Abdil Mughis Mudhoffir*
KEBERADAAN
kelompok-kelompok sipil yang dapat menggunakan kekerasan secara ‘sahih’ di luar
aparatus represif negara serta maraknya aksi-aksi intimidasi dan kekerasan oleh
kelompok tersebut (vigilantisme), kerap menjadi catatan khusus dalam memahami
proses demokratisasi di Indonesia. Pasalnya, meskipun demokratisasi di
Indonesia telah berjalan lebih dari satu setengah dasawarsa, kekerasan sipil
serta kelompok-kelompok vigilante tetap ada.
Beberapa kasus kekerasan sipil
yang mencuat pasca Reformasi antara lain pembubaraan diskusi, penganiayaan dan
intimidasi terhadap kelompok minoritas serta penyerangan terhadap rumah ibadah.
Namun, fenomena semacam itu bukan hal yang baru di Indonesia. Sepanjang Orde
Baru, kekerasan sipil juga telah menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari
yang berpuncak pada pengorganisasian kelompok preman dalam wadah Pemuda
Pancasila.
Pertanyaannya,
mengapa negara yang seringkali dianggap sebagai aktor yang paling bertanggung
jawab terhadap ketertiban sosial tampak mengabaikan adanya aksi-aksi kekerasan
dan kelompok vigilante?
Menurut saya, fenomena
vigilantisme merupakan produk dari struktur ekonomi-politik yang menghendaki
penggunaan kekerasan sipil sebagai elemen penting suatu negara dalam proses
akumulasi sumber daya.
Keberadaan
kekerasan sipil, dengan demikian, inheren di dalam proses pembentukan negara
dan perkembangan kapitalisme di Indonesia. Argumen ini merupakan kritik
terhadap pandangan yang menilai munculnya kelompok vigilante sebagai akibat
lemahnya penegakan hukum pada era demokrasi yang terdesentralisasi atau akibat
kekuasaan yang semakin terfragmentasi.
Diskursus Negara dan Kekerasan
Beberapa
pengamat, akademisi, serta aktivis demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM)
menilai fenomena vigilantisme sebagai produk dari kegagalan negara dalam
menjamin perlindungan sosial kepada warganya. Kegagalan itu juga diyakini
sebagai manifestasi dari lemahnya penegakan hukum, baik yang berkaitan dengan
aparaturnya maupun sistemnya.
Negara, di satu
sisi, dapat dipandang abai dalam melindungi warganya dari kekerasan, tetapi di
sisi lain juga dapat diklaim secara sengaja membutuhkan aktor-aktor kekerasan
sipil itu sebagai proxy (perwakilan
dari).
Pandangan semacam
itu sesungguhnya lahir dari asumsi bahwa negara adalah aktor yang memonopoli
penggunaan kekerasan yang sahih dalam suatu teritori tertentu, seperti yang
didefinisikan oleh ilmuwan politik Max Weber. Namun, karena kekuasaan negara
dianggap tidak selalu dapat merengkuh semua yang ada dalam batas teritorinya,
agen-agen non-negara diperlukan untuk melengkapinya.
Asumsi tersebut
juga seturut dengan pengertian vigilantisme itu sendiri, bahwa ‘tindakan main
hakim sendiri’ lahir karena negara dianggap tidak mampu menegakkan ketertiban.
Argumen yang sama sering pula dikutip oleh kelompok-kelompok semacam Front
Pembela Islam (FPI), Forum Betawi Rempug (FBR), dan Pemuda Pancasila (PP) untuk
melegitimasi penggunaan kekerasan.
Sementara itu,
dengan menolak perspektif Weberian di atas, pandangan yang lain menilai
vigilantisme sebagai manifestasi kekuasaan negara yang tidak pernah benar-benar
terpusat dan otonom. Monopoli penggunaan kekerasan oleh negara dianggap hanya
imajinasi belaka, tidak pernah mewujud sebagai kenyataan. Hakekat kekuasaan
negara, dengan kata lain, senantiasa dalam keadaan terfragmentasi. Kehadiran
kelompok-kelompok vigilante adalah wujud fragmentasi kekuasaan itu sekaligus
penantang negara dalam menegakkan otonomi dan monopoli penggunaan kekerasan.
Pengertian
Weberian tentang negara yang memonopoli penggunaan kekerasan secara sahih pada
akhirnya juga dapat diperluas kepada kelompok-kelompok kekerasan sipil
tersebut. Jika negara memperoleh kesahihan penggunaan kekerasan melalui
legitimasi legal, kelompok vigilante meraihnya melalui dukungan publik dan pada
segi tertentu juga pembiaran negara.
Retorika tentang nahi
munkar (atau mencegah
kesesatan dalam Islam) atau diskursus tentang anti-komunisme dan pembelaan atas
Pancasila, misalnya, kerap digunakan untuk memperoleh dukungan publik atas
eksistensi dan tindakan kekerasan oleh kelompok semacam FPI hingga Pemuda
Pancasila.
Ekonomi-Politik Kekerasan Sipil
Pandangan-pandangan
di atas menurut saya memiliki dua kelemahan pokok. Pertama, keduanya memandang demokrasi mengandung
anomali dan kontradiksi. Di satu sisi demokrasi menjamin kebebasan, di sisi
lain ia memberi kesempatan kemunculan kelompok-kelompok kekerasan.
Dengan kata lain,
vigilantisme lahir karena tersedianya kesempatan politik yang dijamin oleh
institusi demokrasi tetapi tidak dilengkapi oleh memadainya kapasitas negara
dalam menjamin keamanan warganya.
Situasi semacam
ini juga sering dipandang sebagai gambaran bahwa demokrasi di Indonesia belum
mencapai tahap perkembangan yang matang atau disebut juga masih dalam fase
transisi. Namun, sampai kapan transisi demokrasi berlangsung dan apa yang
menjadi ukuran? Jawaban atas pertanyaan ini tidak pernah jelas. Yang ada, tesis
transisi demokrasi justru melegitimasi terus berlangsungnya praktik
vigilantisme karena pemaklumannya sebagai fenomena transisi.
Kenyataanya,
kekerasan sipil bukan fenomena baru di Indonesia. Sejak era otoriter Soeharto
yang sering dipahami memiliki kapasitas yang kuat dengan kekuasaan yang
tersentralisasi, kekerasan sipil telah hadir menyertai proses pembentukan
negara dan perkembangan kapitalisme. Bahkan sejak era kolonial Belanda,
fenomena serupa juga telah hadir.
Kelemahan kedua dengan demikian berkaitan dengan
kecenderungan analisis yang bersifat ahistoris karena mengabaikan struktur
ekonomi-politik yang melahirkan kekerasan sipil itu. Artinya, kelompok-kelompok
vigilante itu pada kenyataannya dapat hadir dalam berbagai konteks politik yang
berbeda-beda, baik saat kekuasaan terdesentralisasi atau tersentralisasi, dalam
konteks demokrasi maupun otoriter, serta dalam konteks negara yang lemah maupun
kuat.
Kehadiran
vigilantisme, dengan kata lain, tidak berhubungan dengan lemahnya kapasitas
negara, tidak berjalannya penegakkan hukum atau terdesentralisasinya kekuasaan.
Keberadaan kekerasan sipil lebih ditentukan oleh bekerjanya hubungan-hubungan
kekuasaan yang ditopang oleh aliansi birokrasi-kapital dalam proses akumulasi
kekayaan. Struktur ekonomi-politik semacam ini yang memungkinkan negara, di
satu sisi, terlihat mengabaikan, tetapi di sisi lain, tampak memanfaatkan
kelompok vigilante untuk kepentingan tertentu.
Namun, dalam
setiap periode perkembangan sejarah, bentuk-bentuk penggunaan kekerasan sipil,
aktor-aktor yang menjadi aliansi utama, serta kepentingan-kepentingan yang
muncul itu berbeda-beda sebagai produk perkembangan kapitalisme dan negara.
Geneologi
Kekerasan Sipil
Jika pada era
kolonial Belanda, jago, jawara dan preman dimanfaatkan untuk memungut pajak,
mencegah pembentukan serikat buruh perkebunan serta mengintimidasi kelompok
pemberontak, pada era kolonial Jepang kelompok yang sama dimobilisasi sebagai
milisi-milisi untuk melawan Sekutu.
Pasca
kemerdekaan, kelompok preman juga telah dimobilisasi oleh partai-partai politik
untuk memobilisasi dukungan publik seperti laskar Sabilillah yang dibentuk oleh
Masyumi, Barisan Banteng yang terafiliasi dengan PNI dan Pesindo yang
terafiliasi dengan PKI.
Tentara pada
periode tersebut juga telah menggunakan instrumen kekerasan sipil untuk
memperoleh dukungan publik dalam upaya membubarkan konstituante. Hal itu
dilakukan dengan membentuk Ikatan Pemuda Kemerdekaan Indonesia (IPKI) pada
tahun 1952. Selain itu, dalam melawan dominasi komunis pendukung Soekarno, pada
tahun 1959 tentara juga membentuk Pemuda Pancasila.
Pada tahun 1965,
kekerasan sipil juga kembali digunakan dengan memobilisasi kelompok-kelompok
paramiliter serta organisasi pemuda seperti Darul Islam, Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia (DDII), Pemuda Pancasila, Banser dan Pemuda Ansor, termasuk Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) untuk mengorganisasikan dukungan publik dalam rangka
mendelegitimasi kekuasaan Soekarno dan menghancurkan komunisme.
Periode ini
merupakan momentum konsolidasi kapitalisme yang dilakukan dengan memobilisasi
sentimen anti-komunis melalui penghancuran PKI dan pembunuhan massal para
anggota dan simpatisan partai oleh kelompok sipil yang sekaligus semakin
melegitimasi penggunaan kekerasan sipil yang lebih intensif.
Sejak awal Orde
Baru tahun 1970-an, misalnya, Soeharto telah memobilisasi kelompok-kelompok
kekerasan atau yang disebut juga gali (gabungan anak-anak liar) ke dalam
berbagai organisasi mulai dari KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia), AMPI
(Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia) hingga Pemuda Pancasila yang terafiliasi
dengan Golkar untuk memenangkan pemilu.
Pada era
Reformasi, kelompok-kelompok kekerasan kembali dimobilisasi oleh negara dalam
wadah pamswakarsa untuk mempertahankan kekuasaan Habibie melawan gerakan
pro-demokrasi. Namun, retorika yang digunakan dalam menggalang dukungan publik
bukan lagi membela Pancasila, melainkan mempertahankan rezim Islami yang
direpresentasikan oleh Habibie sebagai sosok pemimpin Muslim. Sejak saat itu,
vilgilantisme Islam yang menggunakan retorika amar makruf nahi munkar menguat di Indonesia.
Kasus-kasus
diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas, represi terhadap kelompok
oposisi dengan memobilisasi kembali sentimen anti-komunisme, serta berbagai
represi terhadap gerakan-gerakan perlawanan dalam kasus pertambangan maupun
perkebunan, merupakan manifestasi penggunaan kekerasan non-negara yang tetap
hadir dalam praktik bernegara di Indonesia hingga kini.
Dengan demikian,
hadirnya kekerasan sipil tidak berhubungan dengan karakteristik kekuasaan serta
sistem pemerintahan di suatu negara. Artinya, mengajukan jalan keluar dengan
memperkuat kapasitas negara dan penegakkan hukum bukan saja kurang berguna,
tetapi juga semakin melegitimasi tetap hadirnya kekerasan sipil dalam kehidupan
sosial-politik. Karena persoalannya terletak pada struktur ekonomi-politik yang
memungkinkan penggunaan kekerasan non-negara sebagai bagian dari instrumen
akumulasi kapital, konsolidasi kekuasaan dan legitimasi publik, maka yang
selayaknya lebih menjadi perhatian adalah struktur ekonomi-politik tersebut.
***
*Penulis adalah dosen Sosiologi Universitas
Negeri Jakarta. Kandidat PhD University of Melbourne, Australia
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di IURIS. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.
Sumber: Indoprogress
0 komentar:
Posting Komentar