Kamis, 27/07/2017 14:17 WIB
Untuk menjembatani ketidakpuasan keluarga korban dalam penanganan kasus HAM, pemerintah berniat memfasilitasi melalui Dewan Kerukunan Nasional. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Aksi Kamisan yang digelar tiap pekan di depan Istana Negara hari ini digelar untuk ke-500 kalinya. Penyelesaian kasus hak asasi manusia belum juga dirasakan keluarga korban yang tak pernah surut mengawal aksi tersebut.
Direktur Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi menyadari ada ketidakpuasan keluarga korban atas penegakkan hukum, khususnya untuk pelaku Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II yang dikategorikan pelanggaran HAM berat.
"Sampai hari ini, itu kan selalu dikatakan sebagai pelanggaran HAM berat. Pada prinsipnya, eksekutor peristiwa itu sudah dihukum. Tapi kami memahami dan memaklumi ketidakpuasan keluarga korban," kata Mualimin kepada CNNIndonesia.com, Kamis (27/7).
Sebagai langkah untuk menjembatani ketidakpuasan keluarga korban dan penegak hukum, Mualimin menyebut pihaknya bersama Kemenko Polhukam sedang merencanakan pembentukan badan bernama Dewan Kerukunan Nasional.
Nantinya, Dewan tersebut diharapkan dapat memfasilitasi aspirasi keluarga korban yang menuntut keadilan HAM, termasuk kendala dari pihak keluarga yang belum tuntas.
"Sebetulnya, sudah lumayan lama kami rapat di Kemenko Polhukam, karena yang berat adalah saat kita mau menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu, seperti Peristiwa 1965, itu kasus yang sensitif, massal, dan penangannya harus arif," katanya.
Rencananya, Mualimin menuturkan, Dewan Kerukunan Nasional akan dibuat gugus tugas, baik pusat maupun daerah, yang tujuannya untuk mencari alternatif terbaik demi menyudahi masalah-masalah pelanggaran HAM di masa lalu.
Meski demikian, ia enggan merinci lebih lanjut struktur organisasi maupun kepemimpinan Dewan tersebut. Sebab, pihaknya dan Kemenko Polhukam masih memformulasikan cara kerja Dewan tersebut.
"Belum membicarakan sampai ke tahap itu," ujarnya.
Direktur Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi menyadari ada ketidakpuasan keluarga korban atas penegakkan hukum, khususnya untuk pelaku Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II yang dikategorikan pelanggaran HAM berat.
"Sampai hari ini, itu kan selalu dikatakan sebagai pelanggaran HAM berat. Pada prinsipnya, eksekutor peristiwa itu sudah dihukum. Tapi kami memahami dan memaklumi ketidakpuasan keluarga korban," kata Mualimin kepada CNNIndonesia.com, Kamis (27/7).
Sebagai langkah untuk menjembatani ketidakpuasan keluarga korban dan penegak hukum, Mualimin menyebut pihaknya bersama Kemenko Polhukam sedang merencanakan pembentukan badan bernama Dewan Kerukunan Nasional.
Nantinya, Dewan tersebut diharapkan dapat memfasilitasi aspirasi keluarga korban yang menuntut keadilan HAM, termasuk kendala dari pihak keluarga yang belum tuntas.
"Sebetulnya, sudah lumayan lama kami rapat di Kemenko Polhukam, karena yang berat adalah saat kita mau menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu, seperti Peristiwa 1965, itu kasus yang sensitif, massal, dan penangannya harus arif," katanya.
Rencananya, Mualimin menuturkan, Dewan Kerukunan Nasional akan dibuat gugus tugas, baik pusat maupun daerah, yang tujuannya untuk mencari alternatif terbaik demi menyudahi masalah-masalah pelanggaran HAM di masa lalu.
Meski demikian, ia enggan merinci lebih lanjut struktur organisasi maupun kepemimpinan Dewan tersebut. Sebab, pihaknya dan Kemenko Polhukam masih memformulasikan cara kerja Dewan tersebut.
"Belum membicarakan sampai ke tahap itu," ujarnya.
Aksi Kamisan ke-382 memperingati sewindu aksi. (ANTARA FOTO/Fanny Octavianus)
Pelanggaran HAM Berat
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyebut tidak ada langkah tegas dari pemerintah untuk menyelesaikan perkara pelanggaran HAM, termasuk Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II.
"Belum ada kemajuan aksi 10 tahun dari teman-teman Kamisan. Kami sedih dan prihatin," ujar Komisioner Komnas HAM Muhammad Nurkhoiron saat dihubungi melalui telepon.
"Pemerintah menyedihkan. Tidak ada respons apapun yang diberikan terkait teman Kamisan, termasuk respons terhadap berkas penyelidikan Komnas HAM yang sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung," tambahnya.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyebut tidak ada langkah tegas dari pemerintah untuk menyelesaikan perkara pelanggaran HAM, termasuk Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II.
"Belum ada kemajuan aksi 10 tahun dari teman-teman Kamisan. Kami sedih dan prihatin," ujar Komisioner Komnas HAM Muhammad Nurkhoiron saat dihubungi melalui telepon.
"Pemerintah menyedihkan. Tidak ada respons apapun yang diberikan terkait teman Kamisan, termasuk respons terhadap berkas penyelidikan Komnas HAM yang sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung," tambahnya.
Dalam hasil investigasi Komisi Penyelidikan Pelanggaran (KPP) HAM Tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II, KPP HAM menemukan tindakan pelanggaran HAM menggunakan institusi-institusi teritorial melalui Kodam dan Polda.
KPP HAM juga menemui kekerasan yang dilakukan oleh aparat TNI dan Kepolisian, termasuk alat-alat kekerasan secara tidak terukur terhadap masyarakat yang didukung dan dilandasi pada kebijakan strategis petinggi TNI dan kepolisian.
Berdasarkan hasil penyelidikan KPP HAM, ketiga kasus tersebut mencakup kekerasan yang keji dan tidak manusiawi, seperti pembunuhan yang sistematis dalam jangka waktu panjang. Tindakan pembunuhan dilakukan kepada mahasiswa demonstran, petugas medis, maupun masyarakat yang sedang melintas di lokasi demonstrasi.
Penganiayaan oleh aparat TNI dan Polri kepada mahasiswa di kampus Trisakti, Atma Jaya, dan wilayah Semanggi itu dilakukan demi membubarkan demonstran, hingga berakibat korban jiwa dan luka.
KPP HAM juga menemui kekerasan yang dilakukan oleh aparat TNI dan Kepolisian, termasuk alat-alat kekerasan secara tidak terukur terhadap masyarakat yang didukung dan dilandasi pada kebijakan strategis petinggi TNI dan kepolisian.
Berdasarkan hasil penyelidikan KPP HAM, ketiga kasus tersebut mencakup kekerasan yang keji dan tidak manusiawi, seperti pembunuhan yang sistematis dalam jangka waktu panjang. Tindakan pembunuhan dilakukan kepada mahasiswa demonstran, petugas medis, maupun masyarakat yang sedang melintas di lokasi demonstrasi.
Penganiayaan oleh aparat TNI dan Polri kepada mahasiswa di kampus Trisakti, Atma Jaya, dan wilayah Semanggi itu dilakukan demi membubarkan demonstran, hingga berakibat korban jiwa dan luka.
Foto para korban pelanggaran HAM digelar di Aksi Kamisan. (ANTARA FOTO/Fanny Octavianus)
Adapun kekerasan lainnya yang tercatat dalam hasil penyelidikan KPP HAM adalah pemerkosaan, penghilangan paksa terhadap 13 orang aktivitas pada Mei 1998, serta perampasan kemerdekaan fisik.
Sejak Soeharto mundur sebagai presiden yang dilanjutkan dengan pemerintahan B.J. Habibie, penanganan demonstrasi dilakukan secara represif, sebagaimana terjadi pada peristiwa Trisakti (12 Mei 1998), Semanggi I (13-14 November 1998), dan Semanggi II (23-24 September 1999).
Sejak Soeharto mundur sebagai presiden yang dilanjutkan dengan pemerintahan B.J. Habibie, penanganan demonstrasi dilakukan secara represif, sebagaimana terjadi pada peristiwa Trisakti (12 Mei 1998), Semanggi I (13-14 November 1998), dan Semanggi II (23-24 September 1999).
Pemerintah pun sempat berupaya untuk memproses lebih lanjut perkara Semanggi I dan Semanggi II. Diikuti dengan DPR RI yang membentuk Pansus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II. Namun, usaha pemerintah tersebut tak mampu mengobati kekecewaan keluarga korban. (pmg)
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170727133907-20-230713/aksi-kamisan-ke-500-dirjen-ham-sadar-keluarga-korban-kecewa/
0 komentar:
Posting Komentar