Rabu, 20/01/2016 12:01 WIB
Sitor Situmorang sempat dipenjara tanpa tahu alasannya. (Dok. Logo Situmorang)
Jakarta, CNN Indonesia
--
Bertahun-tahun harapan Tiominar menemui suaminya di
Rutan Salemba kandas. Setiap datang, ia hanya disambut sipir dan seorang
narapidana kelas ringan. Kepada mereka lah ia menitipkan keranjang
berisi makanan.
Tiga puluh menit kemudian, keranjang itu akan kembali dengan isi telah kosong. Hanya satu yang bisa melegakan Tiominar. Jika ada semacam gantungan kunci kecil dari kayu di dasar keranjang, suaminya masih hidup.
Suami Tiominar adalah Sitor Situmorang, sastrawan dan budayawan ternama Indonesia yang dipenjara tanpa alasan selama sembilan tahun pada masa pemerintahan Soeharto.
"Awalnya tidak perhatian. Tapi setelah berjalan sekian tahun baru sadar maknanya," kata Gulontam Situmorang, putra ke-tiga Sitor dan Tiominar saat berbincang dengan CNN Indonesia di Jakarta, pada Selasa (19/1).
Gulontam membandingkan, ada rekan sesama pembesuk yang setiap waktu berkunjung—dua kali seminggu—mengirimkan keranjang makanan tetapi orang yang dituju ternyata sudah tak di sana. Entah meninggal atau dikirim ke pengasingan lain di Pulau Buru.
Tiga puluh menit kemudian, keranjang itu akan kembali dengan isi telah kosong. Hanya satu yang bisa melegakan Tiominar. Jika ada semacam gantungan kunci kecil dari kayu di dasar keranjang, suaminya masih hidup.
Suami Tiominar adalah Sitor Situmorang, sastrawan dan budayawan ternama Indonesia yang dipenjara tanpa alasan selama sembilan tahun pada masa pemerintahan Soeharto.
"Awalnya tidak perhatian. Tapi setelah berjalan sekian tahun baru sadar maknanya," kata Gulontam Situmorang, putra ke-tiga Sitor dan Tiominar saat berbincang dengan CNN Indonesia di Jakarta, pada Selasa (19/1).
Gulontam membandingkan, ada rekan sesama pembesuk yang setiap waktu berkunjung—dua kali seminggu—mengirimkan keranjang makanan tetapi orang yang dituju ternyata sudah tak di sana. Entah meninggal atau dikirim ke pengasingan lain di Pulau Buru.
Namun bisa membawakan makanan untuk sang ayah saja, sudah menguntungkan
bagi Gulontam. Sebelumnya, setahun pertama Sitor menghilang, keluarga
tak tahu sang penyair ada di mana. Belakangan baru tercerita.
"Ternyata selama setahun itu pindah-pindah, di instansi militer semua," kata Gulontam.
Setelah tahu bahwa Sitor mendekam di Rutan Salemba, meski bisa mengantar makanan, keluarga tak boleh menjalin komunikasi. Baru setahun sebelum dibebaskan, keluarga mendapat keistimewaan, boleh berjumpa.
"Tapi pas Hari Raya. Kami bertemu waktu Natal. Di ruang besar, dikasih tikar-tikar per keluarga. Di situ pertama kali tahu dan melihat bahwa dia masih hidup," tuturnya.
Meski bertahun-tahun menderita, uniknya, Sitor maupun keluarganya tak pernah tahu alasan penahanan itu. Sang penulis sajak Malam Lebaran hanya tahu dirinya diisolasi, disterilkan dari segala informasi dunia.
Yang Gulontam tahu, ayahnya ditangkap karena dianggap sebagai corong Soekarno yang paling didengar jika menyangkut persoalan budaya. "Waktu ditangkap pun sedang mengetik buletin untuk disebarkan ke Partai Nasional Indonesia dan sebagainya."
Namun tak pernah ada pengadilan untuk Sitor. "Itu cara membungkam dia. Tidak pernah ada pengadilan, yang ada hanya interogasi dan tekanan, pindah-pindah penjara," tutur Gulontam menyesalkan.
Di dalam penjara pun, Sitor dibuat "gelisah." Berbanding 180 derajat dengan kehidupannya yang biasa dipenuhi diskusi dan pemikiran yang tersalurkan, di penjara Sitor benar-benar dikungkung.
Ia bahkan tak diperbolehkan membaca buku, pun tak diberi kertas maupun pensil untuk menulis. "Ada yang menyelundupkan pensil kayu kecil, entah siapa. Menulisnya di balik kertas rokok," Gulontam bercerita.
Kondisi itu berbeda jauh dengan penulis lain seperti Pramoedya Ananta
Toer yang meskipun dibuang ke Buru, jelas diadili bahkan diperbolehkan
punya mesin ketik. Buku tetraloginya pun dihasilkan di sana.
"Dari situ saya melihat, Soeharto menganggap lebih berbahaya Sitor daripada Pram. Dia dipenjara by design, seperti dihilangkan begitu saja," kata Gulontam.
Di penjara, Sitor memang tidak menghasilkan buku seperti halnya Pram. Namun Gulontam menyebut sang ayah menulis beberapa sajak. Jika tidak begitu, ia menyibukkan diri mengajarkan bahasa ke sesama narapidana.
Tujuannya, menjaga "mesin" otaknya agar tak seret atau bahkan mati total selama dibui.
Setelah keluar dari penjara, Sitor pun tetap menjadi dirinya yang dahulu. Ia tetap menulis. Kadar bahayanya mungkin berkurang, karena ia tak lagi menemukan komunitasnya yang segahar dahulu. Saat ia dilepas 1970-an, partai-partai sudah menjadi oportunis.
"Dia kehilangan komunitasnya. Dia coba cari itu, dan dia sadari sudah tidak ada. Ya sudah dia lanjutkan. Tapi kalau bicara dengan dia, akan ketahuan, keluar kerasnya aslinya," kata Gulontam tentang sang ayah.
Yang unik, Sitor sama sekali tidak berubah menjadi pendendam. Meski dipenjara tanpa pengadilan oleh rezim Orde Baru, ia tak lantas menjadi anti-Soeharto. "Itu dianggapnya sebagai bagian dari hidup dan risiko berpolitik," tutur Gulontam lagi. (rsa/vga)
"Ternyata selama setahun itu pindah-pindah, di instansi militer semua," kata Gulontam.
Setelah tahu bahwa Sitor mendekam di Rutan Salemba, meski bisa mengantar makanan, keluarga tak boleh menjalin komunikasi. Baru setahun sebelum dibebaskan, keluarga mendapat keistimewaan, boleh berjumpa.
"Tapi pas Hari Raya. Kami bertemu waktu Natal. Di ruang besar, dikasih tikar-tikar per keluarga. Di situ pertama kali tahu dan melihat bahwa dia masih hidup," tuturnya.
Meski bertahun-tahun menderita, uniknya, Sitor maupun keluarganya tak pernah tahu alasan penahanan itu. Sang penulis sajak Malam Lebaran hanya tahu dirinya diisolasi, disterilkan dari segala informasi dunia.
Yang Gulontam tahu, ayahnya ditangkap karena dianggap sebagai corong Soekarno yang paling didengar jika menyangkut persoalan budaya. "Waktu ditangkap pun sedang mengetik buletin untuk disebarkan ke Partai Nasional Indonesia dan sebagainya."
Namun tak pernah ada pengadilan untuk Sitor. "Itu cara membungkam dia. Tidak pernah ada pengadilan, yang ada hanya interogasi dan tekanan, pindah-pindah penjara," tutur Gulontam menyesalkan.
Di dalam penjara pun, Sitor dibuat "gelisah." Berbanding 180 derajat dengan kehidupannya yang biasa dipenuhi diskusi dan pemikiran yang tersalurkan, di penjara Sitor benar-benar dikungkung.
Ia bahkan tak diperbolehkan membaca buku, pun tak diberi kertas maupun pensil untuk menulis. "Ada yang menyelundupkan pensil kayu kecil, entah siapa. Menulisnya di balik kertas rokok," Gulontam bercerita.
Dari situ saya melihat, Soeharto menganggap lebih berbahaya Sitor.Gulontam Situmorang |
"Dari situ saya melihat, Soeharto menganggap lebih berbahaya Sitor daripada Pram. Dia dipenjara by design, seperti dihilangkan begitu saja," kata Gulontam.
Di penjara, Sitor memang tidak menghasilkan buku seperti halnya Pram. Namun Gulontam menyebut sang ayah menulis beberapa sajak. Jika tidak begitu, ia menyibukkan diri mengajarkan bahasa ke sesama narapidana.
Tujuannya, menjaga "mesin" otaknya agar tak seret atau bahkan mati total selama dibui.
Setelah keluar dari penjara, Sitor pun tetap menjadi dirinya yang dahulu. Ia tetap menulis. Kadar bahayanya mungkin berkurang, karena ia tak lagi menemukan komunitasnya yang segahar dahulu. Saat ia dilepas 1970-an, partai-partai sudah menjadi oportunis.
"Dia kehilangan komunitasnya. Dia coba cari itu, dan dia sadari sudah tidak ada. Ya sudah dia lanjutkan. Tapi kalau bicara dengan dia, akan ketahuan, keluar kerasnya aslinya," kata Gulontam tentang sang ayah.
Yang unik, Sitor sama sekali tidak berubah menjadi pendendam. Meski dipenjara tanpa pengadilan oleh rezim Orde Baru, ia tak lantas menjadi anti-Soeharto. "Itu dianggapnya sebagai bagian dari hidup dan risiko berpolitik," tutur Gulontam lagi. (rsa/vga)
http://www.cnnindonesia.com/hiburan/20160120112531-241-105506/gerilya-sitor-situmorang-di-balik-jeruji/
0 komentar:
Posting Komentar