19 Juli 19 | Gloria Fransisca Katharina
Human | Woman | Journalist
“Sesungguhnya komunis lebih berbahaya dibandingkan radikalisme.”Demikian kalimat yang kerap saya dengar dalam perdebatan konservatisme agama masa kini. Hantu komunis itu terus hadir di negeri ini.
Hantu memang tidak pernah pergi. Ada, namun tidak terlihat. Hantu berkeliaran karena dia meninggalkan jejak yang selalu bisa ditemukan. Namun saya berkeyakinan, hantu tidak berbahaya. Mereka berada pada alam yang berbeda dengan realitas saat ini. Hantu kekal dalam pribadi yang memang ingin mempercayainya.
Tapi hantu komunis, khususnya, meninggalkan banyak tanda-tanda buram yang sulit diinterpretasikan. Jika gegabah menginterpretasikan, kesalahpahaman bisa terjadi. Contoh hantu komunis buat saya adalah mereka yang mengalami ketidakadilan dari tragedi 1965. Dan lebih dari sekadar tragedi, 1965 adalah pembantaian besar di Indonesia yang berdampak sampai hari ini.
Saya banyak mendengar kisah-kisahnya dari ayah ataupun ibu saya. Dari cerita-cerita mereka dan belakangan dari membaca beberapa buku, saya mengetahui adanya ‘pembersihan PKI’.
Di desa asal mereka, di Flores, Nusa Tenggara Timur, nun jauh dari pusat tragedi di Jakarta, banyak petani yang menjadi korban pembantaian. Kala itu, status sosial berpengaruh. Jika kamu berasal dari keluarga guru, atau kepala desa, atau rohaniwan, maka kamu aman. Tapi jika kamu petani, kamu identik dengan perjuangan komunis.
“Jadi yang dibunuh itu banyaknya orang-orang desa yang tidak ikut-ikutan, Nona. Sampai dulu Oma suka menakut-nakutin anak-anak supaya jangan main kemalaman di sekitar sungai tempat pembuangan jenazah. Katanya ada banyak hantu komunis disana,” begitu kenang Ibu.
Hanya saja, hantu itu juga hidup dan menghantui keluarga saya. Dia menjadi awal perseteruan seorang kakak dengan adiknya. Dia bahkan menjadi pemain di belakang layar yang mengikuti jejak politik ayah saya. Hantu PKI menghantui ayah saya sekalipun dia tak pernah bergabung dalam PKI.
Inilah cerita hantu komunis, entah kalian percaya ada atau tidak.
Ada banyak buku Pramoedya Ananta Toer dan Karl Marx di rumah saya. Semuanya memakai ejaan lama yang agak membingungkan untuk saya cerna. Ayah selalu bilang, “Ini buku-buku langka dan saya bersyukur bisa menyimpannya dengan baik. Kalau tidak, saya bisa diciduk,” katanya.
Ayah, seorang pemuda polos yang sekitar tahun 1970-an merantau ke Makassar. Lalu ia pindah ke Jakarta untuk kuliah, tinggal bersama kakak sepupunya yang mapan. Paman Ayah adalah salah satu mahasiswa angkatan 66, yaitu golongan mahasiswa yang menggulingkan Soekarno. Sementara itu, kakak Ayah adalah seorang tokoh mahasiswa angkatan 74, tepatnya tokoh Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). Ia ikut bersama kawanan Hariman Siregar hingga tercetusnya tragedi Malari.
Pada awal 1980, saat berangkat kuliah, Ayah lewat di depan kantor Pekan Penerimaan Anggota Baru (PPAB) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) di Matraman. Dia tergugah dengan banteng merah lambang organisasi itu. Namanya juga nampak keren, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia. Terdorong oleh rasa ingin tahu ayah pun masuk.
“Saya siap mendaftar Bang,” kata Ayah. Kader itu menjawabnya, “Kamu yakin? Kamu adiknya tokoh PMKRI itu kan?”
Dengan sungkan, Ayah menjawab, “Iya Bang, tak apalah.” Sambil berdecak, si kader itu menyahut, “Ah! Nekad kamu! GMNI ini isinya orang-orang merah!”
“Saya sudah bulat tekad, saya merasa terpanggil disini,” jawab Ayah lagi.
Ayah bercerita, diam-diam tanpa sepengetahuan sang kakak, dia mengikuti pelatihan kader GMNI di Puncak, Jawa Barat selama satu pekan. Sialnya, ruang lingkup dunia organisasi saat itu terbatas. Apa yang ia lakukan ketahuan juga.
“Jadi benar, kamu gabung GMNI?,” tanya Kakak Ayah.
Dengan mengupayakan segala keberanian Ayah mengangguk, “Iya kak.”
Tak diduga, wajah datar Kakak Ayah berubah menjadi sangat berang. “Mengapa tidak masuk PMKRI saja?” ungkap kakak akhirnya.
“Ya, saya merasa terpanggil di GMNI, Kak.”
“Gila kamu!” teriak Kakak Ayah. “Kamu itu baru anak kemarin sore, GMNI itu PKI. Kamu tahu PKI? Itu yang mereka dibunuh-bunuh di desa sama pemerintah, itulah mereka. Besok-besok kamu akan ikut dipenggal kalau masuk ke sana!” sambungnya dengan nada tinggi.
“Tak apa Kak. Saya merasa tidak terpanggil di PMKRI,” jawab Ayah singkat.
“Kalau di PMKRI kamu aman, isinya Katolik semua. Sesama kerabat kita orang Flores juga banyak! Kamu masuk GMNI, kamu Katolik sendirian, Flores sendirian!”
“Justru karena itu, saya bertemu banyak orang lain. Kalau di PMKRI saya bertemu hanya dengan orang Katolik saja, orang Kristen pun tidak ada. Saya sudah bulat hati, Kak,” tegasnya.
“Kamu gila! Mereka itu PKI, lihat saja, kamu tidak akan jadi apa-apa di GMNI, kamu hanya akan jadi kacung disana. Kamu tidak akan berkembang!
“ Tidak Kak. Saya akan buktikan Kakak salah.”
“Baiklah. Silahkan saja. Tetapi ingat, besok-besok kamu akan dikejar-kejar pemerintah. Besok-besok kepala kamu yang akan dipenggal. Dan jangan berharap saya akan mau membantu kamu!” kata Kakak Ayah. Lalu dia pun pergi membanting pintu.
Sejak kejadian malam itu, Kakak Ayah tidak lagi mau membiayai kuliah Ayah. Ayah pun kelimpungan mencari pertolongan untuk biaya kuliah naik semester dua.
Kedua saudara pun memutuskan berpisah. Bukan hanya secara ideologi, keduanya menjadi rival satu dengan yang lain. Yang satu dicap PKI, terancam diberantas. Yang satunya adalah non-PKI, bisa hidup dengan aman. Keduanya berpisah untuk menyelamatkan diri masing-masing.
Pada 22 September 2015, saya menemani Ayah menemui seniornya di kantor Persatuan Alumni GMNI. Kantor yang rapi dan bersih, dengan banyak foto Bung Karno menghiasi dinding. Saya akrab dengan suasana ini, karena sejak kecil Ayah suka diam-diam mengajak saya ikut dalam kegiatan-kegiatannya.
Senior Ayah itu seorang kakek yang ramah. “Kakek tua itu sangat baik dulu. Dia menyelamatkan Papa saat penyerangan di Kantor PDI 27 Juli 1996,” kenang Ayah ketika kami pulang. Ia alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan pernah aktif menjadi penulis di Prisma. Dia adalah orang menyelamatkan Ayah dari penyerangan yang dilakukan militer yang berkedok anggota PDI Soerjadi.
26 Juli 1996, ayah berada di kantor PDI. Ia bersama teman-teman aktivis masih menyusun strategi, membicarakan ini itu.
“Hei Bung. Sudah jam 11 ini. Pulang sana!” kata seniornya itu.
“Belumlah Bung. Masih banyak perkara,” kata Ayah.
“Heh, kau tahu tidak, ABRI akan menyerang kantor ini, besok pagi ini akan rata dengan tanah. Kau pulanglah!” katanya.
Ayah saya memang keras kepala. Akhirnya seniornya itu memutuskan pergi mencari rokok dan kudapan. Sekitar jam 2 pagi dia masih menjumpai ayah duduk di bangku yang sama dengan aktivis lainnya. Lelaki itu menghampiri ayahku dan menepuknya keras.
“Kau ini keras kepala! Kubilang kau pulang sudah, kalau Bung tidak pulang saya yang akan hajar Bung!”
“Ada apa Bung? Ini tidak ada perkara aneh, kan?”
“Pulang saja Bung! Saya sudah ingatkan, ABRI akan meratakan tanah ini. Saya tidak mau kehilangan kader berpotensi seperti Bung sekarang. Saya mohon Bung cepat pulang sekarang,” imbuhnya dengan nada berbisik.
Ayah akhirnya pulang. Sekitar jam lima pagi, telepon rumah kami berdering.
“Kantor diserang Bung! Rata tanah” — ya lelaki itu benar, kantor PDI diserang.
Kata Ibu, Ayah tidak pulang ke rumah berhari-hari. Sejak 12 Mei. Ibu hanya memantau dari berita dan layar kaca. Kerusuhan di bulan Mei, bulan yang diyakini sebagai bulan Maria oleh umat Katolik. Ibu saya, perempuan pendoa, tak menyerah dengan mendaraskan doa rosario
Terakhir kali pergi, Ayah hanya berkata, “Tolong jaga anak-anak.”
Ini bukan pertama kali Ibu ditinggal pergi berhari-hari oleh suaminya tanpa kabar.
Saat Malari 1974, banyak aktivis mahasiswa yang melakukan pemberontakan kepada pemerintah masuk penjara. Ayah tidak pulang. Ibu kalut, sampai-sampai adiknya menelepon.
“Kak, ada baiknya kakak berlindung. Kita semua tidak ada yang tahu dimana posisi dan keadaan suamimu. Kamu pun tidak tahu dimana suamimu kan? Kalau pulang kampung akan lebih baik, kak.”
“Saya tidak tahu dia dimana. Tetapi dia meminta saya tetap tinggal, dia bilang akan pulang, dan saya akan menunggunya. Kami disini baik-baik saja.”
“Suamimu dan kroni-kroninya itu pemberontak pemerintah. Kapan pun kamu dan anak-anakmu bisa diciduk,”
“Tidak. Saya percaya itu tidak akan terjadi, dan saya akan tetap disini menunggu suami saya kembali,”
Ibu, orang yang selalu saya kritik karena menerima mentah-mentah kata suaminya, membawa semua perjuangan suaminya dalam doa. Namun doa seperti keyakinan Ibu nyatanya terkabul. Soeharto turun dari jabatannya. Suaminya kembali membawa kemenangan.
“Ayah mundurkan diri ketika mereka semua (rekan aktivis) mendapatkan jabatan. Ayah tidak mau seperti dalang atas kepemimpinan mereka. Mereka semua harus berkembang. Dan Ayah tak pernah meminta sepeser pun, uang atau proyek seperti orang lain lakukan. Politik balas budi. Buat Ayah, dan nurani Ayah, tidak ada namanya barter politik.” nasihat Ayah kepada saya.
Saya hanyalah seorang perempuan muda yang mengumpulkan puzzle sejarah. Perempuan muda yang penasaran, mungkin sama penasarannya dengan hantu komunis. Penasaran mengapa tidak pernah ada keberanian untuk membuka kebenaran 1965. Kebenaran yang bias dalam sejarah, kebenaran yang membuat saya berdebat panjang dengan Ayah.
“Soeharto itu naik, tangannya penuh darah. Pembantaian tujuh jenderal itu bukan PKI, tetapi kepentingan politik untuk menjatuhkan penguasa saja,” begitu kata Ayah berulang kali, sangat berbeda dari apa yang saya baca di buku sejarah sekolah.
Mungkin sudah pernah ada tragedi kemanusiaan besar lain di Indonesia sebelum 1965. Namun saya melihat ada trauma politik yang panjang dari hantu 1965 bahkan sampai hari ini.
Saya ingat kata Ayah. Menurut lelaki tua lebih dari setengah abad itu, hantu PKI juga hidup dalam benak mereka yang mencari keadilan, sekalipun mereka bukan penganut paham komunis. Ini bukan tentang ideologinya, tetapi tentang rasa keadilan pada manusia. Bukankah seharusnya kemanusiaan berada di atas ideologi? Mengapa kita terjebak untuk menukar posisi ideologi menjadi di atas kemanusiaan?
https://medium.com/ingat-65/apa-salah-hantu-komunis-a5b77703f25b
0 komentar:
Posting Komentar