Rabu, 27 Januari 2016 16:02
Bandung, NU Online - Komisariat Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia (PMII) UIN Sunan Gunung Djati Cabang kota Bandung menggelar
bedah buku Benturan “NU-PKI tahun 1948-1965” tulisan Abdul Mun’im DZ di aula
Fakultas Ushuluddin, kampus setempat, Selasa (26/1) siang. Bedah buku ini
digelar lantaran banyak mahasiswa yang kabur dalam mempelajari sejarah
pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI), khususnya keterlibatan NU dalam
melawan PKI pada waktu itu.
Penulis buku Benturan NU-PKI H Abdul Mun’im DZ dalam
kesempatan tersebut memaparkan pokok-pokok yang ada di dalam bukunya. Ia
mengatakan bahwa dahulu PKI mempunyai progersivitas yang luar biasa, militan.
Selain itu mereka mempunyai misi mempropaganda anak muda, petani, buruh,
sehingga menimbulkan konflik horizontal. padahal Indonesia pada saat baru
merdeka.
Kondisi pada tahun 1965 mirip kondisi sekarang, yakni
semuanya sepakat untuk melawan terorisme. Begitu pula dahulu, semua kelompok
sepakat PKI sebagai musuh bersama.
“Tetapi kondisi 1965 lebih dahsyat lagi dibanding kasus terorisme yang sedang melanda Indonesia saat ini,” ungkap Wakil Sekretaris Jenderal PBNU itu.
Lebih lanjut, dalam konteks NU, tidak benar bahwa NU
semata-mata menyerang PKI tanpa sebab, selain bukan karena perintah TNI. Tetapi
kondisi saat itu yang memang memaksa untuk melawan PKI, karena PKI terlebih
dahulu yang melakukan penyerangan.
“Aktornya itu banyak, mulai dari PKI itu sendiri, NU, TNI, Masyumi, PNI, Muhammadiyah, dan kelompok lain baik muslim atau nonmuslim. Hanya saja yang menjadi korban terbesar adalah PKI, karena PKI pada saat itu adalah musuh bersama,” tambah Mun’im.
Mun’im juga meluruskan pandangan para peneliti asing yang
mengatakan PKI hanya korban. Otomatis, aktornya ditujukan kepada TNI dan NU
yang dibantu paramiliter seperti Banser, dan lain-lain. “Masalahnya,
orientalis umumnya melihat hanya pada tahun 1965 saja, mereka tidak melihat
proses panjang yang dilakukan PKI,” tegasnya.
Mun’im menjelaskan bahwa PBNU mempunyai sikap perihal
kasus tersebut, diantaranya meminta untuk tidak memahami sejarah secara
sepenggal, tidak bersikap ahistoris, tidak mendramatisasi jumlah korban, tidak
akan meminta maaf, tapi harus saling memaafkan, menjaga dan melanjutkan
rekonsiliasi, mewaspadai provokasi baru, dan menjaga integritas NKRI.
Sebagai narasumber pembanding, Wakil Ketua Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Dianto Bachriandi merasa senang pihak
PBNU yang punya otoritas dalam organisasi NU mengeluarkan buku tentang kasus
dalam pandangan NU. Sehingga ia meminta NU untuk kembali menerbitkan buku yang
lebih utuh lagi dalam melihat kasus tersebut.
Diantor menjelaskan bahwa demokrasi politik tahun 1965
adalah demokrasi kekanak-kanakan, sampai ada perang pukul. Sehingga tidak
mengindahkan etika demokrasi, bahkan ia memandang itu masih terjadi sampai
sekarang.
Dianto menilai satu kelompok yang paling menikmati
konflik 1965 adalah pihak asing, karena pasca peristiwa itu, mulai masuk
pengaruh pihak asing, yakni masuknya undang-undang penanaman modal, dan
undang-undang pertambangan, termasuk PT Freeport yang sudah memulai
aktivitasnya pada tahun 1967, sebelum ditetapkannya undang-undang.
Saat itu, masih di bawah pemerintahan Soekarno tetapi
kondisinya sudah melemah.
“Padahal tahun 1930 sudah mulai masuk ahli geologi untuk mencari tambang-tambang,” ungkap Dianto.
Bagi Dianto alangkah baiknya, semua pihak mengeluarkan
apa yang diketahui, sehingga publik tahu, tetapi lebih baiknya adalah dalam
frame ilmiah sehingga dapat mengetahui secara objektif tentang sejarah
bangsa.
“Yang penting adalah kita generasi muda, objektif dan menarik pelajaran dan mengambil pelajaran demokrasi yang baik dan tidak kekanak-kanakan,” pintanya. (M. Zidni Nafi’/Fathoni)
0 komentar:
Posting Komentar