27 Juli 2019
©Rizky/Bal
Penyelesaian kasus Pembantaian 1965-1966
(Pembantaian ’65) adalah pekerjaan yang pelik hingga saat ini. Rupanya di
Indonesia, lebih mudah untuk memasukkan unta ke dalam lubang jarum daripada
menyelesaikan kasus Pembantaian ’65. Dilansir dari Historia, pada tahun 2016 lalu
International People’s Tribunal (IPT), sebuah LSM internasional, merilis
laporan akhir. Berdasar laporan tersebut, setidaknya terdapat 10 bukti tindak
kejahatan yang dilakukan Indonesia dalam kasus Pembantaian ’65.
Bukti tindak
kejahatan tersebut diperoleh melalui penyelidikan IPT 65, badan turunan dari
IPT. Meskipun tidak memiliki kekuatan hukum apapun, keputusan IPT adalah
langkah maju bagi penyelesaian pelanggaran HAM.
Akan tetapi, meski telah ada inisiatif internasional
untuk pengusutan kasus Pembantaian ’65, namun sikap pemerintah terlihat enggan
menanggapi hasil pengusutan tersebut secara substansial. Seperti yang dilansir
dari laman resmi IPT 65, Kejaksaan Agung tidak segera
menindaklanjuti fakta temuan IPT sebagai bukti hukum. Sikap itu dipertegas oleh
kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Kedua pasangan calon presiden
pada debat bertopik Hukum, HAM, dan Terorisme tak menyinggung kasus pelanggaran
HAM di masa lalu. Termasuk peristiwa Pembantaian ’65, salah satu
kasus pelanggaran HAM berat menurut Komnas
HAM.
Menanggapi hasil penyelidikan IPT 65 tersebut, BALAIRUNG
mewawancarai Usman Hamid selaku Direktur Amnesty International untuk Indonesia
dan Aktivis HAM. Ia terus mendesak pemerintah untuk mengusut peristiwa tersebut
melalui upaya rekonsiliasi. Guna mendapatkan gambaran yang lebih jernih
terhadap pengusutan dan rekonsiliasi peristiwa Pembantaian ’65, berikut hasil
wawancara BALAIRUNG.
Apa itu
rekonsiliasi? Mengapa hal tersebut penting untuk dilakukan?
Rekonsiliasi adalah pemecahan masalah terhadap sistem yang menindas. Biasanya
dilakukan setelah masyarakat melalui penindasan itu dalam periode yang cukup
panjang. Baik itu di bawah kediktatoran militer, atau totalitarian komunis.
Rekonsiliasi juga bermakna mengubah dan meninggalkan sistem antikemanusiaan
yang bekerja dalam suatu negara-bangsa. Misalnya, atas nama antikomunisme di
masa Orde Baru (Orba), seluruh pranata hukum, politik, badan peradilan, dan
keamanan diorientasikan untuk membenarkan praktik-praktik antikemanusiaan.
Praktik itu ditujukan terhadap siapapun yang dituduh komunis, baik yang
betul-betul anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) atau sekadar dianggap
komunis. Pembenaran itu dilakukan dengan beragam cara seperti doktrin, dogma
dan segala bentuk propaganda yang diciptakan hingga masuk ke seluruh sistem
pendidikan.
Sejak kapan wacana
rekonsiliasi ini hadir?
Pada tahun 1998 sebenarnya sudah muncul wacana rekonsiliasi. Upaya itu kemudian
dirumuskan hingga mendetail berupa identifikasi bentuk-bentuk penyimpangan di
masa Orba seperti penyalahgunaan kekuasaan, kekerasan, hingga pelanggaran HAM.
Selain mengidentifikasi, upaya tersebut juga mendorong proses pengungkapan
kebenaran tentang apa yang terjadi di masa lalu.
Apa tujuan dari rekonsiliasi?
Rekonsiliasi adalah bagian dalam perbaikan sejarah yang telah menyimpang dan
diseragamkan di masa lalu. Rekonsiliasi ditujukan untuk memperbaiki seluruh
sistem yang salah dan memberi keadilan kepada korban. Upaya rekonsiliasi
berusaha mengakhiri sebuah sistem penindasan struktural terhadap mereka yang
dicap komunis. Sebuah persoalan yang coba dipecahkan tapi tidak pernah berhasil
dilakukan. Usaha-usaha untuk melawan propaganda sebenarnya telah muncul sejak
awal Orba tapi tidak pernah berhasil.
Siapa saja terlibat
dalam rekonsiliasi?
Rekonsiliasi ditujukan kepada korban langsung. Para korban tersebut harus
mendapatkan pengakuan atas apa yang mereka alami. Tentu saja, mereka yang
paling bertanggung jawab atas penyimpangan di Orba harus didorong melakukan
pertanggungjawaban.
Kemudian, dalam
konteks Pembantaian ’65 kenapa permasalahan tersebut masuk sebagai pelanggaran
HAM berat menurut Komnas HAM, dan membutuhkan rekonsiliasi?
Barangkali peristiwa Pembantaian ’65 merupakan peristiwa paling gelap
dalam sejarah hak asasi Indonesia modern karena menyangkut ratusan ribu hingga
jutaan orang yang mengalami ketidakadilan. Mereka dibunuh, dihilangkan paksa,
diusir, diperkosa, dan disiksa. Mereka juga mengalami kekerasan struktural
selama bertahun-tahun dalam bentuk diskriminasi sosial, ekonomi, dan
stigmatisasi politik. Contohnya, Keputusan Presiden No. 28 Tahun 1975 tentang
Perlakuan Terhadap Mereka yang Terlibat G.30.S/PKI. Peraturan tersebut
membersihkan seluruh pranata pemerintahan dari orang-orang yang dituduh komunis
atau dituduh terkait dengan Peristiwa Pembantaian ’65. Kalau mengutip Sulami
(Alm.) Ini adalah suatu bentuk pelanggaran berat HAM yang tiada taranya.
Dalam hukum internasional Statuta Roma, peristiwa
Pembantaian ’65 jelas melanggar Pasal 7. Artinya ia termasuk suatu kejahatan
yang bisa diadili dimana saja karena termasuk pada kejahatan melawan
kemanusiaan. Bahkan, dalam tindak tertentu sejumlah akademisi menimbang-nimbang
kemungkinan ini bukan sekedar kejahatan kemanusiaan tapi juga genosida politik.
Peristiwa Pembantaian ’65 sebagai kejahatan kemanusiaan dan sudah dituangkan
dalam laporan penyelidikan Komnas HAM yang bersifat projustitia. Sedangkan
kesimpulan bahwa peristiwa Pembantaian ’65 adalah genosida politik masih
menjadi perbincangan di kalangan akademisi.
Anda mengatakan
rekonsiliasi bertujuan menghadirkan keadilan untuk para korban. Apa keadilan
yang diharapkan?
Keadilan dalam pengertian yang seutuh-utuhnya. Keadilan yang menuntut para
pelakunya diadili, terutama yang paling bertanggung jawab, misalnya Soeharto.
Ada pula keadilan yang bersifat restoratif. Keadilan yang bukan saja menghukum
pelaku tetapi juga memperbaiki kehidupan korban. Ada restorasi tanggung-jawab
yang dibebankan kepada para pelaku dalam undang-undang restitusi. Tapi ada juga,
dan ini yang saya kira lebih penting, restorasi yang dijadikan
pertanggungjawaban negara dalam bentuk kompensasi. Dalam pengalaman Afrika
Selatan, kompensasi dapat berupa pengembalian tanah yang dirampas, atau dalam
kasus Argentina adalah pengembalian rumah yang dirampas. Jadi pengembalian
hal-hal yang pernah dimiliki oleh para korban, entah itu pekerjaan, pendidikan,
atau kesehatan.
Bagaimana langkah
konkret untuk menghadirkan keadilan tersebut?
Pendekatan terhadap pemenuhan keadilan ini setidaknya memiliki empat
komponen. Pertama, mendorong proses pencarian kebenaran. Proses ini
berusaha mencari tahu apa yang salah dalam sistem politik yang kerap menindas
di masa lalu. Mencari tahu alasan PKI yang semula resmi tiba-tiba dilarang.
Mencari tahu mengapa komunisme sebagai sebuah kerangka analisis untuk memahami
kondisi sosial masyarakat itu tiba-tiba menjadi sangat tabu. Kemudian, lebih
jauh lagi, mencari tahu alasan penanaman kebencian kepada tertuduh komunis atau
paham komunisme itu sendiri selama puluhan tahun lewat film, sastra,
pendidikan, peradilan, dan kebijakan pemerintah.
Kedua, keadilan hukum. Proses penyelidikan tidak semata
ditujukan untuk melihat pola dari kekerasan sistematis yang dilakukan oleh
negara atau kekuasaan. Penyelidikan juga menghendaki pertanggungjawaban
kriminal perorangan karena tindakan membunuh dan menyiksa bagaimanapun juga
adalah sebuah kejahatan.
Ketiga adalah reparasi yaitu suatu usaha untuk
memperbaiki kondisi kehidupan korban sebelum peristiwa terjadi. Bisa saja yang
semula punya rumah, hanya karena ia dituduh PKI kemudian rumahnya dirampas dan
ia kehilangan itu selama puluhan tahun. Perampasan tersebut juga termasuk
pekerjaan, keluarga dan lainnya. Reparasi ini bisa dalam bentuk materiel atau
nonmateriel. Kompensasi materiel adalah, yang telah saya jelaskan sebelumnya,
harta benda, pekerjaan, dan aset korban. Sedangkan kompensasi moral berarti
negara atau pemerintahan yang berkuasa wajib meminta maaf kepada para korban.
Selain permintaan maaf institusional dari negara dan pemerintah, pelaku secara
individual juga memiliki tanggung jawab moral untuk meminta maaf. Korban pun
juga difasilitasi untuk mendengarkan pengakuan tersebut dan menimbang-nimbang
apakah pemberian maaf bisa diberikan kepada para pelaku.
Keempat, memastikan bahwa sistem yang menindas itu
betul-betul dihapuskan. Ini ditujukan supaya tidak mengundang peristiwa serupa
terulang serupa di masa depan. Entah itu menghapus kebijakan seperti
Undang-undang atau menghapus lembaga negara yang merepresi seperti Komando Pemulihan
Keamanan dan Ketertiban.
Bagaimana negara
harus meminta maaf? Permintaan maaf seperti apa yang harusnya diberikan?
Tentu saja pemberian maaf harus didahului dengan menentukan siapa yang harus
meminta maaf dan siapa yang berhak memberikan maaf. Nah, sebelum menentukan
kedua predikat tersebut, harus terlebih dulu diidentifikasi perbuatan apa yang
hendak dimaafkan itu. Jadi apa kesalahan persisnya? Membunuh? Menyiksa?
Merampas rumah?
Seringkali, wacana elite di dalam diskursus politik
Indonesia mereduksi pertanyaan mendasar ini seolah-olah sudahlah saling
memaafkan. Pemberian maaf menurut para elite tadi tidak didahului dengan satu
proses dimana perbuatan yang hendak dimintakan maafnya itu dikenali terlebih
dahulu. Proses identifikasi itu dalam hukum dikenal sebagai penyelidikan dan
pencarian fakta yang kemudian diakui sebagai sebuah kejahatan.
Kemudian kita bertanya apakah pelaku menyadari dan
mengakui kejahatannya sebagai sebuah kesalahan lalu berjanji untuk tidak
mengulanginya? Dalam pengalaman banyak negara termasuk Afrika Selatan,
pemberian maaf terjadi dalam situasi yang sangat emosional, sangat dramatis.
Tetapi sebagian lagi justru mengakibatkan kemarahan yang luar biasa karena
ketidaktulusan dalam meminta maaf. Permintaan maaf yang tulus inilah yang belum
ada di Indonesia.
Dalam kasus lain, yaitu kasus kejahatan kemanusiaan di Aceh, bagian kecil dari
proses tersebut baru saja dimulai. Berlangsung proses dengar kesaksian yang
difasilitasi oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh di Pendopo Gubernur
Provinsi Aceh.Ada sekitar 14 orang yang memberikan kesaksian dari mulai
penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, sampai dengan penyiksaan seksual. Tapi
sayangnya belum terlihat ada dukungan penuh dari pemerintah khususnya
pemerintah pusat.
Kalau dari
tingkatan masyarakat, tantangan apa yang ditemui dalam proses rekonsiliasi?
Saya kira prasangka politik yang negatif terhadap komunisme. Tantangannya
adalah menghapus prasangka masyarakat yang percaya pada kejahatan komunis atau
partai komunis. Jadi ini yang berat, mengubah cara pandang. Dulu, saya sempat
diyakinkan oleh teman-teman pendukung pemerintahan sekarang bahwa ada keinginan
untuk memasukkan rekonsiliasi ke dalam agenda revolusi mental. Untuk berhasil,
revolusi mental juga memerlukan perubahan pikiran. Tapi yang terjadi tidak
demikian.
Saya kira ada beberapa teman yang berseloroh ini
sebenarnya bukan revolusi mental tapi méntal (terpental-Jawa). Usaha
untuk melakukan revolusi pikiran itu sudah jauh terlempar jadi
benar-benar méntal. Revolusi pikiran dibutuhkan dan dapat dimulai dengan
merombak sistem pendidikan. Kawan saya, Hilmar Farid, sedang bekerja keras
untuk mendorong perubahan-perubahan epistemik itu di sektor pendidikan,
terutama kebudayaan.
Dari pengamatan saya, ada dua kelompok
yang saya kira cukup sulit untuk menerima upaya rekonsiliasi seperti angkatan
bersenjata dan beberapa kelompok keagamaan. Mengapa perlawanan tersebut
terjadi?
Pertama-tama tentu saja karena merekalah yang ikut memproduksi penyeragaman
sejarah. Mereka memproduksi narasi tidak seimbang bahwa PKI adalah dalang
tunggal penculikan dan pembunuhan perwira militer. Penyeragaman sejarah itu
terutama datang dari kalangan militer yang belum berubah hingga hari ini.
Malahan itu ditransfer tiap tahun di dalam dunia kemiliteran seperti Akademi
Militer atau bahkan, pada tingkat tertentu, Akademi Kepolisian. Sampai saat ini
TNI maupun Polri masih kelihatan menempatkan ideologi itu sebagai ancaman dalam
pengertian Orde Baru.
Kesalahan memahami sejarah juga terjadi dalam faksi islam
konservatif. Mereka masih mewarisi pandangan sejarah yang manipulatif baik
setelah maupun sebelum kemerdekaan Indonesia. Saya kira Merle C. Ricklefs
dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008) menulis dengan baik
proses islamisasi di Jawa itu berbenturan secara langsung dengan
kekuatan-kekuatan kiri meskipun dalam barisan kiri terdapat banyak tokoh Islam.
Antara fakta sejarah dan identitas pelaku sejarah itu dikaburkan hingga
akhirnya hari ini sulit untuk diterangi kembali. Ditambah dengan elite-elite
lama dari kelompok keagamaan yang menolak rekonsiliasi ini sebenarnya bagian
dari pelaku di masa lalu. Entah saat itu ia merencanakan penyerangan terhadap
pemuda-pemuda rakyat atau mereka ikut melakukan pembunuhan-pembunuhan itu
secara langsung.
Dapat diambil kesimpulan bahwa beberapa elite yang
terang-benderang menolak agenda rekonsiliasi ini memang tidak memiliki jarak
dengan masa lalu. Sehingga rekonsiliasi menjadi sulit terwujud selain karena
larangan resmi terhadap komunisme dalam TAP MPRS dan Kepres No. 28 Tahun 1975,
disebabkan juga karena dua kubu itu. Militer, khususnya TNI AD, dan Islam
konservatif masih tidak berjarak dengan masa lalu.
Sebenarnya ada faksi lain yang sedang tumbuh dalam diri
keduanya. Kalau di kalangan militer kita lihat orang seperti Letnan Jenderal
(Letjen) Agus Widjojo dan Letjen Agus Wirahadikusumah. Di kalangan Islam ada
tokoh-tokoh seperti Gus Dur dan Kyai Imam Aziz, salah satu ketua Pengurus Besar
NU. Mereka adalah orang-orang yang mendukung proses rekonsiliasi. Sayangnya
tokoh-tokoh tersebut sampai kini belum menemui keberhasilan karena kekurangan
dukungan dan kekuatan politis. Begitulah perjuangan HAM. Selalu terlihat sulit
dan kompleks sampai kita bisa memenangkannya.
Apa kepentingan kedua kalangan tersebut
dalam melanggengkan narasi antikomunis?
Saya kira keuntungan paling minimum dari pelestarian narasi kebencian ini
adalah terhindar dari proses pertanggungjawaban. Misalnya, mereka yang berasal
dari lingkar keluarga pelaku kejahatan tentu saja diuntungkan dengan membendung
upaya rekonsiliasi. Orang semacam itu memilih untuk hidup di dalam kegelapan
supaya masa lalunya tidak diketahui oleh masyarakat. Bisa jadi untuk menjaga
posisinya yang sekarang secara formal dihormati.
Keuntungan lain yang didapatkan sebenarnya bersifat
materiel. Ada hubungan lukratif antara Organisasi Masyarakat (Ormas) tertentu
dengan struktur teritorial mulai dari Komando Daerah Militer (Kodam), Komando
Resort Militer (Korem), Komando Distrik Militer (Kodim), Komando Rayon Militer
(Koramil), sampai tingkat desa. Untuk yang semacam itu masyarakat mungkin lebih
mengerti kaitannya. Hubungan yang saling menguntungkan tersebut memunculkan
bisnis-bisnis ilegal seperti narkotika, tambang, pembalakan liar. Jika tidak,
bisa juga berbentuk bisnis-bisnis kecil seperti diskotik, parkir atau jasa
keamanan.
Jadi intinya, penolakan terhadap komunis atau sikap
antikomunis itu terlebih muncul karena memang ada keuntungan baik materiel dan
nonmateriel yang didapatkan oleh kedua kelompok tersebut. Keuntungan materiel
berupa keuntungan komersial dari komodifikasi ketakutan massal terhadap PKI dan
paham komunisme. Keuntungan immateriel berupa perasaan aman karena terlindung
dari perbuatan masa lalu dan kemungkinan pertanggungjawaban apabila ada upaya
pengusutan. Impunitas dari pengusutan tak hanya dinikmati oleh kelompok Islam
reaksioner dan Militer saja. Beberapa orang yang mendaku dirinya budayawan juga
terkadang bermain aman dan menikmati privilese-privilese mereka di bawah
bendera antikomunisme. Tapi untuk kelompok yang satu ini perlu satu wawancara
lagi untuk tuntas membahasnya. Hahaha.
Penulis: Hanif Janitra
Penyunting: Cintya Faliana