam ini.
Setelah bercanda-canda dibawah kolom rumah, kami kembali
berpindah kedalam rumah karena sepertinya hujan tak akan reda malam ini.
Pagi selalu datang tepat waktu, tak peduli kita siap atau
tidak, tak perduli hujan belum pernah reda dan kita belum sempat menyaksikan
bintang malam tadi. Tidur ketika pagi hanya satu jam karena tak ingin suasana
dipagi ini terlewatkan. Saya menyusul yang lainnya diatas batu. Hari ini kami
mengambil langsung makanan dari alam, memetik langsung dari pohon. Memasak dan
mengolahnya sendiri.ah, hidup tentulah akan menyenangkan jika kita masih
seperti ini. Tapi kita telah diseret jauh oleh arus modernisasi yang menjebak
dan memaksa kita untuk bisa beradaptasi didalamnya, dalam keadaan terasing dari
diri kita, dari sifat-sifat alamiah kita.
Sumber: Insominasi
0 komentar:
Posting Komentar