19 Januari 2011 | 19:31
Melalui buku “Njoto: Peniup Saksofon di Tengah Prahara”,
figur Njoto digambarkan lebih dekat kepada Soekarnoisme ketimbang
Marxisme-Leninisme, ideologi resmi partainya–Partai Komunis Indonesia
(PKI).
“Kalau orang menyebut Njoto sebagai Soekarnois, maka saya menjawab: Soekarno-Njotois. Kenapa Soekarno dekat dengan PKI? itu karena Njoto,” kata Sabar Anantaguna.
Sabar menganggap Njoto sebagai orang memegang teguh prinsip, tidak mudah goyah dalam keadaan apapun. Bahkan, jika pidato-pidato Bung Karno di tahun 1960-an semakin condong ke marxisme, maka itu tidak lepas dari pengaruh Njoto.
“Njoto tidak semudah itu mengubah pendiriannya. Itu terlihat sejak ia masih kecil hingga terjun dalam pergerakan,” kata Sabar.
Dalam pengamatan Martin Aleida, bekas wartawan Harian Ra’jat yang ditugaskan meng-cover Bung Karno, Njoto merupakan orang kepercayaan Bung Karno. “Dalam banyak kesempatan di istana negara, Bung Karno sering memanggil staffnya dan mempertanyakan keberadaan Njoto. Ini memberikan ilustrasi betapa dekatnya Bung Karno dengan Njoto kala itu.”
Martin Aleida pun mensitir salah satu pernyataan Bung Karno saat bertemu dengan tokoh-tokoh muda PNI, yang berkata: “Penafsiran mengenai Soekarnoisme yang paling benar adalah Njoto.”
Sosok cerdas dan serba-bisa
Sabar Anantaguna, ketika menjadi teman sekelas Njoto di MULO Solo, mengaku bahwa Nyoto merupakan sosok sangat cerdas dan pandai. “Sebagai pelajar, Njoto sangat cerdas dan pandai. Tulisan-tulisannya selalu dijadikan contoh oleh guru,” kenang Sabar Anantaguna.
S. Anantaguna mengisahkan, suatu hari guru menyuruh mereka mengarang soal sepak bola dan harus ditulis dengan lucu. Saat itu, seingatnya, Njoto menulis mengenai kekecewaan penjudi bola karena pertandingan batal dilakukan akibat lapangan tergenang oleh air hujan yang lebat.
Nyoto, yang lebih tua dua tahun dibandingkan S. Ananataguna, memperlihatkan kecerdasan dan kepandaiannya saat menjadi politikus. Tidak mengherankan, meski baru berusia 17 tahun, Njoto sudah menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)–semacam parlemen paska di masa awal Republik– di Jogjakarta.
Dengan kepandaian dan kecerdasannya, Njoto menjadi seorang politisi ulung di usia yang masih terbilang sangat muda. Selain itu, menurut S. Anantaguna, Njoto seorang orator yang sangat hebat.
Berbeda dengan kebanyakan orator, Njoto selalu berpidato dengan beretika dan menggunakan penjelasan rasional, tidak pernah memakai kata-kata kasar dan makian. “Dia menggunakan retorika-retorika yang hebat sekali dan mengena.”
Meski Njoto tidak pernah menimbah ilmu di Universitas atau belajar di luar negeri, tetapi Sabar Anantaguna mengakui bahwa pengetahuan Njoto luas sekali, terutama di bidang politik, filsafat, dan kebudayaan.
Njoto yang dikenal tidak banyak bicara, dikenal juga sebagai tokoh yang punya kharisma dan pengaruh sangat kuat terhadap orang-orang di sekitarnya.
“Saya rasa, kalau Bung Njoto tidak ada, maka Lekra tidak akan pernah besar seperti jaman itu,” kata Martin Aleida, yang juga pernah menjadi aktivis Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
Begitu juga dengan kebesaran Partai Komunis Indonesia (PKI), tidak lepas dari pengaruh Njoto, yang pada saat itu berhasil mendekatkan PKI dan Bung Karno.
Selain kehebatan di bidang politik, Njoto juga dikenal sebagai seorang pemain musik dan pencinta olahraga. Musik yang sering dimainkan Njoto adalah electone. Namun, Njoto diketahui pandai memainkan banyak alat musik, seperti biola, piano, gitar, saxophone dan klarinet.
“Saya tidak pernah melihat Njoto memainkan Saxofone, tetapi dia memang sangat pintar memainkan electone. Kalau ada acara di istana, Njoto sering bergabung dengan pemain musik dan memainkan electone untuk mengiringi tari lenso,” kenang Martin.
Martin juga menduga Njoto seorang jago seni bela diri. Salah seorang pengawalnya, Hardono, adalah seorang ahli seni bela diri dan ada kemungkinan Njoto belajar dari sana.
Dan, mungkin sedikit diantara kita yang tahu, bahwa Njoto pernah menjadi penasehat Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).
Pemikiran Politik
Mantan pimpinan Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan sekaligus mahasiswa filsafat STF Driyarkara, Anom Astika, mengatakan: “Orang ini punya kemampuan, kalau dalam filsafat, berbicara dan menulis dengan memberikan arah atau orientasi politik.”
Anom Astika kemudian menunjukkan satu petikan tulisan Nyoto yang
menjelaskan hal tersebut:
“Juga ketika Lenin memulai dengan elektrifikasi, karena menurut keyakinannya Komunisme itu adalah sistem Sovyet plus elektrifikasi seluruh negeri, ada orang orang yang mengejek Lenin dengan menuduhnya “orang gila”. Apa yang perlu bagi Rakyat pekerja memang “gila” di mata burjuasi dan kaum tuan tanah, dan sebagaimana setiap tamu Sovyet kini bisa menyaksikan: elektrifikasi seluruh negeri itu sudah terlaksana.”
Pada semua tulisan Nyoto, tambah Anom, Nyoto mengulas sejarah dengan sangat lengkap dan detail sekali, terutama tulisannya di Bintang Merah dan buku “Pers dan Massa”.
Meskipun banyak tulisan Nyoto yang memuji-muji Soviet, tetapi ia selalu berusaha menempatkan revolusi Indonesia seakan berbeda dengan revolusi Rusia. “Karakter independenya selalu nampak mencolok,” kata mantan tahanan politik rejim soeharto ini.
Anom juga mengeritik sebuah pernyataan dalam pengantar buku “Nyoto: Peniup Saksofon di Tengah Prahara”, yang diterbitkan oleh TEMPO, bahwa “Nyoto menghayati Marxisme dan Leninisme, tapi tak menganggap yang ”kapitalis” harus selalu dimusuhi.”
Menurut Anom Astika, komunisme memang tidak pernah memusuhi kapitalis, tetapi yang dimusuhi komunisme adalah relasi produksi yang dihasilkan oleh kapitalisme.
Di luar yang diperkirakan orang, sebagaimana sering dituduhkan kepada stalinisme, Nyoto adalah pribadi yang sangat menghargai perbedaan pendapat dan selalu mencari arti penting dari perbedaan pendapat itu.
Njoto sangat disegani seniman
Njoto juga pernah menulis mengenai peringatan kematian Beethoven. Di zaman baru, koran terbitan milik Lekra, ada upaya penteorisasian aktivitas kesenian rakyat, salah satunya, penteorisasian musik alu—semacam pertunjukan memukul alu di dalam lesung.
Di Lekra, organisasi kebudayaan tempat Njoto berkecimpung, S. Antaguna menyatakan bahwa Njoto tidak pernah memaksakan Lekra harus memeluk realisme sosialis. “Dalam rapat-rapat Lekra, Njoto lebih banyak diam. Baru kalau ada yang kurang disetujui, dia akan berbicara,” kata Antaguna.
Lekra akan menerima semua struktur dan gaya, asalkan itu berpihak kepada perjuangan rakyat. Njoto sangat menyadari bahwa setiap seniman punya jati diri dan ide masing-masing.
Sangat Mencintai Keluarga
Ilham Dayawan, anak kedua Njoto, mengaku bahwa ayahnya sangat sayang kepada keluarganya. “Jika berkunjung kemanapun, ia tidak pernah melupakan istri dan anak-anaknya.”
Ini juga dibenarkan oleh Martin dan S Anantaguna, yang sering menyaksikan Njoto membawa anak-anaknya ke kantor Harian Ra’jat dan kegiatan-kegiatan Lekra.
Ilham juga masih mengingat bagaimana koleksi buku-buku ayahnya, yang memenuhi ruangan hingga menyundul langit-langit rumah. Di rumah Njoto, di Jalan Malang, rak buku terdapat dimana-mana.
Njoto juga menyimpan banyak koleksi piringan hitam, bukan saja koleksi musik klasik dari eropa, tetapi juga musik-musik nasional dan daerah.
Sebagai anak yang ditinggal ayahnya terlalu cepat, dalam usia 8 tahun, ia merasa sering merasa galau dan bertanya-tanya, terutama keberadaan Njoto pasca 1965 itu masih gelap. “Kita tidak tahu bagaimana ia meninggal, dengan cara apa, dimana kuburnya.”
Mempertanyakan Akurasi Laporan TEMPO
Sementara itu, rumor perselingkuhan antara Njoto dengan seorang perempuan Rusia bernama Rita dibantah keras oleh pembicara, yaitu Martin Aleida dan S. Anantaguna.
Menurut Martin Aleida, gaya sensasional TEMPO, terutama dalam mengangkat tokoh Rita dalam kehidupan Njoto, menyebabkan laporan tersebut dipertanyakan akurasinya.
“Ini dikutip habis-habisan TEMPO dari Joesoef (Joesef Ishak). Sedangkan Joesof mendengar rumor itu di penjara Salemba. Benar tidak dengan itu?” kata Martin Aleida yang mengaku bahwa laporan TEMPO itu mengutip habis-habisan pernyataan Joesoef Isak dalam sebuah diskusi.
Dan, Martin menyarankan, jika mau menukik lebih jauh mengenai siapa Rita ini, ada baiknya menggali informasi dari Sibarani, karikaturis Indonesia jaman itu, yang juga kenal dan punya hubungan dengan Rita.
Sabar Anantaguna menganggap kasus itu masih sebatas rumor, sesuatu yang belum tentu benar dan mesti diverifikasi kebenarannya.
“Njoto adalah orang yang sangat mencintai istrinya, Soetarni,” tegasnya.
Hal lain yang dibantah dari laporan TEMPO adalah pernyataan bahwa “Njoto menghilangkan Hemingway dari catatan.” “Ini tidak benar,” kata Martin.
Yang benar, menurut Martin, ketika terjadi kampanye anti-film Amerika dan ada baliho tentang film Amerika berjudul “The Old Man and The Sea”, di situ ada photo Ernest Hemingway sebagai penulisnya.
Ketika gambar baliho itu mau dimuat di Harian Ra’jat, Njoto menghitamkan nama Ernest Hemingway ini. Karena Njoto sangat tahu bahwa Hemingway adalah seorang yang berfikiran maju, dan bersahabat dengan Fidel Castro dan sering memancing bersama-sama.
Perpecahan Nyoto-Aidit dan G.30/S
Njoto adalah orang yang sangat teguh pendirian, tidak mudah untuk berganti ideologi. Dengan demikian, adalah tidak benar untuk menyimpulkan bahwa Njoto telah bergeser dari seorang marxis-leninis menjadi soekarnois.
Begitu juga dengan isu perpecahan Njoto-Aidit, yang menurut isu yang berhembus, menyebabkan Njoto tersingkir dari perahu kepemimpinan partai.
Dalam ingatan Sabar Anantaguna, Njoto merupakan orang sangat cinta kepada partai dan patuh kepada Aidit. Sebagai contoh, Sabar mengutip pernyataan Nyoto bahwa “dia berangkat ke Moskow atas pesan Aidit dan di sana ia mengejek Khrushchev (Nikita Khrushchev) di sana. Itu pertanda bahwa PKI menentang revisionisme.
Bahwa Njoto tidak tahu menahu soal G.30/S, Sabar menganggap hal itu mungkin saja. “Kalau semua tahu, PKI akan menyelamatkan diri,” ujar Antaguna dengan nada kelakar.
Pada intinya, menurut Anantaguna, bukan cuma Nyoto yang kemungkinan tidak tahu soal G.30/S, tetapi banyak orang PKI memang tidak tahu. Pada saat itu, partai sama sekali tidak mempersiapkan diri untuk melakukan parlawanan terhadap teror kaum reaksioner.
Soal loyalitas Njoto terhadap PKI, itupun tidak dapat diragukan lagi. “Njoto mempertahankan partai hingga akhir hayatnya. Bahkan, Nyoto lebih duluan mati dibanding Aidit,” katanya.
Satu pertanyaan diajukan Sabar Anantaguna, “Jika Njoto memang lebih loyal kepada Bung Karno, kenapa dia tidak pergi ke Bung Karno dan memaki-maki PKI pasca G.30/S?”
Menurut catatan Soe Hok Gie dalam “Orang-Orang Di Persimpangan Kiri Jalan”, Aidit bertemu Njoto di Solo pada pertengahan tahun 1946, setelah ia lepas dari penjara pulau Onrust.
Rudi Hartono
http://www.berdikarionline.com/njoto-seorang-marxis-hingga-akhir-hayatnya/
0 komentar:
Posting Komentar