Oleh : Tempo.co
Senin, 1 Oktober 2012 06:30
WIB
AP/Alexander F. Yuan
TEMPO.CO, Jakarta- Masih lekat di ingatan
Masdoeqi Moeslim peristiwa di Pondok Pesantren Al-Jauhar di Desa Kanigoro,
Kecamatan Kras, Kediri, pada 13 Januari 1965.
Kala itu, jarum jam baru menunjukkan pukul 04.30. Ia dan
127 peserta pelatihan mental Pelajar Islam Indonesia sedang asyik membaca
Al-Quran dan bersiap untuk salat subuh. Tiba-tiba sekitar seribu anggota PKI
membawa berbagai senjata datang menyerbu. Sebagian massa PKI masuk masjid,
mengambil Al-Quran dan memasukkannya ke karung.
"Selanjutnya dilempar ke halaman masjid dan diinjak-injak," kata Masdoeqi saat ditemui Tempo di rumahnya di Kecamatan Ngadiluwih, Kabupaten Kediri, pekan lalu.
Para peserta pelatihan digiring dan dikumpulkan di depan
masjid.
"Saya melihat semua panitia diikat dan ditempeli senjata," tutur Masdoeqi, yang kala itu masuk kepanitiaan pelatihan.
Dia menyaksikan massa PKI juga menyerang rumah Kiai
Jauhari, pengasuh Pondok Pesantren Al-Jauhar dan adik ipar pengasuh Pondok
Pesantren Lirboyo, Kiai Makhrus Aly. Ayah Gus Maksum itu diseret dan ditendang
ke luar rumah.
Selanjutnya, massa PKI mengikat dan menggiring 98 orang,
termasuk Kiai Jauhari, ke markas kepolisian Kras dan menyerahkannya kepada
polisi. Menurut Masdoeqi, di sepanjang perjalanan, sekelompok anggota PKI itu
mencaci maki dan mengancam akan membunuh.
Mereka mengatakan ingin menuntut balas atas kematian
kader PKI di Madiun dan Jombang yang tewas dibunuh anggota NU sebulan
sebelumnya.
Akhir 1964, memang terjadi pembunuhan atas sejumlah kader
PKI di Madiun dan Jombang.
"Utang Jombang dan Madiun dibayar di sini saja," ujar Masdoeqi, menirukan teriakan salah satu anggota PKI yang menggiringnya.
Kejadian itu dikenal sebagai Tragedi Kanigoro pertama
kalinya PKI melakukan penyerangan besar-besaran di Kediri. Sebelumnya, meski
hubungan kelompok santri dan PKI tegang, tak pernah ada konflik terbuka.
Meski tak sampai ada korban jiwa, penyerbuan di Kanigoro
menimbulkan trauma sekaligus kemarahan kalangan pesantren dan anggota Ansor
Kediri, yang sebagian besar santri pesantren. Memang kala itu para santri belum
bergerak membalas. Namun, seperti api dalam sekam, ketegangan antara PKI dan
santri makin membara.
Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Kiai Idris Marzuki,
mengakui atmosfer permusuhan antara santri dan PKI telah berlangsung jauh
sebelum pembantaian.
"Bila berpapasan, kami saling melotot dan menggertak," katanya.
Kubu NU dan PKI juga sering unjuk kekuatan dalam setiap
kegiatan publik. Misalnya ketika pawai memperingati Hari Kemerdekaan 17
Agustus, rombongan PKI dan rombongan NU saling ejek bahkan sampai melibatkan
simpatisan kedua kelompok. Kondisi itu semakin diperparah oleh penyerbuan PKI
ke Kanigoro.
Peristiwa di Kanigoro itu pula yang memperkuat tekad kaum
pesantren dan anggota Ansor di Kediri, termasuk Abdul, membantai anggota PKI.
Pembantaian
mencapai puncaknya ketika pemerintah mengumumkan bahwa PKI adalah organisasi
terlarang. Abdul dan para anggota Ansor lainnya semakin yakin bahwa perbuatan
mereka benar.
"Seperti api yang disiram bensin, kami semakin mendapat angin untuk memusnahkan PKI," ujarnya.
TIM TEMPO
0 komentar:
Posting Komentar