OLEH MUHAMMAD AL-FAYYADL · JANUARY 24, 2016
Pengantar Redaksi:
Sejak September tahun lalu, secara reguler Muhammad Al-Fayyadl diundang oleh Social Movement Institute (SMI) Yogyakarta untuk mengisi serial diskusi bertema komunisme yang diselenggarakan sebagai refleksi atas peringatan setengah abad peristiwa paling mengerikan dalam sejarah Indonesia: peristiwa 1965. Sampai hari ini, rangkaian diskusi yang rencananya akan berlangsung selama enam putaran tersebut masih berlangsung. Naskah ini adalah naskah pertama yang disampaikan penulis dalam acara tersebut. Atas persetujuan penulis dan SMI, Islam Bergerak berencana melansir semua naskah yang sudah dan akan disampaikan. Selamat membaca.***
Komunisme belum mati. Ya, komunisme belum mati.
Ungkapan itu, bagi kaum reaksioner dan status quo, terdengar sebagai ancaman yang harus disikapi, kalau perlu dengan intimidasi dan kekerasan. “PKI telah bangkit kembali, segala cara mereka tempuh. Mari kita lawan… Lawan…. Lawan…. Lawan… Dan hancurkan!!!!”, bunyi sebuah poster yang disebarkan Front Masyarakat Anti-Komunis belum lama ini.
Suara-suara ketakutan akan “kebangkitan komunisme”, “neo-komunisme”, atau “komunisme gaya baru” itu bertambah seiring dengan meningkatnya visibilitas simbol, identitas, dan pernak-pernik yang berkaitan dengan sejarah komunisme di negeri ini—lambang Palu-Arit. Munculnya secara “misterius” dan penuh kamuflase sejumlah lambang PKI di berbagai tempat dan kesempatan mengundang perhatian dari para aparat rendahan hingga Menteri yang menganggap “biasa-biasa saja” dan “tak serius” kemunculan lambang-lambang itu, yang segera menjadi justifikasi bagi para oposan reaksioner rezim untuk menemukan pembenaran bagi anggapan bahwa pemerintahan baru neoliberal, Soehartois, dan neo-developmentalis ini adalah pemerintahan “komunis”.[1]
Psy-war, perang propaganda, dan simulakra antara fakta dan halusinasi menjadi santapan dan konsumsi sehari-hari publik, ketika pada saat yang sama kebijakan-kebijakan negara terus menggelinding memakan korban dan perlawanan yang muncul terus diredam, dan isu-isu yang berkaitan dengan kenyataan riil tersebut tidak populer dan tidak mendapat tempat memadai dalam perbincangan publik.
Ungkapan itu, di sisi lain, diterima sebagai penanda bagi suatu kebenaran di masa silam, yang eksistensinya dinegasikan oleh ketakacuhan dan kebusukan tatanan kapitalis hari ini—“kerinduan terhadap suatu masa di mana saat itu memang ada partai yang terkesan serius memperjuangkan nasib kaum buruh tani dan miskin kota”[2]—seakan-akan penanda itu ingin berkata “Andai benar komunisme itu masih ada hari ini, maka nasib buruh tani dan warga miskin kota akan jauh lebih baik!”.Harapan baru? Lebih tepatnya, suatu ekspresi nostalgia yang menyiratkan suatu harapan di masa depan yang tidak dapat dipastikan perwujudannya.
Jika keraguan para “simpatisan”[3] komunisme—mereka yang tersadar dari ilusi-ilusi komunistofobia dan tertarik mengenal lebih jauh komunisme—menggambarkan harapan dan keterbukaan atas apa yang terjadi, kepercayaan diri sejumlah lingkaran kiri yang sangat terbatas di negeri ini memberi keyakinan bahwa komunisme memang belum mati, karena revolusi permanen sedang terjadi terhadap tatanan kapitalis hari ini,[4]walaupun secara eksplisit tidak ada satu pun organ yang terang-terangan mengafirmasi diri sebagai komunis. Namun pertanyaannya, bagaimana kita dapat membuktikan bahwa komunisme belum mati? Dengan cara apa vitalitas komunisme diuji dan diyakinkan menjadi landasan subjektif maupun objektif kelangsungannya pada level teoretis maupun praksis? Dengan “hasrat komunis”[5]yang mulai meletup dan pelan-pelan menggelora pada sejumlah “simpatisannya”, dengan segala ambiguitas dan inkonsistensinya? Dengan masih eksisnya partai-partai atau organ-organ komunis di beberapa tempat di dunia, walaupun partai-partai atau organ-organ itu hari ini sebagian mengalami demoralisasi dan terbukti menjadi manajer dan pelayan kepentingan kapitalisme nasional atau atau global?[6]Atau dengan sisa-sisa sejarah, artefak-artefak dari masa lalu yang atribut-atributnya direproduksi dan pelan-pelan masuk ke dalam “memori kolektif” masa kini (dengan segala kelatahan dan kekenesannya; dan jangan lupa bahwa hingga kini orang tetap dapat melihat jenazah Lenin di obelisk Rusia yang kapitalis), walaupun ide-ide di balik atribut-atribut itu telah dianggap bagian dari museum sejarah masa lalu yang layak dikubur dalam-dalam?
Dalam pertanyaan yang bernada Derridean,[7] bagaimana menjelaskan modus ontologis masih-hidupnya (living-on, la survie) komunisme setelah era vakum panjang yang menandai kematian virtual-nya (sehingga karena itu, ungkapan kaum reaksioner tentang “bahaya laten komunisme” ada benarnya, sejauh komunisme itu laten dalam masih-hidupnya, meskipun saat ini kita dapat mengatakan sebaliknya, dengan nada yang lebih positif, tentang “potensi laten komunisme”)? Bagaimana menjelaskan subsistensi sesuatu yang tidak dapat disebut benar-benar eksis (belum menyandang suatu modus ontologis bernama eksistensi)—sekali lagi terlepas dari keberadaan, sirkulasi, dan beredarnya atribut-atributnya yang simbolik atau fungsional untuk memberi nama bagi identitas kelompok, partai, organ, dan lain-lain—tetapi juga tidak dapat disebut sama sekali tidak ada (dapat direduksi ke dalam modus ontologis non-eksistensi atau nothingness)?
Dalam diskursus filsafat kontemporer, terdapat tiga jalan pemikiran dan analisis untuk menjelaskan hal tersebut. Pertama, jalan “kuasi-transendental”, yang menempatkan komunisme sebagai ekses yang akan selalu muncul dari kontradiksi laten kapitalisme dan tekanan (represi) yang dilakukan oleh kapitalisme untuk menghapus kontradiksi itu. Ekses itu tidak dapat dihilangkan oleh kapitalisme, dan muncul sebagai imaji virtual dari kematian dan kehancurannya sendiri, suatu imaji fantasmagorik yang selalu terpantul secara virtual (mirip sebuah gambar yang diproyeksikan dalam sinema) dan muncul sebagai bayangan gelap yang menyertai kapitalisme itu sendiri. “Hantu” (spectre) abadi bagi kapitalisme. Posisi ini, mengembangkan epitet pada pembukaan Manifesto Partai Komunis-nya Marx, dikemukakan oleh Derrida dan Gianni Vattimo. “Komunisme harus memiliki keberanian untuk menjadi ‘hantu’, jika ingin merebut kembali kenyataannya yang otentik”.[8]Hal ini berarti, komunisme tetap hidup selama kapitalisme eksis, sampai “hantu” itu mengalami “transubstansiasi” dan menjadi nyata (mendarah dan mendaging) dalam relasi-relasi sosial baru yang menggantikan kapitalisme.
Kedua, jalan “imanensi murni”, yang menempatkan komunisme sebagai potensi laten di dalam kapitalisme. Kapitalisme sudah menciptakan di dalamnya dirinya antagonisme-antagonisme. Maka dengan relasi sosialnya yang antagonistik, kapitalisme menyebarkan benih-benih komunisme dalam bentuk pemberontakan dan resistensi yang menggerogoti sistemnya. Masih-hidupnya komunisme dapat dijelaskan karena komunisme memang laten di dalam kapitalisme, yaitu dalam relasi-relasinya yang antagonistik, dan antagonisme ini menimpa siapapun yang menjadi subjek dan penderita di dalam kapitalisme. Maka setiap pemberontakan merupakan suatu “percobaan” komunisme. Pemikir yang menempuh jalan ini menggunakan konsep potensi untuk kemelekatan imanen komunisme di dalam kapitalisme (Antonio Negri, Alvaro Garcia Linera).
Ketiga, “Idealisme-Materialis”. Menurut jalan pemikiran ini, komunisme tidak dapat direduksi ke dalam sesuatu yang imanen dan laten di dalam kapitalisme, tidak juga “hantu” yang berada di luar kapitalisme, karena komunisme adalah sebuah Idea yang bersifat trans-temporal. Idea tentang Keadilan, Kesetaraan, dan Kebaikan yang dieksperimentasikan oleh berbagai subjek dan dimunculkan oleh berbagai peristiwa politik dan sejarah. Komunisme tidak mati-mati, karena ia adalah abstraksi dari kebenaran yang mendasari berbagai pengalaman pembebasan umat manusia, yang dilakukan oleh Semua untuk kebaikan Semua (All for All). Sejarah politik dapat menghancurkan kaum komunis, tetapi tidak Idea komunismenya. Posisi ini dimunculkan oleh Alain Badiou.
Mengikuti alur pikiran ini, pernyataan bahwa komunisme belum mati dapat diafirmasi secara positif sebagai kemungkinan emansipasi itu sendiri—Idea komunisme menjadi identik dengan Idea emansipasi itu sendiri. Dengan kata lain, sejauh orang percaya pada emansipasi, maka ia percaya bahwa komunisme itu mungkin. Di sini kita dapat menangkap perubahan sikap atas pernyataan komunisme belum mati, dari ketakutan dan keraguan menjadi afirmasi dan keterbukaan akan kemungkinan baru. Terjadi perubahan sikap subjektif. Tantangannya adalah bagaimana dapat mengafirmasi Idea ini, sementara fakta sejarah lama memperlihatkan hal yang sebaliknya—fakta-fakta tragis kekalahan dan kehancuran komunisme? Bagaimana menjelaskan bahwa praktik komunisme secara objektif pernah mengalami kegagalan?
Menguji “Hipotesis Komunis”
Berturut-turut sejak 2009 hingga 2011, melalui tiga konferensi “The Idea of Communism”, sejumlah pemikir Eropa kontinental menguji pertanyaan-pertanyaan ini dalam hubungannya dengan apa yang disebut Daniel Bensaïd sebagai “dialektika kegagalan” (dialectique de l’échec) komunisme.[9]Badiou berefleksi atas konsep “kegagalan” (apakah sesungguhnya kegagalan itu? Bagaimana memahami kegagalan itu?) dan bagaimana menyikapinya secara ‘dialektis’, tidak sebagai suatu akhir yang harus diratapi (sebagaimana dengan penuh kemenangan dirayakan oleh the end of history-nya Fukuyama dan para intelektual liberal), tetapi suatu kebenaran yang menjanjikan peluang dan kesempatan baru. Ia merumuskan Idea komunisme sebagai suatu hipotesis yang kegagalan pembuktiannya tidak membatalkan validitas hipotesis itu sendiri sebagai suatu hipotesis.
Dalam hal ini, terdapat pembedaan antara hipotesis dan eksperimentasinya, dan dengan demikian, ada pembedaan antara Idea dan pengalaman/instansiasi empirisnya.[10]Kegagalan Komune Paris 1871 tidak membuktikan kegagalan Revolusi Bolshevik 1905, dan kegagalan Revolusi Bolshevik 1905 tidak membuktikan kegagalan Komune Shanghai dan Canton 1920, dan seterusnya. Ia berefleksi atas faktor internal maupun eksternal dari kegagalan upaya-upaya “subjektivasi” Idea komunisme dalam momen-momen sejarah tertentu; termasuk dalam faktor internal, suatu pertanyaan besar mengenai hubungan antara komunisme dan kekerasan, dan secara eksternal, tantangan reaksioner dari kekuatan-kekuatan dominan yang tidak menghendaki perwujudan Idea.[11]Hal ini murni strategis.
Namun perdebatan yang krusial dalam konferensi tersebut adalah mengenai status epistemologis “hipotesis komunis” itu sendiri dalam hubungannya dengan Sejarah, yaitu tradisi Marxis dengan konsep-konsep operasionalnya seperti “perjuangan kelas”, “revolusi”, “kediktatoran proletariat”, dan seterusnya, dan hubungannya dengan Politik, yaitu tradisi politik dengan konsep-konsep klasiknya “Negara”, “partai”, dan seterusnya. Dalam arti apa komunisme baru ini tetap dapat mempertahankan sebagian atau seluruh keterikatannya dengan warisan tradisional Sejarah dan Politik masa lalunya? (Judith Balso, Alberto Toscano, Alessandro Russo). Haruskah komunisme hari ini mengadopsi kembali seluruh pendekatan yang telah digunakan dalam tradisi historis dan politiknya, ataukah mengadopsi pendekatan baru? Pertanyaan-pertanyaan yang sama sekali tidak ortodoks ini mendorong siapapun—para simpatisan Idea dan kaum komunis—untuk mengimajinasikan kembali praktik-praktik komunisme (Étienne Balibar).
Tiga simpul persoalan, kurang lebih, dapat menggambarkan fokus seminar ini, dan kajian kita:
- Bagaimana sejarah komunisme di masa lalu dilihat, direfleksikan, dan disikapi hari ini? (Dengan mengembangkan intuisi Lukacs, Frank Ruda menyebut ini sebagai proses anamnesis, yaitu mengingat kembali sejarah komunisme klasik untuk melakukan detraumatisasi—anamnesis dalam arti psikologis—tetapi juga de-traumatisasi secara teoretis, bagaimana belajar dari kegagalan dan kesalahan masa lalu untuk mengambil suatu posisi teoretis yang afirmatif terhadap Idea.)
- Apa “properti-properti” objektif maupun subjektif yang kita miliki bersama hari ini yang memungkinkan lahirnya bentuk-bentuk baru eksperimentasi dan instansiasi komunisme? (Pertanyaan ini menyangkut status the Common, sebagaimana menjadi pertanyaan Antonio Negri, Michael Hardt, Jean-Luc Nancy, Susan Buck-Morss.)
- Pertanyaan strategis—what’s to do?—dari praksis komunisme ini (Slavoj Žižek, Emmanuel Terray, dll.) dan bagaimana kembali menjadi (subjek) komunis (Jacques Rancière, Peter Hallward, Jodi Dean).
Di tengah krisis kapitalisme neoliberal, ketiga pertanyaan itu adalah manifestasi dari pertanyaan besar tentang kemungkinan masyarakat baru, suatu tatanan yang berbeda, suatu tatanan yang menyudahi kapitalisme. Bahwa “dunia lain adalah mungkin” (another world is possible).***
Catatan akhir:
[1] “Luhut Panjaitan: Bendera PKI Tidak Usah Terlalu Dilihat Secara Serius”,www.rmol.co, 18/08/2015; “Inginkah Anda Negeri Ini Dikuasai Komunis via PKI & PDI-P?”, www.pedulifakta.blogspot.co.id, 06/2014, dan lain-lain.[2] Ucapan anggota DPRD Pamekasan, Iskandar, menanggapi heboh atribut PKI di Festival 17 Agustusan di Pamekasan, “Marak Atribut PKI Karena Rindu Partai yang Perjuangkan Buruh Tani”, www.merdeka.com, 16/08/2015.[3] Simpatisan dalam arti yang paling sederhana: menaruh simpati kepada komunisme, entah sebagai ideologi, fakta sejarah, atau sekadar terpikat daya tarik “simbolik” dari komunisme. Termasuk di dalam kalangan ini kalangan “progresif” dari kelas menengah intelektual kita, yang tertarik pada komunisme, fasih berbicara tentang komunisme, namun tidak percaya bahwa komunisme akan benar-benar bangkit dan tetap memilih secara ideologis menjadi penganut realistis-pragmatis “kebenaran” tatanan kapitalis dewasa ini.[4] Posisi para Trotskys. Di Indonesia, posisi mereka diwakili oleh Militan Indonesia.[5] Istilah Jodi Dean dalam “Communist Desire”, antologi The Idea of Communism(London: Verso, 2013), Vol. 2.[6] Contoh klasik: PKT (Partai Komunis Tiongkok).[7] Jacques Derrida, filsuf pencetus istilah “dekonstruksi”, seorang pembaca filosofis Marx dan Marxisme. Salah satu karya yang didedikasikannya untuk Marx berjudul Spectres de Marx (Hantu-hantu Marx) dan mendapat tanggapan polemis yang cukup bergema dalam perbincangan filsafat kontemporer.[8] Gianni Vattimo, “Weak Communism?”, The Idea of Communism (London: Verso: 2010), Vol 1, h. 207.[9] Daniel Bensaïd, “Un communisme hypothétique”, Contretemps, April 2009.[10] Dalam contoh yang Platonis: kegagalan seseorang membuat kursi tidak menggugurkan/membatalkan Idea “ke-Kursi-an” itu sendiri.[11] Sungguh disayangkan bahwa Badiou meluputkan komunisme Indonesia dari refleksinya. Kita nanti akan coba menambal cacat historiografis ini dengan turut mendiskusikan sejarah komunisme dalam negeri.
http://islambergerak.com/2016/01/idea-komunisme-dan-kemungkinan-masyarakat-baru/?utm_campaign=shareaholic
0 komentar:
Posting Komentar