Oleh: Windu Jusuf - 14 Juli 2017
Selain Revolusi Rusia (1917), Revolusi Prancis adalah rujukan penting para aktivis kemerdekaan.
“Darah Rakyat masih berjalan
Menderita sakit dan miskin
Pada datangnya pembalasan
Rakyat yang menjadi hakim”
Lirik lagu Darah Rakjat dibagi-bagikan dalam Rapat Raksasa di Lapangan Ikada, 19 September 1945. Diiringi Tan Malaka, Hatta, dan beberapa menteri, Sukarno berjalan ke panggung dan berpidato di hadapan massa. Soekarno meminta rakyat untuk memberikan dukungan kepada pemerintahan yang baru terbentuk. Aksi unjuk dukungan ini dihadiri ratusan ribu orang dan dijaga oleh tank-tank Jepang.
Lazimnya lambang dan atribut kiri pasca-1965, lagu ini dilarang beredar pada zaman Orde Baru. Dalam film propaganda Pengkhianatan G30S/PKI (1984), usai membantai para perwira Angkatan Darat di Lubang Buaya, ormas Pemuda Rakjat digambarkan menyanyikan Darah Rakjat, diiringi tarian Genjer-Genjer, yang juga sudah dicap "lagu PKI".
Sepanjang kancah Revolusi Indonesia (1945-49), Darah Rakjat menjadi semacam senjata spiritual para pejuang kemerdekaan. Di Sumatera, lagu ini identik dengan aksi-aksi pemuda menggasak kekuasaan bangsawan Sumatra serta dinyanyikan dalam pawai serupa Ikada yang dikerahkan para pemuda di kota Medan pada 11 April 1946, sebagaimana yang dikisahkan Anthony Reid dalam The Blood of the People: Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra (1979).
Di seberang Sumatera, terinspirasi oleh perjuangan anti-kolonial di Indonesia, Parti Kebangkitan Melayu Malaya (PKMM) berdiri pada Oktober 1945. Partai ini akhirnya dinyatakan terlarang bersama partai-partai kiri lainnya, semenjak Inggris menyatakan Darurat Malaya pada 1948. Darah Rakjat jadi salah satu repertoar aksi-aksi pemogokan serikat-serikat buruh yang disponsori PKMM.
“Itu semangat dia sampai ke sini,” ujar Aktivis PKMM Zainuddin Andika menuturkan pengaruh Soekarno dan pergolakan di Indoneisa selama periode tersebut kepada sutradara Fahmi Reza dalam dokumenter 10 Tahun Sebelum Merdeka (2007).Namun, asal-usul Darah Rakjat sendiri masih samar. Situsweb Berdikari Online menyebutkan bahwa Darah Rakjat digubah oleh Legiman Hardjono di bulan Agustus-September 1945. “Sampai sekarang belum ada sumber lain yang membantahnya,” tulis artikel tersebut. Namun, tidak disebutkan sumber mana yang dimaksud.
Legiman, yang sering beredar dengan nama samaran Ismail Bakri, adalah aktivis pemimpin Angkatan Muda Kereta Api (AMKA) yang sukses melakukan pengambilalihan Djawatan Kereta Api dari tangan Belanda. Pada masa revolusi AMKA melebur ke dalam Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) yang dalam perkembangannya berubah dari organisasi independen menjadi Pemuda Rakjat, onderbouw Partai Komunis Indonesia (PKI). Legiman dikabarkan dekat dengan kubu Tan Malaka.
Penelurusan Tirto menemukan lagu Darah Rakjat disadur dari lagu Le Drapeau Rouge(“Panji Merah”). Dengan birama 4/4, dan nada-nada mayor, dua mars tersebut secara umum hanya beda lirik dan sedikit pada bagian refrain. Namun bahkan pada bagian itu, ada kemiripan lirik yang sulit disangkal. Lirik Indonesia berbunyi “Merah warna panji kita/Merah warna darah rakyat”, sementara versi Perancisnya “Panji merah kita/Merah darah pekerja.”
Lirik Drapeau Rouge dikarang oleh Paul Brousse, seorang aktivis anarkis kelahiran Montpellier yang sempat berpartisipasi dalam Komune Paris pada 1871, di mana kelas pekerja Paris merebut pemerintahan selama tiga bulan sampai akhirnya dikremus oleh gabungan pasukan nasional dan tentara Prusia. Pada 1873 Brousse pindah ke Bern Swiss, mengorganisir Federasi Jura, sebelum akhirnya diusir lalu pindah ke Brussel, London, dan akhirnya kembali ke Perancis pada 1880, untuk menyelesaikan kuliahnya di jurusan kedokteran Universitas Montpellier. Federasi Jura adalah terdiri dari kaum anarkis yang mewakili International Workingmen's Association—wadah organisasi-organisasi kiri dan serikat buruh seluruh dunia—di Swiss.
Bulletin de la Federation Jurassienne yang diterbitkan oleh International Workingmen's Association pada 27 Mei 1877, memuat refrain lirik Drapeau Rouge. Di bawahnya ditulis: “Atas permintaan banyak kawan, kami menerbitkan lagu yang disusun dua bulan sejak perayaan 18 Maret di Bern ini. [Drapeau Rouge] dinyanyikan oleh kaum sosialis saat itu, sebelum dan setelah bentrok dengan polisi, yang segera membuatnya populer di serikat-serikat buruh Federasi Jura.”
Perayaan yang dimaksud adalah berkumpulnya kaum anarkis dari berbagai negeri di Eropa Bern, Swiss, pada 18 Maret 1877, memperingati enam tahun Komune Paris.
Dalam La chanson de la Commune: chansons et poèmes inspirĂ©s par la Commune de 1871 (1991), sejarawan Perancis Robert BrĂ©cy menulis bahwa lagu ini merupakan adaptasi dari komposisi "La Libre Sarine" yang disusun oleh Jacques Vogt dan liriknya ditulis Dr. Bussard pada 1843. Melodi pada bagian refrainnya berangkat dari lagu rakyat berjudul Armons-nous, enfants de l'Helvetie! (“Angkat senjatamu, tumpah darah Helvetie!”). Vogt adalah komposer asal Freiburg, Jerman. Semasa hidupnya, lagu ini sering disenandungkan oleh mahasiswa-mahasiswa setempat sebagai La Marseillaise-nya Freiburg.
BrĂ©cy, sejarawan yang banyak meneliti gerakan pekerja dan lagu-lagu sosial, juga menjelaskan bahwa lagu ini pertama kali dipopulerkan di Perancis oleh alumni Komune Paris Achille Le Roy melalui tulisannya yang berjudul Revanche du prolĂ©tariat(“Dendam Proletariat”, 1885). Tanpa atribusi ke Paul Brousse, lagu tersebut berkembang ke dalam banyak versi pasca penerbitan Revanche.
Pengaruh Global
“Dalam gerakan sosial, saling pinjam lagu dan slogan adalah wajar,” Rianne Subijanto, pengajar komunikasi pada Baruch College, City University of New York, menuturkan kepada Tirto.Di Hindia Belanda, lirik-lirik lagu revolusi umumnya disadur dari bahasa Belanda. “Ki Hadjar Dewantara, sewaktu di perasingan 2-3 tahun di Belanda, dia menerjemahkan banyak lagu,” ujar Rianne yang tahun lalu menyelesaikan disertasi bertajuk A Communication History of the Communist Movement in the Dutch East Indies, 1920-1926.
Penerjemahan lagu-lagu perjuangan sedikit memberi ilustrasi seperti apa imajinasi politik para aktivis antikolonial di Hindia Belanda tentang sejarah politik Perancis.
Selain Revolusi Bolshevik di Rusia (1917), Revolusi Perancis (1789-1799) menjadi teladan utama kaum radikal dan milisi-milisi pemuda seperti Pesindo. Revolusi yang menggulingkan monarki, memenggal raja dan ratu, mendirikan republik, serta melucuti kekuasaan bangsawan bermula dari serbuan ke Penjara Bastille pada 1789 dan berakhir dalam kudeta yang akhirnya menaikkan Napoleon ke kursi kekaisaran (1799).
Banyak sejarawan yang mempelajari Indonesia antara 1945-194, di antaranya Anton Lucas, Anthony Reid, dan Jacques Leclerc, menyatakan bahwa perjuangan kemerdekaan pada periode tersebut juga melibatkan revolusi sosial di daerah-daerah yang berusaha menghancurkan hirarki feodal yang mesra dengan penjajah—sebagaimana di Perancis—serta mengambil alih perkebunan-perkebunan milik Belanda. Pola-pola gerakan massa dalam kejadian-kejadian seperti Peristiwa Tiga Daerah dan revolusi di Sumatera Timur menunjukkan hal tersebut.
Indonesia bukan pengecualian. Sejarawan Trinidad C.L.R. James mengisahkan dalam buku The Black Jacobins: Toussaint L'Ouverture and the San Domingo Revolution (1938), lagu-lagu Perancis dinyanyikan oleh para militan kulit hitam selama Revolusi Haiti (1791 – 1804). Bahkan satu resimen pasukan Napoleon, yang dikirim untuk mengembalikan Haiti ke dalam wilayah jajahan Perancis, disambut dengan tombak dan parang oleh kaum revolusioner yang menyanyikan La Marseillaise. Dalam narasi James, resimen itu kemudian membelot ke kubu Haiti.
Ketika Richard Nixon melawat ke Beijing pada tahun 1972, seorang wartawan tiba-tiba menanyakan peristiwa yang telah lewat nyaris dua abad. “Menurut Anda apa dampak Revolusi Perancis?” tanya sang wartawan. Perdana Menteri China Zhou Enlai menjawab: “masih terlalu dini untuk dipastikan.”
Di negeri asalnya, rujukan ke Revolusi Perancis—termasuk lagu, simbol, dan slogan—berulangkali muncul dalam pergolakan massa sepanjang abad 19. Pada 1814, monarki Bourbon kembali berkuasa, diinterupsi oleh Revolusi 1830, hingga akhirnya digulingkan lagi dalam Revolusi 1848 yang melahirkan Republik Kedua. Usia Republik Kedua cuma dua tahun lantaran presiden terpilih, Louis Napoleon, mengangkat dirinya sebagai kaisar pada 1851. Republik Ketiga didirikan pada 1871 pasca peristiwa Komune Paris.
Pergolakan rakyat di Perancis antara akhir abad 18-20 tak lain adalah musim semi lagu-lagu revolusioner. Sampai hari ini, lagu-lagu itu telah direkam ulang dengan berbagai variasi oleh biduan populer seperti Edith Piaf, Yves Montand, Jean Ferrat, Mirelle Mathieu, dan Johnny Hallyday. Sejumlah penyanyi bahkan memproduksi album khusus lagu-lagu revolusi.
Dua puluh volume album Histoire de France par les chansons (1962) mengabadikan seleksi lagu-lagu dari periode sejarah yang berbeda-beda, dari era Perang Salib hingga Republik Kelima (1958-…). Empat volume di antaranya dipersembahkan untuk era Revolusi Perancis 1789, Revolusi 1848, dan Komune Paris.
Album-album lain yang dirilis setelahnya mengikutsertakan lagu-lagu gerakan komunis yang aktif dalam gerakan perlawanan antifasis selama Perang Dunia II, sebagaimana yang terekam di album La Révolution Française: Chants Du Patrimoine(Jacques Gautier, 2007) dan Chants de révolte (Rosalie Dubois, 2008).
Dari seluruh lagu tersebut, dua yang paling terkenal adalah La Marseillaise danInternationale. Yang pertama dikarang oleh Claude Joseph Rouget de Lisle dan diadopsi sebagai lagu nasional di tengah-tengah revolusi tahun 1792. Namun, Marseillaise dinyatakan terlarang sampai 1879, ketika statusnya sebagai lagu nasional direhabilitasi. Walhasil, selama puluhan tahun pula ia jadi lagu pemberontak.
Marseillaise diadaptasi ke bahasa Rusia, Spanyol, Mandarin, dll., sempat dinyanyikan pada masa Revolusi Haiti, Revolusi Bolshevik (1917), diadopsi sebagai mars Apris (partai berhaluan kiri di Peru sejak 1930), menemani Pasukan Merah Mao Zedong sepanjang Long March (1934-1935), diadopsi sebagian melodinya jadi Dari Sabang Sampai Merauke, disadur sebagai Marsellesa socialista di bawah pemerintahan Allende di Chile dan dilarang setelah kudeta Pinochet (1973).
Seniman dan penyair Eugène Pottier menulis lirik Internationale dalam persembunyian ketika militer Perancis menyebu Paris dan membantai ribuan buruh dan serdadu yang berpartisipasi dalam Komune Paris. Lagu yang pada awalnya dimainkan berdasarkan irama Marseillaise ini lantas diterjemahkan ke dalam banyak bahasa dan menjadi lagu gerakan buruh, organisasi kiri, dan partai komunis. Saduran awal berbahasa Indonesia dikerjakan oleh Ki Hadjar Dewantara. Di Rusia, Internationale adalah lagu kebangsaan hingga tahun 1944, ketika digantikan oleh Gosudarstvenny gimn SSSR (“Lagu Kebangsaan Uni Soviet”).
Di luar pengalaman Perancis, perlawanan terhadap fasisme juga berbuah musik. Perang Sipil di Spanyol (1933-36) antara kubu kiri dengan pasukan Franco yang didukung Hitler melahirkan A las Barricadas (“Maju ke Barikade”), yang diadaptasi dari Warszawianka ("Lagu Warsawa”) yang berasal dari masa ketika rakyat Polandia melakukan pemberontakan terhadap pendudukan Rusia pada 1831. Menjelang kekalahan Hitler pada 1943-45, Italia menyumbang Bella Ciao, yang kini telah diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa (Breton, Katalunya, Mandarin, Kroasia, Denmark, Inggris, Spanyol, Thai, Tibet, Turki, Tagalog, dst). Ketika protes besar Gerakan Hijau di Iran meletus menentang kecurangan pemilu 2009, lagu ini dinyanyikan massa yang turun ke jalan.
Banyak sejarawan yang mempelajari Indonesia antara 1945-194, di antaranya Anton Lucas, Anthony Reid, dan Jacques Leclerc, menyatakan bahwa perjuangan kemerdekaan pada periode tersebut juga melibatkan revolusi sosial di daerah-daerah yang berusaha menghancurkan hirarki feodal yang mesra dengan penjajah—sebagaimana di Perancis—serta mengambil alih perkebunan-perkebunan milik Belanda. Pola-pola gerakan massa dalam kejadian-kejadian seperti Peristiwa Tiga Daerah dan revolusi di Sumatera Timur menunjukkan hal tersebut.
Indonesia bukan pengecualian. Sejarawan Trinidad C.L.R. James mengisahkan dalam buku The Black Jacobins: Toussaint L'Ouverture and the San Domingo Revolution (1938), lagu-lagu Perancis dinyanyikan oleh para militan kulit hitam selama Revolusi Haiti (1791 – 1804). Bahkan satu resimen pasukan Napoleon, yang dikirim untuk mengembalikan Haiti ke dalam wilayah jajahan Perancis, disambut dengan tombak dan parang oleh kaum revolusioner yang menyanyikan La Marseillaise. Dalam narasi James, resimen itu kemudian membelot ke kubu Haiti.
Ketika Richard Nixon melawat ke Beijing pada tahun 1972, seorang wartawan tiba-tiba menanyakan peristiwa yang telah lewat nyaris dua abad. “Menurut Anda apa dampak Revolusi Perancis?” tanya sang wartawan. Perdana Menteri China Zhou Enlai menjawab: “masih terlalu dini untuk dipastikan.”
Di negeri asalnya, rujukan ke Revolusi Perancis—termasuk lagu, simbol, dan slogan—berulangkali muncul dalam pergolakan massa sepanjang abad 19. Pada 1814, monarki Bourbon kembali berkuasa, diinterupsi oleh Revolusi 1830, hingga akhirnya digulingkan lagi dalam Revolusi 1848 yang melahirkan Republik Kedua. Usia Republik Kedua cuma dua tahun lantaran presiden terpilih, Louis Napoleon, mengangkat dirinya sebagai kaisar pada 1851. Republik Ketiga didirikan pada 1871 pasca peristiwa Komune Paris.
Tradisi Perancis
Drapeau Rouge bukan satu-satunya lagu revolusioner Perancis yang mendunia.Pergolakan rakyat di Perancis antara akhir abad 18-20 tak lain adalah musim semi lagu-lagu revolusioner. Sampai hari ini, lagu-lagu itu telah direkam ulang dengan berbagai variasi oleh biduan populer seperti Edith Piaf, Yves Montand, Jean Ferrat, Mirelle Mathieu, dan Johnny Hallyday. Sejumlah penyanyi bahkan memproduksi album khusus lagu-lagu revolusi.
Dua puluh volume album Histoire de France par les chansons (1962) mengabadikan seleksi lagu-lagu dari periode sejarah yang berbeda-beda, dari era Perang Salib hingga Republik Kelima (1958-…). Empat volume di antaranya dipersembahkan untuk era Revolusi Perancis 1789, Revolusi 1848, dan Komune Paris.
Album-album lain yang dirilis setelahnya mengikutsertakan lagu-lagu gerakan komunis yang aktif dalam gerakan perlawanan antifasis selama Perang Dunia II, sebagaimana yang terekam di album La Révolution Française: Chants Du Patrimoine(Jacques Gautier, 2007) dan Chants de révolte (Rosalie Dubois, 2008).
Dari seluruh lagu tersebut, dua yang paling terkenal adalah La Marseillaise danInternationale. Yang pertama dikarang oleh Claude Joseph Rouget de Lisle dan diadopsi sebagai lagu nasional di tengah-tengah revolusi tahun 1792. Namun, Marseillaise dinyatakan terlarang sampai 1879, ketika statusnya sebagai lagu nasional direhabilitasi. Walhasil, selama puluhan tahun pula ia jadi lagu pemberontak.
Marseillaise diadaptasi ke bahasa Rusia, Spanyol, Mandarin, dll., sempat dinyanyikan pada masa Revolusi Haiti, Revolusi Bolshevik (1917), diadopsi sebagai mars Apris (partai berhaluan kiri di Peru sejak 1930), menemani Pasukan Merah Mao Zedong sepanjang Long March (1934-1935), diadopsi sebagian melodinya jadi Dari Sabang Sampai Merauke, disadur sebagai Marsellesa socialista di bawah pemerintahan Allende di Chile dan dilarang setelah kudeta Pinochet (1973).
Seniman dan penyair Eugène Pottier menulis lirik Internationale dalam persembunyian ketika militer Perancis menyebu Paris dan membantai ribuan buruh dan serdadu yang berpartisipasi dalam Komune Paris. Lagu yang pada awalnya dimainkan berdasarkan irama Marseillaise ini lantas diterjemahkan ke dalam banyak bahasa dan menjadi lagu gerakan buruh, organisasi kiri, dan partai komunis. Saduran awal berbahasa Indonesia dikerjakan oleh Ki Hadjar Dewantara. Di Rusia, Internationale adalah lagu kebangsaan hingga tahun 1944, ketika digantikan oleh Gosudarstvenny gimn SSSR (“Lagu Kebangsaan Uni Soviet”).
Di luar pengalaman Perancis, perlawanan terhadap fasisme juga berbuah musik. Perang Sipil di Spanyol (1933-36) antara kubu kiri dengan pasukan Franco yang didukung Hitler melahirkan A las Barricadas (“Maju ke Barikade”), yang diadaptasi dari Warszawianka ("Lagu Warsawa”) yang berasal dari masa ketika rakyat Polandia melakukan pemberontakan terhadap pendudukan Rusia pada 1831. Menjelang kekalahan Hitler pada 1943-45, Italia menyumbang Bella Ciao, yang kini telah diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa (Breton, Katalunya, Mandarin, Kroasia, Denmark, Inggris, Spanyol, Thai, Tibet, Turki, Tagalog, dst). Ketika protes besar Gerakan Hijau di Iran meletus menentang kecurangan pemilu 2009, lagu ini dinyanyikan massa yang turun ke jalan.
Reporter: Windu Jusuf
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Windu Jusuf
Sumber: Tirto.Id
0 komentar:
Posting Komentar