12 DESEMBER 2016 | 18:40
Banyak yang melihat persoalan terorisme sebagai soal doktrin belaka. Ada lagi yang melihatnya sangat psikologis: persoalan kebencian semata. Mereka menceraikan terorisme dari persoalan ekonomi-politik.
Benarkah apa yang disebut “Islam radikal” benar-benar persoalan doktrin belaka? Benarkah kelempok jihadis semacam Al-Qaeda dan Negara Islam (ISIS) benar-benar memperjuangkan sebuah doktrin agama? Cerita di bawah ini mungkin bisa sedikit menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
***
Wilayah Timur Tengah, yang kaya dengan minyak, benar-benar menggiurkan bagi imperialisme barat. Tidak mengherankan, imperialis barat berusaha mencari berbagai jalan untuk bisa menguasai minyak Timur Tengah.
Inggris memulainya di tahun 1800-an. Di tahun 1909, Inggris menemukan cadangan minyak di Iran. Penemuan itu disusul dengan berdirinya perusahaan minyak Inggris bernama Anglo-Persian Oil Company (APOC) yang segera menguasai cadangan minyak itu.
Usai perang dunia kedua, Amerika Serikat (AS) juga tergiur dengan minyak timur tengah. Mereka berusaha mencari jalan untuk turut mengangkangi kekayaan minyak kawasan itu. Sayang sekali, keinginan mereka terbentur oleh kebangkitan nasionalisme dan sosialisme Arab yang mekar pasca Perang Dunia kedua.
Tetapi AS tidak memakai tangannya langsung. Mereka mencoba tangan lain (proxy war). Mulailah mereka mendekati Arab Saudi dan kelompok Wahabi. Kenapa Wahabi? Sebab, kelompok ini mengadopsi cara pandang yang sangat puritan dan gampang mengkafirkan sesama muslim. Mereka gampang dipakai untuk memukul sesama muslim. Apalagi, konon ada campur tangan seorang intel Inggris, Hempher, dalam pendirian Wahabi ini guna melemahkan Turki Ottoman.
Tahun 1950-an, sosialisme Arab makin menguat. Mereka sekuler, nasionalis, dan anti-imperialis. Tahun 1952, Gamal Abdul Nasser, seorang pemeluk sosialisme Arab, berhasil menggulingkan Monarkhi Raja Faraouk I. Kemenangan Nasser menyemengati gerakan sosialis Arab di tempat lain.
Ketika menjabat Presiden, Nasser terbilang radikal. Dia menjalankan kebijakan nasionalis dan populis yang mengancam kepentingan imperialisme, khususnya AS dan Inggris, di Timur Tengah. Terutama setelah Nasser menasionalisasi terusan Suez.
Untuk melawan Nasser, AS mulai melirik kelompok islamis yang sejenis dengan Wahabi, yakni Ikhwanul Muslimin (IM). Sebab, IM punya “kemampuan yang patut dipuji untuk menggulingkan Nasser.” (Baer, 2003; Dreyfuss, 2005).
Dalam perjuangannya, IM menggunakan jalan kekerasan. Beberapa kali berusaha membunuh Nasser. Pada tahun 1954, ketika sedang berpidato di Alexandria, Nasser diberondong oleh seorang anggota IM, Mahmoud Abd al-Latif. Tetapi upaya pembunuhan itu gagal.
Ketika Sosialisme Arab makin bersemi di negeri-negeri Arab, dari Aljazair, Palestina hingga Irak, AS mulai melirik rezim despotik Arab Saudi. Terutama kepada kelompok Wahabi-nya.
Tahun 1951, seorang nasionalis progressif berkuasa di Iran. Namanya: Mohammed Mossadegh. Begitu berkuasa, Mossadegh menasionalisasi perusahaan minyak Inggris, Anglo-Iranian Oil Company (AIOC/APOC). Tindakan populis Mossadegh membuat gemetar negeri-negeri imperialis.
Akhirnya, sejak 1953, CIA bekerjasama dengan M-16 Inggris berusaha menggulingkan Mossadegh. Mereka merangkul monarkhi Iran yang sudah diujung tanduk, Shah Fahlevi. Dan pada Agustus 1953, kolaborasi CIA/M-26 dan Shah Fahlevi berhasil menggulingkan Mossadeg. Setelah itu, Iran jatuh ke bawah kediktatoran Shah Fahlevi hingga 1979.
Begitulah imperialisme berusaha merawat membesarkan kelompok fundamentalis di Timur Tengah untuk membendung populisme sosialisme Arab. Dan tentu saja, agar kepentingan ekonomi-politik imperialisme di Timur Tengah, khususnya minyak, tidak terganggu oleh sosialisme Arab.
***
Tahun 1979, AS khawatir Afghanistan jatuh ke tangan Uni Soviet. Untuk mencegah itu, AS mulai menggandeng kelompok fundamentalis dalam peperangan suci melawan apa yang disebut “bahaya merah” atau komunisme.
Awal 1980-an, pemerintahan Jimmy Carter menggelontorkan dana sebesar 500 juta USD untuk membesarkan kelompok militan fundamentalis, Mujahidin (Lihat dokumenter: Breaking the Silence: Truth and Lies in the War on Terror, John Pilger dan Steve Connelly, 2003). Tidak hanya bantuan dana, CIA juga menyuplai senjata dan melatih kelompok Mujahidin di Afghanistan.
Sepanjang 1985 hingga 1992, AS melatih setidaknya 12.500 pejuang asing, termasuk dari Arab Saudi, di Afghanistan. Mereka dilatih membuat bom, melakukan sabotase, dan gerilya kota. Kelak, kelompok-kelompok inilah yang bertransformasi menjadi Taliban dan Al-Qaeda. Dan salah satu tokoh penting yang lahir dari didikan AS ini bernama Osama Bin Laden.
Singkat cerita, AS bersekutu dengan Mujahidin. Dan Osama adalah sekutu AS. Presiden AS Ronald Reagen menyebut kelompok Mujahidin sebagai “pejuang kebebasan”.
Usai perang, sebagian kelompok Mujahidin ini bertransformasi menjadi Taliban. Awalnya, AS mendukung penuh pembentukan Taliban. Kelompok ini sempat berkuasa sepanjang 1996 hingga 2001. Semasa berkuasa, taliban menerapkan syariat Islam yang ekstrim: televisi, bioskop dan musik dilarang. Lebih ekstrim lagi pada perempuan: wajib mengenakan burqa, dilarang sekolah dan bekerja, dan tidak boleh ditolong dokter laki-laki.
Di tahun 1988, Osama mendirikan Al-Qaeda. Mereka mengadopsi ideologi salafi-jihadi. Lama kelamaan, Al-Qaeda berkembang menjadi organisasi teroris. Puncaknya, 11 September 2001, mereka melancarkan serangan teror di New York, AS. Sejak itu Al-Qaeda dicap sebagai organisasi teroris paling berbahaya.
Ini tentu ironis. AS dan CIA berkontribusi besar dalam melahirkan, melatih dan membesarkan Al-Qaeda. Seperti diakui sendiri oleh Hillary Clinton: “Dan jangan lupa, mereka yang kita perangi sekarang (Al-qaeda dan Taliban), kita yang biayai 20 tahun lalu. Dan kita lakukan itu karena kita sedang perangi Soviet.”
Namun, jika ditelusuri, motif utama AS memerangi Soviet di Afghanistan tidak melulu karena persaingan ideologi. Tetapi sebagian besar karena motif ekonomi. Dengan sokongan Osama/Taliban, AS bukan hanya berhasil mengusir Soviet, tetapi juga mewujudkan apa yang disebut penulis Inggris George Monbiot sebagai “mimpi pipa Amerika”, yaitu proyek pipa minyak dan gas sepanjang 1000 kilometer dari Turkmenistan, melalui Afghanistan, hingga ke Pakistan.
Pasca serangan 11 September 2001, AS mengumandangkan perang besar melawan terorisme. Dengan dalih memerangi terorisme, AS menginvasi Afghanistan dan mendirikan rezim boneka di sana. Tentu dalam kerangka mengamankan kepentingan ekonomi AS di sana.
***
Al-Qaeda benar-benar berguna bagi AS. Tahun 2003, AS mulai membangun propaganda bahwa rezim Saddam Husein di Irak punya hubungan dengan Al-Qaeda. Tidak hanya itu, Saddam juga dituding menyimpan senjata pemusnah massal.
Dengan tudingan sepihak itu, AS melakukan invasi ke Irak. Rezim Saddam berhasil digulingkan. Namun, alih-alih dianggap sebagai pembebas, tentara AS justru dianggap sebagai penjajah. Sebuah jajak pendapat tak lama setelah invasi menyebutkan bahwa 71 persen rakyat Irak menganggap tentara AS sebagai penjajah ketimbang sebagai pembebas.
Sebelum kehadiran tentara AS di Irak, tidak ada kelompok militan semacam Al-Qaeda dan sejenisnya. Namun, setelah invasi AS yang memicu sentimen anti tentara asing, kelompok militan mulai menjamur. Termasuk Al-Qaeda. Dan untuk anda ketahui, kelompok Al-Qaeda di Irak menjadi unsur penting yang membentuk Negara Islam Irak (ISI). Tahun 2013, kelompok ini bergabung dengan kelompok serupa di Suriah dan membentuk Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Jadi, alih-alih memerangi kelompok teroris yang terkait dengan Saddam Husein, invasi AS ke Irak justru melahirkan kelompok teroris yang lebih banyak dan lebih ganas. Salah satunya: ISIS.
Dan terorisme hanyalah dalih. Tujuan sejati AS memerangi Irak adalah minyak. Sebelum invasi tahun 2003, hampir semua ladang minyak Irak dikuasai oleh negara. Setelah invasi, ladang-ladang minyak itu berpindah tangan ke asing. Perusahaan minyak raksasa, seperti ExxonMobil, Chevron, British Petroleum, Shell, termasuk Halliburton, kini menguasai minyak Irak.
***
Keberhasilan menggunakan Mujahidin dalam proxy war di Afghanistan menjadi pelajaran berharga bagi AS. Paman Sam kemudian menciptakan saudara kembar di banyak negara. Salah satunya adalah Kelompok Pejuang Islam Libya/ Libyan Islamic Fighters Group (LIFG).
LIFG dipakai untuk menggoyang Khadafi. Tahun 2011, ketika goncangan terhadap kekuasaan Khadafi meningkat, LIFG bergabung koalisi oposisi (Dewan Transisi). Tidak hanya LIFG, Al-Qaeda juga berdiri di Libya untuk memerangi Khadafi.
Dan sukses. Khadafi jatuh. Segera setelah itu, Libya dikoyak perang sektarian tanpa ujung. Bom bunuh diri terjadi hampir setiap hari. Dan cadangan minyak Libya, yang mencapai 43,6 milyar barrel, menjadi rebutan korporasi asing dan teroris.
***
Sekarang kita bicara perang AS di Suriah. Perang yang telah melahirkan lusinan kelompok teroris, termasuk Al-Qaeda, ISIS dan Jabhat Al Nusra.
Jadi, tahun 2009, Presiden Suriah Bashar al-Assad menolak proyek pipa Qatar. Proyek pipa itu, yang disetujui Qatar dan Turki, akan mengalirkan gas alam dari Qatar ke pasar Eropa. Pipa gas itu akan melalui Arab Saudi, Yordania, Turki dan tentu saja: Suriah. Kalau proyek ini berhasil, ketergantungan Eropa atas gas alam Rusia akan berkurang.
Yang bikin AS dan barat makin marah terhadap Assad adalah keputusannya menyetujui proyek pipa Iran. Bagi barat dan sekutunya, proyek pipa Iran justru akan memperkaya dan memperkuat pengaruh negara Syiah itu di timur tengah.
Karena itu, sejak 2009, AS mulai mencari cara untuk melengserkan Assad. Awalnya, AS mendorong aksi-aksi protes anti-Assad. Namun, karena tidak berhasil, AS menggunakan cara yang lebih keras: membuat kelompok bersenjata.
Selain mendorong lahirnya Tentara Pembebasan Suriah (FSA), AS juga menyokong kehadiran kelompok-kelompok Jihadis-Sunni untuk memerangi Assad. Lagi-lagi, untuk mewujudkan rencana itu, AS menggandeng Arab Saudi.
Patrick Cockburn, penulis buku The Jihadis Return: ISIS and the New Sunni Uprising, menulis: “di Suriah, AS mendukung rencana Arab Saudi membangun Front Selatan, yang berbasis di Yordania, yang akan bermusuhan dengan pemerintahan Assad di Damaskus.”
Dalam kerangka itu, lanjut Cockburn, kelompok militan jihadis Brigade Yarmouk menerima rudal anti-pesawat dari Arab Saudi. “Tetapi beberapa video menunjukkan bahwa Brigade Yarmouk sering berjuang bersama JAN (Jabhat al-Nusra?), yang berafiliasi dengan Al-Qaida. Karena itulah, di tengah pertempuran, kedua kelompok sering berbagai amunisi, Washington seringkali membiarkan senjatanya yang paling canggih jatuh ke tangan musuh yang mematikan,” tulis Cockburn.
Belakangan, Brigade Yarmouk bergabung ke dalam ISIS. Bersamaan dengan itu, lusinan kelompok jihadis tumbuh subur di Suriah, dengan sokongan dana dari Arab Saudi.
***
Dari cerita panjang di atas, dapatlah ditarik beberapa kesimpulan:
Pertama, imperialisme barat, khususnya AS, berkontribusi besar dalam menciptakan dan membesarkan kelompok jihadis, seperti Mujahidin, Taliban, Al Qaeda, dan ISIS.
Kedua, imperialisme AS menggunakan kelompok jihadis sebagai “proxy war” mereka untuk melawan rezim atau pemerintahan yang menentang kepentingan ekonomi-politiknya.
Ketiga, sudah 15 tahun “perang melawan terorisme” dikobarkan oleh AS, jumlah kelompok teroris bukannya berkurang, malah bertambah banyak dan makin buas.
Keempat, jika memang serius memerangi terorisme, AS mestinya memutuskan hubungan dengan penyandang dana terbesar gerakan jihadis, yakni Arab Saudi. Faktanya, AS masih berangkulan mesra dengan negara despotik itu.
Risal Kurnia
Sumber: BerdikariOnline
0 komentar:
Posting Komentar