Oleh: Akhmad Sahal*
Selasa, 09 Oktober 2012 00:00
MENGAPA kalangan
Islam menolak usul Gus Dur untuk mencabut Ketetapan MPRS XXV/66? Mengapa mereka
menyesalkan pemintaan maaf Gus Dur kepada PKI? Ketika komunisme sudah bangkrut
di tingkat dunia, dan di dalam negeri PKI dan yang terkait dengannya betul-betul
menjadi political outcast, mengapa kaum muslim di negeri ini masih keras penentangannya terhadap
komunisme?
Apakah ini mencerminkan sukses
rezim Orde Baru menanamkan dan menyebarkan komunisto-fobia?
Tentu saja itu ada
pegaruhnya. Namun kekhawatiran dan sikap anti yang cenderung eksesif
terhadap komunisme pada umat Islam ini tidak hanya digerakkan oleh pengaruh luar
semacam kampanye stigmatisasi komunisme oleh rezim Soeharto.
Sesungguhnya ada faktor lain yang
secara genuine melekat
dalam ingatan kolektif umat yang justru lebih berperan mengawetkan kekhawatiran
dan antipati itu. Dua hal setidaknya bisa disebut di sini: kenangan traumatis
terhadap situasi social dan politik era Demokrasi Terpimpin, dan pandangan
stereotipikal terhadap komunisme itu sendiri.
Kita tahu bahwa ketika PKI berkibar di era Demokrasi Terpimpin, kalangan Islam (juga Kristen, Katolik, dan nasionalis) gentar. Ini bukan saja karena PKI dibayangkan sebagai kekuatan politik yang solid dengan puluhan juta pendukung, melainkan juga karena politik saat itu memang mengarah pada pertarungan zero-sum game: "kita atau mereka.” Maklum, suasana revolusioner yang ditiup kencang membikin politik benar-benar mengamalkan apa yang oleh Sukarno disebut machtsvorming dan machtsaanwending, penggalangan dan penggunaan kekuasaan, suatu politik massa.
Selain itu, kompetisi dan konfrontasi partai-partai tidak disalurkan lewat pemilu karena hampir semuanya bergantung dan memusat pada Sukarno. Akibatnya, ketidakpastian tentang bagaimana nanti kalau tidak ada Sukarno merayap ke seluruh negeri. Sementara itu, di desa-desa, adanya landreform sepihak dari PKI memicu konflik tajam, bukan dalam skema vertikal antara petani dan tuan tanah, melainkan horizontal antara petani santri yang NU dan petani abangan yang PKI. Dalam situasi semacam itulah ketakutan umat Islam melihat kejayaan PKI saat itu bisa dimaklumi.
Apalagi, di kalangan Islam, PKI mengidap stereotip sebagai kelompok yang berpolitik tanpa moralitas karena dasarnya adalah ateisme. Politik PKI dianggap identik dengan "tujuan menghalalkan cara": mereka bisa menyusup ke mana-mana dan memanfaatkan kemiskinan buruh dan tani untuk tujuan kekuasaan. Selagi belum berkuasa, mereka bisa saja menerima demokrasi. Tapi, begitu berkuasa, pasti akan totaliter.
Kini sejarah telah berubah. Tapi kegentaran dan stereotip tersebut tetap, malah dibekukan. Sampai sekarang. Bagaimana gejala semacam ini bisa dijelaskan?
Argumen kalangan Islam bahwa sikap mereka melawan PKI adalah demi membela diri dalam suasana "kita atau mereka” dan “membunuh atau dibunuh” mungkin berlaku di zaman Demokrasi Terpimpin. Tapi, pasca-G30S, pembelaan diri semacam itu terbukti kebablasan, karena ternyata situasi semacam itu sebenarnya tidak ada lagi. Fakta bahwa PKI mudah sekali rontok menunjukkan bahwa kesolidan dan kebesaran PKI yang menggentarkan itu hanya mitos. Mereka hanya bergantung pada Sukarno dan, tidak seperti tentara, mereka tak bersenjata. Di samping itu, G30S itu sendiri masih diselimuti misteri. Kalaupun pelakunya memang PKI, apakah itu berarti semua anggotadan simpatisan partai itu boleh dihabisi?
Di sinilah letak kesalahan argumen "membela diri" dan "menghabisi sampai ke akar-akarnya" yang mendasari pembunuhan besar-besaran terhadap PKI. Kegentaran telah tergelincir menjadi kesewenang-wenangan. Keadilan ditutupi oleh kebencian. Apalagi kalau diingat bahwa saat itu Soeharto dan tentara ikut mendukung dan mengambil keuntungan dari pembunuhan tersebut.
Selain itu, melestarikan stereotip bahwa komunisme ateis dan niscaya berpolitik dengan "tujuan menghalalkan cara" adalah tindakan menyederhanakan. Dalam sejarah, kita mengenal Haji Misbach dari Surakarta dan Datuk Batuah dari Padang yang Islam sekaligus komunis. Pelajarilah marxisme, maka akan ketahuan bahwa perhatian utamanya bukanlah justru terhadap agama, melainkan soal pembelaan terhadap yang tertindas dalam kapitalisme. Adapun perihal "tujuan menghalalkan cara," itu tak lain hanya Machiavelisme belaka yang tidak khas tabiat komunis, tapi juga bisa dilakukan oleh siapa pun.
Pada titik ini, permohonan maaf Gus Dur kepada PKI haruslah dilihat sebagai ikhtiar untuk keluar dari perangkap kekhawatiran yang dasarnya hanyalah masa lalu yang mandek dan stereotip yang menyederhanakan. Dengan sikapnya itu, Gus Dur seolah ingin menegaskan bahwa kesalahan masa lalu, yakni niat membela diri yang ternyata berbuah kesewenangan, harus tetap diingat dan diungkapkan apa adanya, agar tidak terulang lagi di kemudian hari. Dan jangan dikira pengakuan salah semacam ini tanpa dibarengi rasa sakit.
Yang perlu ditegaskan di sini, permohonan maaf Gus Dur ini tidak dengan sendirinya menaruh PKI dalam posisi tidak salah. Menjadi korban tidak lantas menjadikannya suci. PKI juga mesti mengakui kesalahannya dalam memberi andil menciptakan situasi totalitarian era Demokrasi Terpimpin, situasi yang dalam istilah Lenin berarti "siapa yang tidak bersama kita berarti melawan kita." Dengan dalih revolusi, PKI mendukung saja ketika rezim Sukarno melarang sejumlah partai dan memenjarakan sejumlah tokoh yang saat itu dianggap anti PKI. Andil semacam inilah yang menjadi bahan bakar antikomunisme.
Kalau setiap pihak mengakui kesalahan, bukan hanya rekonsiliasi yang tercapai, melainkan juga penyembuhan luka sejarah yang tertanam di bawah sadar bangsa ini. Dan setelah itu, bab baru kehidupan bangsa ini bisa dimulai dengan sikap adil, tanpa beban trauma sejarah yang ditekan atau dimanipulasi.
Kita tahu bahwa ketika PKI berkibar di era Demokrasi Terpimpin, kalangan Islam (juga Kristen, Katolik, dan nasionalis) gentar. Ini bukan saja karena PKI dibayangkan sebagai kekuatan politik yang solid dengan puluhan juta pendukung, melainkan juga karena politik saat itu memang mengarah pada pertarungan zero-sum game: "kita atau mereka.” Maklum, suasana revolusioner yang ditiup kencang membikin politik benar-benar mengamalkan apa yang oleh Sukarno disebut machtsvorming dan machtsaanwending, penggalangan dan penggunaan kekuasaan, suatu politik massa.
Selain itu, kompetisi dan konfrontasi partai-partai tidak disalurkan lewat pemilu karena hampir semuanya bergantung dan memusat pada Sukarno. Akibatnya, ketidakpastian tentang bagaimana nanti kalau tidak ada Sukarno merayap ke seluruh negeri. Sementara itu, di desa-desa, adanya landreform sepihak dari PKI memicu konflik tajam, bukan dalam skema vertikal antara petani dan tuan tanah, melainkan horizontal antara petani santri yang NU dan petani abangan yang PKI. Dalam situasi semacam itulah ketakutan umat Islam melihat kejayaan PKI saat itu bisa dimaklumi.
Apalagi, di kalangan Islam, PKI mengidap stereotip sebagai kelompok yang berpolitik tanpa moralitas karena dasarnya adalah ateisme. Politik PKI dianggap identik dengan "tujuan menghalalkan cara": mereka bisa menyusup ke mana-mana dan memanfaatkan kemiskinan buruh dan tani untuk tujuan kekuasaan. Selagi belum berkuasa, mereka bisa saja menerima demokrasi. Tapi, begitu berkuasa, pasti akan totaliter.
Kini sejarah telah berubah. Tapi kegentaran dan stereotip tersebut tetap, malah dibekukan. Sampai sekarang. Bagaimana gejala semacam ini bisa dijelaskan?
Argumen kalangan Islam bahwa sikap mereka melawan PKI adalah demi membela diri dalam suasana "kita atau mereka” dan “membunuh atau dibunuh” mungkin berlaku di zaman Demokrasi Terpimpin. Tapi, pasca-G30S, pembelaan diri semacam itu terbukti kebablasan, karena ternyata situasi semacam itu sebenarnya tidak ada lagi. Fakta bahwa PKI mudah sekali rontok menunjukkan bahwa kesolidan dan kebesaran PKI yang menggentarkan itu hanya mitos. Mereka hanya bergantung pada Sukarno dan, tidak seperti tentara, mereka tak bersenjata. Di samping itu, G30S itu sendiri masih diselimuti misteri. Kalaupun pelakunya memang PKI, apakah itu berarti semua anggotadan simpatisan partai itu boleh dihabisi?
Di sinilah letak kesalahan argumen "membela diri" dan "menghabisi sampai ke akar-akarnya" yang mendasari pembunuhan besar-besaran terhadap PKI. Kegentaran telah tergelincir menjadi kesewenang-wenangan. Keadilan ditutupi oleh kebencian. Apalagi kalau diingat bahwa saat itu Soeharto dan tentara ikut mendukung dan mengambil keuntungan dari pembunuhan tersebut.
Selain itu, melestarikan stereotip bahwa komunisme ateis dan niscaya berpolitik dengan "tujuan menghalalkan cara" adalah tindakan menyederhanakan. Dalam sejarah, kita mengenal Haji Misbach dari Surakarta dan Datuk Batuah dari Padang yang Islam sekaligus komunis. Pelajarilah marxisme, maka akan ketahuan bahwa perhatian utamanya bukanlah justru terhadap agama, melainkan soal pembelaan terhadap yang tertindas dalam kapitalisme. Adapun perihal "tujuan menghalalkan cara," itu tak lain hanya Machiavelisme belaka yang tidak khas tabiat komunis, tapi juga bisa dilakukan oleh siapa pun.
Pada titik ini, permohonan maaf Gus Dur kepada PKI haruslah dilihat sebagai ikhtiar untuk keluar dari perangkap kekhawatiran yang dasarnya hanyalah masa lalu yang mandek dan stereotip yang menyederhanakan. Dengan sikapnya itu, Gus Dur seolah ingin menegaskan bahwa kesalahan masa lalu, yakni niat membela diri yang ternyata berbuah kesewenangan, harus tetap diingat dan diungkapkan apa adanya, agar tidak terulang lagi di kemudian hari. Dan jangan dikira pengakuan salah semacam ini tanpa dibarengi rasa sakit.
Yang perlu ditegaskan di sini, permohonan maaf Gus Dur ini tidak dengan sendirinya menaruh PKI dalam posisi tidak salah. Menjadi korban tidak lantas menjadikannya suci. PKI juga mesti mengakui kesalahannya dalam memberi andil menciptakan situasi totalitarian era Demokrasi Terpimpin, situasi yang dalam istilah Lenin berarti "siapa yang tidak bersama kita berarti melawan kita." Dengan dalih revolusi, PKI mendukung saja ketika rezim Sukarno melarang sejumlah partai dan memenjarakan sejumlah tokoh yang saat itu dianggap anti PKI. Andil semacam inilah yang menjadi bahan bakar antikomunisme.
Kalau setiap pihak mengakui kesalahan, bukan hanya rekonsiliasi yang tercapai, melainkan juga penyembuhan luka sejarah yang tertanam di bawah sadar bangsa ini. Dan setelah itu, bab baru kehidupan bangsa ini bisa dimulai dengan sikap adil, tanpa beban trauma sejarah yang ditekan atau dimanipulasi.
Dalam kerangka sikap adil inilah
hendaknya kita menempatkan usul penghapusan Tap MPRS XXV/66 dan permintaan maaf
Gus Dur terhadap PKI. Di sini ada baiknya kita menyimak anjuran Surah
Al-Ma'idah ayat 8: "Janganlah kebencianmu pada satu kaum menjadikan kamu
bersikap tidak adil (terhadap mereka)."
Akhmad Sahal, Wakil Ketua Pengurus Cabang Istimewa NU (PCINU) Amerika-Kanada dan kandidat PhD Universitas Pennsylvania.
Sumber: JakartaBeat
0 komentar:
Posting Komentar